Dokumentasi Tabuh Angklung “Gending Pemungkah” Desa Kayuputih

Angklung merupakan barungan madya berlaras selendro yang dibentuk oleh instrument berbilah dan berpencon yang terbuat dari kerawang ( Buku Selayang Pandang, I Wayan Dibia ). Di Bali Utara khususnya gamelan Angklung yang saya amati memiliki empat nada ( deng, dung, dang, ding ) yang sering di sebut Angklung Don 4 atau Kelentangan. Nama dari Sekeha Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang saya amati adalah “Taman Kerti Budaya” yang terbentuk pada tahun 1942. Struktur atau kelengkapan Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang masih utuh saat ini antara lain, Jegogan, Gender ( umunya disebut Gangsa ), Gangsa ( umumnya disebut Kantilan ), Reong, Kecek, Kendangan kecil, Kempul.

Berdasarkan konteks penggunaan Gamelan ini dibagi menjadi dua yaitu, Tabuh Angklung Klasik atau Klentangan dan Tabuh Angklung Kekebyaran. Untuk Tabuh Angklung Klasik atau Kelentangan biasanya digunakan sebagai sarana seperti di atas, sedangkan untuk Tabuh Angklung yang tergolong baru atau Tabuh Angklung Kekebyaran biasanya digunakan dalam Pergelaran Seni seperti Drama dan Tari, dewasa ini Tabuh Angklung Kekebyaran juga sering kali dipergunakan dalam Upacara Manusa Yadnya ( Pawiwahan ).

Penelitian yang saya lakukan di daerah Buleleng berfokus pada Tabuh Angklung Don 4 ( Kelentangan ) tidak berjudul namun sering disebut Tabuh Pemungkah, yang memiliki beberapa bagian yaitu Pemungkah, Gending Pemungkah, Gegilakan, Icig-Icigan, Lelambatan, Tabuh Telu, namun yang saya teliti dan dianggap paling klasik yaitu Pemungkah, Gending Pemungkah, Gegilakan, Icig-Icigan. Saya melakukan penelitian di Kabupaten Buleleng, Kecamatan Banjar, Desa Kayuputih, Banjar Dinas Desa. Narasumber kali ini adalah seorang penabuh Gamelan Angklung yang sudah sangat lama berkecimpung di kesenian Gamelan Angklung ini, Beliau bernama I Gede Tamu, Beliau lahir di Desa Kayuputih pada tanggal 11 Januari 1948. Beliau merupakan sekeha Angklung Taman Kerti Budaya. Beliau telah sejak lama menekuni dunia Seni contohnya Gender Wayang Kulit, Gender Wayang Wong, Angklung Kebyar Don 8, Baleganjur, Gong Kebyar, Geguntangan, Rindik, Dharma Shanti ( Pesantian ) dan terutama pada kesenian  Angklung Don 4 ( Kelentangan ). Beliau mulai berkecimpung  di dunia Seni saat itu beliau berumur 15 tahun.

  1. SEJARAH BERDIRINYA SEKEHA :

Sebelum saya meneliti tentang Tabuh Klasik dari sekeha Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang saya amati , tidak lupa juga saya menanyakan asal usul atau sejarah berdirinya Sekeha Gamelan Angklung Don 4 ( Kelentangan ) itu terlebih dahulu. Pekak Tamu atau Narasumber saya menceritakan tentang asal usul atau sejarah berdirinya Sekeha Gamelan Angklung Don 4 ( Kelentangan ) ini yaitu diawali dari informasi kerabat dekat ( sahabat kental ) para perintis Seni di Desa tetangga ( Desa Munduk ) tentang Gamelan Angklung Don 4 ( Kelentangan ). Para perintis Seni di Desa Kayuputih pun berembug untuk membeli perangkat Gamelan Angklung Don 4 ( Kelentangan ) dari Desa Tiingan ( Klungkung ). Dengan keadaan Gamelan yang masih belum lengkap sesuai harga yang disepakati di masa itu, para tetua di Desa Kayuputih membeli seperangkat Gamelan dengan di sponsori oleh seseorang yang keadaan ekonominya saat itu lebih mapan. Seiring perjalanan waktu sambil terus menggali dana untuk menyempurnakan perangkat Gamelan yang keberadaannya masih belum lengkap tersebut di tahun 1942. Dengan menyempurnakan atau melengkapi Gamelan yang masih belum lengkap tadi, para pecinta Seni di Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng membentuk sekeha Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang diberi nama  “Taman Kerti Budaya” dan di bentuk pada tahun 1942. Sekeha yang sudah dibentuk terus berlatih Tabuh dan di undang untuk mengiringi berbagai kegiatan Upacara di berbagai wilayah sekitar, hingga berlanjut ke generasi berikutnya sampai generasi sekarang, Beliau menyampaikan seperti itu. 

  1. UPACARA YANG SERING DIIRINGI OLEH TABUH :

Dengan alat-alat yang berukuran relative kecil dan ringan, Gamelan Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang saya amati sering kali dimainkan sebagai pengiring prosesi yaitu : 

  1. Pitra Yadnya : Mengiringi Upacara Pengabenan dari awal sampai akhir, mulai dari Upacara Mungkah, Mengiringi Bade ke setra, Upacara Pengesengan, Nyekah, hingga Upacara Penganyutan ke Segara. 
  2. Dewa Yadnya : Mengiringi Upacara Pengingkupan di Merajan ( Prosesi menyatukan roh leluhur yang sudah di Aben dengan leluhur yang sudah melinggih di Merajan ), Mengiringi Upacara Penangkilan di Khayangan Desa ( Leluhur yang sudah di Aben di persembahyangkan di Pura Khayangan Desa ).
  3. Manusa Yadnya : Mengiringi Upacara “Mepasaran” ( sebagai prosesi pelengkap Upacara 3 bulanan yang mengelilingi Bencingah Agung / pohon Beringin besar yang di keramatkan dan berada di tengah-tengah Pasar sebanyak 3 kali dengan mengusung banten Mepasaran itu sendiri, menggendong bayi yang di Upacarai diikuti Orang Tua sang bayi dimana pemangku Bencingah Agung tersebut sebagai simbol pedagang dan Orang Tua sang bayi sebagai pembeli dengan diiringi Gamelan Angklung ).

Namun tidak memiliki gending-gending khusus untuk Upacara atau Yadnya tersebut.

3. ACUAN PENELITIAN :

Selanjutnya, acuan dari penelitian ini adalah sebuah Tabuh Angklung yang sebenarnya saya dapatkan di daerah Buleleng. Dari pengalaman salah satu kelompok yang pernah mengenal atau mendengar Tabuh Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang memiliki nama bagian, Pemungkah, Gending Pemungkah, Gegilakan, Icig-Icigan, pada saat kecil namun memahami secara detail ketika baru beranjak kuliah di Institut Seni Indonesia Denpasar. Teman saya tersebut mengatakan bahwa  salah satu Tabuh ini merupakan Tabuh yang hanya menyebar di lingkungan Desa tetangga.

Mula-mula saya mendengarkan Tabuh ini dari Narasumber. Memang membutuhkan beberapa kali pengulangan namun Narasumber  mulai mengingat Tabuh tersebut. Saya berfikir bahwa memang benar tabuh ini pernah dikuasai, tetapi Beliau mengingat Tabuh ini tidak memiliki judul namun memiliki nama beberapa bagian yaitu Pemungkah, Gending Pemungkah, Gegilakan, Icig-Icigan.

  1. SEJARAH TABUH :

Hal tersebut di atas sudah sangat wajar terjadi, apalagi karna waktu Tabuh ini sudahlah sangat lama. Mengacu pada hal di atas saya memberikan beberapa pertanyaan kepada Narasumber salah satunya yang paling penting yakni, Kapan tabuh ini dipublikasikan?. Seingat Beliau Tabuh ini dipublikasikan pada era tahun 1935-an. Selain pertanyaan tersebut tentu saya juga menanyakan Siapa yang pertama kali memperkenalkan Tabuh tersebut pada sekeha Angklung yang diikuti oleh Narasumber. Beliau mengingat ada salah seorang Seniman yaitu Pamannya sendiri yang sering di sebut ( Pekak Niti .Alm ) yang berguru kepada tokoh Seniman Tabuh Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang berasal dari Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng yang bernama ( Cening Cadra .Alm ). Dari segi fungsi masih utuh dan sama bahwasanya Tabuh Angklung Don 4 ( Kelentangan ) ini dominan berfungsi dalam mengiringi Upacara Pitra Yadnya dan  bahkan menariknya tabuh ini di Buleleng tepatnya Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, kerap kali digunakan dalam Upacara Manusa Yadnya ( Mepasaran ).

  1. CIRI KHAS ANGKLUNG :
  • Nada oktaf / ceceburnya lebih tinggi 
  • Panggul Gamelan untuk di tungguhan Gender ( umumnya disebut Gangsa ), memakai panggul bulat seperti panggul Gender Wayang
  • 2 tungguh Jegog dipukul oleh seorang penabuh ( sering disebut ngakit )
  • Sepasang Kendang dipikul oleh seorang penabuh ( sering disebut ngakit )
  • Tidak memakai Klenang
  • Tidak memakai Tawa-tawa
  • Dikatakan, dahulu Angklung Klentangan ini memiliki instrument yang bernama atau mereka sering menyebut dengan nama Selonding ( instrument ini tidak seperti selonding pada umumnya, melainkan instrument selonding ini memiliki bentuk seperti Kantilan pada umumnya. Namun bilahnya lebih tebal dan pendek agar menghasilkan suara yang cukup nyaring/tinggi. Sehingga dahulu sering dikatakan bunyinya seperti suling dari kejauhan ).
  1. STRUKTUR TABUH :

Selain hal-hal penting di atas mengenai Tabuh Angklung ini saya sempat menanyakan mengenai struktur dari Tabuh Angklung ini untuk membuktikan apakah benar-benar sama. Untuk umumnya Tabuh ini memiliki struktur, Gineman, Pengawit, Pengisep, Pengecet, namun Narasumber mengatakan bahwa Tabuh Angklung ini hanya memiliki struktur yakni, Pemungkah, Gending Pemungkah, Gegilakan, Icig-Icigan. Pemungkah adalah Tabuh pengawit, Gending Pemungkah adalah rangkaian daripada Pemungkah yang meliputi Gegilakan dan Icig-icigan. Tapi untuk pengawak dan pengisep memang dalam Tabuh ini dibedakan dalam struktur tapi sebenarnya Pengawak dan Pengisep merupakan gending yang sama hanya saja tempo yang berbeda.

Yang menarik adalah Beliau sempat mengatakan bahwa untung ada Mahasiswa yang melakukan penelitian terhadap Tabuh-tabuh Angklung dan Beliau saat ini sangat berminat untuk mengenalkan Tabuh tersebut ke generasi penerus khusunya anak- anak muda di daerahnya, karena menurut Beliau makna dan arti dari Tabuh ini memiliki keindahan yang baik dan enak didengar. Jadi hal tersebut membuat saya merasa bahwa penelitian ini membawa manfaat bagi masyarakat pecinta Kesenian Angklung ini untuk mengingat dan melestarikan Tabuh-tabuh Angklung Don 4 ( Kelentangan ) yang bersifat klasik yang hampir terlupakan.

https://youtu.be/_Hi7zw8hi-I