ergonomi dengan pendekatan menyeluruh

Lainnya No Comments »

Ergonomi Menyeluruh dari Awal Sampai Kini

Artayasa

[email protected]

Lahirnya Ergonomi di Indonesia

Kata Ergonomi di tingkat nasional mulai diperkenalkan sejak tahun 1969 melalui suatu pertemuan ilmiah dengan tema ”Kesehatan dan Produktivitas” dalam suatu judul makalah ”Approach Ergonomi dalam rangka Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan” (Manuaba, 1987). Pada tahun ini juga untuk pertama kalinya di dalam dunia pendidikan ergonomi diberikan sebagai suatu mata kuliah. Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ergonomi disinggung dalam kaitan dengan mata kuliah ilmu faal, untuk kemudian ditempatkan dalam mata kuliah kesehatan masyarakat, yang diikuti oleh Fakultas Teknik Unud 1971, Peternakan 1972, Asmi 1981 dan desain Interior 1983. Bersamaan dengan itu, lahir Lembaga daerah Hiperkes Bali-Nusra bersama-sama Bagian Ilmu faal FK Unud berkembang menjadi Pusat Ergonomi di kawasan Asia Tenggara, dengan makalah-makalahnya yang disampaikan ke dunia Internasional. Dan juga kursus ergonomi tingkat Nasional dan tingkat daerah dimulai pada tahun ini juga.

Pada tahun 1970, kegiatan yang berkaitan dengan masalah ergonomi semakin meningkat ditandai dengan adanya ceramah, kursus, seminar dan penelitian-penelitian. Penelitian tentang Pacul di perdengarkan di forum internasional di Jepang, penelitian yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan. Berikutnya penggarapan di sektor industri kecil mulai digalakan, seperti industri pembuat genteng di pejaten Tabanan Bali. Pada Tahun 1973 makalah penelitian disampaikan melalui forum ilmiah seperti seminar gabungan IAIFI-Puskes ABRI, konperensi Nasional Anatomi ke-3, dan 7th Asian Conference on Occupational Helth di Jakarta (Manubaba, 1987). Sampai dengan tahun 1978, hasil-hasil penelitian ergonomi terus diinformasikan di tingkat nasional maupun internasional, seperti pertemuan-pertemuan ilmiah Man and His Environment tahun 1974, Kongres Ikatan Hiperkes Indonesia ke-2 di Surabaya tahun 1975,  kongres ke-3 IAIFI di semarang tahun 1976, Simposium Efisiensi Jam Kerja dan Waktu Kerja di Bali tahun 1976, dan juga banyak pertemuan lainnya. Penyebaran konsep dan prinsip ergonomi dimulai pada tahun ini juga, sehingga sampai dengan tahun 1986 pada TVRI Sto. Denpasar tidak kuarang dari 100 topik ergonomi telah disiarkan. Pada tahun 1978 terbit buku ”Pembangunan Bali sampai tahun 2000” di mana di dalam buku tersebut dengan jelas disebutkan ergonomi sebgai salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan demi berhasilnya pembangunan untuk daerah Bali. Pada tahun ini juga telah dikukuhkan Guru Besar Ilmu Faal KF Unud yaitu I B A Manuaba, yang pada pidato pengukuhan Guru Besar menekankan penting prinsip ergonomi sebagai bagian integral dari pembangunan dan mutlak diperlukan dalam perencanaan. Dengan pengukuhan I B A Manuaba ini, menjadi tokoh dan akan penguatan perkembangan ergonomi di Bali, Indonesia, Asia dan Dunia.

Pengertian Ergonomi

Ergonomi berasal dari dua kata Yunani yaitu ”Ergon” dan ”nomos” yang berarti kerja dan aturan. Ergonomi adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek yang digunakan serta kondisi lingkungan. Ergonomi juga mempelajari penyesuaian antara desain peralatan dan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia (Mechanical Engineering/Institute of Production Engineering Work Science/ Ergonomics, 2005). Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan alat-alat, cara kerja dan lingkungan, pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia, sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya  (Manuaba, 1998).

Tujuan Ergonomi

Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner, mengintegrasikan berbagai elemen keilmuan, seperti misalnya fisiologi, anatomi, kesehatan, teknologi, desain dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tujuan ergonomi adalah (Manuaba, 1998) (a) meningkatkan kesejahtetaan fisik dan mental; (b) meningkatkan kesejahteraan sosial; (c) keseimbangan rasional antara sistim manusia atau manusia-mesin dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi, budaya. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh satu aspek saja, ke tiga hal tersebut harus diintegrasikan secara menyeluruh. Untuk mengimplementasikan tujuan yang ingin dicapai perlu berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia. Dengan tujuan yang ideal adalah mengatur pekerjaan tersebut berada dalam batas-batas di mana manusia bisa mentolerirnya, tanpa menimbulkan kelainan (Manuaba, 1998). Di sisi lain perlu pula diperhatikan aspek task, organisasi dan lingkungan, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap tubuh. Akibat pengaruh dari ketiga aspek tersebut, dari masing-masing aspek atau secara bersamaan dapat menimbulkan beban tambahan di luar beban dari pekerjaan yang sesungguhnya. The Joy Institute (1998) mengungkapkan tujuan akhir dari ergonomi adalah meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan kualitas hidup. Chavalitsakulchai dan Shahnavaz (1993) mengemukakan bahwa, ergonomi dapat menurunkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan ergonomi antara lain pekerjaan lebih cepat selesai; resiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang; rasa sakit berkurang atau tidak ada. Ergonomi juga diperlukan karena  adanya berbagai dampak pembangunan seperti adanya kecelakaan; adanya penyakit akibat kerja; adanya polusi; adanya ketidak puasan kerja, dan banjir dan bencana lainnya. Ergonomi dikatakan sebagai management itu sendiri, karena keberhasilan ergonomi, jika dimanfaatkan sejak perencanaan dan memperhatikan bagaimana memilih dan mengalihkan teknologi, menyusun organisasi kerja yang tepat sehingga pada akhirnya akan terjadi hubungan dan kepuasan kerja yang baik. Lebih jauh Manuaba (2001) mengungkapkan dari aspek definisi, ergonomi dan Total Quality Management (TQM) punya tujuan yang sama yaitu berorientasi kepada dipenuhinya keinginan atau kebutuhan para pelanggan. Dalam rangka kompetisi globalisasi, setiap produk yang dihasilkan hendaknya benar-benar harus kompetitif, dengan kata lain harus memiliki nilai tambah. Serta produk yang sudah diproses melalui pendekatan ergonomi akan memiliki berbagai kelebihan, misalnya lebih aman dioperasikan, lebih nyaman digunakan, lebih sehat karena tidak memiliki sumber penyakit, lebih produktif, karena tidak cepat menimbulkan kelelahan. Walaupun tujuannya sudah jelas terkadang ergonomi masih diragukan dalam operasionalnya, yang disebabkan oleh karena tidak adanya pencatatan yang baik serta tidak proaktifnya mempresentasikan keberhasilan yang telah dicapai (Hendrick, 1997). Grob dan Dong (2006) melaporkan sebagian besar penelitian yang mengungkapkan ekonomi di dalam ergonomi hanya mengungkapkan intervensi ergonomi hanya menguntungkan dalam meningkatkan keselamatan dan produktivitas atau keduannya, dan tidak melaksanakan pencatatan lain dari intervensi ergonomi yang dilaksanakan. Ada delapan aspek yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah dalam ergonomi yaitu nutrisi, pemanfaatan tenaga otot, sikap kerja, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi sosial, kondisi informasi, interaksi manusia mesin (Manuaba, 2003).

Teknologi Tepat Guna

Teknologi Tepat Guna (TTG)    terdiri dari kata Teknologi dan Tepat Guna. Teknologi diartikan sebagai segala usaha, cara, teknik, alat atau hasil budi daya manusia pada umumnya untuk memeperoleh cara dan hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. Tepat Guna artinya adalah tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan. Sehingga TTG adalah hasil budi daya manusia yang tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan (Manuaba, 1983). Agar hasil budi daya manusia mampu tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan, maka harus dianalisis dari aspek-aspek:  Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Secara ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya;Tidak merusak lingkungan, danHemat energi.

Pada tahun 1977, ketika tokoh ergonomi Prof. Adnyana Manuaba bertugas di ILO Geneve, pendekatan Tekonologi Tepat Guna telah mulai di tumbuh kembangkan (Manuaba, 2004) dan pengungkapan dalam suatu seminar ”The Phillippine PIAC Seminar” lebih mengukuhkan istilah Teknologi Tepat Guna dalam rangka memilih dan alih teknologi (Manuaba, 1977). Di era tahun 80 GBHN telah memuat tentang Teknologi Tepat Guna yang antara lain dirumuskan dengan ”Di dalam pemanfaatan ilmu dan teknologi, hendaknya berorientasi pada Teknologi Tepat Guna, lebih bersifat padat karya, tidak merusak lingkungan hidup dan hemat akan penggunaan sumber energi (Manuaba, 1983). Pada Tahun 1980 Balai Higene Perusahan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali, mengadakan Lokakarya dengan tema Integrasi Ergonomi/Hiperkes dalam Pembangunan pada saat itu telah diungkapkan dalam rangka pemilihan teknologi harus dikaji secara Teknologi tepat Guna yang terdiri dari aspek-aspek: Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Dilihat dari aspek ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya, dalam hal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang ada dan tidak menyebabkan problem sosial; Di samping itu teknologi baru tersebut jangan sampai merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber alam.

Pada saat ini TTG hanya diperkenalkan dengan empat aspek sedangkan dua aspek lain sebagai persyaratan pelengkap saja. Demikian pula pada tahun 1982 diadakan kursus ”Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan”, Teknologi Tepat Guna diungkapkan dengan empat aspek dan dua tambahan yang lain.

Di dalam melaksanakan TTG tersebut agar berasil, berkelanjutan dan lestari harus pula dikaji dengan pendekatan holistik, sistemik dan interdisipliner. Pada akhir-akhir ini tiga komponen sebagai persyaratan pelaksanaan TTG agar berhasil, telah ditambahkan satu kata lagi yaitu partisipasi. TTG ini dikenal juga sebagai suatu pendekatan ergonomi holistik, yang aspek-aspeknya sama dengan kriteria Teknologi Tepat Guna dalam menangani suatu masalah atau dalam rangka alih dan pilih teknologi (Manuaba, 2003).

Penjelasan dari komponen pendekatan TTG atau ergonomi holistik tersebut adalah sebagai berikut; Secara teknis harus bisa dipertanggung-jawabkan, artinya bahwa teknik yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, sesuai dengan standard, bahan yang biasa dipakai, komponen yang biasa dipergunakan, metode pembuatan, masukan para spesialis, mudah dirawat,  mudah didaur ulang, interface dengan lingkungan dan siklus hidup yang optimal. Secara ekonomis harus dikaji melalui pendekatan holistik, sehingga keputusan akhir sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada. Faktor yang diperhitungkan harus ada kaitannya dengan pasar, finansial, pengeluaran, waktu, keuntungan bagi stakeholder, kompetitis, besarnya atau tipe pasar, trend masa depan, kebijakan pelayanan, dan perhitungan akan beban dan penyimpangan. Secara ergonomis prinsip-prinsipnya harus bisa bulit-in masuk di dalam proses desain atau perencanaan, seperti memenuhi kebutuhan pengguna dan bukan pengguna, profil, prilaku, kenyamanan, kemudahan, tuntutan fisik dan mental, intruksi, umpan balik, kepuasan pengguna, pemeliharaan dan keamanan produk, produk dan pengguna serasi.Secara sosiokultural teknologi yang diterapkan harus dapat meliputi norma, nilai, kebiasaan, keinginan, impian, agama, kepercayaan, kebutuhan pemakai, taboo, estetika, fashion, gaya serta kualitas dari produk harus menjadi pertimbangan.Hemat akan energi berarti bahwa produk yang dihasilkan harus mempunyai kontribusi yang bermakna terhadap prinsip pembangunan yang berlanjut dan tidak justru menghancurkan keberadaannya.Tidak merusak lingkungan artinya agar produk tidak memberikan sesuatu kepada lingkungan, seperti kantong plastik, polusi ke segala sasaran seperti lahan, sungai, air dan udara, setiap keluaran dari produk agar tidak menyebabkan polusi sebagai polutan.

SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipasi)

Penerapan ergonomi di segala sektor selalu mengikuti perkembangan jaman, ketika jaman globalisasi, maka partisipasi pemakai produk ergonomi, yang dalam hal ini biasanya tenaga kerja, di dalam setiap keputusan mutlak harus didengarkan. Pendekatan semacam ini dikenal dengan sebutan pendekatan ergonomi partisipasi, pendekatan ini akan lebih berhasil jika dilakukan dengan cara bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary) (Manuaba, 1999).

Dalam suatu kesimpulan makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional Ergonomi di Surabaya tahun 1999, oleh pakar ergonomi Manuaba, pendekatan dalam ergonomi yang mengandung unsur: bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary) serta partisipasi dikemas dalam suatu bentuk yang disebut dengan sebutan SHIP.

Pada tahun ini juga pada suatu pertemuan International antara pengusaha, akademisi dan pemerintah di Manila konsep ini telah diterima secara aklamasi sebagai suatu konsep dalam ergonomi untuk melengkapi konsep-konsep yang telah ada sebalumnya.

Pengujian konsep ini telah dilaksanakan untuk pertama kali di dalam suatu workshop ”Pembangunan Berlanjut Bali” dengan hasil yang sangat memuaskan (Manuaba, 2004).  Unsur-unsur SHIP ini terdiri dari: sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi, penjelasan unsur-unsur adalah sebagai berikut:

Sistemik diartikan sebagai pendekatan bersistem, di mana semua usaha perbaikan atau pemecahan masalah yang ada akan mempengaruhi pekerja, pekerjaan, tempat, waktu pelaksanaan pekerjaan serta akan mempengaruhi sektor pembiayaan. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan harus diperhitungkan dengan seksama. Hal ini dapat diupayakan dengan cara mempertimbangkan prisip-prinsip ergonomi, dalam penggalian, proses, pemecahan, serta dalam pelaksanaan dari pemecahan masalah yang ada.

Holistik adalah intervensi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah harus dikaji lagi dari beberapa sistem yang punya hubungan signifikan dan relevan.  Di mana intervensi yang dilakukan harus dipertimbangkan secara teknis, ekonomis, ergonomis dan sosiobudaya bisa dipertanggungjawabkan, hemat energi dan tidak merusak lingkungan, serta intervensi yang diterapkan tidak sampai menimbulkan masalah baru setelah program dilaksanakan.

Interdisipliner berarti dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh para pekerja memanfaatkan secara maksimal analisis dari disiplin yang terkait. Dalam penelitian ini akan dibentuk tim kerja yang terdiri dari: pekerja sebagai pemakai teknologi yang akan digunakan; ergonom, desainer serta disiplin lain yang terkait dengan permasalahan yang ada. Tugas dari tim kerja adalah menggali permasalahan yang ada, merencankan, melaksanakan, mengevaluasi serta melaksanakan hasil evaluasi yang dihasilkan.

Partisipasi artinya keterlibatan setiap individu atau tim, diharapkan tidak hanya fisik saja tetapi juga pikiran dan perasaan. Sehingga akan didapatkan suatu hasil pemecahan masalah yang optimal, sistem kerja dan produk yang manusiawi, berkualitas, kompetitif dan lestari sesuai dengan keinginan semua pihak. Pekerja dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah serta mendiskusikan waktu, jenis, cara terbaik dalam penerapan, jumlah serta biaya intervensi yang dilaksanakan.

Nagamachi (1993) mengungkapkan ergonomi partisipasi adalah  pekerja berpartisipasi aktif dengan semua pihak termasuk  manajer untuk menerapkan prinsip-prinsip dan pengetahuan ergonomi di tempat kerja untuk meningkatkan kondisi kerja. Michele (2006) menjelaskan ergonomi partisipasi adalah keterlibatan pengguna dan penyelenggara dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan. Ergonomi partisipasi merupakan salah satu dari komponen pendekatan ergonomi makro yang mampu meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (Imada, 1993).

Menurut Manuaba (1999; 2000) ergonomi partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi setiap orang dari suatu kelompok yang mendorong mereka untuk berkontribusi dan bertanggung-jawab untuk mencapai tujuan bersama. Ada tiga ide penting dalam hal ini yaitu: keterlibatan (involvement), kontribusi (contribution) dan tanggung jawab (resposibility).

Menurut Well (2002) ergonomi partisipasi adalah suatu proses dan sistem yang melibatkan semua pihak dalam perencanaan dan kontrol dengan seluruh kemampuan kerja, dan pengetahuan untuk meningkatkan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai memiliki beberapa keuntungan yaitu: meningkatkan efektivitas, gampang dalam penerapan, meningkatkan komunikasi antar pekerja, menurunkan resiko faktor psikis.

Sedangkan menurut pemahaman total quality mangement yang dimaksud dengan partisipasi total adalah mengusahakan partisipasi total dari seluruh pimpinan puncak, staf dan karyawan pada semua tingkat hirarki perusahaan dan seluruh kemampuan dari setiap karyawan perusahaan harus dimanfaatkan secara optimal apabila menghendaki perbaikan terus menerus untuk memenuhi kepuasan konsumen (Ibrahim,1997).

Oleh karena itu, partisipasi dari semua pihak sangat menentukan dalam pemecahan masalah, serta pembentukan tim untuk mendukung pelaksanaannya sangat diperlukan. Jika dipandang dari sudut manajemen mutu terpadu tugas tim ini adalah membuat rencana (plan), mengerjakan atau melaksanakan (do), mengevaluasi (check), serta menindaklanjuti hasil dari evaluasi yang dilaksanakan (act) (Ibrahim,1997).

Sehingga jika dikombinasikan dengan bagan dari Louis (1993), tentang tugas tim memecahkan masalah dengan pendekatan ergonomi partisipasi, diharapkan masalah yang ada dapat dipecahkan dengan baik.

Ergonomi Total

Dari tahun 1977, dalam ergonomi telah diperkenalkan konsep Teknologi Tetap Guna dalam memilih dan alih teknologi. Dalam perjalanan waktu konsep tersebut dalam penerapannya mendapatkan hambatan-hambatan, sehingga masih terdapat kecelakaan, penyakit akibat dari pekerjaan yang dilaksanakan. Oleh karenanya itu dipandang perlu untuk mengkaji lebih mendalam agar konsep tersebut dapat diterapkan dengan berhasil, berkesinambungan, aman, lestari dan dipertanggung-jawabkan. Sehingga konsep TTG tersebut dalam penerapannya harus dikaji lagi dengan sistemik, holistik, ineterdisipliner dan partisipasi. Konsep tambahan ini telah diperkenalkan sejak tahun 1999, yang dikenal denga istilah SHIP.

Penggabungan kedua konsep ini oleh konseptor yaitu Prof. Adnyana Manuaba, kemudian disebutkan dengan istilah Pendekatan Ergonomi Total. Dan konsep ini telah memiliki aspek legal dengan masuknya di dalam GBHN era tahun 80 dan kemudian dalam GBHN 1999-2000 atau TAP MPR RI No. 4/1999, khususnya sektor pariwisata dan budaya, yang jiwanya dapat diterapkan di semua sektor pembangunan (Manuaba, 2004). Aspek Ergonomi Total ini terdiri dari 6 kriteria dari Teknologi Tepat Guna yaitu: Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya, Secara ekonomis memang menguntungkan, Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan, Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya, Tidak merusak lingkungan, dan Hemat energi. Serta empat dari aspek SHIP yaitu: sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi. Pendekatan inilah yang dikembangkan sampai saat ini, agar pembanguna berhasil, berkesinambungan, aman, lestari dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Konsep ini telah diterapkan melalui lebih dari 29 lokakarya dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia, yang terkait dengan pembangunan. Dalam dunia pendidikan dan penelitian telah pula diperkenalkan melalui mahasiswa pascasarjana Ergonomi, di mana para mahasiswa dilatih selama pendidikan untuk bisa melihat, menganalisis, membuat kebijakan dan mengambil keputusan secara ergonomi total. Demikian pula dalam tesis dan disertasi para mahasiswa terlihat dengan jelas bagaimana pendekatan Ergonomi Total ini benar-benar diusahakan implementasinya.

Dalam dunia pengabdian pada masyarakat telah pula diperkenalkan dan disosialisasikan di dalam setiap aktivitas yang melibatkan stakeholder, demikian pula melalui artikel dalam surat kabar, ataupun dalam kesempatan sebagai pembahas atau pembawa makalah di berbagai seminar.

Daftar Pustaka

Chavalitsakulchai, P. dan H. Shahnavaz 1993. Ergonomics method for prevention of the muskuloskeletal discomfort among female industrial workers: Physical  characteristics and work factor. Journal of Human Ergology, 22: 95-113.

Grob, H and Dong, X. 2006. Ergonomics and the Economic Payoff in the Construction Sector. [cited 2006 February 02]. Available at: URL: http://www.ergoweb.com/news/SubscribeNewsletter.cfm

Hendrick, H.W.1997. Good Ergonomics is good Economics. Proceeding Asean Ergonomics 97. 5th SEAES Conference. Ed. Halimahtun M. Khalid. Kuala Lumpur: IEA Press.

Hendrick, H.W.1997. Good Ergonomics is good Economics. Proceeding Asean Ergonomics 97. 5th SEAES Conference. Ed. Halimahtun M. Khalid. Kuala Lumpur: IEA Press.

Manuaba,  A. 1977. Choice of Technology and Working Conditions in Rural  Area. The Philippine PIAC Seminar. Manila.

Manuaba, A. 1983. Ergonomi/Hiperkes dan Produktivitas. Kumpulan Naskah Ceramah Kursus Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan. Denpasar: Balai Higene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali. Dirjen Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Manuaba, A. 1983. Teknologi Tepat Guna. Kumpulan Naskah Ceramah Kursus Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan. Denpasar: Balai Higene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali. Dirjen Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Manuaba, A. 1987. Menggali Potensi Ergonomi untuk Pembangunan. Proceedings Pertemuan Nasional Ergonomi. Bandung: Gedung Laboratorium Teknik III, ITB. 9-10 Oktober.

Manuaba,  A. 1999. Penerapan Pendekatan Ergonomi Partisipasi dalam Meningkatkan Kinerja Industri. ”Makalah’ Disampaikan dalam Seminar Nasional Ergonomi Reevaluasi Penerapan Ergonomi dalam Meningkatkan Kinerja industri. Surabaya: 23 November 1999.

Manuaba, A. 1998. Bunga Rampai Ergonomi: Vol I. Program Pascasarjana Ergonomi-Fisiologi Kerja Universitas Udayana, Denpasar.

Manuaba, A. 2001. Persamaan Tujuan Ergonomi dan Total Quality Management. Disampaikan pada Tutorial Ergonomi. 9-10 Juli 2001. Denpasar: Bagian Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Manuaba, A.  2003. Holistic Ergonomic Design as a Strategy To Integrate Occupational Health – Safety System Managemant into The Enterprise Management System. Presented at 2nd NIEC (National Industrial Conference). Surabaya Indonesia.

Manuaba, A. 2004. Pendekatan Total Perlu untuk adanya Proses Produksi dan Produk yang Manusiawi, Kompetitif dan Lestari.Makalah. Disampaikan pada Seminar Teknik Industri Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

Nagamachi, M. 1993, Participatory ergonomics; A unique technology science, The Ergonomics of Manual Work, Proceedings of the International Ergonomics Association World Conference on Ergonomics of Materials Handling and Infomation Processing at Work, Warsaw, Poland, 14-17 june 1993. 41-48.

Michelle M. Robertson. 2006. Macroergonomics: A Work SystemDesign Perspective. [cited 2006 January 24]. Available from: URL: http://www.ergonomie-self.org.

Mechanical Engineering/Institute of Production Engineering Work Science/ Ergonomics, 2005, Work Science / Ergonomics – What Is It?. [cited 2006 February 01]. Available at: URL: http://141.99.140.157/d/aws/index.htm.

The Joyce Institute. 1998. Workplace Ergonomics. [cited 2006 November 26]. Available at: URL:   http://www.ergonomi/joyce-workergs.html.

Imada.A.S.1993. Macroergonomic Approaches for Improving Safety and Health in Flexible, Self Organizing Systems. The Ergonomics of Manual Work, Proceedings of the International Ergonomics Association World Conference on Ergonomics of Materials Handling and Infomation Processing at Work, Warsaw, Poland, 14-17 june 1993. 477-480.

Manuaba, A. 2000. Participatory ergonomics Improvement at The workplace. Jurnal Ergonomi Indonesia Vol. I No.1. Juni 2000: 6-10.

Well, R. 2002.  Participatory Ergonomics Process Design Change. [cited 2006 February 16]. Available from: URL: http://www.waterloo.ca/~well/exposure-consepts.htm.

Ibrahim, B. 1997. TQM. Panduan untuk menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.

konsep, estetika dan teknis

Lainnya No Comments »

Menjadikan desain interior yang bertema, bermakna dan berkarakter konsep adalah   jawabannya. Sedangkan menjadikannya indah, bagus dan cantik unsur estetika yang harus dipermainkan, kemudian kemampuan memahami unsur-unsur teknis akan menjadikan hasil desain yang aman nyaman dan ergonomis. Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari sebuah bangunan. Konsep merupakan ide dasar dari sebuah pemikiran, sehingga masih bersifat abstrak dan tidak dapat dilihat secara fisik, namun hanya dapat dirasakan keberadaannya. Konsep desain dapat diartikan sebagai ide dasar dari suatu pemikiran yang melandasi proses perancangan sebuah desain. Dengan konsep maka seluruh permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh. Estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, yang akan dirasakan apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen-elemen keindahan yang terkandung pada suatu objek (Artini, 2000). Aesthetica adalah hal-hal yang dapat dipersepsi atau dicerap oleh pancaindera, sementara aisthesis adalah pencerapan indera atau persepsi inderawi (Gie, 1983). Dalam memahami desain sebagai seni,selalu mengolah unsur-unsur: titik, garis, pola, bentuk, tekstur, bahan dan warna dalam suatu keseimbangan, kesatuan, irama, komposisi, harmoni dan titik pusat perhatian, untuk mendapatkan keindahan. Kemampuan pemahaman teknis dalam interior akan menciptakan desain menjadi aman dan nyaman. Kemampuan teknis yang perlu dipahami misalnya, flo aktivitas dari civitas dalam ruang, pendaerahan, jumlah dan dimensi ruang,  sirkulasi, lantai, dinding, plafon, utilitas, fasilitas, dekorasi dan lain-lainya.

Kombinasi ke 3 unsur di atas tidak bisa tidak harus diperhitungkan secara cermat dan berhati-hati, agar desain interior yang tercipta tidak hanya indah saja, tetapi juga dapat dipergunakan dengan aman dan nyaman, tentunya juga tidak hanya indah dan nyaman saja tetapi juga memiliki tema dan berkarakter.


WordPress Theme & Icons by N.Design Studio. WPMU Theme pack by WPMU-DEV.
Entries RSS Comments RSS Log in