Archive forMaret, 2018

GAMELAN PALEGONGAN & BENTUK GENDING PALEGONGAN

Menurut lontar “Tutur Catur Muna-Muni”, gamelan Smar Pegulingan digunakan untuk membawakan gending Tari Barong Singa, gamelan Smar Petangian digunakan untuk membawakan gending Legong Kraton (Palegongan), Smara Palinggihan digunakan untuk membawakan gending Tari Joged Pingitan, Smara Palinggihan digunakan untuk membawakan gending Tari Barong Ket. (Bandem, 1986: 81). Hal ini membuktikan bahwa adanya fungsi gamelan Bali untuk membawakan gending tari. Dalam pembahasan kali ini, pencarian informasi menggunakan metode kualitatif dengan cara wawancara dan Hal yang akan dibahas meliputi: Gamelan Palegongan, Bentuk-bentuk Gending Palegongan, Tabuh Pisan Palegongan (Sisya), Tabuh dua Palegongan (Legong Kreasi Wargasari), Tabuh Telu Palegongan (Legong Lasem), alasan digunakannya Legong Kreasi Wargasari untuk dianalisa karena gending tarinya merupakan gending kreasi legong dan ada hal-hal menarik yang ada dalam gendingnya terutama dalam pengawak gending.  Pembuatan laporan ini bertujuan untuk menambah informasi baik bagi penulis maupun pembaca mengenai gamelan palegongan dan tabuh pisan, dua, telu palegongan.

GAMELAN PALEGONGAN SECARA UMUM

Gamelan Palegongan berasal dari dua istilah yakni Gamelan dan Palegongan. Gamelan ialah sebuah orkestra yang terbuat dari batu, kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog dan slendro. Istilah gamelan dipakai juga untuk menyebutkan musik (gending-gending) yang dihasilkan oleh permainan instrument-instrumen di atas. Palegongan berasal dari istilah Legong imbuhkan awalan pa- dan akhiran –an. Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata “leg” yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan “gong” yang identik dengan gamelan. “Legong” dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gending tarinya atau gamelannya. Palegongan merupakan sebuah konsep yang instrumennya gamelan semar petangian dan menurut lontar ”tutur catur muna-muni” instrumen yang digunakan untuk membawakan gending palegongan adalah Semara Petangian yang sekarang lumrahnya disebut gamelan palegongan.

Gamelan palegongan jika dilihat dari bangun instrumennya kemudian bentuk-bentuk gendingnya yang menunjukan ciri-ciri keaslian, maka dapat diyakinkan bahwa gamelan palegongan tidak termasuk pada kelompok gamelan golongan tua namun merupakan gamelan golongan madya. Gamelan palegongan itu baru ada setelah adanya gamelan semarpagulingan yang berlaras pelog 7 nada. Pada gamelan semarpagulingan masih banyak terlihat adanya pengaruh-pengaruh dari gamelan jawa dalam hal ini yaitu pengaruh Mojopahit, tetapi pada gamelan palegongan hal itu sudah amat tipis. Diyakinkan gamelan semarpagulingan itu diciptakan di Bali dan mungkin pertama dibuat di Puri Semarapura di Klungkung pada saat perpindahannya dari Puri Linggarsapura di Gelgel. Menurut seorang informan asal kamasan menyatakan bahwa semarpagulngan yang asli milik Raja Klungkung sudah tidak ada lagi sekarang, sedangkan gamelan semarpagulingan yang ada di Kamasan telah dibuat sekitar tahun 1920 oleh Keluarga Pande Aseman dari Tiyingan. Pada mulanya gamelan semarpagulingan hanya ada di puri-puri saja dan tidak pernah digunakan untuk mengiringi tari-tarian atau juga bisa dibilang tidak difungsionalkan sebagai tontonan umum, namun gamelan semarpagulingan hanya digunakan untuk kepentingan upacara-upacara adat/ agama saja. Berbeda dengan gamelan semarpagulingan, gamelan palegongan sifatnya sangat umum untuk masyarakat dalam artian sudah dari dahulu tersebar luas dimasyarakat dan milik rakyat dan digunakan untuk mengiringi tari-tarian legong. Seiring berjalannya waktu, sejak berkembangnya pengaruh gamelan gong kebyar di Bali yaitu pada jaman penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945 banyak sekali gamelan palegongan tersebut yang dilebur kembali untuk dijadikan gong kebyar. Adapun wujud barungan gamelan palegongan yang terdiri dari berbagai instrumen dan masing-masing fungsi yang berbeda:

  • Gender rambat, istilah gender rambat ini berasal dari gender embat. Gender ialah gamelan yang berbentuk bilah. Dan istilah embat diambil dari pukulan ngembat (sistem pukulan yang menggunakan kedua tangan dengan masing-masing tangan memegang panggul/pemukul yang memukul nada-nada mengapit 4(empat) nada didalamnya. Jadi gender rambat adalah pengembangan kata dari gender embat. Gender rambat memakai 13/ 14/ 15 bilah. fungsi gender rambat meliputi: untuk permainan bebas sebelum mulai gending (pengrangrang), mulai/ngawit gending, menjalankan melodi gending.
  • Gender barangan memiliki fungsi: mengisi rongga permainan gender rambat, membuat jalinan-jalinan.
  • Gangsa jongkok, ialah bilah-bilah yang lubang bilahnya dipatok dengan paku untuk menahan bilah diatas pelawahnya. Terdiri dari pemade dan kantilan. Fungsi gangsa jongkok untuk membuat jalinan-jalinan melodis.
  • Gangsa gantung, ialah instrumen berbilah yang bilah-bilahnya digantung dengan jangat (tali yang terbuat dari kulit sapi) pada pelawahnya. Instrumen ini biasa disebut dengan penyacah. Fungsinya adalah pembawa gending dan pukulannya melipat gandakan pukulan jublag
  • Jublag, instrumen bilah gantung yang berfungsi menjalankan patron-patron gending.
  • Jegog, instrumen bilah gantung yang berfungsi memperjelas tekanan-tekanan gending atau pukulan jatuh pada pukulan jublag yang ke-2(dua).
  • Kemong, instrumen berpencon yang digantung dan berfungsi sebagai mematok ruas-ruas gending yang biasanya dihitung pada gending bagian pengawak.
  • Kempul, instrumen pencon yang digantung yang ukurannya lebih besar dari kemong yang berfungsi sebagai gong (finalis gending)
  • Kajar, instrumen pencon yang tidak digantung namun dipukul diatas pelawahnya dengan cara satu tangan menahan instrumen, satu tangan lagi untuk memegang alat untuk memukul. Fungsinya yaitu sabagai pengatur ritme.
  • Klenang, instrumen pencon yang fungsinya mengisi rongga-rongga mat (ritme)
  • Cengceng gecek, instrumen berupa logam bundar yang berfungsi untuk mengendalikan dan membuat angsel-angsel dengan kendang.
  • Kendang, sepasang kendang kerumpungan (lanang-wadon) yang berfungsi sebagai: penguasa irama, penghubung bagian-bagian gending, membuat angsel-angsel bersama ceng-ceng, mengendalikan lampah gending.
  • Suling, instrumen bambu yang berukuran besar, menengah, dan kecil. Fungsinya sebagai; memperindah bagian gending yang lirih, menghidupkan suasana tegang pada bagian batel.
  • Rebab, Instrumen gesek yang bersumber bunyi dari dawai dan kulit. Fungsinya sama dengan suling.
  • Genta Urag, Instrumen yang terdiri dari banyak genta kecil yang disusun dalam poros melingkar. Fungsinya memperamai kempul sebagai gong (finalis).

BENTUK GENDING PALEGONGAN

Sesuai dengan masing-masing barungan gamelan di Bali yang bentuknya gendingnya mengkhusus, maka gending-gending dari setiap jenis gamelan itu mempunyai pola susunan komposisi berbeda-beda yang menimbulkan bentuk yang khas. Katakanlah gamelan yang termasuk gamelan golongan tua di Bali meliputi: gong luwang, selonding, gender wayang, gambang, semuanya mempunyai kekhasannya masing-masing mulai dari teknik permainan hingga strukur komposisi gending yang berbeda yang mana masing-masing mempunyai keasliannya. Demikian pula halnya gending-gending palegongan mempunyai bentuknya sendiri-sendiri dengan ciri-ciri keasliannya berbeda dengan gamelan yang lainnya. Ciri khas dalam palegongan yaitu penonjolan melodi gender rambat, kemudian ponojolan pukulan kendang pada bagian pengawak gending dan susunan komposisi yang memberikan peluang untuk tandak (olahan seni vokal) yang menghiasi jalan gending dengan mengkomunikasikan alur cerita.

Penyusunan gending dalam palegongan dibakukan dengan tiga unsur pokok yang wajib adanya dalam gending palegongan, yakni: pangawak, pangecet, pakaad. Setelah adanya ketiga unsur pokok tersebut, diantara bagian pokok itu terdapat gending transisi yang sifatnya fakultatif (tidak diwajibkan) karena tidak semua gending palegongan menggunakan gending transisi yang sama. Yang termasuk dalam gending transisi atau juga disebut melodi pelengkap meliputi: pengalihan/ gineman, pangawit, papeson, bapang, lelonggoran, pangipuk, batel, batel maya, pangetog, pamalpal, tangis, transisi pangawak, semi pangecet. Selain penyusunan gending palegongan, terdapat penggolongan ukuran gending atau juga disebut ukuran tabuh yang meliputi: tabuh pisan palegongan, tabuh dua palegongan, tabuh telu palegongan. Pembeda dari ukuran-ukuran gending tersebut dapat dilihat diukuran pengawak gending. Pengawak (awak atau badan), merupakan bagian utama dari sebuah gending dan melalui dari bagian pengawak ini, seseorang akan dapat mengetahui uger-uger (ukuran atau peraturan) dari sebuah gending (Bandem, 2013: 150). Berikut penjelasan tabuh pisan, dua, dan telu:

  1. a) Tabuh Pisan

Jika dilihat dari bagian pangawaknya, Gending sisya dinyatakan sebagai tabuh pisan karena mempunyai ukuran dan syarat sebagai berikut: (a) 48 matra, (b) 15 paniti (pemangku) jegogan, (c) 48 peniti jublag, (d) 96 peniti penyacah, (e) 1 kali pukulan kemong, (f) 1 kali pukulan kajar nerutuk, (g) 1 motif pupuh (kerangka pukulan) kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan nerutuk (kode) sebagai pertanda bahwa gending itu akan mencapai finalis, (h) 1 kali pukulan gong (kempul). Adapun strukur gendingnya meliputi: kawitan, penyalit, pengetog, pengawak, pengecet, pakaad.

Keterangan:

– = ketukan,                3 = ding,               4 = dong,             5 = deng,     7 = dung,     1 = dang,

^ = jegog,                            T = kemong,       (…) = gong,

Warna merah pada font = melodi gender rambat,      Warna hitam pada font = melodi penyacah

4 4 34 5
5 7 5 4 3 5 5 7 1 1 7 5^
4 5 4 3 4 3 4 5 4 3 1 1 7 1 3^
4 3 4 5 4 3 4 5 5 7 1 7 5^
5 5 5 5 5 7 5 4^
4 4 5 3 5 7 1 5^
5 7 1 5 5 4 5 3^
3 1 7 3 3 4 5 3^
4 3 4 3 4 1 3 4^
5 7 5 7 7 5 7 4^
5 4 5 4 4 5 7 4^
7 1 7 1 1 3 4 1^
3 1 3 1 1 3 1 4^
3 5 3 5 5 4 5 3^T
4 3 1 7 3 5 7 4^
5 7 7 5 7 1 5 (7^)

Penjelasan :

Penyacah Jublag Jegogan
80 40 13 Kemong (T)
16 8 2 Gong
Jumlah matra     = 12 x 4                 = 48
penyacah            = 80 + 16              = 96
jublag                    = 40 + 8                = 48
jegogan                = 13 + 2                = 15
kajar                      = 1 + 0                   = 1
kemong               = 1 + 0                   = 1
gong                      = 0 + 1                   = 1Dalam satu pukulan gong (kempul)

b) Tabuh Dua

Jika dilihat dari bagian pengawak gending, gending palegongan Wargasari digolongkan tabuh dua karena pukulan kemong dan pola kendang yang diulang dua kali dengan aturan gending seperti berikut: (a) Jumlah matra 56, (b) pukulan penyacah 78 kali, (c) pukulan Jublag 39 kali, (d) pukulan Jegogan 17 kali, (e) pukulan kajar nerutuk 2 kali, (f) pukulan kemong 2 kali, (g) pukulan gong 1 kali. Gending yang dijadikan tabuh dua disini yaitu Gending Legong Kreasi “Wargasari” karya I Wayan Merta yang menggunakan gamelan palegongan milik Banjar Taman, Sanur. Adapun kekhasan dari gending ini ialah penggunaan suling gambuh. Alasannya karena menurut I Wayan Merta jika gamelan palegongan di Banjar Taman, Sanur ini menggunakan suling ukuran kecil, maka tidak akan enak didengar (terlalu melengking) berkenaan juga dengan suara gamelan palegongan itu dapat dikategorikan sebagai suara gamelan yang lebih tinggi dari ukuran suara gamelan palegongan seperti biasanya, maka digunakan suling gambuh yang bertujuan penyeimbang suara gamelan agar tidak terlalu melengking dan adanya kesan atau suara mendayu-dayu pada saat perangrang yang dihasilkan oleh suling gambuh yang ukurannya relatif besar. muncul dari garapan tersebut. Jika dilihat dari bentuk pengawaknya sangat banyak pengelabuan-pengelabuan gending, seperti motif kendang yang di 2x lipatkan iramanya, beberapa melodi gender rambat yang sengaja dihilangkan dengan kesan penonjolan motif kendang, mengapa digarap seperti itu? Menurut Bliau, Penata Tari Ida Ayu Ratih Wagiswari meinginkan hal yang demikian.

DESKRIPSI WARGASARI

Wargasari berarti kumpulan bunga hati adalah judul dari tari Palegongan yang digarap, dengan mengangkat tema kesetian. Tari Palegongan ini merupakan pengembangan dari tari klasik yang disebut Legong. Meskipun dikatakan tari kreasi, segala pengembangannya baik pola gerak, struktur, kostum, musik iringan dan karakteristik dari tari Palegongan Wargasari ini masih berpijak pada pola-pola tari Palegongan. Karya seni tari ini berbentuk kelompok dengan menggunakan tujuh orang penari putri. Menggambarkan kesetiaan I Gusti Ketut kaler kepada I Gusti Ngurah Kepandean yang bersedia untuk menyupatnya dan bersedia menjadi pendamping dari I Gusti Ayu Bunter untuk dijadikan istri yang akan memerintah kerajaan Intaran selanjutnya.

Karya seni tari ini berdurasi 15 menit yang terdiri dari delapan bagian yaitu pengawit, menggambarkan Ida Pedanda Made Sidemen yang sedang menyurat lontar, yang akan diisi vokal oleh salah satu penari dan juga ada gabungan dari teknologi yaitu proyektor yang akan menampilkan gambaran seorang pendeta yang sedang membuat sebuah karya sastra. Pepeson, menggambarkan rakyat Wana Mimba dengan yang senang gembira karena ada Raja yang sudah memimpin di Desanya. Pengawak, menggambarkan adanya utusan datang dari Puri Pemecutan Denpasar. Pengrangrang, menggambarkan roman antara Gusti Ayu Bunter dengan Gusti Ketut Kaler yang akan ditambah vokal dari penari. Pengetog, menggambarkan kegelisahan I Gusti Ayu Bunter. Pangecet, menggambarkan pohon intaran yang cantik dan senantiasa tetap kokoh walau ditiup angin. Pasiat, menggambarkan terbunuhnya I Gusti Ngurah Kepandean oleh I Gusti Ketut Kaler terjadi peperangan kecil (pesiat) dan akhirnya Raja Kepandean mati di tangan anak dan menantunya, pakaad menggambarkan ketulusan seorang anak dan menantunya melihat I Gusti Ngurah Kepandean sudah mendapatkan Moksa.

Kostum yang akan digunakan, yaitu menggunakan baju berwarna gold, kain (kamen) berwarna hijau yang dikombinasikan dengan warna gold dan merah cabai lamak berwarna merah yang dihiasi warna gold dan hijau, ankin berwarna hijau yang dikombinasikan dengan warna merah cabai serta berisikan prada, gelungan seperti gelungan raja agak tinggi menggunakan kerucut dan pastinya bunga bancangan di sisi kanan dan kiri depan, selain itu kipas sebagai properti berwarna hijau dan merah cabai. Tata rias yang digunakan tata rias putri halus.

Gamelan yang akan dipergunakan untuk mengiringi tarian ini, yaitu Gamelan Palegongan yang gendingnya masih berpijak pada gending-gending Legong pada umumnya atau dapat dikatakan masih bernuansa klasik. Selain gamelan, tari Palegongan ini disertai dengan vokal (tandak) dari dalang dan juga vokal dari penari pada setiap bagian-bagian tertentu, seperti pengawit, pepeson, pengawak, pengrangrang, pengetog, pengecet, pesiati dan pakaad.

Adapun komposisi gendingnya meliputi: pangawit, papeson, pangawak, parangrang, pangetog, pangecet, pasiat, pakaad. Notasi pengawak gendingnya sebagai berikut:

Keterangan:

– = ketukan,                3 = ding,               4 = dong,             5 = deng,     7 = dung,     1 = dang,

^ = jegog,                    T = kemong,       (…) = gong,

Warna merah pada font = melodi gender rambat,      Warna hitam pada font = melodi penyacah

  1 3 1 4
4 34 5 4 54 3 -3 13 4 5 4 34 5^
17 5 13 4 4 54 3^
1 7 57 1 7 5 7 1 3 1 7^
5 7 5 7 5 7 7 4^
5 4 5 7 4 5 7 4^
5 4 5 4 4 5 4 3^
4 3 4 5 7 1 5^T
5 5 71 4 3 5 5 7 5 4 3 5 -5 7 17 5^
5 43 17 3 3 43 5 41 31 71 3^
4 3 4 3 4 3 4 3^
4 3 4 3 3 4 5 3^
4 3 5 7 5 7 5 1^
3 4 3 4 3 5 7 4^T
5 4 5 4 5 4 5 4^
4^
4^
1 3 4 3 4 5 (4^)

penjelasan:

Penyacah Jublag Jegogan
31 16 7 Kemong (T)
32 16 6 Kemong (T)
15 7 4 Gong (…)
Jumlah matra = 14 x 4            = 56

penyacah         = 31 + 32 + 15 = 78
jublag              = 16 + 16 + 7   = 39
jegogan           = 7 + 6 + 4        = 17
kajar                = 1 + 1 + 0        = 2
kemong           = 1 + 1 + 0        = 2
gong                = 0 + 0 + 1        = 1

a) Tabuh Telu
Jika dilihat dari bagian pangawaknya, Gending Lasem dinyatakan sebagai tabuh telu karena mempunyai ukuran dan syarat sebagai berikut: (a) 64 matra, (b) 16 paniti (pemangku) jegogan, (c) 32 peniti jublag, (d) 128 peniti penyacah, (e) 3 kali pukulan klentong, (f) 3 kali pukulan kajar nerutuk, (g) 3 motif pupuh (kerangka pukulan) kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan nerutuk (kode) sebagai pertanda bahwa gending itu akan mencapai finalis, (h) 1 kali pukulan gong (kempul). Adapun strukur gendingnya meliputi: kawitan, pangawak, pangecet, batel maya, gineman, pangipuk, angkat-angkatan, batel maya, gineman, guwak macok, pakaad. Berikut notasi gending bagian pengawak:
Keterangan:
– = ketukan, 3 = ding, 4 = dong, 5 = deng, 7 = dung, 1 = dang,
^ = jegog, T = kemong, (…) = gong,

3 3 1 1 3 4 3 1 3 3 4 54 3^
5 4 3 3 7 7 5 4 3 1 3 3 4 5 4 3^
3 4 4 5 7 1 7 5 74 4^
4 4 5 7 1 7 5 4 3 1 3 4 5 4 3^T
3 3 4 5 7 1 7 5 75 4^
4 4 5 7 1 7 5 4 3 1 3 1 3 4 5^
5 5 4 5 7 5 4 5 7 1 7 5^
7 4 5 7 1 7 5 4 3 4 7 7 5 4^T
4 4 3 4 4 4 5 7 5 4^
7 4 5 7 1 7 5 4 3 4 7 7 5 4^
4 4 1 3 4 5 7 1 7 5 3 7 1 3^
3 4 5 7 5 4 3 1 7 1 3 4 3 1^T
1 1 7 1 3 1 7 1 3 4 3 1^
1 1 3 1 7 5 4 5 7 1 7 5^
5 5 7 4 5 7 1 7 5 7 1 3 1 7^
3 7 1 3 1 3 1 7 1 3 1 3 4 5 4 (3^)

KESIMPULAN

Tabuh Pisan, Tabuh Dua, dan Tabuh Telu Palegongan merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggolongkan suatu gending menurut ukuran gending. Hal spesifik yang membedakan ketiga istilah tersebut dapat dilihat dan didengar pada pengulangan pupuh kendang, bunyi klentong, dalam 1 kali gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh pisan sebanyak 1 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 1 kali klentong dalam 1 gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh dua sebanyak 2 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 2 kali klentong dalam 1 gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh telu sebanyak 3 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 3 kali klentong dalam 1 gong.

 

KEPUSTAKAAN

Bandem, I Made. 2013. GAMELAN BALI di Atas Panggung Sejarah. Denpasar: STIKOM BALI

______________. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar

  1. Perkembangan LEGONG KERATON Sebagai Seni Pertunjukan. Bali: Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya

 

DAFTAR INFORMAN

Nama                    :               I Wayan Merta
TTL                         :               Denpasar, 18 April 1968Lulusan                 :               SMKI (Kokas)
Pekerjaan           :               Seniman
Alamat                  :               Br. Taman, Intaran Sanur, DenpasarPrestasi                :               1. Penabuh GKD Duta Denpasar
2. Komposer tabuh legong Wargasari  2014
Nama                    :               Ida Ayu Ratih Wagiswari
TTL                         :               Denpasar, 29 April 1982
Lulusan                 :               ISI Denpasar
Pekerjaan           :               Pegawai Dinas Kebudayaan
Alamat                  :               Br. Taman, Intaran Sanur, Denpasar
Prestasi                :               Koreografer Tari Legong Wargasari 2014

 

Komentar

BABONANGAN DIAMBIL ALIH BALEGANJUR

ABSTRAK
Seni musik merupakan sebuah kreatifitas yang sudah dibuktikan keberadaannya dari zaman prasejarah dan selalu berkembang mengikuti zaman. Perkembangan seni musik sangatlah pesat dilakukan oleh seniman sendiri, dengan terus mengeksplorasi pembaharuan-pembaharuan yang ada pada zamannya hingga menyebabkan adanya musik-musik yang khas menurut jamannya. Di Bali musik mempunyai istilah lain yaitu karawitan. Karawitan ada dua yaitu Karawitan Vokal (Tembang) dan Karawitan Instrumental (Gamelan). Karawitan berarti seni suara instrumental dan vokal yang menggunakan laras (tangga nada) pelog & slendro. Asal mula Karawitan Instrumen Bali disimpulkan menjadi beberapa fase, yakni: Masa Prasejarah; Masa Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna; Masa Kedatangan Orang-Orang Majapahit, Masa Kejayaan Raja-raja Gelgel dan Klungkung; Masa Pemerintahan Belanda; Masa Kemerdekaan; dan Masa Kini. Jika menurut periodesasinya, gamelan Bali digolongkan menjadi tiga: gamelan golongan tua, gamelan golongan madya, gamelan golongan baru. Gamelan Babonangan termasuk dalam gamelan golongan tua namun lebih eksis keberadaannya pada periodesasi golongan baru, berlaras pelog 4 nada, yang difungsikan dalam ritual Yadnya (Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya), mempengaruhi barungan gamelan lain diantaranya gamelan okokan dan gamelan baleganjur, mempengaruhinya dari segi instrumen dan pola gendingnya. Pengaruh tersebut berdampak negatif terhadap Gamelan Babonangan, keberadaan dan fungsionalnya tergeser oleh adanya Gamelan Balaganjur. Fenomena itu terjadi karena pesatnya perkembangan Gamelan Balaganjur, yakni sebagai iringan baru berupa iringan pawai, hingga di kompetisikan dalam konteks kreasi baru, mulai dari struktur gending, teknik permainan, dinamika, ritme yang baru. Perkembangan Balaganjur membuat keberadaan Gamelan Babonangan ini seperti diisolasi. Guna menjaga kelestarian Gamelan Babonangan peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam menanggulangi kepunahan Gamelan Babonangan beserta gending-gendingnya.
Kata Kunci: Gamelan, Yadnya, Babonangan, Balaganjur, Pengaruh.

PENDAHULUAN
Musik merupakan sesuatu hal yang sudah mempengaruhi bahkan ikut berkembang bersama mengikuti peradaban manusia. Sehingga timbul analogi peradaban manusia bergandengan dengan musik atau musik bergandengan dengan peradaban manusia. Di Bali musik mempunyai istilah lain yaitu karawitan yang berasal dari kata rawit yang berarti halus, diawali dengan awalan ke- dan akhiran –an. Karawitan Bali digolongkan menjadi dua yakni, karawitan vokal (tembang) dan karawitan instrumen (gamelan). Karawitan berarti seni suara instrumental dan vokal yang menggunakan laras (tangga nada) pelog & slendro. Istilah pelog adalah tangga nada (laras) dalam Karawitan Bali yang jarak nadanya berjauhan (1 . 3 4 5 . 7 1 atau do . mi pa sol . si do), sedangkan istilah slendro adalah tangga nada (laras) dalam Karawitan Bali yang jarak nadanya berdekatan (1 2 3 . 5 6 . 1 atau do re mi . sol la . do). Gamelan Bali (karawitan instrumen Bali) sudah ada sejak zaman dahulu. Untungnya kebanyakan bentuk gamelan yang diwarisi dari zaman dahulu hingga sekarang masih hidup hingga dapat dilestarikan. Untuk memudahkan penulisan asal mula gamelan Bali ini, perlu dibuat fase-fase perkembangan gamelan Bali, yakni: Masa Prasejarah (2000 S.M-Abad VIII); Masa Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna (Abad X- Abad XIV); Masa Kedatangan Orang-Orang Majapahit, Masa Kejayaan Raja-raja Gelgel dan Klungkung (Abad XIV-XIX); Masa Pemerintahan Belanda (1846-1945); Masa Kemerdekaan (1945 – Akhir Abad XX); dan Masa Kini (Akhir Abad XX – Awal Abad XXI).
Pada Masa Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna mulai adanya hubungan yang erat antara Bali dan Jawa sejak abad VIII menyebabkan kesenian Bali, termasuk gamelan mendapat pengaruh dari Hindu Jawa. Bentuk-bentuk seni pertunjukan pada waktu itu belum diketahui secara pasti namun sudah ditemukannya prasasti Sukanawa A I yang berangka tahun 882 Masehi dan menyebutkan adanya
“… instrumen papadaha balian (gendrang berujung dua), & Prangsangkha (trompet kulit kerang), pamukul tangkalik (bermain silafon bambu); serta Prasasti Bebetin yang berangka tahun 896 Masehi, yang menyebutkan beberapa jenis seni pertunjukan yang ada di Bali, seperti pande tembaga (pengrajin tembaga), pamukul (pemain bunyi-bunyian), pagending (biduan), pabunjing (penari), papadaha (pemain gendrang), parbangsi (pemain rebab, sejenis lute dengan dua dawai), partapukan (penari topeng), parbwayang (pertunjukan wayang, boneka dari kulit atau kayu), Prasasti itu dibuat oleh pegawai kerajaan Singamandawa pada bulan ke-10 hari pasaran wijayamanggala …”. (Bandem, 2013: 18).
Gamelan Bali menurut periodesasinya dapat digolongkan menjadi 4 golongan:
Gamelan Golongan Tua
Gamelan golongan tua diperkirakan sudah ada sejak Masa Prasejarah, 2000 S.M.-Abad VIII; Masa Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna, Abad IX-XIV. Yang paling mencirikhaskan suatu gamelan digolongkan dalam gamelan golongan tua yakni fungsional kendang dalam suatu ansambel (barungan gamelan) yang belum sebagai pemurba irama atau pemimpin gending, namun hanya sebagai pelengkap. Contohnya seperti ansambel Gong Luwang, Slonding, Gender Wayang, Angklung 4 nada, Gambang, Bheri, Ponggang, Babonangan.
Gamelan Golongan Madya
Gamelan golongan madya diperkirakaan sudah ada sejak Masa Kedatangan Orang-orang Majapahit; Masa Kejayaan Raja-raja Gelgel dan Klungkung, Abad XIV-XIX. Bila dibandingkan dengan gamelan golongan tua, instrumen gamelan golongan madya lebih lengkap dan banyak, serta komposisi gendingnya sudah semakin kompleks dan fungsional kendang sudah sebagai pemurba irama dan pengatur dinamika gending. Contohnya yakni: Gamelan Gambuh, Semar Pagulingan, Palegongan, Barong Ket, Paarjan, Gong Gede, Gong Kuna, Babonangan Madya.
Gamelan Golongan Baru
Gamelan golongan baru diperkirakan sudah ada sejak Masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Tahun 1846-1945; Masa Kemerdekaan, Tahun 1945-Akhir Abad XX. Pada masa ini, gamelan golongan baru merupakan perkembangan gamelan dari masa sebelumnya. Contohnya seperti Gamelan Gong Kebyar yang dikembangkan dari Gamelan Gong Gede 5 nada, dan Gong Kuna. Perkembangan Gong Kebyar pada masa itu sangat pesat hingga sekarang ini. Dibalik perkembangan yang pesat tersebut juga ada insiden yang sangat mengkhawatirkan, yaitu pengeksploitasian Gamelan Gong Gede dan Gong Kuna yang dilebur ulang untuk dijadikan Gamelan Gong Kebyar. Mengapa hal itu bisa terjadi? jelas karena keinginan seniman untuk menghasilkan sesuatu yang baru, namun nyatanya kebaruan tersebut tidak seutuhnya berdampak positif. Beberapa contoh gamelan golongan baru lainnya adalah gamelan gong gede 7 nada, semarandana, gamelan baleganjur semarandana, gamelan balaganjur babarongan.
Setiap barungan gamelan yang diciptakan oleh leluhur masyarakat Bali, lahir bersamaan dengan fungsinya untuk kepentingan adat dan ritual keagamaan di masing – masing daerah. Seperti halnya Gamelan Angklung Klentang difungsikan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) di Bali Selatan, Gamelan Gong Gede sesuai dengan ciri khas suaranya yang agung yang biasa dibunyikan ketika pelaksanaan Dewa Yadnya (Piodalan), Gamelan Gender Wayang yang dibunyikan dalam Manusa Yadnya (Metatah/ Mesangih), hingga Gamelan Babonangan yang disuarakan ketika pelaksanaan Dewa Yadnya (Iringan Ida Betara Lunga). Hal ini membuktikan bahwa gamelan Bali memang benar difungsikan dalam upacara keagamaan dan prosesi ritual di Bali.
Dalam perjalanan gamelan bali, perkembangannya begitu pesat. Dewasa ini, fungsional gamelan bali yang dulunya sebagai pengiring upacara keagamaan sekarang sudah berkembang menjadi sebuah seni pertunjukan untuk publik. Fenomena tersebut termasuk wujud pelestarian gamelan bali. Sebagai objek seni, gamelan kini dimainkan sebagai seni pertunjukan yang menjadi penyebab munculnya nuansa-nuansa kekinian, baik dari segi teknik, tempo, dinamika, melodi, dan penciptaan gending oleh seniman, yang selalu ingin menciptakan sesuatu yang baru. Sehingga timbulah perubahan warna suara dan perkembangan instrumen dalam barungan gamelan yang sama.

PEMBAHASAN
Gamelan Babonangan merupakan salah satu jenis gamelan bali yang termasuk dalam gamelan golongan tua. Gamelan Babonangan menggunakan laras (tangga nada) pelog 4. Suara tersebut memberi ciri khas gamelan babonangan yang terdengar angker, agung dan menggelegar oleh karena itu gamelan babonangan difungsioanalkan sebagai gamelan pengiring Pitra Yadnya (Ngaben) dan Dewa Yadnya (Piodalan). Gamelan Babonangan yang disebut pula gamelan Ktug Bumi dipakai untuk mengiringi upacara Butha Yadnya (pengeruwatan, pembersihan). (Bandem: 15). Dalam kehidupan bermasyarakat, jika terdengar suara babonganan maka akan muncul pertanyaan “siapa yang meninggal?”, “dimana ada odalan?” dan “dimana rumah orang yang melakukan caru” menurut lontar prakempa mengenai alat-alat bebarungan Gong Babonangan;
“… Gong, dua yaitu lanang dan wadon suaranya dang angumbang angisep, Kempul, satu suaranya ding angisep, Bebende, suaranya dang gora, Ponggang, setungguh suaranya dang dung, Kemong, suaranya dung angumbang alit, Rareyong Besar (Pengageng), dua tungguh suaranya dang dung satu tungguh, deng dung setungguh, Rareyongan Bebarangan, dua tungguh suaranya dang dung setungguh, deng dong setungguh, Kendang, dua yaitu lanang wadon beserta pepanggulan, Rebab, satu, Serunai Besar, satu pasang sama (dua buah), Serunai Barangan, satu pasang sama ngumbang ngisep, Jegogan, sepasang, Jublag, sepasang, Penyacah, sepasang, Gangsa Besar, Gangsa Menengah, Gangsa Kecil, sepasang sama ngumbang ngisep, Gumanak, tiga, Genta orag dua pancer menengah, Cengceng kecil, tiga cakep, Ceceng menengah¸dua cakep, Cengceng besar, satu cakep. Lengkaplah semua …”. (Bandem, 1986: 89)
Dewasa ini, Gamelan Babonangan mempengaruhi lahirnya ansambel baru di beberapa desa di Bali yaitu Okokan (Grumbyungan) di Desa Mayongan, Kecamatan Baturiti, kabupaten Tabanan, dan juga di Desa Pujung Kaler, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar Gamelan Okokan adalah ansambel musik prosesi yang hamper sebagian besar instrumennya berasal dari okokan, grumbyungan, keroncong sapi. Selain Gamelan Okokan, Gamelan Babonangan sering dibaurkan dengan gamelan Balaganjur. Beberapa instrumen dari baleganjur diambil dari gamelan babonangan seperti yang tervital berupa reyong, ponggang, kendang cedugan (memakai panggul) dll. Fungsi pokok dari kedua gamelan ini juga sama yaitu sebagai pengiring Pitra Yadnya (Ngaben) dan Dewa Yadnya (Piodalan), namun seiring perkembangan jaman gamelan babonangan mulai punah oleh keberadaan gamelan balaganjur. Hal itu disebabkan oleh pesatnya perkembangan gamelan balaganjur yang sebelumnya hanya pengiring upacara ngaben dan piodalan kini difungsitambahkan sebagai gamelan pengiring pawai, pengiring upacara pawiwahan, hingga menjadi sesuatu yang dikompetisikan dalam konteks kreasi baru, konteks baru yang dimaksudkan ini yaitu struktur gending, teknik permainan, dinamika, ritme yang baru.
Gamelan Babonangan yang pernah ada di desa Mengwi sudah mengalami kepunahan. Sebagian besar banjar-banjar di desa Mengwi mempunyai pura yang diayomi masing-masing banjar dimana terdapat Sesuhunan (Perwujudan Tuhan menurut Hindu Bali) yang berstana di pura tersebut. Oleh karena itu, gamelan babonangan berperan penting dalam pelaksanaan ritual keagamaan di pura-pura tersebut. Hal itu dibuktikan oleh adanya beberapa instrumen ponggang, reyong, kendang cedugan, ceng-ceng yang sekarang dilengkapkan sebagai gamelan baleganjur yang tentu saja diadopsi dari gamelan babonangan yang ada di salah satu Banjar di desa Mengwi yakni banjar Delod Bale Agung. Pelestarian kesenian belakangan ini, terutama kesenian balaganjur sungguh membludak keberadaannya di Bali. Hal itu mengakibatkan semakin bergesernya gamelan babonangan dengan gending-gending klasik yang diwarisi secara turun temurun. Oleh karena itu, penulis harapkan adanya peran pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi kepunahan gamelan babonangan beserta gending – gendingnya.

SIMPULAN
Gamelan Babonangan merupakan salah satu jenis gamelan bali (karawitan instrumen Bali) yang termasuk dalam gamelan golongan tua. Gamelan Babonangan menggunakan laras (tangga nada) pelog 4 nada yang difungsioanalkan sebagai gamelan pengiring Pitra Yadnya (Ngaben), Dewa Yadnya (Piodalan) dan Butha Yadnya (Pengeruwatan). Gamelan Babonangan mempengaruhi gamelan okokan yang ada di Tabanan, dan gamelan balaganjur yang tersebar luas di seluruh Bali. Keberadaan gamelan babonangan semakin bergeser setelah adanya gamelan balaganjur yang mengambil alih fungsional gamelan babonangan dan cenderung bersifat fleksibel. Oleh karena itu, penulis harapkan adanya peran pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi kepunahan gamelan babonangan beserta gending-gendingnya

PUSTAKAAN
Bandem, I Made. 2013. GAMELAN BALI di Atas Panggung Sejarah. Denpasar: STIKOM BALI
______________. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar

Comments (2)