HISTORIS DAN RELASI TARI JOGED BUMBUNG DENGAN SENI KAKEBYARAN

This post was written by panyryandhi on April 24, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

Ada beberapa segi yang bisa diamati untuk melihat pengaruh gamelan Gong Kebyar terhadap gamelan lainnya yaitu reportoar, ungkapan musikal, motif lagu, dan tata penyajian. Beberapa jenis gamelan yang dijadikan contoh sebagai bahan kajian adalah Joged Bumbung. Pengamatan dilakukan dengan metode komparasi (Seni Kabebyaran I Gede Arya Sugiartha, dalam I Wayan Dibia 2008:53) yaitu mengamati adanya kesamaan beberapa unsur, terutama ekspresi musikal, antara gamelan Gong Kebyar dengan Joged Bumbung.

Pengaruh gamelan Gong Kebyar tehadap gamelan Joged Bumbung banyak terjadi di Bali Utara (Buleleng) dan Bali Barat (Tabanan, Jembrana). Di daerah Bali Timur (Bangli, Klungkung, Karangasem) dan Bali Selatan (Badung, Denpasar, Gianyar) “Kebyarisasi” Joged Bumbung tidak begitu nampak. Suasana lagu, karakter musikal, serta penyajian gamelan Joged Bumbung di daerah Bali Selatan dan Timur lebih menyerupai Joged Pingitan yang kemungkinan awal atau asal muasal Joged Bumbung.

Di Bali Utara misalnya pengaruh Gong Kebyar terhadap Joged Bumbung terjadi dengan adanya pengadopsian lagu dan penambahan beberapa instrumen dalam Gong Kebyar seperti instrumen reyong dan jublag serta lebih menonjolkan daya ungkap yang dinamis. Beberapa lagu iringan tari kakebyaran seperti Margapati, Wiranata, Panji Semirang digunakan sebagai pepeson atau lagu pembuka dalam sebuah pertunjukan Joged Bumbung. Tabuh-tabuh instrumentalianya juga banyak mengadopsi dari lagu-lagu seperti Kosalia Arini, Purwa Pascima, Kokar Jaya (Ciptaan Bapak Wayan Beratha) dan sebagainya. Penambahan instrumen reyong dan jublag pada gambelan Joged Bumbung Bali Utara menyebabkan karakter joged menjadi lebih keras dengan penuh aksentuasi-aksentuasi ngebyar. Dari segi tata penyajian Joged Bumbung Bali Utara sudah biasa dipentaskan dengan cara mebarung seperti halnya penyajian Gong Kebyar.

Di daerah Tabanan dan Jembrana pengaruh Gong Kebyar dapat dirasakan dari adanya pengadopsian lagu baik yang instrumental maupun untuk iringan tari, sama seperti yang terjadi di Buleleng. Namun, yang membedakan  perkembangn Joged Bumbung di daerah ini adalah tidak adanya penambahan instrumen, maka beberapa lagu kebyar yang diadopsi disesuaikan dengan situasi instrumen yang digunakan. Mengenai tata penyajian di daerah Tabanan jarang terjadi Joged Bumbung mebarung.

Maka dapat ditarik suatu garis besar, bahwa perkembangan Joged Bumbung di Buleleng tidak bisa terlepaskan dari suasana ngebyar yang banyak diilhami oleh ornamentasi-ornamentasi kakebyaran, hal ini juga berpengaruh terhadap penyajian tariannya.

Secara historis, Joged Bumbung adalah tari pergaulan yang berasal dari daerah bumi Panji Sakti (Buleleng). Tari pergaulan ini diperkirakan muncul pada tahun 1946. Namun, menurut Bapak Profesor I Wayan Dibia (wawancara 17 Desember 2013) bahwa munculnya Joged Bumbung ini masih menimbulkan suatu tanda tanya mengenai kapan secara periodis tarian ini tercipta (ada yang memperkirakan tahun 1942,1946, dsb). Perkiraan yang ada, bahwa tari Joged Bumbung yang berkembang pada zaman sekarang ini telah muncul pada zaman revolusi (1940-an). Konon terciptanya tari Joged Bumbung ini digunakan oleh para pejuang untuk menghibur diri. Disisi lain pada abad yang masih sama, di Buleleng sendiri sedang terjadi perkembangan gong kebyar yang begitu pesatnya. Sehingga penciptaan dari Joged Bumbung banyak dipengaruhi oleh suasana ngebyar dan bentuk-bentuk non-fisis yang lainya. Berdasarkan pemaparan dalam bab sebelumnya, Joged Bumbung merupakan evolusi dari Joged pingitan ataupun joged-joged yang lainnya seperti Joged Adar, Joged Andir, dan Joged Gandrung. Namun perubahan (evolusi) yang terjadi di zaman sekarang tidak serta merta membawa dampak positif bagi perkembangan Joged di Bali (Buleleng) pada khususnya.

Perkembangan tari Joged Bumbung memang benar-benar mampu menghipnotis dihampir seluruh tingkatan ataupun instansi kemasyarakatan. Joged Bumbung sebagai keberlanjutan dari joged-joged sebelumnya merupakan sebuah warisan turun-temurun dari kesederhanaan bentuk budaya pada masa sebelumnya.  Sebelum Joged Bumbung itu dikenal di daerah Bali Selatan, di Bali Utara (Buleleng) sendiri sempat terjadi perkembangan pesat mengenai Joged Bumbung. Salah satu keberadaan sekaa Joged yang dapat penulis temui keberadaanya hingga sekarang adalah Sekaa Joged di Desa Munduk (masih aktif), Sekaa Joged di Desa Gesing, Sekaa Joged di Desa Umejero, Desa Kedis dan masih banyak lagi. Di desa Munduk, perkembangan tari Joged diperkirakan ada sekitar sebelum tahun 1960-an. Menurut salah seorang penabuh Joged pada masa itu Bapak Made Terip dan Bapak Made Damendra (Wawancara: Pany Ryandhi, 15 Desember 2013), bahwa perkembangan pementasan Joged pada masa itu adalah jauh berbeda dengan perkembangan Joged Bumbung pada zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat dari segi tarian dan susunan reportoar tabuhnya yang banyak diilhami oleh pola-pola kakebyaran dari Desa Kedis (Oleh Ni Luh Sustiawati, wawancara : Pany Ryandhi, 15 Desember 2013). Sedangkan pada saat ini, pementasan Joged Bumbung telah banyak mengadopsi pola gending jaipongan dari Jawa dan dikolaborasikannya sesuai dengan kebutuhan  sang pengrawit. Sehingga terdengar lebih menarik dan atraktif.

Karena merupakan tari pergaulan yang bersifat sekuler kerakyatan (menghibur), maka perkembangan dari Joged Bumbung ini dapat dengan cepat merabah dan diterima dengan baik sampai ke Bali Selatan seperti di daerah Tabanan, Badung, Gianyar, dll. Kendatipun, unsur ke-Bulelengngannya tidak diterima begitu saja. Dalam artian para seniman Bali Selatan tidak langsung mengkonsumsi begitu saja terhadap bentuk fisis dan non-fisis Joged Bumbung yang mereka terima, melainkan mereka masih memfilterrisasi bentuknya, dan kemudian disesuaikan dengan keadaan sekitar dan perkembangan zaman.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa munculnya tari Joged Bumbung ini berbarengan dengan munculnya tari-tari kakebyaran (abad ke-20) yang secara tak langsung mempengaruhi pola-pola fisik maupun non-fisik dari perkembangan Joged Bumbung itu sendiri. Dari segi fisik dapat dilihat bahwa musik iringan Joged Bumbung ini adalah terbuat dari potongan-potongan bambu dengan berlaraskan selendro 5 (lima) nada, kendatipun masih ada dibeberapa daerah di Buleleng menggunakan laras pelog 5 (lima) nada. Dari segi non-fisik, dapat dilihat bahwa bentuk tabuh untuk iringan tari joged ini banyak mengadopsi dari pola-pola kakebyaran (tari lepas).

Perbedaan Joged Bumbung dari awal terciptanya sampai sekarang tentu membawa banyak perubahan sebagai bentuk dari transformasi masa yang dialami. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud dapat dilihat dari unsur fisik maupun unsur non-fisik tari Joged Bumbung itu sendiri. Dari unsur fisik, bahwa awal penciptaan tari Joged Bumbung ini merupakan rasa spontanitas (ekspresi langsung tanpa terpolakan). Namun, belakangan ini perkembangan dari tari Joged Bumbung itu sudah terkoreografi dengan jelas dan lugas, bahkan pada awal tabuh pembukaannya itu ada yang menggunakan gending (reportoar) tari Panjisemirang, tari Margapati, dan lain-lain (dari segi non-fisik) tergantung dari apa yang direspon oleh penari terhadap lingkungan sekitarnya.

Intinya adalah pada awal penciptaan tari ini tidak ada suatu struktur atau pola yang mengikat, melainkan tarian ini timbul dari ungkapan-ungkapan yang spontanitas, dengan diberikanya ruang kepada para penonton untuk mengekspresikan rasa mereka terhadap apa yang sedang mereka rasakan dan mereka respon terhadap lingkungan sekitar. Ekspresi ini dituangkan dalam pola paibing-ibingan dengan tetap mengedepankan rasa estetis yang berpayung pada etika pementasan. Sedangkan di zaman sekarang jika dilihat dari unsur fisiknya, pementasan Tari Joged Bumbung telah banyak mengadopsi unsur-unsur dari luar, kemudian geraknya lebih tertata (telah diperhitungkan sebelumnya). Dari unsur non-fisik itu terlihat jelas pada gamelan pengiringnya, dimana sudah terjadi kolaborasi antara gamelan jawa (kendang sunda) dengan instrumen pendukung yang lainnya.

Comments are closed.