Archive for the 'Tulisan' Category

PANTANGAN DALANG MENURUT DHARMA PEWAYANGAN BALI

Posted in Tulisan on Juni 19th, 2013 by yogagiri

I

Seseorang yang belajar memainkan wayang biasanya mempunyai seorang guru yang dianggap mampu untuk menjadikan mereka seorang dalang yang baik. Guru  yang menjadi penuntun seorang calon dalang sampai mereka mampu mementaskan pertunjukkan wayang kalau di Bali disebut dengan Nabe (guru penuntun). Nabe inilah yang yang akan membimbing seorang calon dalang tersebut sampai menjadi seorang dalang yang sudah dianggap mampu untuk melakukan pertunjukkan wayang tersebut.

Di dalam belajar mengenai dunia pewayangan khususnya di bali, Seorang dalang bisa memainkan wayang, seorang dalang  juga mesti menguasai aturan-aturan sebelum dan ketika kita akan mempertunjukkan pementasan wayang. Aturan-aturan ini diharpakan akan membuat dalang tersebut lebih terarah didalam menekunii kegiatan sebagai seorang dalang tersebut.  Pedoman yang berisi aturan-aturan bagi seorang dalang ini disebut dengan Dharma Pewayangan. Dharma Pewayangan adalah ajaran yang berisi tentang hal-hal yang dilakukan seorang dalang sebelum dan ketika mereka akan mempergelarkan pertunjukkan wayang. Dharma Pewayangan ini berisi berbagai aturan, seperti aturan saat mempersembahkan sesajen, aturan didalam membuka kotak tempat wayang(keropak),aturan didalam membuat tirta untuk orang yang lahir di tumpek wayang,dan lainnya. Aturan-aturan tersebut wajib dilaksanakan oleh seorang dalang.Selain berisi aturan-aturan seperti diatas didalam dharma pewayangan juga berisi pantangan-pantangan seorang dalang.

Pantangan- pantangan itu diantaranya yaitu pantangan didalam memilih makanan, di dalam Dharma Pewayangan disebutkan seorang dalang di himbau untuk tidak makan makanan seperti hati, jantung, nyali, ginjal. Makanan seperti hati,nyali jantung, itu dipantangkan karena dijelaskan di dalam Dharma Pewayangan bahwa didalam makanan tersebut tempat bersemayamnya kekuatan-kekuatan yang menghidupi dari empat tokoh panekawan (tualen,merdah,sangut dan delem). Jadi menurut Dharma Pewayangan keempat macam makanan itu sangat tidak dianjurkan bagi seorang dalang.

Pendapat–pendapat yang mendukung mengenai pantangan-pantangan seorang dalang

Sekarang yang jadi pertanyaan adalah apakah hanya dari dharma pewayangan saja yang menghimbau seorang dalang untuk tidak mengkonsumsi ke empat makanan seperti yang disebutkan diatas atau adakah pendapat dari pihak lain yang mendukung hal tersebut? Kalau kita berbicara masalah makanan mungkin orang yang paling tepat kita tanyakan adalah dokter. Dari survey yang kami lakukan dengan melakukan sebuah wawancara kepada seorang dokter, dan kami menjelaskan seperti apa yang di sebutkan dalam dharma pewayangan tentang pantangan-pantangan seorang dalang dalam hal memilih makanan tersebut. Setelah dokter mendengar semua penjelasan tersebut, akhirnya dokter pun memberikan jawaban yang sangat mengejutkan.

Dokter sangat mendukung apa yang disebutkan di dalam dharma pewayangan, yaitu mengenai hal-hal yang menjadi pantangan seorang dalang tersebut. Karena di dalam ilmu kesehatan makanan seperti yang disebutkan di dalam dharma pewayangan itu merupakan makanan sangat tidak baik bagi kesehatan tubuh manusia. Bahkan kalau makanan tersebut dikonsumsi secara berlebihan bisa menyebabkan penyakit yang fatal. Hal itu dikarenakan makanan-makanan tersebut merupakan makanan yang mengandung kadar kolesterol yang sangat tinggi. Seperti yang diketahui kolesterol sangat merusak kesehatan karena kadar kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti, sakit jantung (hipertensi), obesitas(kegemukan), dan asam urat.

Sehingga apabila penyakit-penyakit seperti itu menyerang kita, maka sudah tentu segala aktivitas kita akan terganggu. Apalagi untuk seorang dalang yang memerlukan stamina yang optimal didalam melakukan pementasan wayang dan seperti yang diketahui kalau seorang dalang sebagaian besar melakukan aktivitas seperti duduk yang berjam-jam, sehingga apabila kadar kolesterol tinggi maka sudah tentu penyakit seperti asam urat akan menyerang kita. Sehingga aktivitas kita pun akan terganggu dan dalang itu akan kesulitan dalam melakukan aktivitasnya dalam mempertunjukkan pergelaran wayang tersebut.

 

 

 

 

 

 

PERBANDINGAN LAKON WAYANG BALI

Posted in Tulisan on Juni 14th, 2013 by yogagiri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertunjukkan wayang merupakan salah satu dari beberapa contoh tontonan yang biasa disaksikan oleh masyarakat. Walaupun  pertunjukkan wayang tersebut sudah sangat jarang dapat disaksikan oleh masyarakat pada era saat ini. Pada jaman seperti sekarang  pertunjukkan masih dapat  dijumpai pada upacara-upacara adat maupun upacara agama.  Karena pada upacara itu wayang dianggap sebagai pelengkap upacara dan sekaligus sebagai media tontonan yang didalamnya mengandung suatu tuntunan . Pertunjukkan wayang dapat dikatakan berhasil apabila dapat menarik perhatian penonton dan memberikan sebuah tuntunan kepada penonton. Pertunjukkan wayang seperti yang kita ketahui pada umumnya menggunakan lakon-lakon yang bersumber dari cerita Mahabrata dan Ramayana. Perananan lakon terhadap kualitas pertunjukkan wayang sangatlah besar, seorang dalang harus mampu memilih lakon yang didalamnya mengandung nilai-nilai moral, etika dan keindahan sehingga dapat menarik minat masyarakat.

Disamping lakon, kreatifitas atau sanggit seorang dalang juga sangat besar pengaruhnya terhadap baik buruknya kualitas suatu pertunjukkan wayang. Sanggit  yang dimaksud adalah seperti kemahiran dalang dalam tetikesan (gerak wayang), kemahiran dalang dalam bertembang yang sesuai dengan irama gambelan, kemahiran dalam membuat lawakan, dan lainnya. Walaupun lakon yang digunakan oleh beberapa orang dalang sama, tetapi dalam pementasannya akan berbeda antara dalang yang satu dengan dalang yang lain. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh kemampuan seorang dalang yang berbeda-beda didalam menggolah lakon tersebut. Jadi peranan sanggit atau kreatifitas seorang dalang sangatlah penting agar pertunjukkan wayang tersebut mempunyai daya tarik terhadap penonton.

Kemampuan untuk membuat sebuah pertunjukkan menjadi menarik merupakan suatu tugas yang cukup berat dilakukan. Terlebih lagi pada jaman seperti saat ini, dimana media elektronik seperti televisi, radio dan lain-lain, merupakan media hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, disinilah dituntut kemampuan seorang dalang tersebut agar mampu menyajikan suatu pertunjukkan yang mampu bersaing dengan media hiburan moderen seperti saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka diajukan permasalahan yaitu, bagaimanakah contoh perbandingan/komparasi dari segi struktur dramatiknya  antara dua dalang yang menggunakan lakon yang sama.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu, agar dapat mengerti dan memahami mengenai komparasi sebuah lakon yang dipertunjukkan oleh dalang yang berbeda.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan makalah ini yaitu, pembaca mengerti dan memahami mengenai komparasi sebuah lakon yang dipertunjukkan oleh dalang yang berbeda.

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan maklah ini yaitu, metode penulisan dengan melakukan wawancara dari dua sumber dalang yang berbeda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

Stuktur Dramatik Lakon Kumbhakarna Lina Menurut Dalang I Gusti Ngurah Serama Semadi. S.Sp. M.Si.

Sinopsis :

Adegan ke-1

Prabu Wibisana menghadap kepada Sri Rama di kerjaan Ayodya. Dalam pertemuan antara Prabu Wibisana dengan Sri Rama, Prabu Wibisana memberitahukan kepada Sri Rama mengenai majunya Kumbhakarna menjadi panglima perang pasukan Alengka. Sang Kumbhakarna maju sebagai panglima perang  karena dipaksa oleh Rahwana. Karena sebelumnya Kumbhakarna menolak untuk maju ke medan perang, karena sesungguhnya  Kumbhakarna memiliki sifat-sifat yang baik dan dia tidak senang melihat perilaku kakaknya yang selalu berbuat jahat.  Prabu Wibisana menyarankan agar Sri Rama segera turun ke medan perang, karena jika tidak demikian, maka pasukan kera akan banyak menjadi korban.

Prabhu Wibisana merupakan adik dari Kumbhakarna dan Rahwana. Berbeda dengan kakaknya, Rahwana, Kumbhakarna dan Sarpakenaka yang  ketika lahir berupa darah, telinga dan kuku. Kelahiran Wibisana sempurna berupa bayi manusia yang rupawan. Hal itu tidak terlepas dari doa ayahnya Begawan Wisrawa dan ibunya Dewi Sukesi yang telah menyucikan diri setelah gagal dalam membuka rahasia sastra jendra atau ilmu menjadi manusia yang hidup dalam keilahian. Wibisana banyak mengetahui rahasia-rahasia hidup maupun rahasia kegaiban. Tindak tanduknya sangat kesatria dan baik budi. Karena tidak menyetujui tindakan Rahwana yang menculik Dewi Sita, Wibisana dihantam oleh Rahwana dengan gada. Wibisana yang diduga telah tewas kemudian dibuang ke laut.

Hanoman sikera putih yang sedang terbang dalam perjalanan kembali dari Alengka ke Gunung Swela melihat tubuh terapung-apung ditengah lautan. Ia lalu membawa tubuh itu dikediamannya. Ternyata Wibisana masih hidup dan kemudian Wibisana dibawa menghadap Sri Rama. Meskipun Wibhisana bersaudara dengan Rahwana tetapi Wibisana lebih memihak kepada Sri Rama karena Wibisana ingin memihak pada kebenaran dan Wibisana tidak suka dengan perilaku kakaknya yang selalu melawan kebenaran. Oleh karena Wibisana berasudara dengan Rahwana dan Kumbakarna, jadi Wibisana mengetahui segala sesuatu tentang saudaranya tersebut.

Adegan ke-2

Wibhisana menceritakan mengenai kesaktian Sang Kumbhakarna, dari kecil Kumbhakarna menemani kakaknya Rahwana bertapa di Gunung Gohkarna jadi kesaktian Kumbhakarna hampir menyamai Rahwana. Dimana Rahwana sudah terkenal sakti dewapun kalah oleh Rahwana dan  juga terkenal sakti di tiga dunia, yaitu dunia Dewa, dunia manusia, dan dunia raksasa. Jadi kesaktian Kumbhakarna juga tidak jauh berbeda dari Rahwana dan jika Sang Rama tidak cepat turun tangan maka semua pasukan kera tidak akan berdaya.  Setelah mendengar segala sesuatu yang diceritakan oleh Sang Wibisana, Sri Rama memanggil Tualen dan Merdah agar ikut membantu dalam  menyiapkan pasukan kera untuk bertempur ke medan perang melawan pasukan Alengka yang dipimpin oleh Sang Kumbhakarna.

Adegan ke-3

Setelah sampai di medan perang Kumbhakarna juga sudah nampak dengan diiringi pasukan raksasa. Kemudian para pasukan kera segera menyerang Kumbhakarna dari berbagai arah. Akan tetapi, kera-kera yang berusaha menyerang Kumbhakarna tersebut dengan mudahnya dibantai oleh Kumbhakarna. Para pimpinan kera seperti Sugriwa, Anggada dan lainnya juga melakukan perlawanan tapi juga tidak membuahkan hasil. Rahwana datang dan menghina Sang Rama dengan suara yang keras, Rahwana mengatakan Sang Rama adalah pengecut karena hanya mengandalkan para pasukan keranya untuk menyerang duluan. Mendengar perkataan Rahwana tersebut membuat Sang Rama merasa dilecehkan, dan Sang Rama langsung menghadapi Kumbhakarna. Ketika berhadapan dengan Kumbhakarna, Sang Rama langsung melepaskan anak panahnya mengenai Kumbhakarna. Setiap panah yang dilepas Sang Rama memutus anggota badan Kumbhakarna, sampai akhirnya tinggal badan dan kepalanya saja. Meskipun demikian, sedikitpun Kumbhakarna tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada Sang Rama. Karena sebelum berperangpun Kumbhakarna sudah sadar bahwa ia tidak akan mungkin menang melawan Sang Rama. Mulut Kumbhakarna dipenuhi ribuan panah dan akhirnya tewas dan arwah Kumbhakarna langsung masuk sorga.

 

 

Analisis Dari Lakon Kumbhakarna Lina Versi Dalang I Gusti Ngurah Serama Semadi.

1. Tema dan amanat

Tema dalam lakon Kumbhakarna Lina ini adalah  bentuk fisik atau penampilan tidak selalu mencerminkan baik buruknya sifat seseorang. Alasannya : karena dalam lakon ini dikisahkan Kumbhakarna yang berwujud Raksasa memiliki sifat yang baik. Amanat  dari lakon Kumbhakarna Lina ini adalah janganlah menilai seseorang dari segi fisik atapun penampilan luarnya saja.

2. Alur

Alur yang digunakan dalam lakon Kumbhakarna Lina ini adalah alur longgar. Karena adanya penyisipan alur bawahan, seperti pada adegan ke -2 ketika Wibhisana menceritakan mengenai kesaktian  kumbhakarna dan bagaimana ia memperoleh kesaktian tersebut, membentuk alur bawahan dengan dengan teknik pengaluran back-tracking. Selain itu lakon Kumbhakarna Lina Versi Dalang I Gussti Serama Semadi ini Lina ini juga menggunakan alur maju. Karena dapat dilihat dari urutan dari preposisi, penggawatan, perumitan, klimaks, dan penyelesaian.

 

3. Penokohan

–        Tokoh utama (protagonis) adalah Kumbhakarna. Alasannya karena dilihat dari judul, lakonnya berjudul Kumbhakarna Lina. Alasan lain yang mendukung Kumbhakarna sebagai tokoh utama adalah, karena semua adegan menceritakan tentang Kumbhakarna. Adegan ke-1 pembicaraan antara Wibisana dengan Sang Rama menceritakan mengenai majunya Kumbhakarna ke medan perang. Adegan ke-2 Wibisana menceritakan tentang kesaktian Kumbhakarna. Adegan ke-3 menceritakan mengenai pertempuran Kumbhakarna melawan Sang Rama dan pasukannya.

–        Tokoh Antagonis adalah Rama. Karena Sang Ramalah yang menjadi lawan dari Kumbhakarna yang merupakan tokoh utamanya.

–        Tokoh Tritagonis adalah : Sang Rama. Karena berkat Sang Rama turun tangan, perang dapat diakhiri dengan peristiwa terbunuhnya Kumbhakarna.

–        Tokoh peran pembantu : Tualen dan Merdah.

4. Latar

Tempat terjadinya peristiwa dalam lakon Kumbhakarna Lina ini adalah :

–        Di Ayodya, saat Wibisana menghadap Sri Rama (adegan ke-1)

–        Di medan pertempuran, saat Kumbhakarna bertempur melawan Sang Rama dan pasukannya. ( adegan ke-3).

 

Struktur alur :

a. Eksposisi

Eksposisi dalam Kumbhakarna Lina ini terdapat pada adegan ke-1 -2. Yaitu dari pembicaraan Wibisana dengan Sri Rama, dimana Wibisana memberitahukan mengenai majunya Kumbhakarna sebagai panglima perang Alengka dan juga Wibisana juga menceritakan mengenai kesaktian Kumbhakarna. Adegan tersebut merupakan tahapan dimana Kumbhakarna sebagai tokoh utama dan sentral dalam lakon. Dengan mengetahui tahap eksposisinya, maka publik akan mendapat gambaran selintas tentang tokoh utamanya, yaitu Kumbhakarna.

2. Konflik

Konflik atau tikaian terjadi pada adegan ke -2, yaitu pada saat Wibisana menceritakan Kesaktian Kumbhakarna kepada Sang Rama, dan jika Sang Rama tidak segera turun tangan maka pasukan kera tidak akan berdaya menghadapi Kumbhakarna. Disinilah awal timbulnya niat Sang Rama untuk menyiapkan pasukan yang akan berperang menghadapi Kumbhakarna.

3. Penggawatan

Penggawatan terjadi ketika Rahwana menghina Sang Rama ( adegan ke-3)

4. Klimaks/ puncak cerita

Terjadi ketika Sang Rama turun tangan dan secara langsung berhadapan dengan Kumbhakarna.

5. Resolusi / peleraian

Resolusi atau peleraian terjadi ketika Kumbhakarna terjatuh dan anggota badannya terputus yang tersisa hanya badan dan kepalanya. Kemudian ribuan panah menyasar mulutnya sampai akhirnya Kumbhakarna tewas dan arwahnya masuk sorga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Struktur Dramatik Lakon Kumbhakarna Lina Menurut Dalang I Wayan Nardayana. S.Sn.

Sinopsis :

 

Adegan ke-1

Prabhu Rahwana memanggil Sang Kumbhakarna untuk datang ke Alengka. Setelah sampai di Alengka Rahwana menjelaskan tujuan dipanggilnya Kumbhakarna. Rahwana berkeinginan mengutus Rahwana menjadi panglima perang pasukan Alengka dalam bertempur melawan Sang Rama. Mendengar hal tersebut Kumbhakarna enggan untuk berangkat ke medan pertempuran dan Kumbhakarna malah menceramahi kakaknya. Kumbhakarna mengatakan kepada Rahwana, bahwa ini semua adalah akibat dari keangkaramurkaan sifat Rahwana yang selalu melaksanakan adharma atau kejahatan. Mendengar perkataan Kumbhakarna tersebut membuat Rahwana menjadi marah dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada Kumbhakarna. Sampai akhirnya Kumbhakarna bersedia maju ke medan pertempuran, karena Kumbhakarna yakin jika mati dimedan pertempuran maka akan mendapatkan sorga dan juga untuk menunjukkan bhaktinya kepada negara. Jadi Kumbhakarna bersedia maju kemedan perang bukan karena takut kepada Rahwana, melainkan karena bhaktinya kepada negara.

Adegan ke-2

Para pasukan Raksasa bersiap-siap untuk mengiringi Kumbhakarna ke medan pertempuran. Sebelum Kumbhakarna berangkat istri khumbakarna yang bernama Diah Triowati membujuk Kumbhakarna agar tidak pergi ke medan pertempuran. Tetapi Kumbhakarna menjelaskan alasannya sehingga bersedia maju ke medan pertempuran tersebut. Karena mendengar alasan yang sangat mulia tersebut Diah Triowati bersedia melepaskan kepergian suaminya tersebut dan sambil menangis ia mengucapkan selamat jalan kepada Kumbhakarna dan mendoakan agar kumbhakarna selamat di medan perang.

Adegan ke-3

Sang Rama sudah mendengar berita bahwa kumbhakarna akan maju ke medan perang. Sang Rama mengetahui bahwa Kumbhakarna sangat sakti hampir menyamai kesaktian Rahwana, jadi Sang Rama harus segera turun tangan dan juga harus lebih berhati-hati dalam menghadapinya. Sang Ramadewa kemudian  menyiapkan pasukan yang dikomandoi oleh para pimpinanan kera seperti Sugriwa, Anggada, Hanoman, dan lainnya untuk maju kemedan perang.

Adegan ke-4

Di medan perang kedua belah pihak sudah saling berhadapan. Ketika Kumbhakarna menyerang, pasukan kera juga ikut menyerang dan dengan mudahnya pasukan kera tersbut dibantai oleh Khumbakarna. Pasukan kera semuanya sudah tidak berdaya. Melihat situasi seperti itu para pimpinanan kera seperti Sugriwa, Anggada dan lainnya juga melakukan penyerangan, dan pertarungan pun semakin bertambah sengit tidak dapat diprediksi siapa yang menang dan yang kalah.  tetapi mereka juga tidak berdaya dihadapan Kumbhakarna. Kemudian Sang Rama maju dan melepaskan panah kepada Kumbhakarna yang membuat anggota badan Kumbhakarna menjadi terputus yang tertinggal hanya badan dan kepalanya saja, sampai akhirnya Kumbhakarna tewas. Ketika Kumbhakarna tewas suara petir saling bersahutan dan arwah Kumbhakarna langsung masuk sorga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Analisis Lakon Kumbhakarna Lina Versi Dalang Nardayana. S.Sn

1.Tema :

Tema dari lakon Kumbhakarna Lina ini adalah Pengabdian terhadap negara. Alasannya karena Kumbhakarna rela maju ke medan perang karena ingin membela negaranya dan bukan karena takut kepada Rahwana. Tema lakon Kumbhakarna Lina antara Dalang I Gusti Ngurah Serama Semadi dengan Dalang I Wayan Nardayana adalah berbeda. Kalau tema lakon Kumbhakarna Lina menurut Dalang I Gusti Serama Semadi adalah bentuk fisik atau penampilan tidak selalu mencerminkan baik buruknya sifat seseorang., sedangkan menurut Dalang I Wayan Nardayana adalah pengabdian terhadap negara.

2.Alur

Alur yang digunakan dalam  lakon Kumbhakarna Lina versi Dalang I Wayang Nardayana adalah alur erat (ketat). Karena jalinan peristiwanya sangat padu. Kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan, keutuhan cerita akan terganggu. Berbeda dengan Lakon versi Dalang I Gusti Ngurah Serama Semadi dimana menurut I Gusti Serama Semadi adalah alur longgar. Dan Lakon Kumbhakarna Lina versi Dalang I Wayang Nardayana  juga menggunakan alur maju. Karena dapat dilihat dari urutan dari preposisi, penggawatan, perumitan, klimaks, dan penyelesaian.

3. Penokohan

–        Tokoh utama  tokoh utama dalam lakon ini adalah Kumbhakarna. Alasannya, dilihat dari judulnya lakon ini berjudul Kumbhakarna Lina. Alasan lainnya adalah karena semua adegan menceritakan mengenai tokoh Kumbhakarna tersebut. Seperti pada adegan ke-1, menceritakan mengenai dipanggilnya Kumbhakarna oleh Rahwana untuk dijadikan panglima perang pasukan Alengka. Adegan ke-2, menceritakan mengenai persiapan pasukan Alengka untuk mengiringi Kumbhakarna ke medan perang dan juga mengisahkan pertemuan Kumbhakarna dengan Diah Triowati. Adegan ke-3, menceritakan mengenai persiapan Sang Rama untuk bertempur melawan Kumbhakarna. Adegan ke-4, menceritakan tentang pertempuran Kumbhakarna melawan Sang Rama.

–        Tokoh Antagonis  dalam lakon ini adalah Sang Rama. Karena Sang Ramalah yang menjadi lawan dari Kumbhakarna yang sebagai tokoh sentral.

–         Tokoh Tritagonis lakon ini adalah Sang Rama. Karena berkat Sang Rama turun tangan, perang dapat diakhiri dengan peristiwa terbunuhnya Kumbhakarna.

–        Tokoh peran pembantu : Tualen dan Merdah.

 

4. Latar

Tempat terjadinya peristiwa dalam lakon Kumbhakarna Lina ini adalah :

–        Di Alengka, saat Kumbhakarna dipanggil oleh Rahwana. (adegan ke-1)

–        Di Ayodya, saat Sang Rama mendengar berita majunya Kumbhakarna ke medan perang.

–        Di medan pertempuran, saat Kumbhakarna bertempur melawan Sang Rama dan pasukannya. ( adegan ke-3).

Struktur alur :

1. Eksposisi

Eksposisi dalam lakon ini terdapat pada adegan ke-1. Ketika Rahwana memanggil Kumbhakarna dan memintanya agar mau maju ke medan perang, akhirnya Kumbhakarnapun bersedia maju ke medan perang dengan alasan untuk membela negaranya. Adegan tersebut merupakan tahapan dimana Kumbhakarna sebagai tokoh utama dan sentral dalam lakon. Dengan mengetahui tahap eksposisinya, maka publik akan mendapat gambaran selintas tentang tokoh utamanya, yaitu Kumbhakarna.

2.  Konflik

Konflik sudah terjadi pada adegan ke-1. Yaitu pada saat Kumbhakarna menolak keinginan Rahwana yang berkeinginan mengirimnya ke medan perang. Rahwana kemudian marah dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada Kumbhakarna.

3. Penggawatan

Pengawatan terjadi ketika Kumbhakarna mulai melakukan penyerangan terhadap pasukan kera yang mengakibatkan pertempuran harus segera dimulai.

4. Klimaks

Klimaks terjadi ketika para pimpinan kera seperti Sugriwa, Anggada dan yang lainnya ikut melakukan penyerangan terhadap Kumbhakarna. Yang mengakibatkan pertempuran semakin  menegangkan karena kekuatan hampir seimbang.

5. Resolusi

Resolusi terjadi ketika Sang Rama turun ke medan perang dan melepaskan anak panah mengenai Kumbhakarna, yang mengakibatkan Kumbhakarna dapat dikalahkan dan peperanganpun dapat dihentikan.

Komparasi Antara Dalang I Gusti Ngurah Serama Semadi Dengan Dalang I Wayan Nardayana

Persamaan

v   Dari segi sinopsis cerita, sama-sama menceritakan majunya Kumbhakarna kemedan perang dan akhirnya tewas di tangan Sang Rama.

v  Dari segi ending cerita, sama-sama menceritakan kekalahan Kumbhakarna yang terbunuh karena terkena panah Sang Rama.

v  Dari segi alur yang dilihat dari segi prosesnya, sama-sama menggunakan alur maju.

v  Dari segi penokohan kedua lakon ini sama.

 

Perbedaan

v  Dari segi pembabakkan kedua lakon ini sangat berbeda.

–         Adegan ke-1 Lakon Ke I : diceritakan mengenai pembicaraan Wibisana dengan Sang Rama di Ayodya. Sedangkan adegan ke-1) menceritakan Pembicaraan Rahwana dengan Kumbhakarna dan Kumbhakarna diutus maju kemedan perang.

–        Adegan ke-2 dalam lakon I mengisahkan Wibisana yang menceritakan segala sesuatu mengenai Kumbhakarna. Sedangkan adegan ke-2 dalam lakon II, mengisahkan persiapan pasukan raksasa untuk maju ke medan perang dan perjumpaan Kumbhakarna dengan Diah Triowati. Pada adegan ke

–        Adegan ke-3 Lakon I, menceritakan peperangan Kumbhakarna melawan pasukan kera di medan perang sampai tewasnya Kumbhakarna. Sedangkan adegan ke-3 Lakon ke II, mengisahkan persiapan Sang Rama dalam menyiapkan pasukan untuk maju kemedan perang. Dan adegan terakhirnya menceritakan pertempuran Kumbhakarna dengan pasukan kera dan Sang Rama.

v  Dari segi tema, Lakon I temanya adalah bentuk fisik atau penampilan tidak selalu mencerminkan baik buruknya sifat seseorang.  Sedangkan dalam Lakon II temanya adalah pengabdian terhadap negara.

v  Dari segi alurnya

–        Dilihat dari segi mutunya (kualitatif), alur yang digunakan dalam Lakon I adalah alur Longgar. Sedangkan pada lakon II, alur yang digunakan adalah alur erat.

–        Dilihat dari segi jumlahnya (kuantitatif), Lakon I menggunakan alur ganda. Sedangkan Lakon II manggunakan alur tunggal.

 

v  Dari segi latarnya, lakon I tidak terdapat tempat kejadian peristiwa di Alengka. Sedangkan pada Lakon II terdapat kejadian peristiwa di Alengka, yaitu pada saat Kumbhakarna menghadap Rahwana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan :

Dalam sebuah lakon yang sama, jika diceritakan atau dipentaskan oleh dalang yang berbeda, maka dalam pementasan lakon tersebut  pasti akan timbul perbedaan dan persamaan. Walaupun ada kesan berbeda, itu hanyalah tergantung dari sanggit dalangnya. Seorang dalang bebas untuk berkreasi membuat pementasannya menarik, namun tidak boleh keluar atau menyimpang dari pakem aslinya.

 

SEKILAS TENTANG KAKAWIN SUTASOMA DAN ARJNA WIWAHA

Posted in Tulisan on Juni 13th, 2013 by yogagiri

SUTASOMA                                                           

1)                                                                                     

–        Byatitan riwijilira ngiduladoh,

–        kadi lakuni ngantuk smaken huri panis.

–        Prapteng desa riping giring pura, mawang sasadhara

–        risamping pasawahan,

–        warnnan sri nara natha, mepu kapegan sira rihilangi sang naredra tanaya, tan trsne phalaning prabhuttama nimittani ngangenesi pamreming balagana.

Teges :

–                    Gelisang cerita ida medal ngelodan sampun doh,

–                    sakadi pamargin sang nyilib ngelidang hurip,

–                    rawuh ring pradesa ring tepi siring kutane

–                     kantun ngenter bulane

–                    ring wewidangan carike,

–                    caritayang ida Sang Prabu

–                    sungsut belbelan ida

–                    riantuk dewa agung putra ical,

–                    minab tan wenten meled ring

–                    pikolih madeg prabu wibuh,

–                    punika awinan ida lunga nyilib

–                     ritatkala wadwane sami pules lelep.

 

Wirasa :

Sang Sutasoma pergi kearah selatan dan bukan ke arah utara ataupun yang lainnya, karena arah selatan kalau dikaitkan dengan Dewata Nawa Sanga, arah selatan adalah tempat Dewa Brahma yang juga berarti Brahman atau Hyang Widhi. Jadi kita dalam hidup ini hendaknya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi  Wasa. Meskipun kita berada dalam keadaan suka maupun duka.

2)

–        Ndan Sang Sri Suta Soma,

–        teki sira tan merem

–        umangeni tuwuh nireki siwinen,

–        kewran deni manah nira kahereti

–        bhuktyani pangawaca ning punar bhawa gati,

–         apan tan hana len

–        sakeng tapa juga hulangakena

–        tekap maha jana sada,

–        pongning yoga nira srayekana

–        sedheng hawani ngumusir niratmaka helem.

Teges :

–        Sakewanten Ida Sang Sutasoma

–        nenten mresidayang merem,

–        ngayunin ragan idane pacang kajenengan agung,

–        rumasa kebukan riantuk ida

–         jaga ngeret kayun

–        muponin panitah punarbhawane,

–        santukan tan wenten tios

–        wantah tapa kewanten sane setata kamargiang

–        antuk para sujanane,

–        huleng yogane sane sapetik tan pasadana duk punika

–        marupa pargi ngulati kalepasan kapungkur.

Wirasa :

Jadi begitu beratnya tugas sebagai pemimpin itu dibayangkan oleh Sang Sutasoma, sehingga beliau tidak bisa tidur karenanya. Jadi janganlah merasa bahagia dan menghalalkan segala cara agar bisa menjadi pemimpin, kalau kita tidak bisa mengendalikan diri maka kedudukan sebagai pemimpinan itu akan menjadi suatu melapetaka bagi kita dan masyarakat yang kita pimpin.

3)

–        Byatitan lina sang sri jina

–        kula pinangen denikang satwa natha,

–        lindu tang bhumi

–        tan kram hyangaruna malara

–        lwir nirang doh mangulwan,

–         tan sbhang byoma

–        kadya ngemutangisi

–        tadhuning ghyana sangubulah,

–        genternya samba sambat

–        kilata semu kedap

–        ning tenyhmar ka tiksan.

Teges :

–        Tan kacarita seda Ida Sang

–        Sutasoma kasarap i macan, genjong jagate

–         suryane kerereb kadi sungsut pidabdabnyane.

–        Raris lunga doh ngawuhang,

–        langite nenten galang kadi ngemkem tangis,

–        antuk teduh ambbarane kasayongin kadi toyan pangaksan,

–        kerugnyane tan pendah masesambatan,

–         tatit nyane kadi kijapan panyingakan,

–        anak dekdek pakayunan kapanesan.

Wirasa :

Jadi jika seseorang yang sangat baik dan berbudi luhur seperti Sang Sutasoma meninggal dunia, maka siapapun yang mendengar maupun menyaksikannya akan ikut mengalami kesedihan. Sperti halnya ketika Sang Sutasoma yang memiliki hati yang sangat mulia meninggal dunia, sampai dunia pun dan seisinya juga mengalami kesedihan karena melihat kepergian orang yang sangat berhati mulia meninggal dunia, sampai duniapun dan seisinya juga mengalami kesedihan karena melihat kepergian orang yang sangat mulia tersebut. Jadi sifat-sifat dan perilaku kita dalam hidup ini akan meninggalkan kesan baik-maupun buruk di hati orang yang kita tinggalkan.

4)

–        Gunungabhuta semu maha sura

–        katemu rimadyaning wana,

–        matutuk guha lwa

–        masiyung kepuharuhura

–        nganti ring geger,

–         mata tulya

–        bhaskara sila putiha

–        kalanganing gunung mider,

–        masawit lata I gonga

–        ngurambati  parangani kang maha giri.

–        Badhamanya megha ri ruhur

–        Lungyanika kuwung peluk

–        Saha bayu bajra kumusuh

–        kadi laku nira rodra gong galak,

–        wekasan mirir miri raken kusuma

–         teka nrpat maja,

–         kadi sembahanya

–        tumuta ngiringa kadi gajendra waktra.

Teges :

–        Gunung ngagawokin waluya raksasa gung

–        kapanggih ring tengah halas punika,

–        mabungut guwa linggah

–        macaling wit kepuh tegeh

–        sane wenten ring munduke,

–         waluya matannyane

–         kadi surya batu putihnyane

–        makalangan mahilehan ring gununge,

–        maslimpet antuk bun sane ageng,

–        sane nyurambyah ring parangan gununge ageng.

–        Pedangnyane punika guleme sane wenten baduur,

–        limannyane entik biyang lalah sane melengkung,

–         maduluran angin baret nglinus

–        makadi tindakan ipune kabinawa dahat galak,

–        pamuput ngampehan ambun sekar

–        rawuh ring cokor Ida Dewa Agung Putra

–         sakadi aturnyane

–        jaga sareng ngiringan ida

–         sakadi Sang Gajah Waktra.

Wirasa :

Perbuatan  baik dan budi luhur dapat kita jadikan sebagai perhiasan pada diri kita sehingga kita akan tampak berwibawa.

5)

–        Api tuwi sarwa pa

–        ya winasa bhasmi

–        riwilira nindita,

–        tumiti sawungkutarjja mabener

–        bule walika

–         susta maryya hala,

–        kimuta tikang wujil

–        dadi magong

–        tapas hirenga,

–        neka ragek saya

–        karana nikang sarajya padha bhaktya

–         ngastuti ri jong narendrat maja.

Teges :

–        Punapi malih sakancan malane

–        ical geseng

–        sapamijil ida ngagawokin pisan

–        sane mapadewekan bungkut dados jegjeg becik,

–        sane saking alit bunglun

–        kate jati wusan kageringan,

–        sapunika taler sane mapadewek

–        kate dados ageng,

–        sane tompel selem,

–         makudang-kudang pinakit ical,

–         punika ngawenang jadmane

–         sajeroning puri mangabhakti

–        ngastawa ring cokor Ida Dewa Agung Putra.

Wirasa :

Keberadaan orang yang berhati mulia dan penuh dengan sifat dharma akan membuat orang disekitarnya ikut merasakan kedamaian dan seakan-akan kesedihan lenyap karena keberadaannya.

ARJUNA WIWAHA

–        Jongning Meru kidul kutanya, maharep sumbyuhang Indralaya.

–        Mwang molih wara wirya, tan pejaha dening dewa yaksasura.

–        Nghing yan manusa sakti yatna juga ko, na ling bhatareriya.

–        Yeka nitya hinom watek resi kabeh, ring swarga harohara.

Teges :

–        Ring bongkol gunung Mahameru kaler purinnyane, misadhya pacang mangrusakang jagat sanghyang Indra punika.

–        Samaliha mikolihang kasaktian lewih, tan dados seda antuk dewa yaksa raksasa.

–        Sakewala yening manusa wisesa pelapanin pesan cening, sapunika pawarah ida bhatara ring ida.

–         wyakti punika tan mari karembayang antuk para resine sami, ring kahyangan kaosekan.

Wirasa :

Betapapun saktinya mahluk yang ada di dunia ini pasti ada kelemahannya, kadang kala hal-hal yang diluar akal sehat pun bisa menjadi jawabannya.

2)

–        Ikang wukir apaksa pajaran, abhasma limut, ada luwang kukap magong.

–        Petungnya tumakul mareng lwah, anyawuk banyu, pareng atekes macamana.

–        Kayunya pada kayikan, pasaji sarwa phala tinemuning macangkrama.

–        Atangkil adawa mure, titir anganjali sularika ring hanyur dhateng.

Teges :

–        Gunung punika sakadi tetujon anak matapa,  maurap-urap ambubu, maketu kayu teep agung.

–        Tiying petungnyane mategolan punika katukade, sakadi nyendok toya, sareng nyiup toya tur makumur.

–        Tarunnyane sakadi  ngamong laksana, raris menyawisang salwiring woh-wohan, katangkilin sang macangkulangun.

–         Makatik panjang manyarampyah tan mari kadi mabhakti bangsing ipun ring sang wawu rawuh.

Wirasa :

Gunung dijadikan tujuan orang bertapa karena, gunung dianggap sebagai tempat yang suci dan terhindar dari keramaian. Selain itu gunung juga dipercaya memberikan kemakmuran semua mahluk hidup, karena dengan adanya gununglah timbul sumber-sumber mata air dan juga gununglah sebagai tempat menadahkan air hujan karena jika gunung gundul maka hujan akan sulit timbul hujan. Oleh karena itulah gunung itu diibaratkan seperti seorang yang bersifat baik dan suci makanya diibaratkanlah gunung tersebut seperti manusia yang hidup, seperti diibaratkan ia memakai ketu, memiliki tangan dan seterusnya. Jadi gunung tersebut terlihat berwibawa.

 

 

3) Hana nonton ringgit, manangis asekel, muda hidepan. Huwus weruh towin, yan walulang inukir molah angucap. Haturning wwang trsneng wisaya, malahatar wihikana.       Ri tatwanyan maya, sahana hananing bhawa silumah

Teges :

Wenten anak mebalih wayang, ngeling engsek santukan manahnya tambet. Katiman sampun uning ipun, indik ipun belulang kaukir, ngigel maucapan. Sapunika waluyannya sang leket ring sarwa wastu, maka awinan, prasiddha tan uning ida dane, (maka awinan prasiddha katambetan ida dane). Ring kasujatiannya punika sunglap, sakancannya sane numadi lalingsen.

Wirasa :

Orang yang mengalami kesedihan dalam hidup ini merupakan orang-orang yang pikirannya terbelenggu akibat dari kebodohannya tersebut.

4) Tuha buru temahan mong, sakteng satwa dahat ika. Tuharawa wuhayekandadyaning drda ring iwak.       Sakatiling ikang ambek tan wiarta kadi kapitut.                                                                            Taya mara ya katrsnan, byaktekang taya katemu.

Teges :

Ijuru boros panadosan/panumadian macan, langkung teleb ring buron ipun.     Ijuru jaring buaya punika sane numadi, santukan teleb ring ulam.                    Salwir tetujonnya manah punika tan lempas, numadi sareng (nutug numadi). Yening sunya punika kasaratang, sinah punika sunya kapanggih.

Wirasa :

Apa yang kita alami dalam hidup ini adalah akibat dari karma kita pada kehidupan terdahulu.

 

5) Amwit narendratmaja ring tapowana. Manganjali ryagraning indra parwa.   Tan wismrti sangkaning hayun teka. Swabhawa sang sajjna rakwa mangkana.

Teges :

Mapamit ida sang prabhu oka ring alas patapan punika. Mabhakti marep kamuncuk gunung agunge punika. Tan lali ida ring kamimitan karahayuan punika rawuh. Swalaksana ida sang sadhu wyakti asapunika.

Wirasa :

Sang arjuna menunjukkan rasa bhaktinya kepada Gunung Indrakila, karena gunung tersebut sudah berjasa memberikannya tempat selama ia bertapa. Jadi dalam hidup ini kita tidak boleh melupakan jasa-jasa orang yang telah memberikan bantuan pada kita  baik secara langsung maupun tidak langsung.

6) Wintang lewih litnya, leyep tininghalan. Ruhurnya sangkeng sasi wimba karana. Sadohning aditya sakeng nisakara. Kadohkaning aditya bhumi sakeng diwakara.

Teges :

Bintang pinih alitnya, becik kakantenang. Santukan tegehipun saking polan bulan punika. Kadi joh suryane saking bulan punika.  Kaejohan jagat punika saking suryane.

Wirasa :

Apa yang kita lihat kadang-kadang tidak sama dengan keadaan sebenarnya, akibat dari keterbatasan indria kita.

7) Bhawisyawati, meh datengeng suralaya. Grahadi, naksatra kabeh pada krama. Tejomaya purwa, kadatwaning langit. Pamuktyaning janma sudhira, subrata.

Teges :

Pacang manados ida, nandes pacang rawuh ring swargan. Bintang miwah sane lyan-lyanan, bintange sami pada masahsahan.                                                                          Mangredep ngagawokin, puri ring ambarane.                    Maka pikolihnya sang dumadi lewihing pageh lewihing bebratan.

Wirasa :

Orang yang telah berhasil melaksanakan tapa brata dan juga segala macam rintangan dalam hidup ini, maka ia akan mendapatkan tempat yang bagus dan indah dan akan merasakan kebahagiaan sebagai upah dari keberhasilannya tersebut.

8)  Mwang saktingku rahasya wekasika.           Ring jihwagra, pawehnira saphala.   Brahma, Wisnu kawes, ya kakawasa. Nghing rakryan wruha, haywa ta wawahan.

Teges :

Maliha kasaktian beline pingit genahnyane. Ring muncuk layahe, paican ida mahottama. Sanghyang Brahma, bhatara Wisnu ajrih, ento kasayang beli.                                      Wantah adi ayu mangda uning, sampunang adi wera.

Wirasa :

Ujung lidah Niwatakawacalah yang menjadi kelemahannya, mengapa diujung lidahnya? Hal itu dikarenakan  dengan lidahnyalah ia bisa berbicara yang membuat penderitaan orang lain akibat dari omongannya tersebut.

9)  Nalingnyan pawarah, kadi kahuwan. Dening petsiwi, tan wruhing ulaha.    Syuh rempu hrdayanya minanisan.           Ngke ragan, sakala muhara hala.

Teges :

Sapunika indik babawos ida mamidarta, marupa katalanjuran.                                                                 Ulihan pangajum (pangandap kasor) tan uning ring sane pacang laksanayang.                                              Dekdek remuk idepnyane kamanisin.           Sapuniki indik kasmaran punika, terang mangawinang sangkala.

Wirasa :

Keteledoran kita terhadap kesenangan sesaat akan berdampak buruk pada diri kita. Yang diperlihatkan ketika Niwatakawaca menceritakan kelemahannya ketika sedang dirayu dengan seorang wanita.

 

 

 

 

 

 

PENGERTIAN WAYANG LEMAH

Posted in Tulisan on Juni 13th, 2013 by yogagiri


Wayang lemah adalah pertunjukkan wayang yang tidak dilakukan pada malam hari dan biasanya berkaitan dengan pelaksanaan suatu upacara agama. Pertunjukkan Wayang Lemah hanya boleh dilakukan oleh dalang yang sudah menjalani proses pawintenan (pembersihan diri melalui suatu upacara), seperti yang dilakukan oleh seorang dalang yang bernama I Wayan Selamet, yang sudah biasa melakukan pertunjukkan Wayang Lemah. I Wayan Selamet lahir pada tanggal 29 Februari 1964 di Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, beliau sudah belajar ngawayang sejak tamat SMA pada seorang dalang di desanya yang sudah biasa ngawayang pada waktu itu. Dan beliau mulai melakukan pertunjukkan Wayang Lemah sejak tahun 1994 setelah menjalani proses pawintenan. Menurut beliau Wayang Lemah adalah pertunjukkan wayang yang berfungsi sebagai pelengkap suatu pelaksanaan upacara keagamaan khususnya di Bali. Menurut beliau kata Lemah pada Wayang Lemah tersebut, memiliki arti palemahan dan menurut penjelasan beliau, kalau beliau melakukan kegiatan Wayang Lemah panggung tempat pertunjukkan itu biasanya dilakukan diatas tanah yang hanya dialasi dengan tikar ataupun yang lainnya. Jadi tidak akan dibuatkan tempat seperti pada wayang pada malam hari. Menurut I Wayan Selamet Wayang Lemah menggunakan beberapa sarana didalam pertunjukkannya  yang mempunyai arti dan makna tersendiri. Sarana yang digunakan seperti, gedebong pisang, kayu dapdap ( kayu sakti), beras/ padi, uang kepeng, benang tukelan dan lintingan sumbu minyak kompor.

Gedebong pisang           : merupakan simbol pertiwi ( tanah).

Kayu dapdap                 : merupakan simbol jiwa yang membuat manusia menjadi hidup dan                          kayu dapdap juga merupakan contoh tumbuh-tumbuhan yang mudah                 untuk hidup, jadi disini juga diharapkan agar kehidupan di bumi ini menjadi lebih mudah.

Beras/padi                     : merupakan simbol Betari Sri, karena manusia tidak akan mungkin bisa hidup    tanpa ada anugrah dari Betari Sri berupa beras.

Uang kepeng                 :simbol Sang Hyang Sedana ( Dewa uang), manusia dalam hidupnya sangat   memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhannya.

Benang tukelan              : merupakan simbol angkasa.

Lintingan sumbu            : merupakan simbol Surya ( matahari).

Kropak wayang             : Simbol bumi tempat manusia hidup.

Wayang                         : Semua wayang yang ada didalam kropak itu adalah simbol dari sifat dan watak tokoh manusia manusia.

Menurut dalang I Wayan Slamet, pertunjukkan wayang lemah menggunakan lakon yang disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan. Kalau misalkan pementasan wayang dilakukan pada upacara Dewa Yadnya, maka lakon yang digunakan adalah Kunti Yadnya, Marisuda Bumi, dan lainnya. Sedangkan pada upacara bhuta yadnya, maka lakon yang digunakan adalah Bima Dadi Caru dan begitu juga upacara-upacara yangg lainnya harus disesuaikan dengan prosesi upacara yang berlangsung.

UPAKARA DALAM UPACARA YADNYA

Posted in Tulisan on Mei 20th, 2013 by yogagiri

PENGERTIAN UPAKARA

Upakara sering dikenal dengan sebutan banten, upakara berasal dari kata “Upa” dan “Kara”, yaitu Upa berarti berhubungan dengan, sedangkan Kara berarti perbuatan/pekerjaan (tangan). Upakara merupakan bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan. Dalam kehidupan agama Hindu di Bali, setiap pelaksanaan upacara keagamaan selalu mempergunakan upakara atau banten sebagai sarana untuk berhubungan/mendekatkan diri dengan pujaannya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang akan dihadirkan.

Upakara atau banten tersebut dibuat dari berbagai jenis materi atau bahan-bahan yang ada, kemudian ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga berwujud aturan atau persembahan yang indah dilihat, mempunyai fungsi simbolis dan makna filosofis keagamaan yang mendalam. Dalam pustaka Bhagawadgita Bab IX sloka 26 menyebutkan tentang unsur-unsur pokok persemambahan itu adalah :

Patram Puspam phalam to yam yo me bhaktya prayacchati      tad aham bhaktyupahrtam asnami prayatatmanah

 

Artinya :

Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun,    bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Dari sloka diatas dapat dilihat hal-hal sebagai berikut :

  1. Daun; dapat berupa janur, ron, tlujungan/daun pisang dan daun yang lainnya yang disebut dengan plawa, sirih, daun pilasa dan sebagainya.
  2. Buah; dapat berupa buah-buahan seperti : kelapa, padi,tingkih,pangi,pinang,pisang, jenis kacang-kacangan serta semua jenis buah-buahan yang dapat dimakan.
  3. Bunga; dapat berupa segala bentuk dan jenis bunga-bungaan yang harum, segar dan yang ditetapkan dan diperkenankan untuk banten.
  4. Air; berupa zat cair seperti : air untuk pembersihan segala sarana banten, air kelapa, arak-berem-tuak, madu, empehan/susu, air kumkuman dan lainnya.
  5. Api/Gni; yang berfungsi sebagai pembakar sarana upakara berupa kemenyan, majagau,serbuk kayu-kayuan seperti cendana,dupa,lilin, dan lainnya.

v  BAHAN UPAKARA

Mengenai bahan-bahan upakara untuk persembahan atau korban suci tersebut, semuanya diambil dari ciptaan Ida Hyang Widhi Wasa di dunia ini dan kesemuanya itu dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

  • Mataya

Adalah sesuatu yang tumbuh. Bahan-bahan ini terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang dipakai sarana upakara terdiri dari berbagai jenis daun,bunga dan buah-buahan.

  • Mantiga

Adalah sesuatu yang lahir dua kali seperti telur itik, ayam, angsa dan lainnya.

  • Maharya

Adalah sesuatu yang lahir sekali langsung menjadi binatang, seperti binatang-binatang berkaki empat misalnya sapi,babi,kerbau dan lain sejenisnya.

v  FUNGSI UPAKARA

1. Sebagai alat konsentrasi

Upakara sebagai alat konsentrasi, hal ini disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas adanya, dalam usaha untuk mendekatkan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya, untuk menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan. Dengan melihat banten/upakara, pikirannya sudah teringat dan terarah pada yang dihadirkan atau dipuja. Penggunaan upakara sebagai alat konsentrasi, umumnya dilakukan oleh mereka yang menempuh jalan melalui bhakti marga dan karma marga dalam ajaran catur marga. Bagi bhakti marga mengutamakan penyerahan diri dan pencurahan rasa yang didasari dengan cinta kasih terhadap yang dipuja yaitu Ida Hyang Widi Wasa dan segala menifestasi-Nya, untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi.

Bagi karma marga, menekankan rasa bhaktinya pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamrih. Kerja merupakan simbol hidup, hidup adalah untuk beryadnya, karena melalui yadnyalah semua yang hidup di dunia ini diciptakan oleh Ida Hyang Widhi Wasa pada jaman dahulu. Hidup manusia dibelenggu oleh kerja, seperti dinyatakan dalam pustaka suci Bhagawadgita sebagai berikut :

“yajnarthat karmano’ nyatra lako’yam karma bandhanah adhartham karma kaunteya mukta sangah samachara (III.9)

Artinya :

Kecuali untuk tujuan berbakti,               dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja,        karenanya bekerjalah demi bhakti,         tanpa kepentingan pribadi, oh Kuntipura.

2) Upakara sebagai persembahan atau kurban suci

Upakara sebagai persembahan, apabila ditujukan kehadapan yang lebih tinggi tingkatannya dari manusia. Disebut kurban suci apabila ditujukan kepada yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia seperti dalam pelaksanaan upacara bhuta yadnya. Maksud dan tujuan dari persembahan atau korban suci itu adalah sebagai pernyataan dari perwujudan rasa terima kasih manusia kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya. Sebagai contoh yang paling sederhana adalah yadnya sesa yaitu persembahan yang dilakukan setiap hari setelah selesai memasak. Mengenai tempat dan dasar sastra dari yadnya sesa adalah ada disebutkan pada Manawa Dharma Sastra III. 68-69 sebagai berikut :

Panca suna grhastasya culli pesanyu paskarah, kandani codakumhasca badhyate yastu vahayan.

Tasam kramena sarvasam niskrtyartham mahasibhih ,  panca klpta mahayajnah pratyaham grhamedhinam.

Artinya :

Seorang Kepala Keluarga mempunyai  lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung, dengan alunya, tempayan tempat tempat air dengan pemakaian mana Ia diikat oleh belenggu dosa

Untuk menebus dosanya yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu,para Maha Rsi telah menggariskan untuk Kepala Keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.

 

3) Upakara sebagai sarana pendidikan memuja Ida Hyang Widhi Wasa.

Upakara  yang telah dapat diwujudkan, merupakan hasil dari pengendalian diri terhadap keterikatan akan benda-benda duniawi. Bila hal itu dihayati lebih mendalam, maka mereka yang telah berhasil membuat upakara untuk diyadnyakan, itu berarti ,mereka telah berhasil menyucikan pikirannya dari rasa ego terhadap karunia Ida Hyang Widhi Wasa yang telah menjadi miliknya. Rasa rela dan rasa tulus ikhlas telah diamalkan, sekaligus perbuatan yang demikian itu telah termasuk dalam upaya penyucian diri secara lahiriah dijiwai dengan rasa bathiniah. Usaha untuk membebaskan diri dari keterikatan pada hawa nafsu guna mencapai kesucian secara lahir dan bathin, sangat diperlukan untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pustaka suci Bhagawadgita sebagai berikut :

“Vita raga bhaya krodha manmaya mam upasritah bahavo jnanam pasa             puta madbhavam agatah (IV.10)

Artinya :

Terbatas dari hawa nafsu, takut dan benci bersatu dan berlindung pada-ku        dibersihkan oleh kesucian budi pekerti banyak yang telah mencapai diri-ku

 

4) Upakara sebagai perwujudan Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi.bsuci yaitu rontal “Yadnya Prakerti,Tegesing Arti Bebantenan”, semua sarana yang dipakai mempunyai arti simbolis, seperti contoh upakara yang paling sederhana yaitu canang, didalam canang itu terdapat daun kayumas (plawa), bunga, dan porosan. Semua itu arti tersendiri, seperti plawa, disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa Plawa adalah lambang pertumbuhan pikiran yang hening dan suci. Dalam proses pelaksanaan pemujaan terhadap Tuhan/Hyang Widhi, sangat wajib hukumnya dilakukan dengan pikiran yang hening dan suci dan atas dasar hati yang tulus ikhlas dengan tanpa berharap akan pahala, karena semua yang dilakukan ini merupakan suatu kewajiban atas ciptaan-Nya. Dalam Bhagawadgita II. 51 disebutkan sebagai berikut :

Karma-jam budhi-yukta hi phalam tyaktva manisinah, janma-bandha-vinirmuktah padam gacchanty anamayam.

Artinya :

Bagi orang bijaksana, yang pikirannya bersatu dengan Yang Maha Tahu, tidak ,mengharap akan hasil dari perbuatannya (sebagai motif), akan tetapi bebas dari perbuatannya karma dan mencapai tempat dimana tak ada penderitaaan.

 

v  MAKNA UPAKARA.

Berbicara mengenai Makna Upakara Yadnya atau banten, dapat dipetik dari pustaka Bhagawadgita Bab III pada sloka 10 sampai 16, dalam pembicaraan Sri Krisna dengan Arjuna, mengenai pentingnya upacara yadnya itu. Pemaknaannya diawali dari yadnya yang dipergunakan oleh Prajapati pada jaman dahulu kala menciptakan manusia untuk mengembangkannya guna memenuhi semua keinginannya.

Apabila dihayati secara mendalam, mengenai diciptakannya manusia dengan yadnya mengingatkan pada kita akan peranan dan kedudukan manusia dalam kehidupannya bila dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup yang lainnya sesama ciptaan-Nya, maka manusia dinilai mempunyai peranan mampu sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam memaknai Yadnya itu. Melalui peranan manusia sebagai manusia sebagai subyek dan obyek, akan mampu mengantarkan mencapai tujuan agama Hindu itu yaitu “Mokshartham Jagadhita ya ca iti Dharma. Singkatnya mencapai kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin melalui jalan dharma.

Untuk mempedomi dan menghayati akan makna upakara atau yadnya tersebut, maka “pentingnya yadnya” dalam pustaka suci bhagawadgita pada 7 sloka, dapat dimaknai secara mendalam. Sloka-sloka tersebut berbunyi sebagai berikut :

10. Sahayajnah prajah srstya puro vaca prajapatih          anena prasavisyadhvam     esa vo stv ista kamadhuk

Artinya

Pada jaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda, dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi Kamadhuk dari keinginanmu.

Kamadhuk adalah sapi Indra yang dapat memnuhi segala keinginan. Makna yang terkandung dalam pengertian sloka ini, adalah sebagai sarana penciptaan manusia pleh Prajapati/Tuhan untuk menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan sempurna yang nantinya akan mengembang dan dapat memenuhi semua keinginannya, karena manusia termasuk mahluk hidup yang sempurna dari yang lainnya.

Selanjutnya pada sloka 11, berbunyi sebagai berikut

Devan bhavayata, nena   te deva bhavayantu vah parasparam bhavayantah sreyah param avapsyatha

Artinya :

Dengan ini kamu memlihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebahagiaan yang maha tinggi.

Makna yang terkandung dalam pengertian sloka ini adalah melalui yadnya yang dipakai sebagai sarana pemeliharaan hubungan antara manusia dengan para Dewa, bermakna saling memelihara dapat mencapai kabaikan yang maha tinggi. Singkatnya hubungan antara rasa subhakti manusia dengan anugrah sweca Ida Hyang Widhi Wasa, tetap dipelihara dengan dasar falsafah Tatwam Asi.

Selanjutnya  pada sloka 12, berbunyi sebagai berikut :

Istan bhogan hi vo deva dasyante yajnabhavitah   tair dattan apradayai ‘bhyo yo bhunkte stena eva sah

Artinya :

Dipelihara oleh yadnya, para Dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.

Makna yang terkandung dalam pengertian pada sloka ini adalah melalui saling memelihara dengan yadnya itu antara manusia yang berhutang hidup pada Dewa (Dewa Rna salah satu dari Tri Rna itu) dengan Dewa yang telah memberikan kesempatan pada manusia untuk hidup, maka para Dewa akan memberikan kesenangan yang diinginkan. Sebaliknya bila manusia hanya menikmatinya saja tanpa memberikan pemeliharaan sebagai balasannya, maka manusia yang demikian dinyatakan sebagai pencuri.

Dalam kehidupan keseharian, manusia telah mendapatkannya apa yang dikehendaki, dan ini semua adalah ciptaan-Nya, maka manusia wajib untuk memelihara dan memanfaaatknnya sesuai dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Namun apa yang telah diciptakan oleh Tuhan dan dinikmati umat, wajib untuk dihaturkan kembali sebagaiannya sebagai ungkapan rasa bhakti umat kehadapan Hyang Widhi dengan berupa yadnya.

Selanjutnya pada sloka 13, berbunyi sebagai berikut :

Yajnasistasinah santo mucyante sarvakilbisaih bhunjate te tv agham papa   ye pacanty atmakaranat

Artinya :

Orang –orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

Makna yang terkandung dalam pengertian pada sloka ini, adalah orang yang baik, akan beryadnya terlebih dahulu sebelum makan kepada para Dewa agar terhindar dari dosanya, tetapi bagi mereka yang tidak baik atau disebut jahat, semua makanan disediakan atau dimakan hanya untuk kepentingannya saja, hal itu disebut mereka memakan dosanya sendiri sehingga menjadi makin besar dosanya.

Berikut pada sloka 14, berbunyi sebagai berikut :

Annad bhavanti bhutani   parjanyad annasambhavah yajnad bhavati parjanyo yajnah karmasamudbhavah

Artinya :

Dari makanan, mahluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.

Makna  yang terkandung dalam pengertian pada sloka ini, adalah lingkaran kehidupan yang menghidupkan  semua yang ada dan kegunaannya saling memerlukan antara yang satu dengan yang lainnya atau ketergantungan itu terletak pada makna dari yadnya yang diciptakan oleh Ida Hyang Widhi Wasa itu.

 

Selanjutnya pada sloka 15, berbunyi sebagai berikut :

Karma brahmodbhavam vidhi brahma ksarasamudbhavam tasmat sarvagatam brahma nitya yajne pratisthitam

Artinya :

Ketahuilah asal mulanya “karma”  didalam weda dan brahma muncul dari yang abadi. Dari itu brahma yang meliputi semuanya selalu berpusat disekeliling yadnya.

Makna yang terkandung dalam pengertian pada sloka ini adalah Brahma yaitu manifestasi Tuhan sebagai pencipta untuk semuanya itu berpusat disekililing yadnya melalui karma-Nya, yang didalam pustaka suci Weda dikatakan bahwa Brahma itu muncul dari yang abadi yaitu Tuhan/Ida Hyang Widhi Wasa. Makna yadnya dalam hal ini adalah sebagai sarana pusat penciptaan.

Selanjutnya pada sloka 16, berbunyi sebagai berikut :

Evam pravartitam cakram na nuvartayati ha yah aghayur indriyaramo mogham partha sa jivati

Artinya :

Ia yang di dunia tidak ikut memutar roda (cakra) yadnya yang timbal balik ini adalah jahat dalam alamnya dan ia, O Arjuna hidup sia-sia.

Makna yang terkandung dalam pengertian pada arti sloka ini adalah mengenai penggunaan yadnya secara timbal balik, yang pada awalnya Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan selanjutnya manusia memelihara semua ciptaan-Nya itu dengan yadnya pula. Bila tidak dilaksanakan seperti itu, maka manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling utama dan sempurna keberadaannya , dinyatakan jahat pada kehidupannya, puas dengan indriyanya dan hidupnya sia-sia serta hampa.