BANJAR SEKARMUKTI/PUNDUNG

1

Banjar Sekarmukti/Pundung berada di Badung Utara, tepatnya di Desa Pangsan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Banjar Sekarmukti/Pundung diapit oleh dua sungai yaitu, di sebelah timurnya adalah Sungai Ayung, dan sebelah barat adalah Sungai Yeh Penet. Banjar Sekarmukti/Pundung bisa dikatagorikan sebagai Banjar yang sedang berkembang, karena di setiap sudit kebun dan sawah telah mulai dibangun bangunan RUKO ataupun perumahan milik pribadi.

Kisah banjar sekarmukti/pundung yang berlokasi di Desa pangsan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung Provinsi Bali. Tidak ada bukti tertulis (prasasti) yang menyatakan, hanya “tuturan” orang orang tua yang menjadi bahan tulisan ini. Konon Banjar Sekarmukti/Pundung  asal mulanya bernama Banjar “Sekarwetan” sehubungan dengan nama Desa Adat Pangsan yang konon dulu bernama “sekarsari”. Tersebutlah pada suatau saat ada warga dari Banjar Sekarmukti, Desa Plaga, Kecamatan Petang yang datang melintas di banjar sekarwetan. Orang tersebut membawa “memundut  kekuluh” (bumbung bambu berisi air suci), yang tujuannya mengungsi (rarud) menuju Desa Mengwi. Konon oleh salah seorang warga sekarwetan tindakan tersebut di cekal dan tidak diizinkan melanjutkan perjalanannya dan di suruh “jenek” (tinggal ) di banjar sekarwetan untuk seterusnya. Dengan bukti, kini di Sekarwetan ada sebuah pelinggih ( pura) yang disebut Pura Puseh Pingit yang ada hubungannya dengan Pura Puseh Pingit di Banjar Sekarmukti, Desa Plaga, Kecamatan Petang. Catatan  realitas kini antara Dusun Sekarmukti, Desa Plaga tak dapat dipisahkan dengan Dusun Sekarmukti/Pundung dalam hal upacara keagamaan “karya” di pura tersebut. Karena dengan tinggalnya warga Sekarmukti, Desa Plaga itu, maka Banjar yang dahulunya disebut dengan Banjar Sekarwetan, kini berubah menjadi Banjar Sekarmukti/Pundung. Demikianlah secara sepintas kisah asal mulanya nama Banjar Sekarwetan berubah menjadi Banjar Sekarmukti/Pundung. Suber informasi: I Wayan Mareg (kakek)  

Di Banjar Sekarmukti/Pundung juga terdapat sebuah tradisi unik yang disebut Upacara Lampad. Lampad adalah sebuah nasi yang berisikan bahan-bahan vegetarian yang dipersembahkan pada saat hari purnama di Pura Penataran Agung.  Tidak ada bukti tertulis yang menyatakan, hanya tuturan dari mulut ke mulut “tetua” banjar yang menyatakan sebagai berikut. Konon pada suatu hari dalam rangka kerama banjar ngayah  di Pura Penataran Agung yang lokasinya berimpit dengan Pura Puseh Pingit. Secara gaib masyarakat menyaksikan seorang “bocah” (kanak-kanak) turut ngayah dan memberi petunjuk apa-apa yang harus dikerjakan pada saat hari “purnama”. Secara pokok diberi petunjuk sarana upakara yang mesti di suguhkan pada hari purnama, antara lain : Bahan sayur yang mesti diadakan misalnya; jagung muda, “empol”(anak pohon rotan yang masih muda) ,tumbuhan “anti”, dan daun sabo(bahasa local) mirip daun sirih. Sebagai pelengkapnya “rerasmen” disertai dengan kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Semua bahan tersebut di suguhkan di atas nasi beralaskan daun pisang, dan itulah yang disebut Lampad. Upacara ini dilaksanakan oleh kelompok remaja yang sifatnya wajib dan harus terdiri dari kelompok muda mudi ( yang belum kawin). Suber informasi: I Wayan Mareg (kakek)     

Selain Tradisi Lampad, di banjar Sekarmukti juga terdapat sebuah tradisi yang di turunkan turun temurun dari nenek moyang saya. Tradisi tersebut dinamakan upacara Ngendar. Apakah anda tau apa itu “Ngendar”? mungkin kata ini masih asing bagi sebagian orang terutama bagi orang yang bukan penduduk Banjar Sekarmukti. “Ngendar berasal dari akar kata “Endar” yang artinya bubur, diberi awalan ‘ng’ sehingga menjadi kata “Ngendar” yang akhirnya memiliki arti membuat bubur”.  Tradisi ini adalah suatu rentetan upacara dari piodalan di pura Nataran Agung Sekarmukti. Uniknya upacara ini adalah , pada saat upacara Ngendar ini tidak diperbolehkan orang dewasa ikut melakukannya kecuali Daha dan Teruna, karena jika ada orang dewasa yang ikut maka akan terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Adapun sejarah keberadaan Upacara Ngendar yang di tuturkan kakek saya sebagai berikut: Pada suatu hari terdengarlah suara seorang yang sedang menyanyikan kidung-kidung suci dengan suara yang indah. Diperkirakan pusat suara nyanyian yang merdu tersebut berasal dari salah satu pelinggih/gedong di area pura Puseh Pingityang dinyanyikan oleh seorang wanita. Suara nyanyian tersebut sempat terdengar oleh seorang pemuda. Dan akhirnya si pemuda tersebut merasakan ada sesuatu yang membuat hatinya tertarik untuk berjalan mendekati sumber suara dengan magsud untuk mengetahui siapa gerangan gadis yang sedang bernyanyi dengan merdunya. Dalam angan pemuda itu terbayang bahwa gadis pemilik suara indah tersebut berparas cantik dengan keindahan-keindahan fisik lainnya hingga berdebar-debarlah hati si pemuda itu. Karena tidak dapat menahan perasaannya, sang pemuda pun berkata “Aduh merdunya suara nyanyian tersebut! Siapakah gerangan gadis yang menyanyikan lagu itu? Terasa sungguh berdebar jantungku mendengarnya. Andaikan engkau mau menampakan diri kepadaku bagaimanapun rupa orang itu aku akan berkehendak untuk mengambil dirimu sebagai istriku untuk sehidup semati”. Rupanya wanita yang sedang bernyanyi itu mendengar perkataan yang diucapkan oleh pemuda tersebut. Kemudia keluarlah wanita itu dari pelinggih untuk menampakan dirinya kepada si pemuda. Namun setelah pemuda tersebut melihat wanita yang hendak dijadikan istri menjadi kaget karena ternyata yang keluar itu sangat jauh daripada bayangannya. Wanita itu adalah seorang yang usianya sudah agak tua yang memiliki gondok yang sangat besar pada lehernya. Demikian melihat wanita dihadapannya tanpa berkata apa-apa lagi pemuda itu pun lalu pergi meninggalka wanita itu sendiri dan lupa dengan kata-kata yang telah diucapkannya. Dan sejak itu wanita pelantun kidung suci tersebut berjanji tidak akan bersuami atau menikah sampai kapanpun karena merasa dikecewakan. Untuk melupakan kekecewaan dan rasa sakit hatinya ia bersumpah untuk lebih banyak bergaul dengan anak-anak kecil dan mengajarkan cara-cara membuat banten untuk upacara dan jenis-jenis upakara yang diperlukan dalam kegiatan upacara serta mengajarkan pula cara memasak (tahap awal) yang paling sederhana yaitu memasak bubur/endar dan memasak dari bahan tumbuh-tumbuhan lainnya yang selanjutnya dipersembahkan pada piodalan di Pura Penataran Agung. Semenjak itulah masyarakat banjar Sekarmukti selalu mempersembahkan banten endar sesuai dengan petunjuk yang disampaikan oleh wanita yang keluar dari pelinggih/gedong pura Puseh Pingit. Upacara ngendar adalah suatu rentetan upacara yang dilaksanakan pada setiap piodalan di Pura Penataran Agung (tepatnya di pura Puseh Pingit) di banjar Sekarmukti, desa Pangsan ,kecamatan Petang. Yang jatuhnya pada hari Buda Umanis wuku julungwangi atau 15 hari sebelum galungan. Upacara ini dilakukan oleh sekelompok anak yang belum menstruasi yang dinamakan “Juru Endar” yang dibantu oleh saya Daha dan Teruna. Saya Daha dan Teruna adalah suatu organisasi kepemudaan dimana anggota dari organisasi ini adalah para pemuda dan pemudi dari banjar Sekarmukti yang belum menikah. Organisasi ini harus selalu berperan aktif dalam segala keagamaan atau upacara yadnya yang diselenggarakan oleh banjar Sekarmukti termasuk dalam upacara Ngendar. Adapun tugasnya adalah untuk membantu juru endar dalam mempersiapkan sarana yang diperlukan dalam pelaksanaan Ngendar dan hal-hal lain yang sekiranya ada yang tidak dapat dikerjakan oleh juru endar. Menurut salah satu nara sumber yang saya datangi disebutkan bahwa upacara ini sangat unik dan sakral dimana pada saat ngendar /ngerateng (memasak) tidak ada orang dewasa yang boleh melihat ke pura puseh pingit itu yang letaknya di sebelah utara luwur Pura Penataran Agung. Karena menyebabkan apa yang dimasak semua bisa gosong. Bahkan pemangku sekalipun tidak boleh melihatnya. “Upacara ngendar ini hanya terdapat dan dilaksanakan oleh masyarakat di banjar Sekarmukti”. Ungkap Jero Mangku Nataran yang bernama lengkap I Made Kintil tersebut. Menurut Jero Mangku Nataran bahwa upacara Ngendar dimulai sehari sebelum piodalan sekitar pukul 08:00 pagi yang diawali dengan membuat sarana atau jejaitan untuk perlengkapan upacara itu, seperti canang, taledan, kojong gadungan dan masih banyak lagi. Setelah jejaitanitu selesai, dilanjutkan dengan mempersiapkan alat-alat ngendar seperti beras, ketan, ayam dan lain sebagainya. Ketika semua sarana telah siap, hari pun telah gelap dan para juru endar dipersilahkan istirahat sebelum upacara ngendar dilakukan. Sekitar pukul 02:00 pagi para juru endar dibangunkan, dan siap melakukan upacara ngendar. Diawali dengan memasak nasi, dilanjutkan dengan memasak bubur hingga lauk pauk yang akan mengisi bubur dan nasi itu. Disinilah upacara ini terbilang sakral. Karena pada proses pemasakan ini tak boleh ada satu orang dewasapun yang boleh melihat upacara tersebut. Jika hal itu dilanggar maka semua masakan akan menjadi gosong. Setelah semua masakan terselesaikan dilanjutkan dengan menata ( mentanding) masakan yang sudah jadi itu. Ketika masakan sudah tertata dengan rapi maka selesailah upacara ngendar tersebut.    

 ( Sumber Informan  ;  1. Kakek Saya ” I Wayan Mareg ”  )