CENGCENG GEBYAG

Cengceng Gebyag adalah sebuah instrumen gamelan sejenis perkusi yang berada di desa Budakeling kecamatan Bebandem kabupaten karangasem. Cengceng Gebyag Berasal dari dua kata, yaitu Cengceng dan Gebyag. Cengceng adalah sebuah alat musik tradisional bali yang menyerupi simbal, Dan Gebyag bererti kebyar, Agung, atau Akbar.
Adapun instrumen instrumen penyusun Cengceng Gebyag tersebut adalah :
• Tujuh buah Tambur ( Bedug )
• Satu buah Kempur
• Lima buah Sungu ( Kerang yang di beri lubang di bagian belakang zaman dulu sering disebut Sangka Kala )
• Lima buah Suling Preret
• 150 ( Seratus limapuluh ) buah Ceng ceng Kopyak
Dari sini kita bisa tahu, kenapa barungan tersebut dinamakan Ceng ceng Gebyag. Karena ukuran dan memerlukan personil atau penabuh yang sangat banyak yang pasti akan menghasilkan suara yang sangat agung.
Fungsi dari barungan Cengceng Gebyag ini adalah sebagai pengiring sebuah upacara yang cukup besar yang disebut dengan upacara Gerebeg Aksara. Gerebeg Aksara adalah sebuah upacara yang pertama kali dilakukan di desa Adhistana Budakeling pada tahun 2000 yang lalu. Kemudian upacara ini dilaksanakan di beberapa wilayah di bali seperti di Klungkung yang di sinkrunkan dengan hari peringatan seratus tahun Puputan Klungkung. Kemudian di Badung, di sinkrunkan juga dengan peringatan tujuh abad Bhineka Tunggal Ika dan seratus tahun Puputan Badung.
Gerebeg Aksara ini juga dilaksanakan di Desa Kuno Tenganan Pegringsingan Karangasem, kemudian di Desa Mas Ubud dan sampai juga ke Trowulan Majapahit. Gerebeg Aksara ini adalah upacara yang sangat utama, dengan menurunkan beberapa pusaka yang sangat sakral seperti Kitab Sutasoma di Budakeling, Kitab Negara Kertagama di Klungkung dan Pusaka Topeng Gajah Mada di Blahbatuh Gianyar, yang bertujuan untuk keseimbangan alam semesta dan menetralisir hal-hal negatif.
Pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu, Cengceng Gebyag ini adalah sebuah Genderang Perang yang di tabuh tatkala akan melaksanakan peperangan. Deru suara genderang perang ini akan membangkitkan semangat yang membara bagi setiap prajurit yang mendengarnya. Di zaman sekarang, Genderang Perang tersebut digali dan di bangkitkan lagi dalam bentuk Cengceng Gebyag. Di harapkan agar setiap orang yang mendengar tabuh Cengceng Gebyag ini akan bangkit semangatnya untuk menjalankan dan melaksanakan Dharma.

Berikut adalah gambar dari prosesi Gerebeg Aksara.
Gambar pertama prosesi Gerebeg Aksara di Puputan Badung, gambar kedua di Desa Mas Ubud, dan gambar ketiga adalah di Majapahit Jawa Timur.

Ida Wayan Oka Granoka

MAESTRO Yoga Musik dari Bali Timur, Ida Wayan Oka Granoka adalah filsuf Bali yang berjasa dalam mebangkitkan kembali ajaran Bhinneka Tunggal Ika melalui proses kesenian yang berbasis spiritual.

Sosok yang satu ini sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat seni. Namanya Ida Wayan Oka Granoka, terkadang ditulis lengkap Ida Wayan Oka Granoka Gong. kelahiran Budakeling, Bebandem, Karangasem 1949. Ayah lima orang anak ini sangat intens melakukan proses berkesenian berbasis spiritual. Melalui Bajra Sandhi, sanggar seni yang didirikan Ida Granoka bersama masyarakat dan anggota keluarga, hari demi hari mengayuh roda kreativitas.

Ida Granoka yang seorang dosen Fakultas Sastra Unud ini tercatat sebagai penggagas berdirinya Sanggar Bajra Sandhi di Banjar Batukandik, Denpasar 1991. Setelah mengalami ”inisiasi yoga”, sanggar tersebut menjadi Maha Bajra Sandhi tahun 2000 , mengembangkan yoga musik. Mulai sejak itu Maha Bajra Sandhi sekaligus mengawali program ”Mahkota Budaya” yang mencanangkan penghormatan terhadap maha windhu prasapta, tujuh abad Bhineka Tunggal Ika yang bergulir hingga sekarang. Lewat musik, Maha Bajra Sandhi berupaya membangkitkan energi kemurnian kundalini Bali, kemudian membangun desa ideal, adistana dan membangun parba (ulu) jagat Bali. Ini digulirkan untuk menapak bumi Nusantara. Ketika momentum seabad kebangkitan nasional Mei 2008 mendatang, Maha Bajra Sandhi menuju Trowulan dengan program ”Garba Datu” menuju puncak kemegahan. Dengan demikian diharapkan ke depan Indonesia betul-betul mahardika menuju pembebasan, pemuliaan, dan pencitraan kembali di mata dunia.

Ida Granoka juga tercatat sebagai penulis sejumlah buku, di antaranya ”Reinkarnasi Budaya”, ”Memori Bajra Sandhi”. Bersama kawan-kawan, Ida Granoka juga menulis kamus ”Bahasa Bali Kuno” dan ”Tata Bahasa Bali”.
Suami Ida Ayu Supraba ini selalu berkonsentrasi memperjuangkan idealisme dari tataran yang paling dasar yaitu estetika, etika, kemudian ke religius.

GRIYA ANYAR

YouTube Preview Image

 

 

Komentar tentang Video tabuh pepanggulan Griya Anyar

 

Dari segi sound system, suara cengceng dan suara bende kurang jelas terdengar. mungkin permasalahannya ada pada penempatan microphone yang kurang tepat.

Dari segi lighting, efek cahaya terlalu keras sehingga warna baju pemain tidak alami (silau).

Dari segi pengambilan gambar, gambarnya pecah. mungkin permasalahannya dari kwalitas kamera yang di gunakan untuk merekam

terimakasih.

 

ASET YANG HAMPIR DI CURI

 

 Tari Pendet

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, sebuah tempat ibadat bagi umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Tarian ini diciptakan oleh I Wayan Rindi. Rindi merupakan maestro tari yang dikenal luas sebagai penggubah tari pendet sakral yang bisa di pentaskan di pura setiap upacara keagamaan. Tari pendet juga bisa berfungsi sebagai tari penyambutan. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi “tarian ucapan selamat datang”, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

Wayan Rindi adalah penekun seni tari yang dikenal karena kemampuannya menggubah tari dan melestarikan seni melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Salah satunya terekam dalam beragam foto semasa hidupnya yang aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari pendet pada keturunan keluarga maupun di luar lingkungan keluarganya. Menurut anak bungsunya, Ketut Sutapa, Wayan Rindi memodifikasi tari pendet sakral menjadi tari pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia. Rindi menciptakan tari pendet ini sekitar tahun 1950. Meski dimodifikasi, namun semua busana dan unsur gerakan tarinya tetap mengacu pada pakem seni Bali yang dikenal khas dan dinamis.

Diyakini bahwa tari Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Tindakan Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian dari budayanya amat disesalkan keluarga Wayan Rindi. Pada masa hidupnya, Wayan Rindi memang tak berfikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain. Selain belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah di patenkan karena kandungan nilai spiritualnya yang luas dan tidak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Namun dengan adanya kasus ini, Sutapa yang juga dosen tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali berharap pemerintah mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain

 Fungsi Tari Pendet

Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Diyakini bahwa tari Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tari Pendet sering dijumpai pada saat upacara-upacara keagamaan (bebali), yang biasanya dipentaskan di halaman Pum(jeroan ), atau halaman tengah (jdba tengah ), dan diiringi oleh gamelan berlaras pelog atau gamelan gong kebyar. Pada jaman dahulu tari Pendet merupakan tarian Pura yang fungsinya untuk memuja para dewa-dewi yang berdiam di Pura selama upacara odalan berlangsung
Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan akan hiburan semakin banyak diperlukan oleh sebagian besar masyarakat Bali, sehingga sekarang Pendet beralih fungsi menjadi tari hiburan atau tari penyambutan. Sebagai tari penyambutan, Pendet difungsikan untuk menyabut kedatangan tamu atau sering disebut dengan istilah tarian selamat datang. Ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan rasa syukur diwujudkan melalui gerak-gerak yang lembut dan indah. . Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi “tarian ucapan selamat datang”, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

 Keunikan Tari Pendet

Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!