isi denpasar

Juli 1, 2011

Gong Gede

Filed under: Tak Berkategori —— bagusrismawan @ 12:49 pm
Gong Gede juga termasuk barungan ageng namun langka, karena hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan Gong Gede yang terlihat memakai sedikitnya 30 (tigapuluh) macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40 (empatpuluh) – 50 (limapuluh) orang pemain. Gamelan yang bersuara agung ini dipakai untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang cenderung formal namun tetap dinamis, dimainkan untuk mengiringi upacara-upacara besar di Pura-pura (Dewa Yadnya), termasuk mengiringi tari upacara seperti Baris, Topeng, Rejang, Pendet dan lain-lain. 

 

Beberapa upacara besar yang dilaksanakan oleh kalangan warga puri keturunan raja-raja zaman dahulu juga diiringi dengan gamelan Gong Gede. Akhir-akhir ini Gamelan Gong Gede juga ditampilkan sebagai pengiring upacara formal tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan untuk mengiringi Sendratari. 

 

Gong Gede berlaras Pelog lima nada, dengan patutan atau patet tembang, dengan instrumentasi yang meliputi (sesuai yang ada di Kintamani dan STSI Denpasar):
Jumlah
Satuan
Instrumen
1
tungguh
trompong barangan (lebih kecil daripada trompong gede)
1
buah
reong dengan 12 pencon
4
buah
gangsa jongkok besar (demung)
4
buah
gangsa jongkok pemade
4
buah
gangsa jongkok kantilan
4
buah
penyacah
4
buah
calung
4
buah
jegogan
1
pangkon
kempyung (dua buah pencon)
1
buah
kempli
2
buah
gong ageng (lanang wadon)
1
buah
kempur
1
buah
bende
2
buah
kendang (lanang wadon)
4-6
pasang
cengceng kopyak
2
buah
kendang
1
buah
gentorag
Sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring upacara agama di pura-pura, pengiring tari-tarian upacara dan pengiring upacara istana, Gong Gede memiliki sejumlah tabuh-tabuh pategak dan iringan tari. Tabuh-tabuh pategak yang dimainkan meliputi:
Judul
Semaradana
Jagul
Segara Madu
Lasem
Bandasura
dan lain-lain
Sekar Gong Gede yang hingga kini masih aktif terdapat di desa Batur, Susut, Sulahan (Bangli), Puri Pemecutan (Denpasar), Tampaksiring dan Puri Agung Gianyar (Gianyar), baik SMKI (sekarang SMKN 3 Sukawati) dan STSI Denpasar, masing-masing juga memiliki satu barung Gong Gede.

Tentang Saya…..

Filed under: Tak Berkategori —— bagusrismawan @ 12:43 pm
Nama : I Gusti Bagus Rismawan
Jurusan : Seni Pertunjukan Karawitan
Tempat tanggal lahir : Singapadu, 25 February 1988
Alamat : Br. Kebon Singapadu ,Sukawati
Tinggi Badan : 169 cm
Berat Badan : 79 kg
Agama : Hindu
Umur : 23
Hobbby : Megambel, Metajen, Melawak
Cita-cita : Menjadi Seniman yang profesional
Makanan Favorit : Bakso, Nasi Goreng dan Lawar Bali
Minuman Favorit : Es campur, Jus Alpukat dan Air Putih
Warna Favorit : Hitam, Coklat, dan Merah
Musik Favorit : Gamelan Bali
Buku Favorit : Cerita dan Legenda Rakyat Bali Pada Jaman Dahulu
Film Favorit : Opera Van Java dan Infotaiment seputar selebriti
Motto Hidup : Mau belajar dari kesalahan yang pernah di lakukan

Tentang Banjar Saya,,,

Filed under: Tak Berkategori —— bagusrismawan @ 12:41 pm

Di tengah pergeseran moralitas manusia yang semakin egois mengutamakan kepentingan pribadi, masyarakat di Bali masih eksis mempertahankan tradisi musyawah mufakat. Sistem masyarakat di Bali sangat kental dengan keterikatan kekerabatan, sehingga terwujud suatu ketergantungan satu sama lain.

Sistem banjar menjadi suatu pilihan masyarakat untuk menghimpun diri mereka dalam satu wilayah dalam bentuk kesatuan lingkungan. Batas teritorial banjar merupakan satuan pengikat warga dan diatur dalam awig-awig (peraturan banjar). Organisasi terkecil dalam pengaturan administratif desa ini, benar-benar mempunyai fungsi yang besar dalam memberdayakan potensi masyarakat.
Dalam menjalankan fungsinya, bangunan pendukung yang dikenal dengan ‘Bale Banjar’ menjadi pusat kegiatan. Pada mulanya bale banjar mempunyai fungsi sebagai tempat bermusyarawah bagi anggota banjar. Karena musyawarah tidak dilakukan setiap saat, maka bale banjar digunakan untuk menampung seluruh kegiatan anggota banjar. Sebagai contoh, pada pagi hari bale banjar menjadi pasar pagi dan taman kanak-kanak. Siang hari sebagai tempat kerja pengrajin, sore hari sebagai tempat olah raga dan malam hari sebagai tempat latihan kesenian. Disamping itu, anggota banjar dapat memanfaatkan bale banjar sebagai tempat resepsi bila mempunyai kegiatan adat atau keagamaan.
Peraturan banjar yang dituang dalam ‘awig-awig’ mengatur anggota banjar dalam menjalani kehidupan sosial dalam sebuah banjar. Awig-awig ini mempunyai suatu keunikan yaitu mampu mengikat warganya untuk patuh sehingga tatanan masyarakat dapat stabil. Sebagai contoh, bila ada kematian, begitu kentongan dibunyikan, warga pasti sudah berduyun-duyun ke rumah keluarga yang berduka. Walaupun ada warga yang belum mendengar keluarga mana yang berduka, mereka pasti sudah keluar rumah berpakaian adat ringan sambil bertanya keluarga mana yang berduka.
Sistem banjar telah terbukti mampu melestarikan adat dan budaya Bali dari derasnya pengaruh globalisasi. Seberapa pintar atau tinggi jabatan seorang warga dalam karirnya, dia juga dikenakan kewajiban yang sama sesuai awig-awig yang berlaku. Begitu pula bagi warga yang mempunyai predikat negatif di tengah masyarakat, dia juga mempunyai kewajiban yang sama. Asalkan seorang warga masih terikat menjadi anggota dari banjar tersebut, warga tersebut akan mendapat perhatian sepenuhnya dari warga yang lainnya. Saling memperhatikan dan mendukung satu sama lain khususnya dalam menjalankan adat istiadat di Bali menjadi ciri khas dari sistem banjar.
Dalam pergeseran moralitas jaman modern sekarang ini, banjar sering disalahgunakan untuk hal-hal negatif oleh warga yang tidak bertanggungjawab. Seperti tawuran pemuda antar banjar, sengketa kuburan, pemblokiran jalan desa, dll. Namun yang unik dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut, yaitu kasus tersebut cepat sekali dicairkan oleh tokoh-tokoh banjar dengan musyawarah mufakat.
Walau kehidupan perkotaan begitu komplek, sampai saat ini, sistem banjar tetap eksis dalam menjaga tatanan masyarakat di Bali
Bale Banjar saya, yaitu Banjar Kebon terletak di tengah-tengah pedesaan yang sangat asri, dan terkenal akan warga pakramannya yang ramah. Selain itu bale banjra kami juga mempunyai seka gong yang sering mendapat undangan untuk pentas di beberapa event-event yang ada di Bali. Contohnya pada saat PKB beberapa waktu ini, Banjar kami mendapat undangan untuk pentas.

Tradisi upacara makotekan

Filed under: Tak Berkategori —— bagusrismawan @ 12:36 pm

TRADISI UPACARA MAKOTEK BAGI MASYARAKAT HINDU

DI DESA MUNGGU KECAMATAN MENGWI

KABUPATEN BADUNG

Istilah makotek muncul karena terjadinya parade senjata yang diselingi perang-perangan dengan tongkat yang dipukul atau dikotekkan kepada tongkat yang lain, sehingga menimbulkan suara yang berbunyi tek, tek, tek … yang ramai. Dari suara tersebut serta cara memukulkannya dengan “ngotek” maka timbullah istilah makotek.

Upacara makotek dianggap suatu upacara yang paling pokok dalam pencapaian keselamatan. Adapun tradisi makotek itu, pada dasarnya merupakan upacara Dewa Yadnya yaitu pemujaan dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan dipusatkan pada pura kahyangan tiga. Pura kahyangan tiga merupakan tempat penyimpanan senjata atau alat-alat yang akan diarak dalam upacara makotek dengan mengelilingi Desa. Alat-alat yang diarak dalam parade tersebut meliputi tombak, keris, umbul-umbul, tedung (payung), kukul, tamyang kulen (perisai) disertai dengan gambelan yang diikuti oleh segenap masyarakat Munggu. Upacara makotek biasanya dilaksanakan setiap enam bulan sekali, warga desa merasa wajib ikut serta dalam upacara tersebut tanpa terkecuali karena halangan kematian (sepung). Sehingga upacara makotek membudaya dan berkembang terus sejalan dengan perkembangan kepercayaan masyarakat Desa Munggu dan menghadapi keselamatan.

Tradisi makotek yang telah mendarah daging serta melembaga dikalangan masyarakat Munggu mengalami perubahan istilah dari kata Ngerebeg dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan makotek. Istilah ini muncul karena dalam pelaksanaan tradisi makotek terutama pada saat  diadakan parede senjata yang diselingi dengan perang-perangan terjadi tongkat yang satu dipukulkan atau dikotekkan kepada tongkat yang lain sehingga menimbulkan suara yang berbunyi tek, tek, tek… yang sangat ramai serta cara memukulnya dengan ngotek maka timbullah istilah makotek.

Melalui tradisi makotek dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pelaksanaannya menunjukkan betapa besarnya kekuasaan dan kewibawaan Raja dalam menggerakkan kekuatan massa, sebagai suatu alat memelihara rasa persatuan dan rasa tanggung jawab rakyat terhadap keselamatan Raja serta sejauh mana kesetiaan rakyat terhadap Raja dan kerajaan. Tradisi makotek kalau ditinjau dari kata kaca mata masa kini adalah sebagai suatu alat untuk menolak penyakit atau hama demi kesejahteraan Desa, serta sebagai alat pengukur sejauh mana membudayakan tradisi-tradisi yang diwarisinya untuk dapat mengembangkannya demi pembangunan dan pariwisata.

Tradisi makotek merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih terus dilestarikan dalam masyarakat Munggu, yang masyarakatnya secara melembaga melaksanakan tradisi makotek tersebut. Masyarakat Munggulah sebagai penerus dan pewaris kebudayaan leluhur yang hampir terlupakan. Tradisi makotek dilakukan dengan hikmah dan penuh keyakinan, setiap enam bulan sekali atau 210 hari tepatnya pada hari raya Kuningan.

 

Halo dunia!

Filed under: Tak Berkategori —— bagusrismawan @ 3:34 am

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!

Powered by WordPress WPMU Theme pack by WPMU-DEV.