PKB

Pesona penampilan gong kebyar sudah tampak sejak awal PKB di tahun 1979. Namun, jauh sebelum dikenal luas di penjuru Bali, gairah bergongkebyar ria sudah semarak di tanah kelahirannya di Bali Utara. Pada tahun 1920-an, mebarung—pentas dalam satu panggung saling unjuk kebolehan—sudah mentradisi di pelosok desa di Buleleng, yang digelar dalam berbagai kesempatan. Setelah gong kebyar mulai menjadi media berkesenian secara umum di tengah masyarakat Bali pada tahun 1930-an, gong kebyar mebarung antar kerajaan pun kian membuat gamelan yang dikembangkan dari gamelan kuno gong gede ini makin tak terbendung. Tidak sedikit gamelan gaya Bali Selatan seperti gamelan Semarpagulingan diubah menjadi gong kebyar.
Daya pukau gong kebyar terus melambung memasuki tahun 1960-an. Pagelaran gong kebyar dengan label Utsawa Merdangga mengguncang masyarakat Bali. Melalui sebutan festival dalam format lomba, memunculkan grup-grup gong kebyar yang tangguh. Seka-seka gong kebyar terampil itu bersemi di desa-desa yang para anggotanya berasal dari satu desa bahkan satu banjar. Pada saat tahun rentang riuhnya festival gong kebyar itu, dikenal misalnya Gong Pinda di Gianyar, Gong Geladag di Badung (sebelum jadi Denpasar), dan Gong Jagaraga di Buleleng. Hingga kini ketenaran grup-grup gong kebyar tersebut masih membekas dalam ingatan masyarakat Bali generasi yang pernah menyaksikan kedigjayaan seka-seka gong kebyar sebunan itu. Gong kebyar adalah primadona Pesta Kesenian Bali (PKB). Tengoklah sajian Parade Gong Kebyar pada arena PKB ke-39 di Taman Budaya Bali.
Antusiasisme penonton luar biasa, rela berdesak-desakan untuk dapat menyaksikannya. Seperti pada Selasa malam (13/6) lalu, suguhan secara mabarung duta Kabupaten Gianyar berhadapan dengan utusan Kabupaten Klungkung disimak penuh minat ribuan penonton. Sekitar tiga jam penonton tak beranjak dari tempat duduknya menikmati konser gamelan dan seni tari yang disertai aksi para penabuh nan lincah membuncah sarat gairah. Kelahiran gong kebyar di tengah tindasan pahitnya era penjajahan di masa lalu itu, kini berbuah manis. Gong kebyar menjadi genre seni yang eksis sejagat. Di tengah masyarakat Bali sendiri, gamelan yang lazim dimainkan sekitar 30-40 penabuh tersebut begitu multi fungsi. Ia hadir dalam beragam kesempatan ritual keagamaan, baik berdiri sendiri sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi puspa warna seni tari wali dari lenggang rejang hingga tuturan topeng sakral. Gong kebyar juga tampil sebagai atau mengiringi pertunjukan hiburan, dari sajian eloknya legong keraton hingga tontonan drama gong.

GAMELAN GONG SULING

Gamelan Gong Suling adalah barungan gamelan yang didominir oleh alat-alat tiup suling bambu yang didukung oleh instrumen-instrumen lainnya. Gamelan yang berlaras pelog lima nada ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1950.
Gong Suling pada hakekatnya merupakan pengembangan dari Gong Kebyar, tabuh – tabuh yang dibawakan hampir semuanya berasal dari Gong Kakebyaran, hanya saja pembawa melodinya tidak lagi gangsa yang terbuat dari krawang melainkan sejumlah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda.
Ada sedikitnya 30 suling di dalam barungan ini. Tingkatan tinggi rendah nadanya meniru tingkatan bunyi gangsa dalam Gong Kebyar. Lebih dari itu fungsi dari masing-masing instrumen juga disusun seperti Gong Kebyar, ada suling yang berfungsi sebagai jegogan, jublag, ugal, pemade dan kantil.