Analisis Perkembangan Wayang Kulit yang Tertera dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Sargah V Bait 9
Sargah V Bait 9 (Sikarini Wirama : 0 – -/- – -/000/00 -/- 00/00 =17)
hanânonton ringgit manangis asekel mûd.a hid.epan
(Wenten anak mebalih wayang, ngeling engsek santukan manahnya tambet) huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap (Katiman Sampun uning ipun, indik ipun belulang kaukir, ngigel maucapan) haturning wwang tresnêng wisaya malahâ tar wihikana (Sapunika waluyannya sang leket ring sarwa wastu, maka awinan, prasiddha tan uning ida dane) ri tatwanyân mâyâ sahana-hananing bhâwa siluman. (Ring kasujatiannya, punika sunglap, sakancannya, sane numadi lalingsen)
Keterangan : Ringgit = Wayang, muda = tambet; wuda = melalung ; tambet.
Artinya : Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya. Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu. Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indria, melongo saja, sampai tak tahu bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, hanya ilusi saja. Wayang merupakan media pendidikan dan hiburan bagi masytarakat sejak dahulu kala. Dalam kekawin ini dikisahkan bagaimana wayang dapat mempengaruhi imajinasi penonton. Hingga wayang dapat membuat penonton menangis, sedih, dan kacau hatinya, padahal mereka tahu bahwa yang ada di hadapan mereka hanya sebuah kulit yang di ukir yang digerakkan oleh seorang dalang. Begitu kuatnya pengaruh seorang dalang pada penontonnya. Wayang merupakan media yang penuh filosofi dan pemikiran-pemikiran mengenai pengetahuan spiritual. Disinilah peran seorang dalang sebagai seorang guru Loka untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Seorang dalang juga merupakan seorang Acarya yang membimbing rohani masyarakat. Seorang Dalang juga merupakan seorang pandita yang disegani, dihormati, dan dijunjung karena kebijaksanaan, budi pekerti, dan tingkah lakunya. Sehingga wayang merupakan tontonan dan tuntunan bagi masyarakat. Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431). Tertulis sebagai berikut: Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara. Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa. Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel – Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa. Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa – Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang. Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa. Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 1969), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara. Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand. Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki. (Lihat: buku Traditional Drama And Music of Southeast Asia – Edited by M.Taib Osman, Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Th. 1974)Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-istiadat setempat. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.(Sumber : Buku Pedalangan untuk SMK, Penerbit Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun kita hidup pada era teknologi informasi namun sebenarnya wayang masih berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena modern, karena dalam ceritera wayang mengandung ajaran moral yang sifatnya universal dan berlaku sepanjang jaman. Bahwasanya wayang juga mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu menahan dahaga , lapar dan agar “tapabrata” yang diartikan bukan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup menyepi di pantai dan merendam diri di sungai. Tetapi dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak menempatkan yang bersifat materiil di atas segala-galanya. Disisi lain wayang juga mengajarkan hendaknya manusia dalam melangkah maju tanpa was-was sampai memasuki dirinya sendiri hingga pedalaman yang sedalam-dalamnya sehingga tidak mungkin lebih dalam lagi, sampai ke akar yang yang terakhir dan berjumpa dengan dirinya sendiri. Seperti dalam lakon “Dewa Ruci”. Wayang juga mengingatkan kepada kita bahwa sesuatu yang semula dianggap akan dapat membahagiakan hidupnya itu ternyata kalau dikejar dengan penuh nafsu sampai melampaui batas kemampuan justru akan menyebabkan malapetaka bagi pengejarnya “seperti dalam lakon Cupu manik Astagina”. Wayang juga mendemontrasikan hukum karma (Hayu ulah hayu tinemu, ala ulah ala tinemu) Siapa yang menanam akan memetik buahnya. Menanam kebajikan akan memetik kebajikan sedangkan menanam kejahatan akan memetik kejahatan. Seperti dalam lakon-lakon “baratayudha” dan juga mengajarkan memilah-milah mana yang buruk dan mana yang baik dan yang “salah akan seleh”. Suradira jayanikanang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti atau suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. (Betapaun sura sakti dan besar kekuasaanya, tetapi bila untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil dan angkara murka pasti akan sirna oleh budi pekerti)
Sumber Refrensi :
|