TRANSFORMASI JOGED BUMBUNG

This post was written by panyryandhi on April 24, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

Seni tari pada dasarnya adalah perwujudan ekspresi budaya (Dibia,2013:1). Seni tari merupakan ungkapan dari kompleksitas  nilai budaya Hindu-Bali yang diragakan melalui ragam gerak seorang manusia sebagai pelaku seni. Setiap gerak dan frase dalam menarikan tari Bali diikat oleh ruang dan waktu. Hal itu mencermikan konsep kosmologi, dan pandangan umat Hindu terhadap keseimbangan dalam banyak dimensi kehidupan. Tari sebagai ungkapan ekspresi jiwa seorang manusia, pada dasarnya terdiri dari berbagai macam jenis tari. Seperi yang kita ketahui, tari Bali terbagi menjadi : a) Tari Primitive, b) Tari Rakyat, dan c) Tari Klasik.

Salah satu yang akan dibahas di dalam paper ini adalah mengenai Tari Rakyat. Tari Rakyat adalah ungkapan kehidupan rakyat sehari-hari yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarat Hindu di Bali. Pada dasarnya tari ini merupakan tari pergaulan (social dance) yang dilakukan secara berpasangan atau duet. Bentuknya sangat sederhana karena tidak diikat oleh norma-norma tertentu. Salah satu tarian yang tergolong ke dalam tari rakyat adalah tari Joged Bumbung yang diperkirakan muncul di daerah Bali Utara (Buleleng) pada tahun 1946. Mengikuti pengklasifikasian tari menurut zamannya (Puspasari Seni Tari Bali oleh Prof. I Wayan Dibia), berarti tari Joged Bumbung merupakan sebuah tari pergaulan yang tergolong berkembang di zaman modern atau lebih dikenal dengan nama zaman Bali baru. Zaman ini menurut Bapak I Wayan Dibia berlangsung sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda, yakni dari awal abad ke-20 (1908)  hingga sekarang. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa dari sinilah terjadinya akulturasi budaya dengan masuknya pengaruh budaya Barat yang cenderung lebih mengungkapkan keluwesan dan kebebasan dalam berekspresi, tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya.

Seiring perkembangan zaman, pementasan tari Joged Bumbung telah banyak mengalami degradasi moral. Bahkan image tari Joged Bumbung kian tercoreng oleh segelintir komunitas yang mungkin ingin mendongkrak popularitas,  karena dalam pementasannya sering kali menampilkan adegan yang berbau porno aksi. Melihat fenomena yang ada, maka tidak ada salahnya jika kita kembali menengok ke belakang mengenai asal-usul tari Joged Pingitan sebagai pembanding terhadap kenyataan yang ada pada saat ini. Tari Joged Pingitan merupakan pengembangan dari Tari Legong (mungkin tari Legong yang dimaksud adalah tari Legong Keraton) ciptaan Bapak Dewa Rai Perid (alm), yang pada dasarnya merupakan sebuah seni pertunjukkan (seni tari) yang bersifat sekuler (non-religius). Disisi lain masih dalam literatur yang sama menyatakan bahwa, tari Legong diciptakan oleh Dewa Agung Made Karna. Tarian ini terinspirasi dari topeng-topeng Blambangan (Jawa Timur) yang berhasil dirampas oleh patih Ularan dalam sebuah perang melawan raja Blambangan (Raja Juru) ketika itu (Wayan Dibia, 2013:21, Kidung Pamancangah). Namun tari Legong ini menggunakan topeng. Sedangkan tari Legong yang kita kenal dengan nama Legong Keraton ciptaan Dewa Rai Perid pada tahun 1811 tidaklah menggunakan topeng. Setelah beberapa tahun kemudian di daerah Sukawati muncullah tarian sejenis Legong yang dinamakan Joged Pingitan, yang mana suasana pementasannya lebih bersifat informal (kerakyatan), tapi masih dalam ruang lingkup kerajaan.

Jika dihubungkan dengan keberadaan dari Lontar Prakempa, maka uraian di atas tentunya tidak jauh menyimpang dari isi lontar Prakempa yang menyatakan ada gamelan empat sekawan (Catur Muni-muni). Sebelum lebih lanjut menyimak dari isi nasehat Catur Muni-muni dalam Lontar Prakempa, perlu untuk diketahui bahwa Lontar Prakempa merupakan salah satu dari karya seni sastra yang menguraikan tentang gamelan Bali, yang di dalamnya berisi ramalan tentang pergolakan dunia. Dalam konteksnya dengan gamelan Bali, Prakempa kiranya dimaksudkan sebagai seluk-beluk gamelan Bali yang pada hakekatnya berintikan tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika) dan gagebug (teknik) yang bertalian dengan gamelan Bali (Prakempa sebuah Lontar Gamelan Bali oleh Dr. I Made Bandem 1986:1). Adapun isi lontar Prakempa yang dimaksud adalah sebagai berikut:

 

“Catur ngaran patpat, muni-muni ngaran gagambelan. Nyata gagambelan Smar Pagulingan ngaran Semara Aturu, gendingnya Pagambuhan maka gagambelan Barong Singa. Gagambelan Smar Petangian ngaran Smara Awungu, gendingnya pasesendonan maka gagambelan Legong Keraton. Gambelan Smar Palinggyan ngaran Smara Alungguh, gendingnya maka gagambelan Joged Papingitan, Gambelan Smar Pandirian ngaran Smara Ngadeg gendingnya Pakakintungan maka gagambelan Barong Ket”.

 

Mengutip dari isi nasehat Catur Muni-muni, maka dapat ditarik beberapa persepsi seperti munculnya gamelan Joged Pingitan pasti bersamaan dengan munculnya tarian Joged Pingitan. Atau persepsi yang kedua, munculnya tari Joged Pingitan dan tari-tari yang lain telah diramal jauh hari sebelumnya sehingga munculnya gamelan untuk mengiringi tari-tarian tersebut sudah ada sebelum tariannya ada. Persepsi di atas hanyalah sebagai intermezzo, karena munculnya keempat jenis gamelan tersebut tentu memiliki relasi dengan  fungsi tariannya di zaman sekarang. Keempat jenis gamelan tersebut pada hakekatnya digunakan untuk memeriahkan suasana istana pada waktu itu.

Banyak terdapat kesamaan antara tari Legong dan Joged Pingitan. Namun, mengutip pernyataan Bapak I Wayan Dibia yang mengatakan bahwa ada dua (2) hal penting yang membedakan tarian Legong dengan Joged, yakni yang pertama instrumen yang digunakan untuk mengiringi tari Legong itu banyak terbuat dari bahan kerawang. Sedangkan tari Joged pingitan instrumen pengiringnya banyak terbuat dari bambu.

Kemudian yang kedua bahwa suasana pementasan tari Legong itu bersifat formal (hanya bisa dipentaskan di kalangan istana), sedangkan tari Joged Pingitan suasana pementasannya bersifat informal atau lebih bersifat kerakyatan dengan adanya pola paibing-ibingan yang mana masih ada suatu pembatasan mengenai jarak antara penari dan pengibing. Mengikuti definisi Joged Pingitan, maka tidak salah kiranya jika penulis mengatakan bahwa Joged Bumbung itu pada hakekatnya adalah sebagai bentuk seni pertunjukkan kerakyatan yang mengadopsi dari pola-pola pementasan Joged Pingitan yang tentunya bersifat menghibur. Menghibur dalam tanda kutip masih mengedepankan nilai estetika, etika, logika dan pakem-pakem sebagai mana Joged Pingitan itu sendiri.

Melihat kenyataan sekarang, fokus seni pertunjukkan Joged Bumbung yang semula penuh dengan dengan suasana pergaulan yang ceria telah mengalami transformasi fungsi menjadi sebuah suguhan yang memamerkan adegan-adegan yang erotis dan mengundang birahi dari para penontonnya. Sehingga yang menjadi tantangan untuk seniman muda pada saat ini adalah bagaimana kita dapat mengembalikan fungsi dari tari Joged  (Joged Bumbung) sehingga berfungsi sebagai tarian komunal yang memang benar-benar menghibur. Menghibur dalam artian tetap memperhatikan unsur sebuah seni pertunjunjukkan yang meliputi, Etika, Estetika, dan Logika. Baik itu dilakukan pada saat even formal maupun even non-formal dalam kapasitas kita sebagai seniman yang memang benar-benar mengedepankan keajegan taksunya Bali.

Comments are closed.