KITAB PURĀṆA

Filed under: Tak Berkategori — wicaksana at 3:16 pm on Rabu, Mei 8, 2013

PADMA PURĀA

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

Dosen Jurusan Pedalangan, FSP ISI Denpasar

 

A. Pendahuluan

Bagi umat Hindu, Purāṇa adalah naskah kuno yang disucikan, karena Purāṇa dikelompokkan kedalam Itihāsa bersama kedua epos besar yakni Rāmāyaṇa dan Mahābhārata. Meskipun Rāmāyaṇa tidak menyebut salah satu contoh purāṇa, namun dalam epos ini kata `purāṇa` disebutkan beberapakali, artinya bahwa pengarang kedua epos tersebut sudah sangat mengenal Purāṇa. Kata `itihāsa` berarti sesuatu yang benar-benar terjadi atau sejarah, dengan demikian berarti cerita-cerita yang dilukiskan dalam purāṇa dan kedua epos tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Menurut Vāyu Purāṇa menyatakan bahwa purāṇa aslinya disabdakan oleh Dewa Brahma sehingga ia dianggap Veda ke lima. Bagi mereka yang mau menghargai kitab suci Veda dan Upaniṣad, maka ia harus memahami purāṇa terlebih dahulu.

Kitab Purāṇa terbagi menjadi 18 (delapan belas), dan naskah Purāṇa yang utama disebut dengan Mahāpurāṇa, sedangkan Purāṇa minor disebut dengan Upapurāṇa. Pada dasarnya setiap Mahāpurāṇa menggambarkan lima karakteristik permasalahan yaitu; 1) proses awal penciptaan alam semesta (sarga); 2) proses periodik penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta (pratisarga); 3) perbedaan setiap jaman (manvantara); 4) sejarah dinasti sūrya (sūrya vaṁṣa), dan 5) dinasti bulan (candra vaṁṣa) serta silsilah para raja (vaṁṣanucarita). Disamping hal tersebut, setiap purāṇa juga berisikan hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, adat, upacara, persembahan, hari-hari raya, kewajiban dari masing-masing kasta, jenis-jenis sumbangan kemanusiaan, perincian tentang rancang bangun kuil, patung suci dan penjelasan tentang tempat-tempat penziarahan suci.

Padma Purāṇa termasuk ke dalam kelompok Satvika Purāṇa, yaitu purāṇa yang mengagungkan nama dewa Viṣṇu. Padma Purāṇa terdiri dari 55.000 sloka adalah purāṇa terpanjang kedua setelah Skanda Purāṇa yang terdiri dari 81.000 sloka. Padma Purāṇa terdiri dari 45 (empat puluh lima) ceritera, yaitu Śivaśarmā, Indra, Somaṡarma, Suvrata, Bala, Vṛtra, Para Māruta, Sunīthā, Aṅga, Vena, Pṛthu, Sukalā, Sudevā, Babi jantan, Babi betina, Ugrasena, Kembali ke cerita babi betina, Kembali ke cerita Sukalā, Pippala, Sukarmā, Yayāti, Cyavana, Divyādevī, cerita Samujjvala, Penjelasan, Cerita Vijjvala, Suvāhu, Cerita Kapiňjala, Śiva dan Pārvatī, Huṇḍa, Vihuṇḍa, Kuňjala, Putri-putri para Gandharva, Vikuṇḍala, Purāṇa, Daṇḍaka, Sang Tikus, Ṡrīdhara, Līlāvatī, Lakṣmī Vrata, Dīnanātha dan Viṡvāmitra, Citrasena, Bhīma, Hemaprabhā, dan penutup Padma Purāṇa. Ke-45 ceritera tersebut, yang akan dibahas secara singkat hanya bagian pertama sampai tujuh belas (1-17) sebagai berikut:

1. Śivaśarmā

 

Menceritakan tentang kisah Śivaśarmā oleh Lomaharsana kepada para ṛṣi dari berbagai aliran. Ada seorang brāhmana yang bernama Śivaśarmā yang tinggal di pinggir barat laut sebuah kota Dvārakā (Dvāravati), ia adalah seorang ahli Veda dan kitab suci lainnya dan selalu melakukan Yajña (upacara kurban). Suatu saat Śivaśarmā ingin menguji kesetiaan kelima orang anaknya, yaitu Yajñaśarmā, Vedaśarmā, Dharmaśarmā, Viṣṇuśarmā, dan Somaśarmā dengan menciptakan ilusi bahwa istrinya telah meninggal (ibu dari kelima putranya).

Keempat putranya berhasil melewati rintangan berat dari ujian ayahnya, sehingga mereka diutus pergi menuju sorga di alam Viṣṇu. Sedangkan yang bungsu bernama  Somaśarmā mendapat ujian menjaga sebuah sangku berisi Amṛta. Berkat tīrtha amṛta, kedua orang tuanya berhasil menuju Viṣṇuloka, sedangkan ia melanjutkan tapa brata sampai meninggal karena dikejutkan oleh kelompok dānava (raksasa). kelak ia terlahir sebagai seorang Prahlāda berwujud raksasa, putra dari Hiraṇyakaṡipu, namun tetap sebagai pemuja Viṣṇu.

2. Indra

 

Kisah ini menceritakan tentang para dewa menghadap dewa Viṣṇu untuk meminta seorang pemimpin bagi para dewa. Viṣṇu mengatakan bahwa seorang dewa bernama Indra akan lahir yang akan memimpinnya. Indra terlahir dari Aditi yaitu istri dari ṛṣi Kaśyapa. Aditi telah melakukan tapasya selama seratus tahun para dewa, dan lahirlah seorang putra yang memiliki empat tangan dan tubuh yang bersinar seperti sinar ribuan matahari. Anak ini memiliki banyak nama, yaitu Vasudatta, Vasudā, Akhaṇḍala, Marutvana, Māghaṿa, Vidouja, Pākaśāsana, Śakra dan Indra.

 3. Somaśarmā

Ada seorang brāhmaṇa bernama Somaśarmā (bukan putra Śivaśarmā), tinggal disebuah tīrtha (tempat suci) yang bernama Vāmana Tīrtha di pinggir sungai Revā dengan seorang istri yang bernama Sumanā. Pasangan suami istri ini hidup dalam keadaan miskin dan belum memiliki keturunan. Kemudian mereka minta nasehat kepada ṛṣi Vasiṣṭha agar memiliki seorang putra. Beliau menjelaskan bahwa ia pernah mengikuti jejak seorang brāhmana terpelajar pemuja Viṣṇu yaitu dengan melakukan Vrata bertepatan dengan Śuklapakṣa dan Ekādaśī Tithi.

Somaśarmā dan Sumanā pergi ke sebuah tīrtha bernama Kapilasaṅgama untuk memuja Viṣṇu.Setelah melalui berbagai macam godaan dan rintangan maka dewa Viṣṇu berkenaan muncul dan memberikan anugerah pada Somaśarmā dan istrinya, maka lahirlah seorang putra yang bernama Suvrata.

4. Suvrata

Diceritakan seorang raja bernama Ṛtadhvaja, memerintah di kerajaan Vidiśā dengan seorang putra bernama Vali dan cucunya bernama Rukmāṅgada. Ia (cucu Ṛtadhvaja) me-miliki seorang istri bernama Sandhyāvalī, melahirkan seorang putra bernama Dharmāṅgada. Anak ini adalah pemuja Viṣṇu yang taat sehingga setelah kematiannya, dia  dijemput menuju alam Viṣṇuloka. ia berada di sorga selama seribu yuga dan setelah itu iapun terlahir menjadi Suvrata.

5. Bala

 

Selain Aditi, ṛṣi Kaśyapa juga memiliki istri bernama Diti, merupakan ibu dari para raksasa. Ketika terjadi pertarungan antara para dewa dengan para raksasa yang dimenangkan oleh para dewa, dewa Viṣṇu adalah penanggungjawab semua itu, sehingga Diti sangat dendam kepadanya. Diti memohon kepada Kaśyapa agar diberi seorang putra, kelak bisa membalas dendamnya. Kaśyapa menyetujuinya serta menyuruh istrinya melakukan tapasya selama seratus tahun dan melahirkan seorang anak yang bernama Bala.

Ṛṣi Kaśyapa mengajarkan Veda dan berbagai sastra kepada Bala. Ketika Bala sudah besar, ibunya membisikkan dendamnya untuk membunuh Viṣṇu. Maka pergilah Bala ke tepi sungai Sindhū (Indus) melakukan tapasya untuk mendapatkan kekuatan sakti. Aditi mengetahui hal ini dan segera memberitahukan Indra agar menggagalkan niat itu. Ketika Bala sedang bermeditasi, segera Indra memotong kepala Bala dengan senjata Vajra yang berbentuk bajra/genta yang identik dengan halilintar, berakhirlah riwayat Bala.

6. Vṛtra

Diti tidak putus asa atas kematian Bala, ia kembali menghadap ṛṣi Kaśyapa untuk minta keadilan. Ṛṣi Kaśyapa setuju,  sontak ia mencabut sehelai rambutnya dan dilemparkan ke tanah, maka terciptalah seorang anak bernama Vṛtra, dengan warna kulit gelap dan matanya menyala kekuning-kuningan. Bersenjatakan perisai dan sebilah pedang, Vṛtra disuruh oleh Ṛṣi Kaśyapa membunuh Indra yang jadi raja para dewa.

Berita itu terdengar oleh Indra, maka ia mengutus sapta ṛṣi sebagai duta perdamaian, dengan tawaran ikut menikmati kekayaan dan setengah kerajaan yang dimiliki oleh Indra. Namun demikian, Indra terus mencari cara untuk membunuh Vṛtra. Disuruhlah seorang bidadari cantik bernama Rambha menggoda Vṛtra. Berkat minuman anggur yang diberi Rambha, ia jatuh pingsan. Saat itulah Indra membunuh dengan Vajra miliknya, maka matilah Vṛtra.

 7. Para Māruta

Diti kembali menghadap Kaśyapa dengan permohonan yang sama, maka ia lakukan tapa yang amat berat. Tanpa diketahui Diti, Indra menyamar menjadi brāhmana melayaninya dipertapaan. Suatu ketika Diti tertidur tanpa membasuh kaki dan tak merapikan rambutnya, Indra memanfaatkan kesempatan itu dengan masuk dalam rahimnya. Indra memotong janin itu menjadi tujuh potongan dengan Vajranya.

Ketika  janin-janin itu lahir, dinamai Mārut (Māruta) diambil dan bisikan Indra sewaktu janin itu menangis karena dipotong. Diti tidak bisa menyelesaikan ritual tapanya dengan sempurna, maka para Māruta itu menjadi sahabat Indra, serta statusnya dinaikkan menjadi setingkat para dewa dan menjadi dewa-dewa Angin.

8. Sunīthā

Sunithā adalah putri dewa Yama, dewa kematian yang dikenal sebagai Mṛtyu. Sunithā memiliki kebiasaan pergi ke hutan bersama teman-temannya. Di tengah hutan ia melewati sebuah pertapaan, adalah seorang gandharva (penyanyi surga) bernama Suśańkha sedang bermeditasi. Ia berusaha mengganggu Suśańkha, namun tidak memperdulikannya. bahkan Sunithā menampar Suśańkha yang menyebabkan ia kehilangan kesabaran. Suśańkha bangkit dari tapanya dan mengutuk Sunithā agar menjadi wanita yang sangat jahat.

9. Añga

Suatu kali, raja Añga, putra dan ṛṣi Atri sedang jalan-jalan di sebuah taman Nandanakanana dan di sana ia melihat Indra sedang dilayani oleh para dewa, gandharva dan bidadari. Añga sangat terkesan mengamati Indra yang gagah dan hebat, seketika ia menanyai ayahandanya. Atas saran sang ṛṣi, Añga pergi ke gunung Sumeru untuk bermeditasi, berdoa pada Viṣṇu.

Sementara itu, Sunīthā telah kembali kepada ayahandanya dan memberitahu tentang kutukan Suśańkha. Yama sadar, Sunīthā telah melakukan perbuatan tercela, maka beliau menyuruh putrinya melakukan tapa di hutan. Sunīthā mengetahui bahwa raja Añga dapat anugrah dari Viṣṇu, maka ia berhasil membuat raja Añga jatuh cinta dan menikahinya. Dari pernikahannya lahir seorang anak bernama Vena.

10. Vena

Vena kemudian menjadi terpelajar dalam śāstra dan kitab suci serta mahir dalam seni perang. Ia menjadi anak yang baik dan mematuhi semua ritual dan aturan agama. Ibunya, Sunīthā, masih teringat pada kutukan Suśańkha dan senantiasa mengajarkan Vena tentang kewajiban untuk hidup dalam kebaikan. Vena kemudian jadi raja setelah Añga memerintah dengan baik rakyatnya pun makmur sejahtera.

Suatu ketika, datang seorang guru agama mengunjungi Vena, dengan prilaku aneh dan sama sekali tak mengenakan kain penutup badan serta kepalanya di gundul. Di tangannya ia membawa sebuah sapu yang terbuat dari bulu burung merak dan sebuah cangkir terbuat dari tempurung kelapa. Guru itu menyebut bahwa dirinya menganut agama sejati sebagai seorang Jain dan `dewanya adalah Arahat` serta mengajarkan agama pengampunan pada semua orang. “…Aku tidak mempercayai ritual- ritual yang tidak berguna ataupun pembacaan Veda-veda. Apa yang bisa didapatkan dari Yajña? Apa yang didapatkan dari upacara penguburan mayat? Semua itu diberlakukan adalah karena para brāhmana ingin selalu mendapatkan perjamuan pesta. Agama Veda mengajarkan pembunuhan binatang. Tapi apakah binatang juga bukan mahkluk hidup seperti kita? Mengapa harus ada kekerasan pada mereka? Apa pula yang dimaksudkan dengan sistem kasta yang kalian anut? Seorang Brãhmana ditentukan oleh sikap dan prilakunya, bukan karena seseorang terlahir dari keluarga tertentu. Bagaimana sebuah sungai bisa disebut sebuah tīrtha? Apakah karena adanya air yang mengalir di sungai itu? Bukan. Sebuah tīrtha (tempat suci) hanya bisa dikatakan tīrtha (tempat suci) di mana agama benar-benar dipraktekkan. Anutlah agamaku maka kau akan mendapatkan kebahagiaan…”

Kata-kata itu sepintas masuk akal, membuat Vena luluh hatinya dan iapun menjadi seorang jain (secara kebetulan, salah satu kitab suci penganut jainisme persis padma purāṇa). Dengan mengikuti ajaran ini Vena menjadi semena-mena dan mulai melenceng dan jalan kebenaran. Ia meninggalkan agama yang diajarkan oleh Veda. Ia memerintahkan bahwa kitab Veda tidak boleh lagi dibaca di seluruh kerajaannya dan semua Yajña dihentikan termasuk pemberian sedekah juga dilarang.

Takut kutukan tujuh ṛṣi agung (sapta ṛṣi), Vena kemudian pergi dan bersembunyi di sebuah pegunungan, namun ditemukan oleh para ṛṣi kemudian mengurut-urut tubuh Vena agar bisa terlahir seorang putra. Pertama di urut tangan kirinya, lahirlah seorang manusia cebol dengan tubuh berwarna gelap, matanya berwarna merah darah dan bernama Nisīda. Dan ketika tangan kanannya yang diurut, keluarlah seorang anak yang baik hati bernama Pṛthu. Sedangkan Vena sendiri, ia pergi ke pinggir selatan sungai Revā.

11. Pṛthu

Pṛthu terlahir setelah sifat jahat dikeluarkan dari tubuh Vena, maka ia jadi manusia yang baik hati. Para ṛṣi membuat upacara penobatan Pṛthu, bahkan dewa Brahma sendiri langsung menunjuknya untuk memerintah seluruh bumi. Berkat pemerintahan raja Pṛthu, mampu menciptakan ladang untuk kemakmuran rakyatnya. Karena jasa-jasanya itu, bumi kemudian dinamai Pṛthivī yang diambil dari Pṛthu. Untuk menebus dosa-dosa ayahnya, ia melakukan upacara Āśvamedha (kurban kuda), sehingga Vena bisa naik ke sorga.

12. Sukalā

            Sukalā seorang istri dari seorang Vaisya di pinggir sungai Gaṅga yang bernama Kṛkala yang tugasnya bertani, beternak dan berdagang. Sukalā adalah orang sakti dan menurut pada suami. Ketika suaminya ingin pergi meninggalkan dirinya untuk pergi ziarah (tīrtha) ke tempat-tempat suci namun Sukalā tidak mau diajaknya, maka ia memberikan penjelasan panjang lebar bahwa seorang suami adalah satu-satunya tīrtha (tempat suci) bagi seorang istri.

13. Sudevā

            Sudevā adalah permaisuri dari raja Ikṣvāku yang merupakan seorang pemburu binatang dan seorang raja yang jujur dan ajaran Veda dan Brāhmana. Suatu ketika di dalam hutan terdapat keluarga babi hutan yang mengetahui bahwa pada hari itu raja Ikṣvāku akan pergi berburu maka keluarga babi hutan itupun menunggu untuk dapat mati ditangan seorang Ikṣvāku, karena merupakan suatu kehormatan mati di tangan seorang raja yang sangat mulia. Semua anggota keluarga babi hutan itu terbunuh namun hanya babi betina yang tidak dibunuh dengan alasan membunuh seorang wanita adalah suatu dosa yang sangat besar. Namun babi betina itu terbunuh juga di tangan seorang pemburu yang bernama Jharjara.

14. Babi Jantan

Sudevā menolong babi betina yang sedang sekarat dengan memberikannya seteguk air, maka babi betinapun menceritakan asal-usul diri dan keluarga mereka kepada Sudevā. Bahwa suaminya yaitu babi jantan adalah gandharwa yang dikutuk menjadi babi akibat menganggu seorang ṛṣi yang sedang melakukan tapa di gunung semeru. Dan dikutuk akan bisa menjadi Ggandharwa lagi jika dibunuh oleh raja Ikṣvāku.

15. Babi Betina

Babi betina pun menceritakan asal-usul dirinya pada Sudevā, yang pada kehidupan terdahulu dirinya adalah seorang istri (Vasudatta) yang tidak bisa menghormati suaminya dan menyebabkan suaminya (Śivaśarmā) pergi meninggalkannya. Maka dia diusir oleh mertuanya dan diingatkan tentang cerita Ugrasena.

16. Ugrasena

Ada seorang raja bernama Ugrasena, memerintah di sebuah kota Mathura. Ugrasena menikah dengan Padmāvatī, putri seorang raja Satyaketu memerintah di negeri Vidarbha. Ugrasena memang lebih miskin dan Padmāvatī yang selalu membandingkan kekayaan ayahnya.

Pada suatu saat Padmāvatī kebetulan melewati sebuah gunung, ada seorang sahabat dari Kubera bernama Govila sedang melintas dengan kereta angkasanya dan pandangannya tertuju pada Padmāvatī. Karena itu Govila spontan jatuh cinta dengan Padmāvatī, namun karena Govila mengetahui bahwa Padmāvatī adalah istri dari raja Ugrasena maka ia menyadari bahwa Govila tidak mungkin menikahi Padmāvatī. Namun Govila memiliki akal dengan merubah dirinya menjadi Ugrasena, dan menghampiri Padmāvatī. Betapa terkejut ia dengan perubahan pada suaminya, yang tidak biasa bernyanyi. Padmāvatī menanyakan kenapa Govila menipu dirinya dengan menyamar sebagai Ugrasena. Govila menjawab karena ia mengetahui bahwa Padmāvatī tidak setia kepada suaminya. Mengetahui hal itu maka Padmāvatī ditinggal oleh Govila dalam kemeranaannya. Setelah sepuluh tahun lahirlah seorang anak dari rahim Padmāvatī, namun anak itu bukanlah anak dari Ugrasena melainkan anak dari Govila. Ia adalah raja Kamsa yang akhirnya dibunuh Kṛṣṇa.

17. Kembali ke Cerita Babi Betina

Segera setelah Sudevā meninggal, utusan Yamadipati datang menjemputnya dan menyeretnya untuk menghadap pada dewa Yama. Dewa Yama menjatuhkan hukuman yang sangat berat pada Sudevā. Dia dibuang dari neraka satu ke neraka lain dan tubuhnya dipotong-potong dan direbus dan mendapatkan berbagai macam hukuman. Setelah terlahir kembali ia menitis menjadi mulai dari seekor semut, serangga, dan pada akhirnya adalah menjadi babi betina. Setelah selesai menceritakan kisahnyua, Sudevā memohon agar dirinya diberikan anugrah. Maka setelah diberikan pahala yang dikumpulkan selama satu tahun oleh sang permaisuri, maka seketika itu Sudevā dalam wujud babi betina menjadi seorang wanita ilahi, berpakaian amat fantastis dan memakai perhiasan permata. Sebuah kendaraan ilahi (vimana) turun dari langit dan membawanya ke Surga.

 18. Kembali ke Cerita Sukalā

Sukalā membuat teman-teman terkagum-kagum oleh ceritanya itu. Maka segera kisah pengabdian Sukalā pada suaminya, tersebut luas. Sukalā tidak hanya terkenal dikalAñgan manusia namun para dewa juga mendengarnya. Indra, raja dari para dewa, ingin menguji Sukalā. Beliau mengirim seorang utusan pada Sukalā. “Kau menyia-nyiakan waktumu” kata sang utusan pada Sukalā. “Suamimu telah pergi untuk berziarah. Tapi sebenarnua kau telah ditinggalkannya. Mengapa kau sia-siakan masa mudamu dalam penantian yang tiada kunjung habis ini? Menikahlah dnegan majikanku.”

“Siapa majikanmu/” tanya Sukalā. “Mintalah agar dia muncul dihadapanku.”

Indra kemudian menampakkan diri dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Beliau berusaha membujuk Sukalā agar mau menikah dengannya. Namun Sukalā mengabaikan, mengacuhkan kelebihan yang dimilik oleh dewa Indra. Dia tidak saja menolak namun dia juga memberikan kuliah yang cukup panjang tentang kewajiban seorang istri yang setia kepada suaminya.

Sedangkan di tempat lain, Kṛkala, suami Sukalā, telah kurang lebih menyelesaikan ziarah (tīrthayātranya) dan sedang dalam perjalanan pulang. Namun tiba-tiba sebuah suara gaib dari langit terdengar. “Kṛkala” kata suara itu. “Semua perjelananmu untuk mengumpulkan pahala itu, sia-sia. Kau melakukan tīrthayātranya hanya untuk memuaskan ego randahmu. Namun para leluhurmu tetap berada di Neraka.”

“Mengapa itu bisa terjadi?” tanya Kṛkala. “Mengapa tīrthayātranya hamba dis emua tempat suci menjadi sia-sia?”, “Itu karena kau tidak membawa istrimu bersamamu” jawab suara gaib itu. “Seorang istri yang setia dalam pengabdiannya harus selalu membagi berat ataupun ringan tugas suaminya. Karena kalau tidak demikian, maka tidak ada punya yang bisa dikumpulkan dalam sebuah rumah di mana seorang istri yangs etia dalam pengabdiam adalah jauh lebih suci dibandingkan dengan gabungan semua tempat suci. Mengapa kamu meninggalkan istrimu sendirian di rumah? Apakah hal itu pantas dilakukan?”

Mendengar semua itu, Kṛkala bergegas pulang ke rumahnya. Dan suami istri yang cukup lama berpisah itupun slaing peluk satu sama lain. Dan mereka berdua kemudian bergabung untuk melakukan sebuah upacara agama agar leluhur Kṛkala bisa selamat dari neraka.

Indara kemudian tiba untuk memberkati pasAñgan itu. “Aku telah menguji Sukalā agar menikah denganku. Namun pengabdiannya pada suaminya sangat tulus hingga semua usahaku gagal. Terberkatilah istrimu. Aku mau memberikan sebuah anugrah untuk kalian berdua. Mintalah”. “Mohon berkatilah kami anugrahi agar kami tidak pernah melenceng dari jalan kebenaran” kata pasAñgan itu. “Semoga kami selalu setia dalam pengabdian kepada para dewa dan para ṛṣi”. Maka anugrah itupun telah diberikan. Dan tempat dimana Sukalā dan Kṛkala tinggal sekarang menjadi tempat terkenal bernama Nārītīrtha.

19. Pippala

ṛṣi Kaśyapa memiliki seorang putra bernama Pippala. Pippala menginginkan kekuatan yang tidak tertandingi oleh siapapun di alam semesta. Oleh karena itulah ia kemudian pergi ke hutang Daśāranya dan mulai bermeditasi di sana. Ia bermeditasi tanpa makan dan minuman. Demikian hebatnya tapa itu hingga para dewa dan ṛṣi terpena oleh pemandAñgan itu. Musim yang berlalku tidak membuat Pippala bergeming. Dia duduk di sana bagaikan sebuah batu karang yang kokoh.

Seribu tahun telah berlalu, semut-semut mulai membukit di sekitar Pippala. Namun sang ṛṣi ini tetap tak tergoyahkan. Berebgai jenis ular berbisa menggerayangi dan menggigitnya. Namun Pippala tidak terpengaruh olehnya. Maka segera, kekuatan tapanya itu membuat tubuhnya beṛṣinar. Dan lingkaran energi menyelubungi tubuhnya.

Pippala hanya menghirup udara untuk mekanannya.s etelah tiga ribu tahun berlalu, para dewa mulai menyiram bunga padanya. “Kau telah membuat kami berkenan dengan meditasimu, mintalah sesuatu yang kau inginkan” śabda para dewa.

“Hamba menginginkan kekuatan yang membuat segala benda dan makhluk di alam semesta ini selalu mematuhi keinginan, kehendak hama” kata Pippala. Para dewa memberikan anugrah itu. Dan Pippala bangga atas apa yang telah dicapainya. Ia duduk di dekat sebuah telaga dan merayakan pencapaiannya. Tentu saja tidak ada, orang ataupun mahluk di alam semesta ini yang sanggup menandingi kekuatannya.

Seeokor burung bangau berdiri di telaga itu dan burung ini dapat mengetahui yang ada dalam pikiran Pippala. “Kau bodoh” kata burung itu pada Pippala. “Mengapa kau begitu bangga dengan dirimu? Aku tidak melihat bahwa kau telah mendapatkan segalanya. Kau telah membuang-buang waktu selama 3000 tahun dalam tapasya. Sukarmā jauh lebih terpelajar darimu. Dan dia tidak pernah melakukan tapa yang sulit untuk menjadi terpelajar.” Pippala sangat heran mendengar seekor bangau berbicara seperti manusia. “Siapa sebenarnya kau?” tanyamya. “Apakah kau Brahma, Viṣṇu atau Śiva?”. “Mengapa kau tidak pergi dan menanyakan siapa diriku pada Sukarmā?” teriak bangau itu. Namun burung itu juga memberitahu Pippala bagaimana menemui Sukarmā.

20. Sukarmā

Terdengarlah seorang brahmāna bernama Kuṇḍala dan Sukarmā adalah putra dari ṛṣi Kuṇḍala. Sukarmā menghabiskan waktunya untuk melayani kedua orang tuanya yang sudah amat tua. Inilah satu-satunya tujuan hidupnya. Pippala mencari Sukarmā di tempat pertepaan ṛṣi Kuṇḍala. Sukarmā kemudian menyambut Pippala dengan persembahan “ṛṣi Agung” kata Sukarmā. “Hamba benar-benar bersyukur, Anda telah datang mengunjungi kami. Hamba tahu mengapa anda datang ekmari. Anda telah melakukan tapa selama 3000 tahun dalam tapasya berat. Dan para dewa telah memberkati anda dengan anugrah dimana anda dapat memerintahkan atau melakukan apapun terhadap semua objek alam semesta sekehendak anda. Namun burung bangau itu mengatakan anda sangat bodoh dna tidak tahu apa-apa.”

“Siapakah burung bangau itu? Tanya Pippala. Burung itu adalah Brahman” jawab Sukarmā. “Adakah lagi yang ingin anda ketahui?” tanya Sukarmā. (Brahman adalah esensi ialahi dari seluruh semesta). “Apakah kau juga bisa mengendalikan semua objek di alam semesat?’ tanya Pippala penuh penasaran. “Nilai saja sendiri” kata Sukarmā yang kemudian memanggil para dewa untuk datang kepadanya, dihadapannya. Indra dan dewa-dewa lainnya secara bersamaan muncul dan melakukan aňjali pada Sukarmā. “Mengapa anda memanggil kami?’

Sukarmā kemudian menjelaskan bahwa ia melakukan semua itu untuk menunjukkan kekuatan yang diperolehnya. Pada dewa telah memberkatinya agar selalu setia dalam pengabdian kepada orang tuanya. Sukarmā juga mengatakan bahwa semua kekuatannya adalah karena pengabdiannya kepada kedua orangtuannya. Ia tidak pernah melakukan tapasya, ataupun mengulang-ulang mantra tertentu. Tidak ada tīrtha yang harus dikunjunginya. Karena punya (pahala) yang didapatkan dari melakukan Yajňa bisa lebih besar dari pelayanan kepada kedua orang tua dengan tulus. Apa gunanya mempelajari Veda jika seseorang tidak melayani kedua orang taunya”. “Hanya pengetahuan inilah yang bisa hamba bagi dengan anda” demikian Sukarmā memberitahu Pippala. ‘Dan jika anda mau hamba akan menceritakan tentang kisah raja Yayāti”.

21. Yayāti

Terdapatlah seorang raja yang bernama Nahuṣa yang terlahir dalam dinasti Candra (bulan), Nahuṣa adalah seorang raja yang baik hati. Beliau memberikan banyak sedekah dan melakukan banyak Yajňa. Karena begitu besarnya kekuatan punya-nya hingga ia mendapatkan gelar Indra dan memerintah di alam para dewa. (Kisah ini diceritakan dalam padma purāna. Namun juga ada dalam Mahābhārata).

Nahuṣa memiliki seorang putra yang bernama Yayāti dan ketika Nahuṣa mangkat dna pergi ke surga, maka kerajaanpun diserahkan pada Yayāti. Yayāti menjadi raja yang baik dan memerintah sesaui dengan aturan Dharma (Kebaikan). Beliau memelihara seluruh rakyatnya dengan baik. Yayāti memiliki empat orang putra, pemberani dan terpelajar. Nama mereka adalah Ruru, Puru, Kuru dan Yadu. (Nama-nama ini agak berbeda dari nama-nama yang terdapat dalam purāna lain ataupun di dalam Mahābhārata. Yayāti memiliki dua orang istri, Devayāni dan Śarmisthā. Dalam sumber-sumber itu dinyatakan putra-putra Devayāni adalah Yadu dan Turvasu sedangkan putra Śarmisthā adalah Druhyu, Anu dan Puru.)

Selama 81.000 tahun Yayāti memerintah dan mananya termashyur. Indrapun mendengar tentang Yayāti dan ingin bertemu dengannya. Sais kerta Indra adalah Mātalai.  Dan Indra mengirim Mātalai agar raja Yayāti di bawa ke surga. Mātalai menggoda Yayāti dengan segala kenikmatan dan keindahan surga. Namun Yayāti menolak pergi kesana jika ia tidak diijinkan kesana dengan tubuh fisiknya. Ia menolak untuk mati.

“Lihatlah padaku” kata Yayāti. “Aku berusia 150 tahun namun tidak tampak usia tua dalam diirku. Ini berkat pahala yang telah aku kumpulkan dan aku tampak seperti baru berusia enam belas tahun. Lalu mengapa aku harus meninggalkan tubuh ini? Sedangkan kekayaan, aku miliki kekayaan yang berlimpah di permukaan bumi”.

(Di sini tampak kejanggalan di mana orang berusia 150 tahun, memerintah selama 81.000. Namun padma purāna menjelaskan bahwa 150 tahun usia Yayāti adalah 150 tahun para dewa, bukan tahun manusia). Mātali kemudian melaporkan apa yang dikatakan oleh raja Yayāti kepada Indra. Sementara itu raja Yayāti memerintahkan rakyatnya untuk selalu mengikuti jalan Dharma dan memuja Viṣṇu. Maka hasilnya,s eluruh rakyat Yayāti menjadi baik: usia tua, penyakitan dan kesedihan sirna dari bumi. Tidak ada orang yang mati dalam usia pendek. Yama menjadi tidak punya tugas dan terpenjat oleh hal ini. Ia kemudian mengeluh kepada Indra bahwa kedudukannya terancam oleh kebaikan Yayāti. Bumi telah menjadi seperti surga.

Indra kemudian memutuskan untuk menguji agar Yayāti menjadi orang jahat dan melenceng drai jalan kebenaran. Ia kemudian mengutus dewa cinta, Kendarpa, untuk melakukan tugas ini. Dan karena kemahiran Kandarpa maka Yayāti mulai meninggalkan kesucian jalan yang ditempuhnya. Kadang ia mulai lupa melakukan peramdian pada wkatu yang ditetapkan. Dan melihat kesempatan ini, maka usia taupun menggerogoti tubuhnya dan ia menjadi orang tua. Dan seklai ia telah menjadi tua maka ia semakin kencanduan pada hal-hal keduniawian.

Pada suatu kesempatan Yayāti pergi ke hutan untuk berburu. Ketika sedang mengejars eekor kijang, ia tiba dis ebuah telaga indah yang terdapat di tengah hutan. Di tengah telaga itu mengambang sebuah teratai yang amat besar dan dia tasnya berdirilah seorang wanita cnatik. Wabita itus edang bernyanyi. Begitu indhanya nyanyian itu, hingga raja Yayāti spontan jatuh cinta padanya.

“Siapaha dirimu?” tanya Yayāti. “Aku adalah maharaja Yayāti, raja generasi candra. Aku jatuh cinta padamu. Menikahlah denganku”. “Nama hamba adalah Aśruvindumatī” jawab wanita itu “dewi cinta bernama Rati dan hamba adalah putrinya. Hamba sedang menunggu suami yang cocok untuk hamba. Tapi hamba tidak akan menikah dengan anda. Karena anda sudah tua. Jika mau menikah dengan hamba, anda harus menjadi mudada kembali maka hamba akan bersedia menikah.”

Yayāti kemudian kembali ibukota kerajaannya. Beliau kemudian memanggil keempat putranya dan menjalaskan permasalahan yang dihadapinya. Beliau berharap ada salah satu putranya yang bersedia diajak bertukar usia dan tubuh muda padanya. Karena inilah acara untuk bisa menikahi Aśruvindumatī. Yayāti berjanji akan mengembalikan masa muda itu jika ia sudah bosan dengan kenuniawian dan mengambil kembali masa tuanya.

Terkecuali Puru, semua putranya yang lain tidak bersedia memberiakn tubuh dan masa muda mereka. Mereka merasa bahwa Yayāti telah tutup umur dan tidak pantas memikirkan perkawinan lagi. Oleha karena itu Puru, Kuru dan Yudu dikutuk oleh ayahnya bahwa mereka dan keturunanya tidak akan pernah mewarisi kerajaan. Sedangkan Puru yang mau memberikan usia mudnaya pada ayahandanya, mendapatkan berkat yang sebaliknya dari saudara-saudaranya.

Yayāti kemudian kembali ke telaga itu dengan tubuh dan semangat muda lalu menemui Aśruvindumatī. “Tentu saja sekarang tidak ada amsalah bagimu untuk menikah denganku” kata Yayāti. “Ya, ada tuan. “jawab Aśruvindumatī. “anda memiliki dua orang permaisuri – Śarmisthā dan Devayānī. Sebelum menikah denganku, dan harus memberikan suatu janji penghormatan bahwa tidak akan memperlakukan kedua orang sebagai istri. Dan lagi anda selalu memenuhi permintaanku.”

“Aku setuju dengan persyaratan itu” jawaba Yayāti (maka Yayāti memninta Yadu untuk membunuh untuk membunuh Śarmisthā dan Devayānī. Ketika Yadu menolak, ia dikutuk bahwa keturunannya, para Yādava akan menjadi suku yang pemimpinannya adalah wanita). Setelah persyaratannya dipenuhi, Aśruvindumatī  bersedia menikah dengan Yayāti dan pasAñgan ini hidup bahagia selama 20.000 tahun. Aśruvindumatī meminta Yayāti untuk melakukan upacara Āśvamedha (kurban kuda) dna upacara ini dipercayakan para Puru yang berhasil melaksanakannya dnegan sukses yang luar biasa.

Setelah bertahun-tahun berlalu Aśruvindumatī memberitahu Yayāti, “Kita telah cukup berada dan menikmati keduniawian. Sekarang mari kita pergi ke surga.” Maka Yayāti pun memanggil Puru dan mengembalikan masa mudanya. Dan mengambil kembali masa tuanya. Kemudian bersama Aśruvindumatī iapun meninggal dan menuju ke Surga,s etelah memberkati Puru dengan segala miliki dan berkat mereka. “Seseorang haruslah seperti Puru” kata Sukarmā pada Pippla. “Karena tidak ada punya (phala) yang lebih besar dari apda pahala melayani orang tua”.

22. Cyavana

Dalam garis keturunan ṛṣi Bhṛgu, terdapatlah seorang ṛṣi bernama Cyavana. ṛṣi Cyavana berhasrat untuk mendapatkan pengetahuan sejati. Dan beliau menganggap bahwa satu-satunya jalan untuk itu adalah dengan menjunjungi tempat-tempat suci (tīrthayātra). Oleh karena itulah beliau kemudian mengunjungi semua tempat suci yang ebarda di pinggir sungai Narmadā, Saraswatī dan Gaodāvarī. Perjalanan tīrthayātranya itupun akhirnya membuat beliau tiba di sebuah tempat bernama Amarakantaka, di pinggir selatan sungan Narmadā. ṛṣi Cyavana sangat lelah dalam perjalanan itu lalu beristirahat di bawah sebuah pohon beringin. Tinggalah seekor burung nuri yang terpelajar. Burung nuri itu bernama Kuňjala. Kuňjala memiliki istri dan empat orang anak. mereka adalah Ujjvala, Samujjvala, Vijjvala, dan Kapiňjala.

Setiap pagi keempat anak burung ini selalu pergi keluar untuk mencrai makan. Dan mereka sellau menyisakan mekan itu untuk kedua orang tua mereka. Pada suatu sore ketika Cyavana seddnag duduk di bawah pohon itu. Keempat anak burung itu baru saja kembali dari perjalanan mereka. Setelah seluruh keluaraganya kebagian makanan. Kuňjala kemudian bertanya pada Ujjvala, Nak, ke mana kau mencari makanan hari ini? Ceritakanlah apa yang kau lihat dan dengar.”

“Saya selalu pergi ke Plaksadvīpa untuk mencari makanan” jawabnya. “Wilayah itu memiliki banyak negara bagian, pegunungan, sungai dna hutan. Di negara ini memerintah seorang raja bernama Divodāsa. Ia memiliki seorang putri cantik yang bernama Divyādevī.” Ketika putri ini sudah tumbuh dewasa, Divodāsa mencari-cari seorang mennatu dan memutuskan menikahkannya dengan Citrasena, raja dari kerajaan Rūpa. Makana upacara pertunangan dilaksanakan. Namun sebelum pernikahan ditetapkan, Citrasen tiba-tiba meninggal.

“Apa yang harus aku lakukan sekrang?” tanya Divodāsa pada para menterinya. “Karena perkawinan itu belum terjadi, maka Divyādevī bisa menikah lagi” jawab para menterinya. “Mohon anda mencarikan mempelai laki-laki yang baru”. Saat itu raja Divodāsa memiliki raja Rūpasena. Dan dilakukanlah upacara pertunangan. Namun sebelum pernikahan dialngsungkan, Rūpasena mengalami nasib yang sama seperti Citrasena, meninggal. Divodāsa kemudian mencarikan mempelai yang baru, namun juga mengalami nasib yang sama, semikianlah berlangsung selama 21 kali. Setiap kali berganti pasAñgan, maka mempelai yang laki pasti meninggal sebelum pernikahan.

Dalam keputusannya Divodāsa memutuskan untuk membuat sayembara. (Dalam upacar ini, pengantin wanita memilih orang yang disuakinya di antara para undAñgan yang hadir). Seluurh raja dan pangeran yang ada di wilayah Plaksadvīpa diundang dalam syembara ini. Namun terjadi suatu peristiwa yang sangat aneh. Seluruh raja dan pangeran itu tiba-tiba bertarung dan saling membunuh satu sama lain. Setelah kejadian itu Divyādevī  tidak bisa menikah. Maka dia mulai mengasikan diri dan bermeditasi di hutan. “Itulah yang hamba amati di Plaksadvīpa. Mohon jelaskan pada kami mengapa Divyādevī bernasib malang seperti itu?’ demikian Ujjvala mengakhiri ceritanya. “Aku tahu kisahnya. Aku akan menceritakannya pada kalian” jawab Kuňjala.

23. Divyādevī

Terdapatlah sebuah kotasuci bernama Vāranāsī. Di Kota itu hiduplah seorang Vaiśiya (kasta ketiga dalam agama Hindū) yang baik hati bernama Sudhīra. Istri dan Sudhīra bernama Citra. Sudhīra orang kaya dan ia menyayangi istrinya. Namun sebaliknya Citra dalah wanita bertemperamen tidka baik. Dia tidak berminat melakukan perbuatan-perbuatan yang berphala. Dia tidka patuh pada suaminya dan selalu menentang keinginan suaminya. Satu hal yang paling disukainya adalah mengkritik suaminya. Ketika bosan mencela seuaminya maka dia pergi ke rumah untuk menyebar gosip permusahan dan kecemburuan.

Setelah beberapa waktu Sudhīra tidak sangup menahan semua itu. Maka ia menikah lagi. Sedangkan Citra, dia meninggalkan rumah Sudhīra dan mulai bergabung dengan para pencuri dan perampok. Dia biasa menjadi utusan atau mata-mata mereka dan membantu melakukan perampokan dan pembunuhan. Ketika Citra mati, dia diseret kehadapan Yama dan dimaksukkan ke berbagai neraka sesuai dengan dosanya. Dan setelah semua hukuman itu berakahir maka dia terlahir menjadi Divyādevī. Karena dalam kehidupannya yang lalu dia telah menghabiskan masa hidupnya dlaam menghancurkan keluarga orang lain maka dia ditakdirkan tidak akan memiliki keluarga (keturunan) dalam hidupnya yang sekarang, itulah alasan mengapa dia kesulitan untuk menikah.

Masih ada satu hal yang belum saya pahami. Jika sebagai Citra, Divyādevī telah melakukan berbagai kejahatan itu, bagaimana dia bisa terlahir sebagai putri raja Divyādevī? Itu pasti ada pahala yang menyebabkannya”. “Ya, benar” jawab Kuňjala “Aku lupa menceritakan hal itu. Suatu hari seorang biksu datang ke rumah Sudhīra, meminta sedekah. Citra kemudian membasuh kkais ang biksu (pertapa) dan memerikan makanan. Punya (pahala) ini, memastikan bahwa Citra akan terlahir sebagai seorang putri. Apakah ada pertanyaan lagi, putraku?”

“Saya punya pertanyaan terakhir” kata Ujjvala. “Bagaimana Divyādevī bisa mengatasi penderitaan yang dialaminya itu? Bagaimana dia seharusnya melakukan upacara penebusan dosa?. “Itu tidak sulit “jawab Kuňjala. “Dia harus terus menerus berdoa kepada Viṣṇu dan mengidungkan nāma beliau. Tidak ada lagi jalan yang pasti untuk mencapai pembebasan selain cara itu. Dia harus melakukan upacara suci untuk Viṣṇu. Mengapa kau tidak pergi dan memberitahunya tentang hal ini? Karena memberitahukan juga akan memberikan punya (pahala)”. Keesokan harinya, Ujjvala pergi dan memberitahu Divyādevī tentang apa yang telah dikatakan oleh ayahnya. Kemudian Divyādevī melakukan doa kepada Viṣṇu selama empat tahun dan dibebaskan dari dosa-dosanya. 

24. Cerita Samujjvala

“Apa yang ingin kau ceritakan pada kami” tanya Kuňjala kepada Samujjvala. “Apa sja yang telah kau lihat dan dnegar anakku?”, “Saya biasanya pergi ke Himalaya, untuk mencari makanan” jawab Samujjvala. “Ada sebuah lemah khusus yang sering di kunjungi oleh para ṛṣi dan apsara (bidadari). Danau Manasa sarovara ada disana dan kesanalah saya berpergian,sedangkan mengenai  apa yang hamba liat, hamba tidak bisa menentukan pangkal ataupun menentukan pangkal ataupun ujungnya. Namun saya akan menceritakannya pada ayah.”

Ketika Samujjavala sedang menunggu di danau itu, beberapa angsa datang kesana. Beberpa berwarna hitam sedang yang lainnya berwarna putih. Angsa yang putih memiliki paruh yang hitam dan kaki juga hitam.Ada juga angsa yang putih murni dan yang lain berwarna biru. Setelah angsa-angsa itu tiba, empat orang wanita mengikuti mereka. Wanita-wanita itu berpenampilan ganas. Giginya menonjol keluar dan rambutnya berdiri seperti semak-semak. Angsa yang hitam kemudian turun ke danau untuk melakukan peramndian. Angsa-angsa yang lain tidak ikut mansi, melainkan hanya mengitari pengiran danau. Sedangkan para wanita itu berdiri mengelilingi mereka dengan tawa keras.

Ketika semua itu sedang berlangsung, seekor angsa raksasa muncul dari dalam danau Mānasa Sarovara. Angsa ini diikuti tiga ekor angsa yang lain. Keempat angsa ini kemudian mengepakkan sayap lalu terbang menjauh. Keempat wanita itu terus berkeliling dan tertawa lebar. Sedangkan angsa yang lain juga ikut menunggu.

Sementara itu, seorang pemburu lewat dan duduk di pinggir dnaau.s egera datang juga istri sang pemburu. Namun istri pemburu ini tidak mengenali suaminya. Suaminya itu telah benyak berubah dari sebelumya. Ia telah menjadi sangat tampan dan wajahnya beṛṣinar. Sebaliknya sang pemburu mengenali dan menyapa istrinya. “Apakah kau tidak mengenali aku” tanya. “Mengapa kau pergi begitu saja tanpa memberikan makanan padaku? Aku sangat lapar”.

“Kau tidak mungkin suamiki” jawab istri pemburu itu. “Suamiku berwajah seram dan bertubuh gelap. Sedangkan kau tampan sangat tampan. Bagaimana mungkin kau adalah suamiku?’. “Percalah padaku, aku adalah suamimu” kata suaminya “ceritanya begini, ketika aku sudah kelelahan meburu binatang, akau lalu pergi dan mandi di danau suci bernama Narmadā Sañgama dipertemukan antara sungai Narmadā dan Revā. Segera setelah aku selesai mandi, tiba-tiba secera gaib penampakanku berubah. Ikutlah bersamaku dna aku akan membawamu kesana”.

Pemburu itu kemudian membawa istrinya menuju ke pertemuan sungai suci Narmadā dan Revā. Angsa dan keempat wanita itu juga mengikuti mereka. Karena penuh keingintahuan Samujjvala mengikuti mereka. Di tempat suci itu istri dari pemburu itu melakukan permandian dan penampilannya berubah menjadi lebih cnatik dan ilahi. Kemudian angsa-angsa itu ikut mandi di sana. Dan bagi angsa yang berwarna hitam separuh bulu atau kakikanya menjadi putih beṛṣinar laksna slaju. Keempat angsa yang berbulu hitam itu ikut ke sana dan setelah amndi mereka berubah menjadi putih murni. Sednagkan keempat wanita yang berwajah seram itu, tenggelam ke dlaam air dan mati. “Saya tidka bisa memahami arti kejadian ini” kata Samujjvala. “Dapatkah ayah menjelaskannya?”.Tentu saja aku bisa “jawab Kuňjala

25. Penjelasan

Suatu kali, ṛṣi Nārada pergi untuk mengunjungi Indra di surga. Indra kemudian menyambut beliau dan berkata “Bagaiman khabar anda ṛṣi yang mulia? Ke mana saja anda berpergian?”. “Aku mengunjungi semua tempat suci” jawab Nārada.

“Karena and atelah mengunjungi smeua tempat ziarah, mohon beritahu hamba yang manakah yang terbaik?” tanya Indra. “Aku tidak tahu jawaban drai pertanyaan itu” jawab Nārad. “Semua tīrtha (tempat suci) adalah suci dan keramat.”

Indra kemudian mengundang semua tīrtha (tempat suci) ke tempat sidangnya dan mereka semua berkumpul di sana, masing-masing tampak mempunyai keistimewaan dari yang lain. Di antara semua tīrtha ada: Gañga, Narmadā, Punya, Candrabhāga, Sarasvatī, Devika, Bimbika, Kubja, Prasiddha, Kuňjala, Maňjula, Rambhā, Bhānumati, Sughargharā, Śona, Sindhū soubīra, Kaverī, Kapila, Kumuda, Veda, Maheśvari, Carmanvati, Lopa, Sukousiki, Suhamsī, Hamsapāda, Hamsabega, Manoratha, Surutha, Svaruna, Vena, Bhadra Vena, Supadmini, Nahali, Sumaricha, Pulindika, hema, Divya, Candrika, Vedasamkrama, Jvala, Hutashani, Svāha, Kala, Kapilika, Svadhā, Sukalā, Liṅga, Gambhira, Bhīmavahini, devidrihi, Viravaha, Laksahoma, Aghapaha, Parashari, Hemagarbha, Viravaha, Laksahoma, Aghapaha, Parashari, Hemagarbha, Subhadra, Vasuputrika. Dana semua tīrtha di atas adalah tempat suci yang berupa sungai.

Adapun juga beberapa tempat suci yang berupa kota yaitu diantaranya, Prayaga, Arghyadīrgha, Puskara, Vāranasī, Dvāravati, Prabhāsa, Avanti, Naimisa, Mahāratna, Candaka, Maheśvara, Baleśvara, Kaliňjar,Brāhma Ksetra, Māthura Manavahaka, Maya dan Kanti. Semua tīrtha itu memberikan penghormatan kepada Indra dan bertanya “Raja para dewa kami telah datang. Mengapa anda mengundang kami? Apakah yang bisa kami lakukan untuk anda?”

“Aku ingin tahu yang mana di antara kalian yang mengunguli yang lainnya” jawab Indra. “Ada beberapa dosa yang benar-benar serius. Contohnya membunuh wanita, melawan suami, meminum anggur, mencuri emas, mencela seorang guru, menjadi pengkhianat, menghancurkan patung dewa dan lari drai medan perang. Siapa di anatara kalian yang cukup sakti untuk membeṛṣihakan dosa-dosa seperti itu?”

“Kami tidak  memiliki khasiat yang sama atau tingkat kesucian yang sama” jawab mereka. “Namun tidak diragukan lagi bahwa yang tersuci adalah Prayaga, Puskara, Arghya tīrtha dan Vāranāsī”.

Terdapatlah seorang ksatriya (kasta yang kedua) bernama Vidura tinggal di negeri Paňcala. Dalam keadaan emosional Vidura telah membunuh seorang brāhmana. Ini adalah dosa yang sangat besar. Vidura kemudain melakukan tīrthayātranya (ziarah) ke berbagai tempat namun dosanya belum termapuni. Perjalanan Vidura membawa ke wilayah Malava di mana tinggal seorang brāhmana bernama Candraśarmā. Temnya ini telah melakukan dosa membunuh seorang guur. Ia juga telah mengunjungi beberapa tempat suci, namun dosa-dosanya belum termpuni.

Vidura dan Candraśarmā kemudian melakukan perjalanan bersama-sama. dalam perjalanan mereka, mereka bertemu seorang brāhmana bernama Vedaśarmā. Orang ini telah melakukan dosa menikahi seseorang yang tidak boleh dikawininya. Dosanya belum juga terampuni meskipun telah mengunjungi berbagai tempat suci. Vidura, Candraśarmā dan Vedaśarmā kemudian melakukan perjalanan bersama.

Ketiga orang ini kemudian bertemu seorang Vaiśya yang bernama Vaňjula. Dosanya adalah, ia seorang peminum dan dosanya belum termapuni. Vaňjula pun bergabung dengan Vidura, Candraśarmā dan Vedaśarmā. Keempat pendosa itu akhirnya bertemu seorang ṛṣi dan mereka bertanya bagaimana dosanya bisa terampuni. “Mengapa kalian tidak pergi mengunjungi Prayaga, Puskara, Arghyatīrtha dan Vāranāsī?” demikian saran sAñga ṛṣi.”Aku yakin dosa-dosa kalian akan dibeṛṣihkan disana.

Maka keempat pendosa itu kemudian melakukan seperti yang dinasehatkan oleh sang ṛṣi. Namun dosa-dosa mereka belum juga termaafkan. Sebenarnya, begitu besar dosa-dosa mereka sehingga keempat tempat suci itu tidak sanggup menampungnya dan terkontraminasi oleh dosa-dosa mereka. Keempat tīrtha itu kemudian mengambil wujud empat angsa hitam dan mulai mengikuti empat orang pendosa itu. Pendosa itu kemudain pergi ke tīrtha yang lain dan setiap tīrtha yang dikunjunginya, sellau terkontaminasi dan menjadi angsa hitam. Tīrtha yang belum tertlar (terkontaminasi) dosa mereka juga mengikuti mereka. Mereka yang belum tertular berwujud angsa putih. Maka segera saja terlihat 64 tīrtha dalam wujud rombongan angsa yang berbaris.

Kemudian rombongan itu pergi ke sebuah tīrtha yang bernama Manasa Sarovara. Nmaun segera setelah mereka mandi di sana, danau Manasa Sarovara menjadi tertular hingga berwujud angsa yang sangat besar. Akhirnya rombongan itu kemudian menuju ke pertemuan antara sunagi Narmada  dan Reva.

Ketika keempat pendosa itu amndi dis ana, maka dosa-dosa mereka terampuni. Demikian juga dengan semua tempat suci, yang berwujud angsa yang hitam, setelah mandi di sana  merekapun bersih dan kontaminasi dosa. Merekapun menjadi angsa putih murni. Sednagkan mengenai keempat wanita yang berwajah seram itu adalah personifiaksi dari keempat dosa. Segera setelah dosa mereka diampuni maka, keempat wanita itupun meninggal. Meskipun Prayaga, Puskara, Arghyatīrtha dan Varānasī adalah tempat suci yang paling keramat, namun tīrtha yang paling suci adalah pertemuan sungai Narmada dan Reva. Ini dikenal sebagai Kubjatīrtha. Kuňjala telah menceritakan semua peristiwa itu dan berkata: Nak, apa yang kau saksikan pasti telah jelas bagimu. Itu semua hanya kiasan atau personifikasi kejadian yang sebenarnya.

26. Cerita Vijjvala

“Bagaimana dengan kamu, Vijjvala?” tanya Kuňjala.“Apakah kau mempunyai cerita yang menarik untuk kami?” “Ya, ada, ayah!” jawab Vijjvala

Vijjvala biasanya pergi untuk mencari makanan ke gunung Semeru dan sekitarnya. Di wilayah itu terdapat sebuah hutan yang menakjubkan bernama ānandakarana. Hutan itu dipenuhi buah dan bangua dari pepohonan Illahi. Para apsara dan gandharva datang ke sana untuk bermain-main. Kendaraan angkasa para deva turun disana berganti-gantian. Di dalam hutan itu juga terdapat sebuah danau yang indah. Bunga teratai dan burung angsa memenuhi danau itu.

Ketika Vijjvala sedang menunggu di sana ia melihat sebuah Vimāna itu tampak sebuah Illahi. Mereka tampan dnacantik serta berbusana indah. PasAñgan itu kemudian turun dari vimāna dna melangkah menuju ujung air danau itu. Mereka kemudian melakukan permandian di danau dan mengambil sepasang pedang. Selanjutnya Vijjaval melihat dua mayat yang tergeletak di pinggir danau. Aneh bin ajaib, mayat yang laki, persis seperti orang tuurn dari vimāna tadi. demikian juga dengan mayat wanita itu juga persis seperti wanita yang turun dari vimāna bersama laki-laki tadi.

Kemudian wanita yang baru saja mansi bersama pasAñgannya, mengambil sepotong daging dari mayat wanita yang tergelatak di pingir dananu dan mulai memakannya. Yang laki-laki juga mengambil daging drai mayat laki-laki yang tergelatak di pinggir danau yang peṛṣis seperti dirinya lalu memakannya. Ketika mereka sedang makan, dua orang wanita cantik datang dan mulai mentertawai para pemakan daging manusia itu. Kemudia dua wanita berwajah seram dan buurk rupa datang dan berkata “berikan kami sedikit” dmeikian teriak meraka terus menerus.

Setelah pasangan tadi selesai menghabiskan makannya, maka mereka kemudian meminum air danau, lalu naik ke vimāna (kendaraan angkasa) lalu pergi. Ke empat wanita yang tadi juga pergi. Dan segera setelah mereka pergi, dan mayat yang dagingnya dipotong sedikit,d an dimakan tadi tiba-tiba menjadi utuhh kebali. Yaitu bagian mana saja dari gading mayat itu yang di makan menjadi utuh kembali.

Vijjvala menyaksiakan kejadian ini berulang-ulang, setiap hari.

Apakah artinya itu, ayah?” tanyanya. ‘Siapakah pasangan Illahi yang turun drai vimāna itu?’ Siapakah dua orang wanita yang mentertawai mereka? Dan seiapakh dua wanita berwajah seram dna buruk rupa itu yang terus meminta bagian makan itu?”

27. Suvāhu

Ini dalah penjelasan yang diberikan oleh Kuňjala kepada keluarganya. Di kerajaan Cola, terdapatlah seorang raja yang bernama Suvāhu. Beliau berwajah tampan, jujur dan memiliki berbagai sifat baik. Beliau juga seorang pemuda Viṣṇu. Tak seorangpun di dunia ini yang snaggup menandingi pengabdian Suvāhu kepada Viṣṇu. Istri Suvāhu bernama Tarksyi.

Suvāhu melakukan berbagai jenis Yajnā. Namun pendeta kerajaan Suvāhu ṛṣi Jaimin, tidak puas dengan apa yang telah dilakukan oleh Suvāhu. “Tuan Raja” kata Jaimini. “Berikanlah aku beberapa sedekah. Maka ini akan mmeberikan anda pahala yang tidak akan pernah habis. “Apa gunanya punya (pahala) bagiku?” tanya Suvāhu jawab Jaimini. “Surga itu sangat menyenangkan.” “Mungkin itu benar” kata snaga raja. “Tapi akankah aku bisa berada di surga selamanya’

“Tentu saja tidak” jawab Jaimini “Anda hanya akan bisa tinggal di surga selama pahala anda belum habis. Saat di mana pahala anda sudah habis maka anda akan terlahir kembali ke bumi”. “Dalam hal ini, aku tidak berminat memberikan sedekah” kata Suvāhu. “Mengapa aku harus menginginkan kebahagiaan yang sementara seperti itu? Aku akan berdoa kepada Viṣṇu. Dan atas berkatNya aku akan diijinkan tingal di alam Viṣṇuloka. Dan itu jauh lebih berkualitas dari pada surga”.

Maka beliau (Suvāhu)bersama istrinya mulai melakukans eperti apa yang dikatakannya, beliau mulai melakukan tapa berat dan berdoa kepada Viṣṇu. Maka hasilnya ketika mereka wafat, maka rohnya langsung di bawa ke Viṣṇuloka. Viṣṇuloka adalah sebuah tempat yang mengagumkan. Namun meskipun berusaha sekuat tenaga, sang raja dan permaisurinya tidka berhasil melihat Viṣṇu. Lagi pula, mereka mulai merasakan lapar dan haus karena di sana tidak ada makanan atau minuman untuk disantap. Ketika mereka sedang mencari makanan dan minuman, mereka tiba di pertapaan ṛṣi Vamādeva.

ṛṣi Agung” kata Suvāhu. “Apa yang terjadi pada diri kami? Mengapa kami menderita seperti ini?. “Kau dan istrimu memang sangat setia mengabdi kepada Viṣṇu, namun kalian tidak pernah memberikan sedekah. Bentuk utama drais edekah adalah makanan dna minuman. Karena kalian tidak pernah menyumbangkan makanan dan minuman maka kalian harus menghadpi lapas dan haus di Viṣṇuloka”.

“Apakah tidak ada cara untuk menebus dosa-dosa itu” tanya Suvāhu. “Tentu saja ada” jawab snag ṛṣi. “pergilah ke tempat di mana mayat kalian sedang tergeletak di bumi. Tubuh-tubuh kalian belum membusuk. Makanlah daging myatmu. Lakukanlah jhal ini terus menerus hingga ada seseorang yang akan mengulang-ngulang mantra Viṣṇu untukmu. Hari, saat di mana kalian mendengar mantar suci itu diulang-ulang maka saat itulah hari pembebasmu.”

Demikianlah penjelasan drai apa yang disaksikan oleh Vijjvala. Sebenarnya pasnagan itu adalah Suvāhu dan Tarksyi, yang memakan daging mayat mereka sendiri. Sedangkan mengenai dua wanita cantik itu adalah simbol dari Prajňa (pengetahuan) dan Śraddhā (keyakinan). Prajňa dan Śraddhā tertawa pada sang raja dan permaisurinya, karena tidak mau menyumbang sedekah, mereka harus kehilangan arah tentang pengethauan dan keyakinan yang sejati. Kedua wanita buruk rupa itu adalah personifiaksi dari rasa lapar dan haus maka mereka teru berteriak meminta dgaing itu.

“Bagaimana dengan pembebasan mereka” tanya Vijjvala. “Mohon ajarkan saya mantra suci Viṣṇu itu. Saya ingin menghidungkannya pada Suvāhu dan Tarksyi agar mereka bisa mencapai pembebasan.” Kuňjala kemudian mengajarkan mantra itu. Dan Vijjvala kemudian pergi dan mengidungkan mantra itu di depan pasangan istimewa itu hingga mereka pun terbebas dari dosa-dosanya.

 

28. Cerita Kapiňjala

Sekarang adalah waktunya putra keempat yaitu Kapiňjala untuk menceritakan pengalaman apa saja yang telah dilihatnya. Kapiňjala biasanya pergi ke puncak Kailāsa untuk mencari makanan. Gunung Kailāsa adalah tempat yang indah dan sungai suci Gañga mengalir di gunung ituy. Ribuan sungai lain juga mnegalir di wilayah gunung Kailāsa. Dan lembahnya dipenuhi dengan telaga-telaga indah.

Adasebuah danau khusunya yang cukup besar, bunga teratai mengambang di atas permukaan airnya. Di sebelah danau itu terdapat batu karang yang sangat besar. Kapiňjala melihat di atas batu karang itu duduklahs eorang wanita cantik. Wanita itu duduk di atas batu dan terus menangis. Tetesan air matanya jatuh ke air danau dan begitu menetes disana, maka tetesan air mata itu berubah menjadi bunga teratai yang berbahu harum.

Di pinggir danau juga terdapat sebuah kuil. Kapiňjala melihat seorang ṛṣi yang memuja Śiva di kuil itu. Sang ṛṣi hidup dengan memakan dedaunan kering hingga tubuh beliau tampak seperti rangkanya saja. Bunga teratai yang timbul dari tetesan air mata itu dikumpulkannya lalu dipakai persembahan kepada Śiva. Setelah melakukan persembahan sang ṛṣi kemudian menari dan menyanyikan puja pada Śiva. Kemudian beliau duduk dan menangis.

“Ayah apakah arti dari pemandangan aneh ini” tanya Kapiňjala “Siapakah wanita cantik itu dan mengapa dia menangis? Dan siapkah ṛṣi itu. Mengapa beliau memuja Śiva? Apakah ayah tahu jawaban dari pertanyaan ini?”. “Ya aku tahu” jawab ayahnya, Kapiňjala.

 

29. Śiva dan Pārvatī

Śiva dan Pārvatī tinggal di puncak gunung Kailāsa. Di sana ada sebuah hutan kecil yang bernama Nandanakaran. Dan suatu hari Pārvatī ingin mengunjungi hutan itu. Śiva dengan senang hati mengajak Pārvatī ke hutan kecil itu. Hutan itu penuh dengan pepohonan yang indah dan Pārvatī mengagumi semuanya. Namun ada sebuah pohon khusus yang tampaknya mengungguli pepohonan yang lainnya. “Pohon apakah ini? Tanya Pārvatī

“Pohon ini disebut pohon Kappavrka” jawab Śiva. “Nama itu berarti bahwa pohon ini akan memberikan apapun yang kita minta”. “Apakah itu benar? Kata Pārvatī “Ijinkanlah aku mencobanya”. Pārvatī menginginkan pohon itu membuat seorang wanita cantik. Maka segera setelah Pārvatī mengungkapkan keinginnanya muncullah seorang wanita dari dalam pohon. Dia begitu cantik hingga tidak ada kata yang sanggup mengungkapkan kecantikannya. Wanita itu kemudian memberikan penghormatan kepada Pārvatī dan bertanya. “Mengapa anda menciptakan saya? Apa perintah anda?”

“Sebenarnya aku menciptakanmu untuk memenuhi keingintahuanku” kata Pārvatī. “Tapi kini karena kau telah diciptakan, biar aku menemaimu Aśoksaundarī, seorang raja bernama Nahuṣa akan menjadi suamimu kelak. Ia adalah raja dari keturunan Candra (bulan). Sejak saat itu Aśoksaundarī mulai tinggal di Nandanakanana.

 

30. Hunda

Ada seorang dānava Viprachitti dan memiliki seorang putra bernama Hunda. Hunda kebetulan pergi ke Nandanakanana dan bertemu dengan Aśoksaundarī. Melihat kecantikan-nya, Hunda spontan jatuh cinta dna ingin menikahinya. Namun Aśoksaundarī menolak cintan Hunda secara halus. Karena dia telah diberitahu bahwa seorang raja bernama Nahuṣa akan menjadi suaminya dan dia tidak akan menikah dengan orang lain, siapapun.

Akan tetapi Hunda bukanlah tipe yang cepat menyerah dan ia menemukan sebuah tipu daya. Para dānava, terkenal dengan keahliannya dalam ilmu māyā (ilusi). Melalui ilmu ini para dānava bisa merubah wujudnya menjadi apa saja yang diinginkannay. Hunda kemudian berwujud seorang wnaita cantik dan muncul di depan Aśoksaundarī. “Siapa kamu? “tanya Aśoksaundarī. “Aku adalah seorang janda yang malang. Suamiku telah dibunuh oleh raksasa Hunda, “jawab wanita itu. “Sekarang aku sedang melakukan tapasya agar Hunda bisa dibunuh. Mengapa kau tidak bergabung denganku di pertapaanku di pinggir sungai Gañga?”

Aśoksaundarī kemudian menemani wanita yang katanya mempunyai pertapaan di pinggir sungai Gañga itu. Namun segera setelah mereka berada di sana, Hunda memperlihat-kan wujud aslinya dan berusaha menculik Aśoksaundarī. Aśoksaundarī melakukan perlawanan. “Raksasa jahat” katanya. “Berani-beraninya kau menculik aku. Aku akan melakukan tapasya agar suamiku kelak membunuhmu.”

Ketika semua ini sedang terjadi, Nahuṣa belum lahir. Ia ditakdirkan lahir sebagai putra raja Ayu dan Permaisuri Induamti. Tapi saat Hunda sedang menculik Aśoksaundarī, Ayu masih belum punya anak. untuk mendapatkan seorang anak, sang raja berdoa kepada mahāṛṣi Dattātreya selama seribu tahun. Hingga beliau mencapat anugrah bahwa beliau akan mendapatkan seorang putra yang sakti dan baik hati.

Hunda belum bisa melupakan bahwa putra raja Ayu yang akan membunuhnya. Maka segera setelah anak itu lahir. Hunda menculiknya dan membawa bayi itu ke rumahnya. Ia memberikan bayi itu kepada tukang masaknya. Dan memerintahkan agar bayi itu dimasak dan dihidangkan untuk dimakannya. Akan tetapi juru masak itu adalah orang baik dan merasa kasihan pada bayi itu. Ia kemudian membunuh seekor kijang sebagai penggantinya dan menghidangkan daging itu kepada Hunda, dengan berpura-pura bahwa daging itu adalah daging sang bayi. Juru masak itu kemudian pergi dan meninggalkan bayi itu di pertapaan ṛṣi Vasiṣṭha.

Vasiṣṭha menemukan anak itu dan mulai membesarkannya. Kata Husa “berarti ketakutan. Karena anak itu tidak akan pernah takut maka Vasiṣṭha menamainya Nahuṣa  yang tanpa ketakutan. Sang ṛṣi mengajarkan semua jenis pelajaran, termasuk penggunaan berbagai jenis senjata. Ketika Nahuṣa tumbuh dewasa. Vasiṣṭha memberitahukan latar belakang kehidupannya. Beliau juga memberitahukan tentang Hunda dan Aśoksaundarī dan kenyataan bahwa ia ditakdirkan untuk membunuh Hunda dan menikahi Aśoksaundarī.

Nahuṣa kemudian mempersiapkan perang melawan Hunda. Demikian senangnya para dewa bahwa raksasa jahat itu akan dibunuh, maka mereka menawarkan berbagai senjata hebat pada Nahuṣa, dan Indra meminjamkan keretanya untuk dipakai oleh Nahuṣa. Markas Nahuṣa adalah Nandanakanana. Maka Nahuṣa pergi ke sana dan membunuh raksasa itu setelah malakukan perang yang dahsyat. Ia kemudian bertemu Aśoksaundarī dan menikahinya. Ia juga bersatu kembali dengan kedua orangtuanya. Dalam perjalanan sang waktu, Nahuṣa dan Aśoksaundarī memiliki soerang putra bernama Yayāti. “Tapi ayah belum memberitahu tentang identitas wanita cantik yang menagis itu, dan juga tentang seorang ṛṣi yang menyebah Śiva.” kata Kapīňjala. “Aku akan sampai ke sana” jawab Kuňjala.

 

31. Vihuṇḍa

Raksasa Hunda memiliki seorang putra yang bernama Vihuṇḍa. Ketika Hundai meninggal. Vihuṇḍa sangat sedih. Ia mengetahui bahwa ayahnya telah dibunuh oleh Nahuṣa dengan bantuan para dewa maka ia memutuskan untuk melakukan tapbrata agar bisa mengahancurkan mereka smeua. Demikian dahsyat tapanya para dewa ketakutan dan berlarian kepada Viṣṇu. “Mohon lindungi kami dari raksasa itu” kata para dewa. “Jangan khawatir “jawab Viṣṇu “Aku akan merencanakan sesuatu untuk menumbangkan Vihuṇḍa.

Viṣṇu kemudian mengambil wujud seorang wanita cnatik dan mulai tingal di Nandanakanan. Ketika Vihuṇḍa melihat wanita itu, amka spontan ia jatuh cinta”.

“Menikahlah denganku” katanya. “Tentu saja” jawab Viṣṇu. “Tapi ada satu persyaratan. Pertama-tama kau harus melakukan puja kepada Śiva dengan 7 crore bunga kamoda. Setelah melakukan ini, maka kau harus mebuat sebuah karangan bunga kamoda untukku maka barulah aku akan menikahimu.”

Vihuṇḍa menyetujui persyaratan itu. Tapi meskipun berusaha keras, ia tidak berhasil mendapatkan pohon yang bernama pohon Kāmondā. Tampaknya tidak seorang pun mengetahui pohon itu. Akhirnya Vuhunda meminta nasehat seorang ṛṣi  yang sakti dan memiliki smeua pengetahuan, Sukrācārya.

“Bunga  Kāmondā adalah sebuah bunga yang tidak bisa didapatkan dari satu pohon” jawab Sukrācārya. “Ada seorang wanita yang bernama Kāmondā ketika dia tertawa maka akan keluar bunga yang berwarna kuning dari ketawanya itu. Jika seseorang melakuka puja kepada Śiva dengan bunga ini, maka semua keinginannya akan terpenuhi. Tapi jika Kāmondā mengais maka akan keluar bungan tanpa bau dan berwarna merah. Dan bunga-bunga itu tidak boleh disentuh.”

“Lalu siapahak wanita yang bernama Kāmondā itu?” tanta Vihuṇḍa. “Di mana aku di pinggir ungai GAñga. Sedangkan mengenai asal usulnya, dia adalahs alah satu produk yang terlahir pada waktu terjadi pemutaran lautan susu.” (kisah pemutaran lautana susu ini (Samudra Mantana) tidak diceritakan dlaam padma purāna. Cerita ini bisa ditemukan dalam Rāmāyana, Mahābhārata dan purāna-purāna yang lain.)

Paradewa yang mengetahui rencana Vihuṇḍa ini, tidak mau membiarkannya berhasil mendapatkan bunga itu, ketika Kāmondā tertawa. Rencana mereka adalah untuk membuat Vihuṇḍa menggunakan bunga yang keluar ketika Kāmondā menangis dengan demikian Vihuṇḍa akan berhasil ditundukkan. Oleh karena itu, mereka mengutus ṛṣi Nārada pada Vihuṇḍa. Nārada berusaha membujuk Vihuṇḍa bahwa tidak ada gunanya pergi ke tempat  Kāmondā untuk mendpaatkan bunga itu akan. Karena  jikan Kāmondā tertawa atau menangis maka bunga iytu akan mengapung di atas air sungai Gañga dan yang harus dilakukan oleh raksasa itu adalah mengumpulkannya jika bangu itu lewat di aliran sungai.

Nārada kemudian berusaha membuat Kāmondā menangis. Ia pergi kepadanya dan memberitahu bahwa Viṣṇu akan segera turun ke bumi dlaam wujud AwatarāNya. Memikirkan Viṣṇu yang akan meningalkan surga membuatnya tertekan hingga Kāmondā mulai menangis. Maka kelurlah bunga-bunga dari tangisan dan bunga itu mengapung di permukaan air. Tanpa menyadari bahwa bunga itu keluar dari tangisannya. Vihuṇḍa terus mengumpulkannya dan menggunakannya untuk memuja Deva Śiva. Perbuatan ini membuat Devi Pārvati, permaisuri Śiva, menjadi murka hingga beliau mengambil pedang dan menebas leher Vihuṇḍa.

(Pada bagian yang terakhir ini penjelasananya kurang detail. Kedua jenis bunga itu memang berbeda warna dan baunya. Namun Vihuṇḍa tidak begitu jelas bisa membedakan-nya). “Sekarang kau sudah mendapat penjelasan tentang ilustrasi dari apa yang kau lihat itu” kata Kuňjala sang ayah.

 

32. Kuňjala

Anda mungkin belum lupa pada ṛṣi Cyavana yang merupakan awal dari cerita keluarga burung di atas pohon beringin dan beliau sendiri duduk di bawahnya. Sekarang beliau telah mendengar semua cerita Kuňjala  dan menyapa “Maaf, saya memotong cerita kalian” kata Cyavana. “tapi bagaimana bisa anda bisa anda begitu pinta terpelajar?”. “Aku akan menyampaikan ceritaku” jawab Kuňjala.

Terdapatlah seorang brāhmana terpelajar yang bernama Vidhyādhara. Ia mmepunyai tiga orang putra bernama Vasuśarmā, Namaśarmā dan Dharmaśarmā. Vasuśarmā dan Namaśarmā mengikuti jejak ayahnya. Mereka selalu melakukan perbuatan dharma dan mempelajari kitab suci. Namun Dharmaśarmā tidak menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Ia menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang.

Maka akibatnya orang-orang mulai menjauhi Dharmaśarmā. Ketika sikap orang-orang mulai serius, maka Dharmaśarmā  merasa malu dan memutuskan untuk mencrai seorang guru spiritual yang mampu mengajarnya segala sesuatu yang patut diketahui. Maka kebetulan ia berhasil menemukan seorang guru dan segera saja ia menjadi benar-benar terpelajar.

Suatu kali seorang pemburu membawa anak seekor burung nuri kepadanya dan sang brāhmana Dharmaśarmā ini mulai tertarik dan terikat pada burung itu. Ketika buurng itu dicuri olehs eekor kucing. Dharmaśarmā menjadi teramat sedih. Ia menangisi buurng kesayangannya itu hingga ia meninggal. Karena menjelang kematiannya ia memikirkan buurng itu maka Dharmaśarmā terlahir dalam wujud seekor burung nuri dlaam kehidupan-nya. “Burung itu tiada lain adalah aku” jawab Kuňjalan.

Selanjutnya padma purāna, pada bahian ini menceritakan tentang beberapa keterangan geografis dari permukaan bumi dan berbagai tīrtha. Penjelasan ini kami langkahi, akrena penjelasan itu bisa ditemukan dalam purāna-purāna lainnya.

 

33. Putri-Putri para Gandharva

Gandharva adalah penghuni surga yang tugasnya menyangi. Ada lima orang Gandharva yang masing-maisng memiliki seorang putri. Putri dari gandharva Śukasangīt adalah Pramohini, Suśila mempunyai putra bernama Suśila, putri Svaravedi adalah Susvarā, Putri Cabdrakanta adalah Sutārā dan putri sari Suprabha adalah Candrikā. Keempat putri ini sangat cnatik menawan. Mereka berlima adalah teman baik.

Dalam bulan Vaiśaka, lima sekawan ini mmeutuskan untuk melakukan puja pada Pārvati. Oleh karena itu mereka kemudian oergi ke hutan untuk emncari bunga. Di tengah hutan terdaptlah sebuah danau.Lima sekawan itu kemudain mandi disana smabil mengumpulkan kuntum teratai. Mereka kemduian membuat sebuah patung dwi dan mulai memujanya.

Tersebutlah seorang ṛṣi bernama Vedanidhi memiliki seorang putra bernama Tirthapravara dan Tirthapravara ini juga adalah seorang ṛṣi. Ketika. Lima sekawan itu sedang melakukan doa, Tirthapravara kebetulan lewat di depan mereka. Karena saking tampanya, hingga lima sekawan putri para Gandharva itu jatuh cinta kepada Tirthapravara. Mereka mengira bahwa dewi Pārvati berkenan padanya dan mengutus Tirthapravara untuk menjadi suami mereka. “Nikahilah kami” kata mereka.

“Aku tidak bisa menikahi kailan” jawab Tirthapravara. Aku selalu terikat untuk melakukan tapa brata yang berat. Ketika smeua itu sedang dilakukan, aku dilarang untuk menikah”jawab Tirthapravara. Tapi Pramohinī dan temannya terus mendesak sang ṛṣi. Akan tetapi Tirthapravara adalah ṛṣi yang sakti dan menguasai tenik Māyā. Ia menggunakan kekuatan itu untuk menghilang. Ketika sang ṛṣi tidak muncul lagi, merekapun sedih dan segera kembali ke rumah mereka.

Keesokan harinya mereka kembali lagi ke hutan. Dan ketika mereka melihat Tirthapravara maka merekapun terus mendesak dan menekan sang ṛṣi agar mau menikahinya. “Kali ini Tirthapravara kehilAñgan kesabaran. Ia kemudian mengutuk Pramohini dan kawannya agar mereka berlima berubah menjadi Pisaci (hantu raksasa wanita).  “Kami kita menyakitimu” kata mereka “Tapi kami hanya menyatakan cinta kami dan keinginan untuk menikah denganmu. Tapi kau membalasnya dengan kutukan. Oleh karena itu kami juga mengutukmu menjadi seorang raksasa (pisaca)”

Karena saling kutuk mengutuk itu, maka terdapatlah enam raksasa yang berkeliaran di sekitar danau itu. Mereka tinggal di sanadan mencari makan di sana. Setelah beberapa tahun berlalu seorang ṛṣi bernama Lomasa kebetulan berkunjung ke sana. Maka raksasa dan raksasi yang lapar itu merasa senang melihat makanan yang ada dihadapan mereka dan menyerang sang ṛṣi. Namun ṛṣi Lomasa sangat sakti hingga para raksasa itu tidak bisa mendekatinya. Mereka kemudian tunduk dan bersujud pada sang ṛṣi.

“Bagaimana kami bisa terbebas dari wujud ini, tuan ṛṣi ?” tanya mereka. “Pergi dan mandilah di sungai Reva yang suci” jawab beliau.  Maka para raksasa itupun pergi dan melakukan seperti yang diminta oleh sang ṛṣi dan mendapatkan kembali wujud aslinya. Demikianlah kehebatan sungai suci Reva itu.

 

34. Vikuṇḍala

Bertahun-tahun yang lalu, dalam jaman Satyayuga, tinggallah seorang Vaisya yang bernama Hemakuṇḍala. Ia selalu melakukan kebaikan dan memuja dewa dan melayani para brāhmana. Pekerjaannya adalah berdagang dan beternak, ia memiliki harta berlimpah. Keseluruh kekayaannya mencapai delapan croce keping emas.

Perlahan-lahan Hemakuṇḍala menjadi tua dan merasa kehilangan indera pendengarannya. Menyadari bahwa hari-harinya untuk meninggalkan bumi sudah semakin mendekat, maka ia memutuskan untuk melakukan pengabdian di jalan yang berpahala. Ia menyediakan 1/6 kekayaannya untuk melakukan hal itu. Dengan uang itu ia membangun kuil, menggali sumur dan menanam pepohonan. Ia juga menyumbangkan banyak uang untuk sedekah.

Hemakuṇḍala memiliki dua orang putra bernama Srikuṇḍala dan Vikuṇḍala. Hemakuṇḍala masih punya banyak simpanan harta meskipun telah banyak yang disumbangkannya untuk sedekah. Ia kemudian membagi uang itu kepada kedua putranya. Sedangkan ia sendiri pergi ke hutan untuk bermeditasi.

Srikuṇḍala dan Vikuṇḍala menjadi dua pemuda yang kaya raya. Oleh karena itu segera saja mereka menjadi besar kepala. Bukannya menjalani hidup yang baik mereka malah menempuh hidup yang tidak benar dan bersenang-senang. Dalam menjalani hidup yang penuh hura-hura itu, merekapun mulai kehilangan semua kekayaannya. Sedangkan teman-teman jahatnya mulai meninggalkannya dan sekarang mereka terpaksa hidup prihatin.

Karena tidak sanggup menahan rasa lapar maka kedua bersaudara ini kemudian pergi ke hutan dan menjadi pemburu. Mereka berjuang untuk mencari makan. Namun sayang dalam perburuan itu, Srikuṇḍala harus tewas dimakan harimau dan Vikuṇḍala tewas digigit ular.

Karena mereka meninggal pada saat yang bersamaan, maka keduanya dibawa di hadapan Yama. “Bawa Srikuṇḍala ke neraka yang paling kejam” perintah Yama pada utusannya. “Dan bawa Vikuṇḍala ke surga.”

Kata-kata Yama itu membuat Vikuṇḍala amat terkesima, terheran. Pada utusan yang membawanya ke surga, ia bertanya. “Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Kami dua bersaudara, terlahir dalam keluarga yang sama. Kami mati bersama. Lalu bagaimana halnya saudaraku bisa pergi ke neraka dan aku bisa masuk surga? Aku tidak melihat alasan yang masuk akal hingga aku bisa masuk surga.”

“Yang kau katakan itu memang benar” jawab sang utusan. “Tapi ada satu hal yang mungkin kau lupakan. Aku akan menyegarkan kembali ingatanmu tentang hal ini. Kau memiliki teman seorang brāhmana bernama Svamitra. Ia memiliki pertapaan di pinggir sungai Yamuna. Dulu kau pernah pergi ke sana dan mengunjungi sebuah tempat suci (tirtha) yang dikenal dengan nama Papapranasana. Karena pahala itulah kau bisa naik ke surga. Sedangkan saudaramu yang tidak pernah melakukan tirthayatra, maka ia harus masuk neraka”. “Tidak bisa begitu” kata Vikuṇḍala” Pasti ada jalan untuk menyelamatkan kakakku.”

“Ya, ada jawab sang utusan. “Dalam limakali kehidupanmu yang lampau, kau telah mengumpulkan banyak pahala. Jika kau mentransfer punya itu pada saudaramu, maka ia bisa terbebas dari neraka”. “Pahala apakah itu?” tanya Vikuṇḍala “Aku tidak ingat lagi”.  “Bertahun-tahun yang lalu ada seorang ṛṣi yang bernama Sakuni” kata sang utusan. “Beliau memiliki sembilan putra. Empat diantaranya yaitu, Nirmoha, Dhyanakastha, Jitakama dan Gunadhika, menjadi pertapa. Suatu kali mereka kebetulan mengunjungi sebuah perkotaan untuk meminta sedekah. Delapan kali kehidupan yang lalu kau tinggal di kota itu sebagai seorang Brāhmana. Dan kau tidak saja memberi sedekah pada mereka tapi juga menjamu mereka ke dalam rumahmu. Itulah pahala yang telah kau dapatkan. Dan jika kau mau memberikan pada saudaramu, maka ia pun bisa naik ke surga.”

Vikuṇḍala kemudian dengan senang hati memberikan pahala yang telah dikumpulkannya pada Srikuṇḍala. Dan Srikuṇḍala, seketika itu juga terbebas dari dosa-dosanya dan keduanya langsung ke surga. Demikianlah kisah Vikuṇḍala yang menakjubkan itu. Selanjutnya padma purāṇa mengisahkan tentang struktur purāṇa lain diasosiasikan dengan tubuh Viṣṇu.

 

35. Purāṇa

Delapan belas purāṇa sebenarnya diasosiasikan dengan bagian-bagian tubuh Viṣṇu. Setiap purāṇa diasosiasikan dengan bagian tubuh dihubungkan dengan salah satu bagian tubuh beliau.

  1. Brahma purāṇa                 adalah kepala
  2. Padma purāṇa                   adalah  jantung
  3. Viṣṇu purāṇa                     adalah tangan kanan
  4. Śiva purāṇa                        adalah tangan kiri
  5. Bhāgavata purāṇa             adalah paha
  6. Nārada purāṇa                  adalah pusar
  7. Mārkandeya purāṇa          adalah kaki kanan
  8. Agni purāṇa                       adalah kaki kiri
  9. Bhaviṣya purāṇa                adalah lutut kanan
  10. Brahmavaivarta purāṇa    adalah lutut kiri
  11. Liṅga purāṇa                     adalah betis kanan
  12. Skanda purāṇa                   adalah bulu tubuh
  13. Vāmana purāṇa                 adalah kulit
  14. Varāha purāṇa                  adalah betis kiri
  15. Kūrma purāṇa                   adalah punggung
  16. Matsya purāṇa                   adalah lemak tubuh
  17. Gāruḍa purāṇa                  adalah sumsum
  18. Brahmāṇḍa purāṇa           adalah tulang

 

Semua naskah ini adalah naskah suci yang dengan membacanya akan memberikan pahala.

 

36. Dandaka

Dalam jaman Dvapara yang terakhir ini, ada seorang pencuri yang bernama Dandaka. Ia suka mencuri barang milik para brāhmana, ia juga menghianati teman-temannya, selalu berbohong dan beṛṣikap kejam. Ia bahkan memakan daging sapi dan meminum anggur.

Suatu kali, Dandaka pergi ke kuil Viṣṇu untuk mencuri benda-benda berharga yang ada di kuil itu. Kakinya kotor berlumpur dan ia membersihkan kakinya pada teras di depan pintu kuil sebelum masuk ke kuil itu. Dan perbuatan itu membawa akibat yang tentunya tidak diperkirakan olehnya. Pada saat itu, teras depan kuil sedang kotor dan ketika Dandaka membersihkan kakinya, secara tidak sengaja kotoran yang ada  di sana juga ikut dibersihkan-nya.

Kamar utama kuil itu memiliki pintu kayu yang keras dan Dandaka menghancurkannya dengan satu cambuk besi. Di dalamnya terdapat patung Viṣṇu. Pencuri ini tidak menghiraukan patung itu karena ia berpikir bahwa tidak ada yang bisa didapatkan dari sebuah patung. Ia lebih memperhatikan benda-benda berharga yang ada di kuil itu. Ia kemudian mengumpulkan semua benda itu dalam satu ikatan. Namun dalam proses itu, ia secra tidak sengaja telah menjatuhkan beberapa benda berharga menimbulkan keributan.

Suara benda jatuh itu membangunkan penjaga kuil dan membuat mereka berlarian ke arah munculnya suara itu. Dandaka yang mengetahui hal itu cepat-cepat melarikan diri. Dan dalam ketergesaannya, ia secara tidak sengaja menginjak seekor ular berbisa yang mengigitnya hingga tewas, dan dibawa ke sidang dewa Yama. Dalam persidangan itu ada seorang pesuruh Yama yang bernama Citragupa. Ia bertugas menghutung semua perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manuisa di bumi. Ketika Dandaka diajukan kehadapan Yama, beliau menanyai Citragupta tentang hasil penimbangan dosa dan pahala yang dilakukan oleh Dabdaka.

“Umat ini” kata Citragupa” adalah seorang pencuri. Pendek kata tidak ada kejahatan besar yang tidak pernah dilakukannya. Akan tetapi, ia telah melakukan satu perbuatan baik. Dan begitu besar pahala yang dilakukannya, hingga semua dosa yang pernah dilakukan oleh Dandaka terhapuskan. Ia telah membersihkan debu kotor di teras depan kuil Viṣṇu”.

Segera setelah Citragupta mengatakan hal itu, Yama segera turun dari singgasana-Nya dan menunduk hormat pada Dandaka. Beliau menyadari bahwa tidak ada alasan untuk mengirimkannya ke neraka. Satu-satunya tempat yang pantas baginya adalah Viṣṇuloka. Lalu dikirimlah Dandaka untuk tinggal di sana. Demikian hebatnya pahala dari membersihkan kuil Viṣṇu.

 

37. Sang Tikus

Pada jaman Tretā Yuga, hiduplah seorang brāhmana yang bernama Vaikuṇṭha. Vaikuṇṭha sangat setia memuja Viṣṇu. Suatu kali ia menyalakan lampu di salah satu kuil Viṣṇu. Setelah, menyalakan lampu, iapun kembali pulang. Yang dipakai untuk menyalakan lampu itu adalah minyak ghee. Dan bau dari minyak itu mengundang tikus-tikus berdatangan untuk memakan mentega yang merupakan bahan dasar minyak itu. Dalam situasi itu, minyaknya tumpah dan nyalanya membesar. Nyala itu menerangi patung Viṣṇu dan menghalau kegelapan yang menerpa patung itu.

Di saat terakhirnya, tikus itu mati digigit ular. Yama kemudian mengutus pesuruhnya untuk membawa tikus itu dan mereka mengikatnya dengan tali dan pancing. Namun ketika mereka handak membawanya, datanglah utusan dewa Viṣṇu.

“Sungguh berani kalian mengikat tikus itu!” kata utusan Viṣṇu. “Apakah kalian tidak tahu kalau kalian tidak boleh menyentuh mahluk yang mengabdikan pada Viṣṇu? Tikus ini telah menghalau kegelapan yang menerpa petung Viṣṇu. Oleh karena itulah ia termasuk salah satu pemuja Viṣṇu. Lepaskan dia. Karena dia akan pergi ke Viṣṇuloka bersama kami. Semua dosanya telah terampuni”.

 

38. Śrīdhara

Śrīdhara adalah seorang raja yang sangat pintar memimpin negaranya sehingga dapat hidup makmur dan berbahagia, serta memiliki seorang permaisuri yang bernama Hemaprabhāvatī. Namun mereka tidak memiliki keturunan. Oleh seorang ṛṣi, Sridhara disarankan melakukan korban suci berupa sumbangan atau bersedekah pada para brāhmana baik berupa pakaian dan makanan agar mereka dapat memilki keturunan. Mereka tidak memiliki keturunan akibat dalam kehidupannya terdahulu tidak menolong seorang anak yang tenggelam di dalam telaga akibat pergi tergesa-gesa.

 

39. Līlāvatī

Menceritakan tentang seorang wanita yang sangat jahat dan tidak pernah menghiraukan perbuatan baik yang bernama Līlāvatī, namun ketika perayaan hari suci Rādhāstami yaitu hari sucinya Rādhā (pendamping Kṛṣṇa) ia melakukan pemujaan tirakat hingga segala dosa-dosanya dapat terampuni.

(Śuklapaksa adalah dua minggu dari awal bulan saat di mana bulan bersinar penuh. Astami tithi adalah bulan ke delapan). “Aku juga akan melakukan brata (terakat) itu” jawab Līlāvatī. Akhirnya, ketika Līlāvatī meninggal karena gigitan ular dan utusan Yama datang kepadanya dan berusaha menyeretnya ke alam Yama. Namun ketika semua itu sedang dilakukan, pengawal Viṣṇu datang dan memberitahukan pasukan Yama bahwa mereka tidak boleh membawa Līlāvatī ke alam Yama. Karena dia telah melakukan tirakat Rādhāstami dan semua dosanya terampuni. Līlāvatī kemudian pergi ke Viṣṇuloka. Demikianlah kehebatan pahala dari melakukan brata Rādhāstami.

 

40. Lakṣmīvrata

Dalam jaman Dvāpara Yuga. Ada seorang raja yang bernama Bhadraśravā. Ia memerintah wilayah Saurāṣṭra. Raja ini sangat terpelajar dalam ilmu Veda. Istrinya bernama Suraticandrika. Pasangan ini memiliki tujuh putra. Kemudian  lahirlah seorang putri bernama Syamabala pada mereka. Satu kali Syamabala pergi bermain bersama temannya ke pesisir lautan.

Ketika Syamabala pergi, dewi Lakṣmi datang ke istana orang tua Syamabala. (Lakṣmi adalah dewi kemakmuran, Saktinya Viṣṇu). Dewi Lakṣmi menyamar menjadi seorang brāhmana perempuan dan berkata penjaga gerbang “Aku mau bertemu dengan Suraticandrika”. “Mengapa kau ingin bertemu sang permaisuri?” tanya penjaga. “Siapa kau ini? Siapa namamu? Dan di mana kau tinggal?”. “Namaku adalah kamala” jawab Laksmi. “Suamiku bernama Bhuvanasva, Ia tinggal di Dvaravati. Aku mau mengingatkannya tentang kehidupan masa lalu permaisuri klian.” Karena Lakṣmi sedang dalam samaran, maka beliau menggunakan kata kiasan tentang dirinya. Kamala merupakan salah satu gelarnya. Kamala berarti sebuah bunga teratai dan dewi Lakṣmi diberi nama Kamala karena beliau duduk di atas kembang teratai. Bhuvanasva berarti penguasa dunia. (Yang dimaksudnya adalah Viṣṇu, suaminya). Dan Dvaravati adalah kota yang dibangun oleh Kṛṣṇa yang titisan suaminya). Kisah yang diceritakan oleh Lakṣmi pada para penjaga adalah sebagai berikut.

Dalam kehidupannya yang lalu, Suraticandrika lahir sebagai seorang wanita Vasya. Tapi ia tidak bahagia. Dia selalu bertengkar dengan suaminya dan akhirnya meninggalkan rumah tangganya. Dewi Lakṣmi kemudian menemui wanita yang malang ini dan memberitahunya untuk melakukan brata Lakṣmi (Ritual tirakat untuk Lakṣmi). Vrata ini memberikan pahala yang besar. Dan sebagai pahala dari vrata itu, wanita vaisya itu bisa tinggal bertahun-tahun di Viṣṇuloka setelah kematiannya. “Setiap kali wanita itu melakukan ritual Lakṣmivrata, dia bisa tinggal 1000 tahun di Viṣṇuloka. Dan ketika pahala itu telah habis, maka dia terlahir kembali sebagai Suraticandrika.

“Aku datang kemari untuk mengingatkan hal ini pada permaisuri” kata Lakṣmi. “ Sekarang dia kaya dan telah berubah menjadi sombong. Dia tidak lagi melakukan Lakṣmivrata. Dan ini sangat disayangkan”. “Vrata apa itu?” tanya penjaga. “Kapan vrata harus dilakukan?”. “Ritual Vrata ini harus dilakukan dalam bulan Margasirsa” jawabnya. “Nasi yang dimasak dengan susu, dicampur Champhor dipersembahkan pada Viṣṇu dan Lakṣmi. Selama empat hari dia harus melakukan doa pada Lakṣmi dengan mempersembahkan tepung, mentega, buah dan bunga.”

Penjaga itu kemudian meminta Lakṣmi untuk menunggu dan mereka pergi untuk memberitahu sang pemaisuri. Namun Suraticandrika tidak mengenali bahwa Brāhmana wanita itu sebenarnya dewi Lakṣmi. Dan ketika diberitahu tentang nasehat itu, Suraticandrika malah memukul dan mengusirnya. Ketika Brāhmana wanita itu pergi dia bertemu Syamabala yang sedang dalam perjalanan kembali ke istananya. Melihat brāhmana yang sedang menangis itu, Syamabala menanyainya tentang apa yang telah terjadi. Setelah mendengar cerita brāhmana itu, Syamabala memutuskan untuk melakukan ritual vrata itu.

Beberapa tahun selanjutnya, Syamabala kemudian menikah dengan Maladhara, putra raja Sidhasvara. Segera setelah Syamabala meninggalkan rumah orang tuanya. Semua  kekayaan dan kemakmuran di kerajaan orang tuanya perlahan habis. (Ini karena Lakṣmi menjauhinya. Sebelumnya Lakṣmi masih berkenan memberkati kerajaan itu, karena Syamabala yang selalu melakukan Lakṣmivrata masih tinggal di sana.) Kejadian ini memaksa raja dan permaisurinya hampir menderita kelaparan.

Bhadrasrava kemudian pergi untuk mengunjungi putrinya dan Syamabala tersentak melihat keadaan ayahnya. Setelah  memberi makan ayahnya, dia memberikan berbagai benda berharga dan uang untuk dibawanya pulang. Bhadrasrava membawa harta itu pulang, namun segera setelah ia memasuki rumahnya, harta dan benda berharga itu berubah menjadi setumpuk arang.

Kali ini Suraticandrika yang datang ke sana untuk mengunjungi putrinya. Dan saat itu bertepatan dengan perayaan Lakṣmivrata dan Syamabala memaksa ibunya untuk ikut melakukan vrata itu. Aneh bin ajaib! Ketika Suraticandrika kembali pulang. Dia mendapatkan semua harta dan kekayaannya dan kesejahteraannya kembali pulih seperti biasa. Demikian efek yang mengagumkan dari Lakṣmivrata.

 

41. Dīnanātha dan Viśvāmitra

Dalam jaman Dvāpara yuga, ada seorang raja sakti yang bernama Dīnanātha. Namun sayang sekali beliau tidak memiliki seorang putrapun. Beliau kemudian minta nasehat ṛṣi Galava bagaimana agar ia bisa memiliki seorang putra. “Lakukan sebuah Yajña” kata sang ṛṣi. “Dan persembahan kurban seorang manusia. Jika manusia yang dipersembahkan itu, sempurna dalam setiap hal maka ia pasti akan memiliki seorang anak.”

Raja  kemudian mengutus teliksandi (utusan) untuk mencari seorang pemuda yang tampan dan hebat. Para telik sandi  itu menjelajahi ke mana-mana. Akhirnya mereka tiba di sebuah desa yang bernama Dasapura di mana penduduknya merata berwajah sangat tampan di mana di sana terdapat seorang brāhmana yang bernama Kṛṣṇadeva. Istrinya bernama Susila. Kṛṣṇadeva dan Susila memiliki tiga orang putra.

Para utusan itu meminta sang brāhmana dan istrinya untuk memberikan salah satu putranya dengan harga satu laksa keping emas. Ketika pasangan brāhmana itu menolak, para utusan mulai menculik salah satu anak mereka dengan paksa. Dan merasa tidak berdaya, Kṛṣṇa deva dan Susila pun menyerah dan memohon agar putra tertua dan bungsu mereka jangan diambil. Maka putra yang kedua diambil oleh para utusan dan mereka meninggalkan emasnya serta pergi.

Kṛṣṇadeva dan Susila sangat bersedih kehilangan putranya hingga merek menjadi buta. Ketika para utusan raja kembali mereka melewati pertapaan Visvamitra. “Kalian mau ke mana?” tanyanya. “Dan siapa pemuda brāhmana itu?. Utusan itu kemudian memberitahu ṛṣi Visvamitra tentang kisah itu. “Beberapa anak itu” kata ṛṣi Visvamitra “Umurnya masih muda dan dia berhak menikmati hidup. Bawalah aku. Aku akan menjadi kurbannya.”

Para utusan itu menolak. Mereka berpikir bahwa Visvamitra terlalu tua untuk menjadi kurban yang baik. Oleh karena itu, Visvamitra kemudian ikut bersama mereka untuk menghadap sang raja. Ia membujuk raja untuk melakukan upcara itu tanpa kurban manusia. Visvamitra sendiri yang menjamin bahwa raja akan memiliki seorang putra. Maka seiring berjalannya waktu, seorang putra terlahir pada sang raja. Sedangkan anak brāhmana yang malang itupun dikembalikan pada orang tuanya. Begitu bahagianya mereka atas kembalinya putra mereka yang kedua hingga penglihatannya yang semula buta, kini bisa melihat kembali. Visvamitra memang seorang ṛṣi sejati.

 

42. Citrasena

Kṛṣṇa paksa adalah pertengahan bulan di mana bulan tidak bersinar penuh (bulan mati) Astami tithi adalah hari kedelapan dalam satu bulan. Kṛṣṇa lahir pada bulan Bhadra, pada Kṛṣṇa paksa dan astami tithi. Sebuah vrata yang dilakukan pada hari ini disebut Kṛṣṇastami vrata dan memberikan pahala yang amat besar.

Ada seorang raja yang bernama Citrasena yang melakukan banyak perbuatan jahat. Ia begitu jahat hingga menghindari semua orang terpelajar dan bergaul hanya dengan orang-orang buangan. Suatu kali ia pergi ke hutan untuk berburu. Ketika sedang mengejar seekor Harimau, ia tiba dipinggir sungai Yamuna. Hari itu kebetulan adalah hari ulang tahun Kṛṣṇa dan banyak apsara (bidadari) melakukan Kṛṣṇastami vrata di pinggir sungai Yamuna. Melihat pemandangan itu, raja merasa ingin melakukan upcara itu sendiri. Dan sebagai pahalanya, setelah kematiannya, Citrasena langsung menuju alam Viṣṇuloka dan semua dosanya terampuni. (Kṛṣṇastami vrata juga disebut Janmastami vrata).

 

45. Bhīma

Bertahun-tahun yang lalu, dalam jaman Dvapara yuga, ada seorang Sudra yang bernama Bhīma. Ia melakukan banyak dosa hingga seolah tak mungkin jumlahnya. Orang ini suatu kali pergi pada seorang brāhmana. Ia memutuskan untuk mencuri kekayaan brāhmana itu. Untuk bisa memasuki rumah itu, ia berpura-pura menjadi seorang pengemis. “Saya lapar, mohon berikan makanan untukku” katanya.

“Tidak ada orang lain di rumah ini” jawab brāhmana itu. “Aku tidak memiliki orang tua, istri ataupun anak. Tidak ada orang yang bisa memasak makanan untukmu. Mengapa kau tidak mencari beras sendiri dan memasak untuk dirimu sendiri?”. “Aku juga tidak memiliki siapa-siapa” kata Bhīma. “Aku akan tinggal di sini melayani anda.”

Sebenarnya semua itu hanyalah suatu trik. Bhīma mencari kesempatan agar bisa memasuki rumah agar bisa mencuri harta brāhmana itu. Namun sekali ia merasakan tinggal di sana, ia merasa tidak perlu tergesa-gesa. Hidup dengan brāhmana itu sangat menyenangkan. Jadi menurutnya tidak perlu tergesa-gesa untuk mencuri milik brāhmana itu. Karena kapan pun Bhīma menginginkannya, saat itu juga ia bisa melakukannya. Namun tinggal dengan seorang brāhmana membuat Bhīma mulai melakukan pekerjaan berpahala. Ia memasak mekanan dan membasuh kaki brāhmana itu. Semua pekerjaan itu memberikan pahala yang besar padanya.

Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah. Bhīma berusahan mendegahnya. Namun ketika terjadi pertarungan, pencuri itu berhasil menebas leher Bhīma dengan sebilah pedang. Segera setelah Bhīma meninggal, utusan Viṣṇu datang menjemputnya dan membawanya ke Viṣṇuloka setelah semua dosanya diampuni. Demikianlah pahalanya melayani seorang brāhmana.

 

46. Hemaprabhā

Ekadasi  adalah hari kesebelas dalam satu bulan. Jika orang berpuasa pada ekadasi tithi dan melakukan upcara ritual maka disebut ekadasi vrata. Ritual ini sangat suci. Bertahun-tahun yang lalu seorang bernama Vallabha tinggal di sebuah kota yang bernama Kancana. Istri Vallabha bernama Hemaprabhā. Vallabha sangat kaya dan makmur. Namun ia tidak bahagia. Alasannya karena istrinya tidak mematuhinya dan setiap saat selalu berselisih paham dengannya. Pada suatu hari, Vallabha tidak sanggup lagi menahannya. Ia mengultimatum istrinya dengan pernyataan yang pedas.

Hal ini membuat Hemaprabhā sangat marah dan ia mengurung diri di kamarnya tanpa menyentuh makanan ataupun minuman. Dia berpuas sehari penuh. Seolah sudah ditakdirkan, diapun meninggal malam itu juga. Dan kebetulan hari itu adalah Ekadasi, oleh karena itu, Hemaprabhā telah melakukan puasa ekadasi secara sempurna. Dan ini memberi pahala yang besar padanya. Ketika Hemaprabhā meninggal, utusan Yama datang dan berusaha membawa wanita itu ke kahyangan Yama. Namun saat itu juga pengawal Viṣṇu datang dan menghalangi mereka. Demikianlah pahala yang didapatkan oleh Hemaprabhā hingga ia ditakdirkan untuk tinggal di Viṣṇuloka. Demikianlah efek yang mengagumkan dari ekadasi vrata.

Ada beberapa kisah lagi dalam Padma purāṇa yang kurang lebih adalah pengulAñgan dari alur kisah yang sama seperti yang telah dicantumkan dalam purāṇa ini maupun purāṇa lain. Jadi tampaknya ceria itu tidak usah dibahas lagi. Garis besarnya adalah sebagai berikut.

Pada jaman Treta yuga, ada seorang brāhmana yang bernama Sudarsana. Ia selalu mencela Veda, tidak pernah melakukan tapa brata dan ia hanya memikirkan diri sendiri. Ketika meninggal, ia dimasukkan ke neraka kemudian lahir sebagai seekor babi. Kehidupan selanjutnya, babi itu lahir menjadi burung gagak. Kebetulan sebuah patung Viṣṇu sedang dibeṛṣihkan dengan air dan burung gagak itu secara kebetulan meminum sebagian air itu. Maka hasilnya semua dosa Sudarsana termaafkan dan ia pun naik ke surga.

Juga di jaman yang sama, hiduplah seorang yang bernama Sankara yang merupakan penduduk kerajaan Saurastra. Istri Sankara bernama Kalipriya. Kalipriya sama sekali tidak mencintai suaminya dan selalu berselisih paham dengannya. Dia tidak pernah memasak untuk suaminya. Dan selalu mengharapkan tibanya hari di mana suaminya akan meninggal. Karena merasa keinginannya tak kunjung terwujud, maka dia sendiri yang membunuh Sankara agar dia bisa lebih bebas. Setelah kematian suaminya, dia mulai mengembara ke berbagai  kota. Karena takdir yang singkat, diapun mulai bergabung dengan para penyembah Viṣṇu. Dia melakukan beberapa Vrata dan mendapatkan banyak pahala. Kekuatan pahala itu sangat hebat sehingga setelah kematiannya, dia dibawa ke Viṣṇuloka setelah semua dosanya terampuni.

Dalam jaman Dvapara yuga, ada seorang brāhmana bernama Aditya. Pohon Tulasi adalah pohon yang disucikan oleh Viṣṇu. Aditya menyiram pohon itu lalu pergi. Di tempat itu juga ada seorang manusia buangan (candala). Orang ini sangat kehausan, karena tidak menemukan air mata ia mulai mencabut akar pohon itu dan meminum air dari akar itu. Sebenarnya ini adalah perbuatan yang sangat berpahala. Akhirnya candala itu mati dibunuh oleh seorang pemburu bernama Asimardana. Karena melakukan perbuatan berpahala dengan meminum air dari akar pohon tulasi, maka candala itu diampuni dosa-dosanya. Di antara sekian banyak dosanya, ada sebuah dosa menculik seorang wanita dalam kehidupannya yang lampau. Karena dosa itulah ia terlahir menjadi seorang candala. Dosa ini juga terampuni dan candala itu dibawa ke Viṣṇuloka oleh para pengawal Viṣṇu.

Pada jaman Treta yuga, hiduplah seorang sudra yang bernama Dandakara. Ia mencela Veda, memakan daging sapi, minuman anggur, berbohong besar dan melakukan banyak dosa lain. Ia begitu jahat hingga semua teman dan keluarganya menjauhinya. Dandakara kemudian memilih tinggal di hutan dan menjadi perampok. Ia merampok dan membunuh banyak orang. Dalam menjalani jalan sesat itu, suatu hari ia bertemu dengan sekumpulan brāhmana yang semuanya adalah pemuja Viṣṇu dan semua bhakta Viṣṇu ini berhasil membujuk Dandakara untuk melakukan sebuah vrata. Maka semua dosanya termaafkan setelah melakukan ritual vrata itu.

 

Penutup

Padma purāṇa adalah naskah yang suci. Orang yan mendengarkan cerita satu sloka dari naskah purāṇa ini akan diampuni dosa yang dilakukannya dalam satu hari. Dengan menyumbangkan seribu sapi pada para brāhmana, maka akan didapatkan pahala yang amat besar. Tetapi pahala dalam jumlah yang sama akan diperoleh jika mendengarkan hanya satu bagian (bab) dari padma purāṇa. Melakukan upacara asvamedha memberikan pahala yang tidak terkirakan. Namun dalam kaliyuga ini, jumlah pahala yang sama akan didapatkan dengan membaca seluruh isi padma purāṇa. Dengan menceritakan kisah ini  pahalanya jauh lebih besar dari melakukan tapasnya atau menyumbang sedekah. Pendek kata, berbagai pahala akan didapatkan dengan membaca dan memceritakannya.

Padma purāṇa ini diceritakan oleh ṛṣi Lomaharsana kepada para ṛṣi yang berkumpul di sana. Para ṛṣi itu merasa sangat puas atas apa yang telah mereka dengar. Dan setelah berterimakasih pada Lomaharsana, merekapun pergi ke tempat masing-masing.

Mata Kuliah Pengetahuan lakon I

Filed under: Tulisan — wicaksana at 2:53 pm on Rabu, Mei 8, 2013

I. PENDAHULUAN

 

      Paradigma pendidikan saat ini telah mengalami perubahan yang pesat, mulai dari rekonstruksi kurikulum lama menjadi kurikulum yang berbasis kompetensi. Implementasi dari kurikulum ini lebih diarahkan kepada kepentingan mahasiswa dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu dilakukan pembenahan dan penyempurnaan pembelajaran seperti pembuatan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) dan SAP (Satuan Acara Perkuliahan), pemilihan metode pembelajaran, pemilihan media pembelajaran, penggunaan informasi teknologi atau Electrinic Learning dalam pembelajaran dan melakukan evaluasi yang valid dan reliable. Apabila pemahaman dosen tentang paradigma pendidikan masih sangat kurang, maka lulusannya dapat dipastikan mutunya akan sangat rendah.

Paradigma pendidikan yang berbasis kompetensi pada dasarnya mengacu pada kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Kualitas yang dimaksudkan adalah perguruan tinggi harus mengadopsi mutu yang tinggi dalam tri dharmanya (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakatnya). Otonomi berarti perguruan tinggi harus mampu mengembangkan potensi lokalnya secara mandiri, berdiri di atas kaki sendiri tanpa harus selalu membutuhkan subsidi pemerintah ataupun campur tangan pihak-pihak tertentu. Akuntabilitas berarti perguruan tinggi harus bertanggung jawab kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, bangsa dan negara dengan menghasilakn produk sumber daya manusia yang andal. Akreditasi berarti perguruan tinggi harus berani dinilai secara eksternal agar memiliki kepercayaan yang tinggi bagi masyarakat internasional. Evaluasi berarti perguruan tinggi harus berani melakukan evaluasi internal atau evaluasi dirinya dan mampu melakukan koreksi dan pengembangan dirinya dari hasil evaluasi yang dibuatnya sendiri. Ketiga bagian tersebut di atas merupakan paradigma yang menyangkut kualitas, perencanaan, dan pemerataan. Kualitas harus diperjuangkan dengan perencanaan yang baik dan merata memberi kesempatan kepada semua masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Secara sederhana komponen sistem pendidikan tinggi juga dapat dilihat dari input, proses dan out-put serta out-come (Sutjipta, 2006: 1-2).

Elemen kompentensi merupakan salah satu tolok ukur suatu materi pembelajaran yang dianggap bermutu. Adapun elemen kompetensi tersebut meliputi kepribadian, penguasaan ilmu dan ketrampilan, kemampuan dalam berkarya, sikap dalam berkarya, dan kemampuan dalam bermasyarakat. Kepribadian berarti mata kuliah yang diajarkan dapat membentuk pribadi yang berwawasan budaya bangsa sebagai filter dari terjangan budaya negatif yang datang secara revolusioner. Penguasaan ilmu dan keterampilan berarti materi yang diajarkan dapat memberikan sebuah ilmu atau menjadikan mahasiswa tersebut menjadi lebih terampil dari sebelumnya. Kemampuan dalam berkarya berarti dengan ilmu yang diajarkan mahasiswa mampu menciptakan lapangan kerja baru atau setidaknya mampu menerapkan lewat karya-karyanya. Sikap dalam berkarya berarti mahasiswa mampu bersikap profesional, jujur dan bertanggungjawab atas segala hasil karyanya. Kemampuan dalam bermasyarakat berarti pendidikan yang diberikan dapat di implementasikan dan diabdikan untuk kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara.

II. Tabel Contoh Matrik Materi  Kuliah

Mata Kuliah: Pengetahuan Lakon I

 

                   MATERI        ELEMEN KOMPETENSI POKOK BAHASAN SUB POKOK  BAHASAN/KONSEP STRATEGI PEMBELAJARAN
KEPRIBADIAN  Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks
  1. Konflik manusia;
  2. Lakon vs Penulis;
  3. Lakon vs Sutradara/Dalang
  4. Lakon vs publik (penonton).
Ceramah dan peragaan, diskusi
PENGUASAAN ILMU DAN  KETRAMPILAN  Pengetahuan Lakon.
  1. pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon

 

Ceramah, Diskusi.
KEMAMPUAN BERKARYA  Menyusun Lakon –      lakonbaku-      lakon carangan-      Lakon karangan Latihan, Diskusi,  PRPraktek & demonstrasi
SIKAP DALAM BERKARYA  Etika Profesi –      Sikap Profesi dan Sosial-      Sikap Religius  Latihan, Interaktif, Apresiatif
KEMAMPUAN BERMASYARAKAT  Memberi tuntunan kepada masyarakat – Etika, Estetika dan logika, kepemimpinan, pendidikan, Ceramah, praktik, interaktif, pembahasan kasus.

 


IV. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

JURUSAN PEDALANGAN, FAKULTAS SENI PERTUNUJUKAN

ISI DENPASAR

 

Judul Mata Kuliah : Pengetahuan lakon I
Kode Mata Kuliah/SKS : SPD 113/2 SKS
Deskripsi Singkat : Mata kuliah teori dengan pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon yang meliputi pengertian struktur, genre, model-model, dan unsur-unsur lakon guna menunjang penganalisaan ceritera lakon wayang. 
Tujuan Instruksional Umum (TIU) : Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon.

 

No

Pokok Bahasan

Sub Pokok Bahasan

TIK

Estimasi

Waktu

Daftar Pustaka

1

2

3

4

5

6

1.

Pengetahuan Lakon. 

 

  1. Pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon
Pengetahuan C1Pemahaman C2Pemahaman C2

 

20

20

20

1 & 7

1 & 7

1, 3, 4, 7,8

2

Unsur-unsur lakon 

 

 

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan (karakterisasi);
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang
Pemahaman  C2Pemahaman C2

Pemahaman C2

 

Pemahaman C2

Pemahaman C2

 

20

20

20

20

20

1 & 7

1 & 7

1 & 7

1 & 7

1 & 7

3

Ragam dan Jenis lakon  1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;3. Lakon Karangan Penerapan C3Penerapan C3Penerapan C3

20

20

20

2, 3, 6, 7

2, 3, 6, 7

2, 3, 6, 7

4

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks
  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon dengan Penulis;
  3. Lakon dengan Sutradara/ Dalang);
  4. Lakon dengan publik (penonton).
Analisis C4Analisis C4 

Analisis C4

 

Analisis C4

 

 

20

20

20

20

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

 

 

Daftar Pustaka:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  7. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985
  8. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

RENCANA EVALUASI PBM

Tujuan Evaluasi

:

Untuk mengetahui kompetensi mahasiswa sampai tingkat penerapan tentang teori-teori lakon
Hal-hal yang Dievaluasi

:

Pemahaman tentang teori-teori lakonKemampuan berkarya: kemampuan menyusun lakon lakon wayangKedisiplinan: tugas rumah dan absensi

Kepribadian dan sikap: partisipasi kelas, komunikasi dan diskusi

Bermasyarakat : kemampuan berkomunikasi di kelas

Evaluator

:

Team teaching
Waktu

:

UTS : Pemahaman teori-teori lakon dengan tingkat Cognitif 4UAS : Kemampuan berkarya yang ditunjukkan dari kemampuan menyusun lakon-lakon wayang dengan tingkat cognitif 4Kedisiplinan, kepribadian dan sikap: dievaluasi selama perkuliahan
Responden

:

Semua mahasiswa
Instrumen

:

UTS : Soal esay take home (40%)UAS : Ujian esay take home (50%)Tugas rumah (10%)

Hasil ujian dianalisis dikatagorikan berdasarkan Penilaian Patokan (PAP)

Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Dosen/Team Teaching

:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M. Hum

 

 

V. SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

I (pertama)
  1. 1. Jurusan

:

Seni Pedalangan, FSP ISI Denpasar
  1. 2.    Dosen

:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

 

 

5. Pokok Bahasan: Kontrak Perkuliahan (pendahuluan).

Kuliah: Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri: 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran Pengetauan Lakon I (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 1. Perkenalan, 2. Absensi/tatap muka, 3. penjelasan mataeri. 4. Tugas-tugas yang disepakati. 5. UTS dan UAS. 6. Bahan bacaan. 7. Sistem penilaian. Persetujuan Kontrak Perkuliahan. 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon.

9. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum maksud kontrak perkuliahan. Mendengarkan. Lembar Kontrak Perkuliahan
Penyajian -perkenalan/asal-usul mahasiswa maupun dosen.-batas minimun dan maksimum tatap muka.-menjelaskan tugas-tugas.

-menjelaskan kapan dan bagaimana sistem UTS dan UAS.

-refrensi yang harus dibaca.

-penjelasan sistem penilaian.

-tanya jawab.

-mendengarkan dan merespon.-diskusi antar teman. 

 

 

 

 

 

-tanggapan.

Lembar kontrak Perkuliahan.

 

Penutup -melakukan absensi.-membaca kembali nama dan Nir. Mahasiswa. -menulis nama dan Nir.-merespon. Buku absen..

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan dua kali ujian yaitu UTS dan UAS dengan dua model soal yaitu soal pilihan (objektif) dan soal uraian (essay).

11. Referensi:

  1. Lembar Kontrak Perkuliahan.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

II (kedua)

5. Pokok Bahasan: Pengertian Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan konsep-konsep dan teori-teori materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum dasar-dasar pengetahuan lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon, dan genre-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi: 1, 3, 4, 7,8

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  3. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985
  4. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

III (ketiga)

5. Pokok Bahasan: Ragam dan Jenis Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan model-model lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Lakon Babon, lakon Carangan, dan Lakon Karangan  Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Ragam dan Jenis Lakon. Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi ragam dan jenis lakon meliputi: lakon babon, lakon carangan, dan lakon karangan-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  7. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  8. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IV (keempat)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan tema dan amanat dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 tema dan amanat lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi unsur-unsur lakon meliputi: tema dan amanat.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

V (kelima)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon meliputi: eksposisi; komplikasi; klimaks; resolusi; dan kesimpulan-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VI (keenam)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas)-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VII (ketujuh)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon wayang dari sisi lain Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon wayang dari sisi lain Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon wayang dari sisi lain meliputi: alur menanjak; menurun; alur maju; mundur; patah; dan periodik-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6.  Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VIII (kedelapan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon meliputi: tindakan; ujaran/ucapannya; pikiran, perasaan/kehendak; penampilan/fisik.-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IX (kesembilan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum penokohan/watak/karakteristik dalam unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon meliputi: tokoh protagonis; antagonis; tritagonis-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IX (kesembilan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik dalam perkembangannya Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum penokohan/watak/karakteristik dalam unsur-unsur lakon dalam perkembangannya Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon dalam perkembangannya meliputi: tokoh andalan; tokoh bulat; tokoh datar/pipih; durjana; statis; dan utama-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

X (kesepuluh)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan latar (setting) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Latar (setting) lakon Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi latar (setting) dari unsur-unsur lakon meliputi: ruang, waktu, dan suasana-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XI (kesebelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan latar (setting) dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Latar (setting) lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi latar (setting) dari unsur-unsur lakon dalam wayang meliputi: sorga dan neraka, mercapada, bawah bumi (triloka: bhur, bwah, swah).-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XII (keduabelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan Suasana/adegan lakon dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Suasana lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Suasana lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Suasana lakon dalam wayang meliputi: suasana agung, tenang, gembira, sedih, romantis, tegang, perang.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XIII (ketigabelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang meliputi: babak pertama, kedua, dan ketiga dst. Adegan sidang, berangkat, romantis, sedih/mesem, seram/bapang, perang/siat.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XIV (keempatbelas)

5. Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon konteks dengan konflik manusia dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan konflik manusia Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon konteks dengan konflik manusia Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Lakon konteks dengan konflik manusia-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XV (kelimabelas)
  1.  Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon dengan sutradara/dalang); dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan sutradara/ Dalang) Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon dengan sutradara/dalang) Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi lakon dengan sutradara/ dalang)-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  7. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XVI (keenambelas)
  1.  Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon dengan publik (penonton) dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan publik (penonton). Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon dengan publik (penonton). Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi lakon dengan publik (penonton).-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  4. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

Catatan:

  • Lima belas (16) kali tatap muka, ditambah dengan dua kali ujian (UTS dan UAS), menjadi 18 kali pertemuan.
  • materi per SAP di atas, dalam praktisnya terkadang terjadi pengulangan dan juga percepatan, tergantung dari kebutuhan dan kompetensi mahasiswa.

 

VI. KISI-KISI TES OBJEKTIF

 

Program Studi/Jurusan

:

Seni Pedalangan, Fakulatas Seni PertunjukanISI Denpasar
Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Smester/Tahun

:

V (Lima) 2006
Lalam Ujian

:

60 Menit
Tipe Tes

:

Esay
Jumlah Butir Tes

:

20 Butir

 

No

POKOK BAHASAN

DAN

SUB POKOK BAHASAN

JENJANG KEMAMPUAN DAN TINGKAT KESUKARAN

JUMLAH BUTIR SOAL

%

C1 C2 C3 C4,5,6

MUDAH

SEDANG SUKAR MUDAH SEDANG SUKAR

MUDAH

SEDANG

SUKAR

MUDAH

SEDANG

SUKAR

1.

 

Pengetahuan Lakon:

  1. pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

 

 

 

 

20%

2.

 

Unsur-unsur Lakon:

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan;
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

20%

3.

 

Ragam dan Jenis Lakon:1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;

3. Lakon Karangan

 

 

 

 

6

30%

4.

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks:

  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon dengan Penulis;
    1. Lakon dengan Sutradara/ Dalang);
    2. Lakon dengan publik (penonton).
1 3 2

6

30%

JUMLAH BUTIR SOAL

20

PROSENTASE

100%

KETERANGAN:

Cl         Proses berpikir ingatan

C2        Proses berpikir pemahaman

C3        Proses berpikir penerapan

C4, 5, 6Proses berpikir analisis, sintesis, dan evatuasi

*Mudah, Sedang, Sukar adalah tingkat kesukaran butir soal yang diinginkan. Menentukan tingkat kesukaran ini didasarkan pada pertimbangan pembuatan soal.

*Pokok/Sub Pokok Bahasan di kolom 2 diambil dari GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran), yang ditarik dari Tujuan instruksional Khusus (TIK).


VII. FORMAT KISI-KISI TES URAIAN

 

Program Studi/Jurusan

:

Seni Pedalangan, Fakulatas Seni PertunjukanISI Denpasar
Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Smester/Tahun

:

V (Lima) 2006
Lalam Ujian

:

60 Menit
Tipe Tes

:

Esay
Jumlah Butir Tes

:

20 Butir

No

POKOK BAHASAN

DAN

SUB POKOK BAHASAN

JUMLAH SOAL PROSES BERPIKIR MAKSIMAL

JUMLAH BUTIR SOAL

%

C2

C3

C4

C5

C6

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1.

Pengetahuan Lakon:1. pengertian lakon;

  1. Istilah lakon;
  2. Model-model lakon

v

v

v

4

20%

2.

 

Unsur-unsur Lakon:

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan (karakterisasi);
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang

v

v

v

v

v

4

 

20%

3.

Ragam dan Jenis Lakon:1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;

3. Lakon Karangan

v

v

v

6

30%

4.

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks:

  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon vs Penulis;
    1. Lakon vs Sutradara/ Dalang);
    2. Lakon dengan publik (penonton).

v

v

v

v

6

30%

JUMLAH BUTIR SOAL

20

PROSENTASE

100

 


VIII. SOAL TES  URAIAN:

 

  1. “Lakon” mempunyai padanan kata dengan “Lampahan”. Coba anda uraikan dan apa artinya kedua kata tersebut ?
  2. Ada 4 (empat) jenis tokoh/peran yang merupakan anasir keharusan kejiawaan dalam lakon seperti, tokoh protagonis; antagonis; tritagonis; dan peran pembantu.
  3. Latar/setting dalam lakon mempunyai 2 aspek: ruang, dan waktu. Coba anda uraikan kedua aspek tersebut ?
  4. Coba anda sebutkan salah satu judul lakon pertunjukan Wayang Kulit serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur judul lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  5. Dilihat dari segi mutu (kualitas), alur dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yakni alur ketat dan alur longgar. Jelaskan kedua hal tersebut!
  6. Sebagai sumber ceritera, lakon wayang terdiri dari: lakon babon, lakon pokok, dan lakon carangan. Jelaskan ketiga kategori lakon tersebut di atas !
  7. Berikan contoh masing-masing 2 judul lakon pokok, dan lakon carangan!
  8. Buatlah salah satu lakon pertunjukan wayang kulit (sinopsis singkat) serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  9. Setiap lakon wayang memiliki makna atau nilai yang terkandung dalam  pertunjukannya. Jelaskan unsur-unsur nilai tersebut di atas!

 

 


IX. KUNCI JAWABAN TES URAIAN:

 

  1. Lakon dari kata “laku” dengan akhiran “an” dan Lampahan dari kata “lampah” dengan akhiran “an” (bahasa Jawa Kuna), artinya kisah yang didramatisasi serta dipentaskan di atas panggung oleh seseorang atau lebih pemain.
  2. Tokoh protagonis artinya peran utam (peran sentral). Tokoh antagonis adalah peran lawan atau penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya konflik. Tokoh tritagonis adalah peran penengah sebagai pelerai; dan peran pembantu adalah peran yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik yang terjadi, tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan ceritera.
  3. Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Aspek  waktu dalam lakon lakon ada 2 yakni, waktu ceritera dan waktu penceriteraan.
  4. Judul lakon pertunjukan wayang kulit “Anta Kusuma”. Temanya adalah pengorbanan dengan alur datar, menanjak, klimak, anti klimak, serta kesimpulan. Adapun tokoh utamanya adalah Gatotkaca (anak Bima), dengan amanatnya keteguhan dan iman.
  5. Alur ketat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu dalam karya sastra, kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan maka keutuhan dan jalannya ceritera akan terganggu. Sedangkan alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu, dengan meniadakan salah satu peristiwa, tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya ceritera.
  6. Lakon babon adalah lakon yang bersumber pada lakon pokok atau sumber aslinya seperti Mahabharata dan Ramayana. Lakon pokok adalah babon yang disesuaikan dengan budaya setempat dengan bahasa daerah setempat, sedangkan lakon carangan adalah lakon yang berpedoman dari lakon pokok namun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
  7. 2 judul lakon pokok adalah: Bharatayuda kakawin, Ramayana kakawin dan lakon carangan adalah Arjuna Wiwaha, Gatotkacasraya.
  8. Buatlah salah satu lakon pertunjukan wayang kulit (sinopsis singkat) serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  9. Nilai seni, hiburan, pendidikan dan penerangan, ilmu pengetahuan, kejiwaan/ rokhani, mistik, dan simbolik

 

PEDOMAN PENSEKORAN

 

 

1. Tugas-tugas dan diskusi     : 25 %

2. UTS                                       : 25 %

3. UAS                                       : 30 %

4. Tatap muka dan diskusi     : 10 %

5. Aktivitas dan Disiplin         : 10 %

6. A = 85 -100

7. B = 70 – 85

8. C = 55 – 70

9. D = 35 – 40

10. Soal-soal yang mudah dibuat 25%; soal sukar 25%; dan soal sedang 50%.

 

IX. CONTOH SOAL TES  OBJEKTIF

 

  1. Salah satu di bawah ini tidak termasuk padanan dari kata  lakon!

a. laku     b. lampah     c. drama    d. werdi (50%)

  1. Berikut ini, mana yang merupakan bagian dari tokoh/peran yang merupakan anasir keharusan kejiawaan dalam lakon? (25%)

a. tokoh protagonis  b. tokoh pesimis.  c. tokoh optimis.   d. tokoh egois  (25%)

  1. Aspek yang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon.

a. waktu   b. ruang   c. suasana  d. adegan (25%)

  1. Lakon pertunjukan wayang kulit yang sering dipentaskan para dalang adalah:

a. kuntilanak    b. cinta segi tiga  c. bima swarga   d. cinta di kampus biru (25%)

  1. Di bawah ini alur lakon dengan jalinan peristiwa yang sangat padu dalam karya sastra adalah:

a. alur ketat    b. alur longgar    c. alur naik     d. alur turun (50%)

  1. Lakon babon adalah lakon wayang yang bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Kedua epic ini berasal dari:

a. China    b. Saudi Arabia    c. Jepang    d. India(25%)

  1. Judul lakon-lakon di bawah ini paling sering dipentaskan dalam pertunjukan wayang, keculai:

a. Arjuna wiwaha   b. Gatotkacasraya  c. Sutasoma   d. Superman (25%)

  1. Sebuah gagasan, ide atau pikiran di dalam sebuah karya sastra disebut:

a. tema   b. alur   c. penokohan   d. amanat (50%)

9.  Suasana sedih dalam struktur wayang kulit Bali disebut:

a. petangkilan   b. pangkat    c. rebong    d. mesem (50%)

  1. Sebuah pertunjukan wayang terkadang dalang mengutarakan kesimpulan sebagai bentuk penyelesaian dari akhir pementasannya, dalam drama modern sering disebut:

a. exposition    b complication    c. resolution    d. conclucion (50%)

11.  dst……


X. KUNCI  JAWABAN  TES  OBJEKTIF

 

1. D.

2. A.

3. B.

4. C.

5. A.

6. D.

7. D.

8. A.

9. D.

10. D.

 

XIII. BAHAN AJAR

Lakon dalam pewayangan adalah salah satu unsur yang sangat penting, kalau tidak yang terpenting. Setiap jenis wayang menggunakan lakon tertentu, yang di Bali telah menyatu dengan identitas wayang bersangkutan. Misalnya, Wayang Calonarang pasti menggunakan lakon dari cerita Calonarang; Wayang Arja pasti menggunakan lakon Malat/Panji, dst. Diantara puluhan jenis wayang yang ada di Bali saat ini, Wayang Parwa adalah suatu jenis wayang yang paling populer. Sesuai dengan namanya, wayang ini memakai lakon yang diambil dari Parwa-Parwa (bagian) epos (mahakawya, wiracarita) Mahabrata. Para dalang di Bali mengetahui epos ini kebanyakan melalui Kekawinnya yang berbahasa Kawi; kalaupun mungkin ada yang melalui kitab yang berbahasa Sanskerta, jumlahnya tentu akan sangat sedikit, bila dibandingkan dengan mereka yang mempelajari lewat kekawinnya.

Bila kita melihat ke masa yang lampau, kegiatan mempelajari epos India ini telah lama digemari; ini terbukti dengan adanya proyek “membahasa-jawakan ajaran-ajaran Begawan Byasa” yang dikenal dengan “Mangjawaken Byasamata,” diprakarsai sekitar seribu tahun yang lalu oleh raja Darmawangsa Teguh Ananta Wikarama (Agastia, 1994: 26). Walaupun nama proyeknya hanya menyebutkan karya “Begawan Byasa” akan tetapi kenyataannya saat itu diterjemahkan juga epos Ramayana; entah mengacu versi Begawan Walmiki atapun Bhattikawya, yang jelas tahun 903 masehi Kakawin Ramayana telah ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, bahkan penulisannya 88 tahun lebih awal dari penulisan Kakawin Mahabrata yakni tahun 991 masehi (lihat Mulyono, 1978: 171 & 173). Jadi kedua epos India itu telah banyak ditafsirkan dan diterjemahkan dari bahasa Sanskerta kedalam bahasa Jawa Kuno, sehingga penyebarannya di Indonesia menjadi demikian efektif, terutama di Jawa dan Bali.

Yang perlu disoroti disini adalah adanya sikap dan prilaku kreatif dalam proses transmisi lakon-lakon dari epos India ini, baik dituturkan lewat karya tulis, digubah dari bentuk prosa ke dalam bentuk puisi (Kakawin), maupun direpresentasikan kedalam suatu bentuk teater. Sederetan nama-nama sastrawan kerajaan (mulai dari zaman Diah Balitung, Kediri, Majapahit, hingga Dalem Waturenggong di Bali) terus-menerus melanjut-kembangkan epos itu, dengan melibatkan inspirasi spiritual dan artistiknya masing-masing, sehinga muncullah berbagai lakon-lakon baru yang dalam evolusi seni dikenal sebagai “continuity and change” (perubahan yang berkesinambungan). Seorang sastrawan besar yang bernama Yogiswara misalnya, yang telah berhasil membahasa-jawakan Ramayana kedalam bentuk Kakawin, ternyata tidak sepenuhnya patuh pada Ramayana versi Walmiki, melainkan justru mengambil model atau inspirasi dari Ramayana versi Bhattikawya (Soedarsono, 1990: 335). Kitab Pustaka Raja yang kini diterima sebagai babon dari lakon wayang Purwa versi Jawa dan Kakawin yang dianggap sebagai babon dari lakon-lakon wayng kulit versi Bali, keduanya adalah karya sastrawan Indonesia yang gandrung mengembangkan epos India.

Dari sisi pengembangan lakon, seniman (sastrawan, dalang) amat mirip dengan sarjana; mereka tidak hanya sebagai pemakai fasilitas (teori, lakon) yang sudah ada, melainkan juga mencipta dan melanjut-kembangkan teori/lakon yang telah diketahuinya. Sarjana, setelah membaca beberapa buah buku atau teori, akan terangsang untuk menulis buku atau teori karangannya sendiri; sastrawan ataupun dalang, setelah mengetahui beberapa lakon, akan terangsang untuk mencipta atau pentas dengan lakon baru hasil pengolahannya sendiri, sehingga muncullah berbagai variasi lakon, berbagai versi yang relatif berbeda antara satu lakon dengan lakon lainnya.

Di Jawa, khususnya di Surakarta, variasi atau ragam lakon pewayangan sudah bertambah lagi dua jenis, yakni jenis lakon Kridha dan jenis lakon Jumenengan, hanya dalam 5 tahun terakhir ini saja; sehingga kini ada 8 jenis lakon setelah ditambahkan dengan 6 jenis sebelumnya, yaitu: jenis lakon Lahiran, Ruwatan, Raben, Wahyu, Kraman (pembrontakan), dan Lebet atu Kasepuhan (seperti Dewaruci yang berisi pokok suatu ajaran atau falsafah (Murtiyoso, 1992: 194-196).

Khusus dalam pewayangan, pengolahan lakon ini adalah hasil interpretasi individu dari setiap dalang, dan oleh karenanya semua hasil pengolahan itu dikenal sebagai lakon Kawi Dalang. Sifat-sifat dan cara pengolahan itu sangat bervariasi yang menyebabkan jauh dekatnya hasil olahan dari babonnya menjadi berbeda-beda. Dari pembiakan lakon-lakon itu, kini dikenal banyak jenis-jenis lakon dalam pewayangan Bali. Nama jenis-jenis lakon yang masih simpang-siur dan sukar dibuatkan definisinya itu meliputi: Lakon Baku, Lakon Sempalan, Lakon Carangan, Lakon Babad, Lakon Komik, Lakon Anggit-angitan, dan Lakon Kawi Dalang.

Masalah dan Lingkup Penelitian

Setiap dalang cendrung menamakan hasil olahannya menurut persepsinya masing-masing, sehingga yang (masih menjadi) masalah adalah bagaimana membuat kesepakatan nama ataupun istilah lakon yang spesifik dari setiap jenis pengolahan, serta bagaimana membuatkan definisinya. Karena pengolahan itu terus-menerus dilakukan, maka kadang-kadang terjadi pembauran yang bisa menyulitkan kita dalam mengidentifikasi mana yang pokok dan mana yang pengembangan baru.

Jenis-jenis lakon yang demikian banyak itu: lakon baku, lakon komik, lakon babad, dst. pada dasarnya digunakan oleh para dalang untuk menambah kegirangan, meningkatkan kemantapan, memperluas variasi, dan untuk menyegarkan suasana pertunjukannya. Dengan demikian lakon-lakon itu amat dibutuhkan oleh para dalang. Mereka yang kreatif masing-masing membuat lakon yang relatif baru, baik dengan memodifikasi ataupun dengan cara menggabung-gabungkan unsur-unsur drama dari sumber-sumber yang tiada terhingga banyaknya. Sayangnya, menurut studi awal, kebanyakan dalang-dalang tidak mencatat lakon-lakon olahannya, dan juga tidak biasa mencatat lakon-lakon baru yang didapatinya dari dalang/sumber lain. Akibatnya, beberapa lakon diantaranya menjadi sulit diingat/ direkonstruksi, bahkan ada juga yang hilang terlupakan. Hal ini ikut dibuktikan oleh kenyataan akan kurangnya bahan-bahan tertulis mengenai repertoar lakon.

Sejauh yang menyangkut lakon, para pecinta wayang selalu mengharapkan dalang idolanya tampil dengan lakon yang berbeda-beda, dan akan terasa kurang baik bila dalang menyajikan suatu lakon tertentu lebih dari satu kali ditempat/desa yang sama, kecuali permintaan khusus atau rentang waktu antara pementasan yang satu dengan yang berikutnya cukup panjang. Dalang yang tidak bisa memenuhi harapan ini mungkin akan turun prestisenya, mungkin dikatakan kurang handal atau kurang bermodal. Dengan adanya harapan umum seperti ini, dalang senantiasa dituntut untuk tampil dengan lakon baru, terutama bila pentas ditempat yang sama. Semakin sering dalang pentas ditempat yang sama, maka akan semakin beratlah beban untuk bisa menyampaikan hal-hal yang baru. Hal ini juga berlaku bagi para dalang di Jawa, seperti yang dilaporkan oleh Bambang Murtiyoso bahwa:… mereka [para dalang] sering harus menyajikan suatu lakon yang tidak diduga sebelumnya, atau mendapat permintaan mendadak sesaat sebelum pentas pokok dimulai (Murtiyoso, 1992: 196). Para dalang muda yang belum terbiasa menciptakan lakon baru sering harus bersusah payah membuat variasi lakon, atau sukar mencari lakon baru yang menarik baginya. Akibatnya, permasalahan lakon yang amat mendesak untuk diketengahkan dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana caranya mendapatkan repertoar lakon wayang kulit Parwa yang lebih banyak ?

2. Di antara lakon-lakon olahan baru yang sudah ada, lakon-lakon mana yang bisa direkonstruksi ? Apa nama judul-judul lakon baru itu, siapa dalangnya, apa sumber lakonnya, bagaimana sinopsisnya, apa amanat lakonnya dan bagaimana pembabakannya ?

3. Bagaimana mencari kesepakatan istilah dan definisi setiap jenis lakon ? Ketiga masalah inilah dicoba dicari jawabannya melalui penelitian ini.

Mengingat demikian banyaknya permasalahan dan mendesaknya kebutuhan tanpa diimbangi dengan kemampuan dan kesempatan yang cukup, maka sekup penelitian ini dibatasi dulu hanya pada pengumpulan 50 judul lakon carangan beserta sinopsis-sinopsisnya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara maksimal bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari 3 butir permasalahan yang dipaparkan diatas, yang pada intinya untuk mengetahui dan mencatat sebanyak mungkin lakon-lakon yang sedang aktif terpakai dalam kebanyakan pagelaran wayang kulit. Selanjutnya, laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa kepentingan pembinaan dan mengisi minat-minat seperti berikut:

1. Untuk ikut memperkaya dan memperdalam materi perkuliahan dari klompok mata kuliah keahlian, khususnya mata kuliah Pengetahuan Lakon di Jurusan Pedalangan STSI Denpasar.

2. Untuk ikut membantu para dalang menyiapkan repertoar lakon yang senantiasa dituntut menyajikan lakon baru.

3. Untuk ikut memberikan tambahan bahan bacaan Seni Pedalangan bagi setiap orang yang perlu mengatahui lakon-lakon pewayangan, terutama bagi mahasiswa peserta ujian karya seni yang seringkali cendrung menggarap lakon-lakon pewayangan kedalam karya tari maupun karawitan, disamping Pedalangan. Sinopsis-sinopsis yang mendominasi laporan ini tentunya banyak bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas, termasuk seniman sastra, tari, karawitan, kria, lukis, ataupun bagi yang non-seniman. Melalui sinopsis pembaca akan dapat mengikuti lika-liku lakon dalam garis besarnya.

4. Mencoba mencari, menjelaskan dan merumuskan istilah-istilah lakon beserta definisinya dengan jalan mengamati sifat-sifat konstruksinya.

Metode Penelitian

Kecuali untuk menentukan landasan teorinya, dalam pengumpulan lakon-lakon ini penulis sengaja menghindari “library research,” mengingat lakon-lakon kawi dalang yang masih tercecer dilapangan dan belum tercatat masih amat banyak jumlahnya. Untuk mencegah menghilangnya lakon-lakon yang masih tercecer itu pengumpulan data-data ini sebanyak mungkin dilakukan dengan “field research” dengan mengutamakan teknik interview dan observasi. Deretan nama-nama dalang (informan) yang diwawancara maupun yang diobservasi pertunjukannya meliputi: I Wayan Nartha, I Made Sidja, I Wayan Wija, I Wayan Ganjreng, I Gusti Nyoman Darta, Dalang Brata, Mangku Bretong, I Ketut Kodi, I Made Sidia, I Gusti Nr. Serama Semadi, I Ketut Darya, I Wayan Gunadnya, dan I Made Yudabakti. Iterview kebanyakan dilakukan di rumah-rumah informan/dalang yang bersangkutan, sedangkan observasi hanya terjadi di tempat-tempat pagelaran wayang, seperti: di pura-pura/pamerajan, di rumah-rumah/puri, di balai-balai desa/banjar dan juga di jalan-jalan, di lapangan, serta di pusat-pusat pameran.

Pengumpulan data-data penelitian ini juga dilakukan oleh semua mahasiswa semester VII Pedalangan yang mengambil kelas Pengetahuan Lakon dalam semester ganjil 1994. Sedikitnya 60 % dari seluruh lakon-lakon yang tersurat dalam laporan ini dikumpulkan oleh 7 orang mahasiswa itu selama satu semester, dimulai dari awal bulan September hingga akhir bulan Desemeber 1994. Unsur-unsur yang dicatat dari lakon-lakon ini pada awalnya meliputi: nama lakon, sinopsis, pembabakan, nama dalang beserta umur dan asal tempat kelahirannya.

Adapun nama-nama mahasiswa yang kebanyakan mendapat nilai A dalam kelas Pengetahuan Lakon itu adalah I Ketut Ciptadi, Ida bagus Karawista, I Made Sukadana, I Wayan Sira, I Wayan Mardika Bhuana, I Nengah Darsana, dan I Wayan Meder. Dari mereka penulis punya ekspektasi bahwa sedikitnya mereka akan bisa mengumpulkan 105 lakon-lakon kawi dalang, karena penulis selaku pengajar kelas tersebut menugaskan setiap mahasiswa itu untuk mencari dan mencatat paling sedikit 15 lakon-lakon kawi dalang. Sayang sekali, entah karena disengaja ataukah karena kekurangan lakon, satu lakon yang sama ditulis oleh lebih dari seorang mahasiswa. Oleh karena itu jumlah lakon yang mereka kumpulkan kurang dari jumlah yang penulis prakirakan sebelumnya. Bila semuanya digabungkan dengan jumlah yang penulis sempat kumpulkan, semuanya mencapai 85 buah lakon wayang Parwa, plus beberapa lakon kawi dalang wayang Ramayana. Diantaranya ini, ada juga lakon carangan baru yang dibuat oleh beberapa mahasiswa tersebut diatas, kemungkinan dipaksa penciptaanya untuk bisa mencapai jumlah 15 itu. Mahasiswa yang menyerta-kan olahan lakonnya sendiri dalam pengumpulan lakon ini adalah: Ciptadi, Sira, Karawista, dan Darsana.

 

Tinjauan Teori dan Pengertian Klasifikasi Lakon

Dengan masih simpang-siurnya pengertian ataupun teori mengenai klasifikasi lakon: lakon kawi dalang, lakon carangan, lakon anggit-anggitan, beserta jenis lakon lainnya, perlu kiranya disajikan beberapa teori atau landasan pengertian yang terkait dengan kegiatan pengolahan lakon.

Dari sebuah diskusi informal diantara beberapa dosen STSI Denpasar: Dr. Dibia, Saptono, Sidia, Marajaya, Wiratini, Gulendra, dll. yang penulis adakan pada tgl. 20 Januari 1995, penulis mendapatkan pengertian umum sebagai berikut:

Lakon baku adalah lakon yang mematuhi lakon pokok atau babonnya. Di Desa Sukawati, lakon baku disebut juga lakon “unduk”, yang maksudnya adalah lakon yang mengikuti aturan atau hukum (kakawin); kata “unduk” dalam Bahasa Bali berarti peraturan atau hukum. Ini mungkin bisa diterjemahkan sebagai “source story” dalam Bahasa Inggris “yang berarti lakon sumber”, walaupun sudah jelas diketahui bahwa sumber Mahabrata sebenarnya berasal dari India, dan yang ada di Indonesia adalah yang sudah dibahasa-jawakan sejak pemerintahan Darmawangsa Teguh Ananta Wikrama dengan proyeknya “Mangjawaken Bisamata.” Hanya saja antara Bali dan Jawa terdapat perbedaan materi yang dipandang sebagai babon/pokoknya. Babon menurut dalang-dalang jawa adalah Pustaka Raja yang terdiri dari 27 jilid, Karya Ronggowarsito (Mulyono, 1978: 203). Sedangkan yang dianggap babon atau pokok lakon oleh para dalang Bali adalah Kakawinnya. Jenis lakon lainnya, baik yang pengembangan maupun penyimpangan, dianggap berpusat pada babon ini.

Lakon Sempalan adalah lakon yang digarap ataupun disajikan secara terpotong-potong. Misalnya, setelah adegan pertama menggambarkan Pandawa bermain judi, maka adegan kedua bukannya mengambarkan kehidupan Pandawa yang terbuang 12 tahun mengembara di dalam hutan, melainkan disempal langsung menceritakan Pandawa menyamar di kerajaan Wirata. Lakon seperti ini dalam bahasa Inggris mungkin bisa disebut sebagai “conjunctive story.” Jadi pada “lakon sempalan” ini memang ada bagian-bagian tertentu dari siklus lakon pokok yang dipotong/disempal untuk kemudian disambung kembali dengan potongan yang tidak berurutan, namun diharapkan tetap terkesan berurutan.

Lakon Anggit-anggitan adalah lakon yang diciptakan oleh para dalang dengan mengambil materi dari berbagai sumber yang kemungkinan sangat jauh atapun bahkan terkadang menyimpang dari siklus lakon baku. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “anggit, menganggit” berarti menyusun; ini bisa terlihat dalam kalimat misalnya: “Menganggit lalang akan dijadikan atap”. Dalam bahasa Jawa “anggitan” berarti gubahan atau karangan (Poerwadarminta, 1976: 43). Menurut Saptono, seorang Pangrawit Jawa dan dosen STSI Denpasar, kata “anggit” di jawa berarti membuat, sehingga lakon anggit-angitan memang berarti lakon buat-buatan. Dalam pagelaran wayang, lakon ini sering terkesan sebagai lakon gado-gado; selain materi yang dimasukkan didalamnya berasal dari sumber yang bermacam-macam, elemen-elemen modernpun sering ikut mewarnainya. Lakon Gatutgaca Bersekolah, lakon Pertemuan Bima dengan Anoman, lakon Pertemuan Yudistira denag Subali, dst. dapat dimasukkan kedalam klompok ini.

Lakon Carangan adalah saduran yang masih dekat dan tidak menyimpang dari siklus lakon baku. Misalnya, pada saat upacara pernikahan Bimaniyu dengan Diah Utari disadur / diciptakan satu lakon lagi, yaitu lakon uji-coba kekuatan para putra Pandawa (Lindu Segara, Megawarna, Erawan, Mimaniyu, Gatutkaca, dll.). Jadi esensi lakon Carangan adalah tambahan dari siklus lakon baku, yang bisa diterjemahkan sebagai “branch story.” Pengertian ini sejalan dengan arti dari kata dasarnya dimana kata “carang” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai sulur hijau atau bakal ranting muda yang tumbuh pada batang tumbuh-tumbuhan yang menjalar (Poerwadarminta, 1976: 187). Zurbuchen dalam bukunya yang berjudul The Language of Balinese Shadow Theatre melaporkan bahwa: “carangan [is] branch-like; . . . In wayang, [carangan are] stories created by performers, not part of the original epic text.” (1987: 270). Disamping hasil diskusi tersebut diatas, penulis merasa perlu juga mengetengahkan beberapa konsep lakon yang terangkum dalam buku Lakon Carangan (1986).Paraanggota proyek dokumnetasi lakon carangan di ASKI Surakarta telah mencoba mencari definisi lakon carangan yang membedakannya dengan lakon baku/pokok. Pada jilid I (dari tiga jilid yang dipublikasikan) dari laporan penelitiannya memang sudah banyak diliput pengertian lakon carangan dari beberapa hasil wawancara dan tinjauan pustaka, namun pada intinya dapat diklompokkan menjadi 4 macam pendapat:

Bagian A:

Lakon carangan sebagai suatu ceritera yang lepas, otonom,

berdiri sendiri; lakon pokok sebagai suatu rangkaian

cerita yang berseri, berurutan antara lakon yang satu dengan lainnya.

Bagian B:

Lakon pokok sebagai awal dari suatu siklus ceritera;

lakon carangan/ranting sebagai lanjutan (dalam arti lanjutan waktu) dari bagian awal itu.

Bagian C.1:

Ceritera carangan sebagai penyimpangan dari ceritera

pokok/asli, dibuat untuk menarik perhatian penonton.

Bagian C.2:

Lakon pokok diambil dari epos-epos dalam varsi Jawanya,

atau diambil dari tradisi yang diangap “resmi”, boleh juga

diangap “sejarah nyata”; lakon carangan adalah saduran,

khayalan atau karangan yang boleh dekat atau jauh dari

siklus lakon pokok.

Bagian C.3:

Lakon pokok diambil dari buku Pustakaraja (Ranggawarsita);

lakon carangan adalah saduran, karangan baru.

Bagian C.4:

Lakon carangan adalah cerita yang sumbernya non-Hindu,

tidak diambil dari epos India.

Bagian D.1:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah pernah “dibukukan”;

lakon carangan, yang belum dibukukan.

Bagian D.2:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah tersebar dikalangan

dalang dan sudah lazim dipentaskan oleh dalang banyak;

lakon carangan adalah karangan salah seorang dalang yang

belum lazim dipentaskan dalang banyak.

Bagian D.3:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah dianut suatu golongan

dalang didaerah tertentu, tertulis atau diteruskan secara

lisan, dan sudah tersebar paling sedikit dua generasi;

lakon carangan adalah lakon yang dibuat pada waktu pergelaran terjadi atau sebelumnya, terkadang dengan maksud

menyindir keadaan disekitarnya, atau dari niat ki dalang,

atau karena bosan dengan lakon-lakon yang sudah, dll.

(Feinstein, 1986, xxxii -xxxiii).

 

Diskripsi yang lebih lengkap mengenai lakon carangan ini dapat ilihat pada lampiran 1 dan 2 dari buku tersebut diatas. Terutamanya lampiran 2 yang menyajikan kutipan pengertian “carangan” dari beberapa sumber tertulis, baik dari dalam maupun luar negeri, sangat penting untuk diperhatikan. Bila kita bandingkan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat pedalangan Bali, maka beberapa rumusan diatas ada yang tidak cocok dan ada juga yang persis sama/sejalan. Yang diangap tidak cocok adalah rumusan bagian A (kecuali lakon Lubdaka) C.1, C.4 (kecuali Wayang Sasak), dan D.1. Lakon Kawi Dalang adalah semua lakon baru yang disadur atau diciptakan oleh para dalang menurut kemampuan dan rasa artistiknya masing-masing. Seorang ahli linguistik berkebangsaan Amerika, Mary Sabina Zurbuchen, yang pernah meneliti bahasa pewayangan Bali membernarkan pengertian ini dengan menulis “… the Balinese call stories invented by individual dalangs carita kawi dalang” (Zurbuchen, 1987: 227). Ciri yang ditekankan dalam jenis lakon ini adalah “saduran” atau “ciptaan” dalangnya. Dengan demikian berarti lakon kawi dalang meliputi seluruh lakon carangan, lakon sempalan, dan lakon anggit-anggitan, karena ketiga jenis lakon ini adalah saduran para dalang, seperti dijelaskan diatas tadi.

Lakon Komik adalah semua jenis lakon wayang parwa yang diambil dari buku komik pewayangan atau ceritra bergambar wayang. Ini dibenarkan oleh Poerwadarminta yang menyebutkan bahwa “komik” sama dengan “cerita bergambar” (1976: 517). Komik-komik yang disusun oleh RA. Kosasih, Suherla, A. Sulaha dst. ini biasanya disewakan oleh beberapa kios atau toko buku di kota-kota, dengan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat kebanyakan. Komik memang banyak menyajikan lakon-lakon yang sangat menarik, sehingga tidaklah mustahil bila ada beberapa dalang yang memang mengangkatnya kedalam pagelaran wayang. Lakon dari klompok inilah selanjutnya dikenal dengan lakon komik.

Lakon Babad memiliki dua versi. Versi yang pertama menyebutkan bahwa lakon babad adalah lakon yang sesuai dengan dan mengikuti babonnya. Dengan begitu lakon babad dapat disamakan dengan lakon baku. Versi yang kedua menganggap bahwa lakon babad itu adalah khusus mengenai prihal dan asal-usul masyarakat Bali yang kisahnya merupakan percampuran antara sejarah dan mitologi. Kata “babad” itu sendiri mengandung makna campuran antara dongeng dengan sejarah, sehingga babad yang dalam bahasa Inggrisnya “chronical” berkonotasi dengan “zaman” atau “era”. Misalnya Babad Dalem Bedaulu, Babad Blahbatuh, Babad Pasek Gelgel, dst. yang keseluruhannya dikenal pula dengan Purana Tatwa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “babad” berarti sejarah atau riwayat (Poerwadarminta, 1976: 70). Di Bali jenis seni pertunjukan yang selalu mengetengahkan babad sebagai lakon utamanya adalah Dramatari Topeng. Dengan demikian dapat di mengerti bahwa lakon babad itu adalah lakon pokok dalam dramatari Topeng, dan lakon unduk adalah lakon pokok dalam pertunjukan wayang kulit, yang memiliki esensi yang sama, yaitu lakon baku/pokok.

Dari sekian banyak teori, pendapat, ataupun pendapat mengenai klasifikasi lakon, maka dengan memilih lakon-lakon yang “teraktif” seperti yang ditegaskan dalam judul penelitian ini, penulis maksudkan sebagai lakon-lakon yang paling populer atau paling tinggi frequensi penggunaannya, sebelum sempat memerinci katergori dari masing-masing lakon itu.

 

 

XIV. KONTRAK PERKULIAHAN

Nama Mata Kuliah

Kode Mata Kuliah/sks

Pengampu Mata Kuliah

Semester

Hari Pertemuan/Jam

Tempat Pertemuan

 

:

:

:

:

:

:

 

Pengetahuan lakon I

SPD 113/2 SKS

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

V

Senin/8.30 – 9.30 WITA

Ruang Kuliah Semester V Gedung Pedalangan

Kampus ISI Denpasar.

MANFAAT MATA KULIAH

Mata kuliah ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa agar dapat menguasai prinsip-prinsip dasar lakon wayang sebagai sumber penggarapan pewayangan.

 

DESKRIPSI PERKULIAHAN

Mata kuliah teori dengan pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon yang meliputi pengertian struktur, genre, model-model, dan unsur-unsur lakon guna menunjang penganalisaan ceritera lakon wayang.

 

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon (C1).                                            

 

STRATEGI PERKULIAHAN

Pada setiap pertemuan, dosen memberi penjelasan singkat mengenai topik kuliah saat itu.. Mahasiswa dibagi dua kelompok, salah satu kelompok diberi tugas untuk mempresentasikan topik kuliah saat itu. Kelompok lainnya secara aktif bertanya, sehingga terjadi diskusi mendalam terhadap topik kuliah tersebut. Dosen pengajar bertindak sebagai fasilitator dan motivator.

MATERI/BACAAN PERKULIAHAN

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1998.
  7. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985

TUGAS

 

1.Sebelum kuliah, setiap kelompok mahasiswa sudah harus mengumpulkan ringkasan dan hand-out power point materi kuliah saat itu, dan salah satu kelompok (diundi) untuk mempresentasikan dan mendiskusikannya di depan kelas.

 

2.Selama kuliah, mahasiswa dari kelompok lain, harus aktif dan serius bertanya, supaya terjadi diskusi mendalam terhadap topik tersebut, sehingga tingkat pemaha-man/penguasaan topik tersebut pada setiap mahasiswa menjadi lebih baik.

 

3.Setiap kelompok mahasiswa wajib mendiskusikan  kasus  yang diberikan oleh dosen, pengajar.

 

4.Setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini wajib membuat tugas mandiri yang judul/topiknya ditentukan kemudian. Tugas mandiri tersebut harus sudah dikumpulkan paling lambat saat UTS I (pada pertemuan ke-7)

 

KRITERIA PENILAIAN

Dalam menentukan nilai akhir akan digunakan pembobotan sebagai berikut :

Nilai teori terdiri dari 4 komponen, yaitu :

  • Absensi, presentasi, sikap, tugas, keaktifan ………=  25%
  • Ujian Tengah Semester I   (UTS I) ………………=  25 %
  • Ujian Tengah Semester II  (UTS II) ……………. =  25 %
  • Ujian Akhir Semester (UAS) …………………… =  25%

 

Nilai Akhir = Nilai Teori  (75%) + Nilai Presentasi (25%)

 

Penilaian menggunakan PAP untuk mengukur tingkat kompetensi mahasiswa

Angka                    Mutu

80 – 100                    A

65 – 79                      B

55 – 64                      C

45 – 54                      D

< 45                          E

JADWAL PERKULIAHAN

MINGGU ACARA PENGAJARAN DAN KEGIATAN KELAS KET.
     I Ritual Akademik : pengantar perkuliahan, absensi, dan sistem evaluasi. Senin, 1-2
     II Pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon, genre, model-model lakon, dan unsur-unsur lakon.
     III membicarakan unsur-unsur struktur lakon wayang secara umum meliputi: tema dan amanat, alur (plot). penokohan, latar (setting), waktu dan ruang dengan dilanjutkan diskusi dan tanya jawab.
     IV Membahas alur (plot) dramatik wayang dilihat dari segi mutunya (kualitatif) maupun dari segi jumlah (kuantitatif) serta dari sisi lain seperti: alur menanjak, menurun, maju, mundur, patah dan episodik.
     V Membicarakan penokohan (karakterisasi/perwatakan) wayang meliputi: tokoh protagonis, antagonis, tritagonis, dan dalam perkembangannya yaitu: watak andalan, tokoh bulat, datar/pipih, durjana, statis, dan utama.
     VI Membicarakan latar (setting) dalam arti lengkap meliputi aspek ruang dan waktu yang mendasari suatu lakuan (action) termasuk aspek suasana.
     VII Membahas dan diskusi tentang bagaimana struktur ruang dan waktu dalam lakon wayang.
     VIII Evaluasi tengah semester.
     IX Menyeleksi dan membahas bersama cerita Mahabharata pada majalah Matra oleh sutradara Peter Brook dan Jean Claud Carriere ke dalam teater modern.
     X Membicarakan fungsi dan makna struktur lakon wayang sebagai peng-ungkap tema dan amanat.
     XI Tugas: mencari, membaca dan menulis dalam bentuk paper (makalah) jenis-jenis lakonbaku, lakon carangan maupun lakon-lakon karangan.
     XII Membicarakan lakon ditinjau dari teknik penyajian dan hubungannya dengan konflik manusia, lakon dengan penulis, lakon dengan sutradara (dalang), dan lakon dengan publik (penonton).
     XIII Membicarakan pengertian lakon wayang ditinjau dari segi lakon wahyu, lakon kraman (pembrontakan), lakon perkawinan, lakon kelahiran.
     XIV Melanjutkan pembicaraan minggu XIII dengan menambahkan beberapa lakon yang mengandung ajaran kesempurnaan.
     XV Membicarakan pengertian tentang jenis-jenis dan model-model cerita lakon wayang meliputi, lakonbaku, lakon carangan, lakon karangan berikut contohnya.
    XVI Melanjutkan pembicaraan minggu XV dan menambahkan pengertian lakon sempalan dan unsur-unsur lakon menurut pendapat para pakar/ahliIndonesia maupun asing.
     XVII Minggu tenang untuk persiapan ujian akhir
     XVIII Evaluasi akhir semester

KESEPAKATAN :

  1. Mahasiswa harus mengabsen setiap kuliah, jika absensi kurang dari 75% tidak diijinkan ikut ujian (UTS/UAS)
  2. Setiap mahasiswa wajib memiliki Bahan Ajar yang sudah dirancang oleh team teaching.
  3. Jika karena sesuatu hal dosen berhalangan memberi kuliah, dapat digantikan oleh dosen lainnya dalam team teaching.
  4. Jika karena sesuatu hal perkuliahan tidak dapat dilangsungkan (ada libur mendadak), maka dosen wajib menggantinya di hari lain dengan memberi-tahukan mahasiswa.
  5. Mahasiswa saat kuliah tidak boleh memakai kaos tanpa kerah dan bersandal jepit.
  6. Mahasiswa yang ketahuan menyontek/kerjasama saat ujian dinyatakan gagal dengan nilai E.

 

 

 

MENYETUJUI :

Pengampu MK Peng. Lakon I                              Koordinator Mhs Smt.V Pedalangan

 

 

 

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.            (……….……………………………)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Estetika Wayang Kulit Bali Lakon Bima Swarga

Filed under: Tulisan — wicaksana at 2:38 pm on Rabu, Mei 8, 2013

Estetika Wayang Kulit Bali Lakon Bima Swarga

Karya Dalang I Made Sidja

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana

ABSTRAK

 

Tulisan ini mengkaji nilai estetika wayang kulit lakon Bima Swarga karya pakeliran Dalang I Made Sidja (Bona, Gianyar) yang sempat direkam ke dalam pita kaset audio. Jenis lakon ini dipentaskan Sidja dengan tradisi pewayangan gaya Sukawati (Gianyar) dengan cukup lugas, padat serta apik penyajiannya. Lakon Bima Swarga mengisahkan tentang Bima pergi ke kawah membebaskan ayahnya (Pandu) serta ibu tirinya (Madri) dari siksaan Yamadipati, dan akan dinaiknya kedua orang tua Pandawa ke sorga. Secara struktur, lakon Bima Swarga yang dipentaskan oleh dalang I Made Sidja kurang lengkap karena Bima baru sampai di neraka membebaskan Pandu dan Madri, maka lakon tersebut lebih tepat berjudul Bimaneraka. Namun demikian pemenggalan lakon tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan waktu, ruang, dan kontekstual. sebagai seni pertunjukan, jenis lakon ini mempunyai struktur yang terikat oleh kaidah-kaidah struktur dramatikal dan teatrikal pewayangan tradisi Bali seperti pamungkah, petangkilan, pangkat, pasiat, dan bugari sebagai penutupnya. Bahkan struktur lakon ini mendekati sebuah penulisan ilmiah dengan mengakhiri kesimpulan dan sekaligus konsklusinya.

Secara semiotik, jenis lakon Bima Swarga membentuk struktur global yang mempunyai fungsi dan makna bagi penghayatan dan pengkajian budaya Bali (Indonesia) sebagai sumber inspirasi garapan tema dan amanat. Tema lakon ini adalah `rna/utang` dengan amanatnya hutang seorang anak kepada orang tuannya karena ia dilahirkan dan dibesarkan, maka ia harus berkewajiban membayar dengan cara melakukan bhakti baik secara fisik (mengupacarai) maupun spiritual dengan mencakup-kan tangan `nyumbah`. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam lakon Bima Swarga meliputi, nilai ajaran dharma (kewajiban dan kebajikan); nilai yajnya (korban suci dan ketulusan); dan nilai kesetiaan (satya wacana dan suputra).

Secara filsafati, nilai estetis Wayang Kulit Bali lakon Bima Swarga tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitrayadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat pendukungnya. Dengan konsep taksu dan jengah merupakan dua paradigma yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas lewat kerja keras dan penuh pengabdian pada kesenian, yang pada hakekatnya merupakan pengabdian kepada Tuhan melalui nilai-nilai estetis yang bersifat religius. Secara estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley, bahwa Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya. Adanya keutuhan dalam keanekaragaman, keutuhan dalam tujuan, dan keutuhan dalam perpaduan dapat menambah nilai kompleksitas. Dengan adanya penonjolan-penonjolan dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian penonton pada suatu hal yang dipandang lebih kuat, akan menambah intensitas dari pertunjukan wayang.

 

 

A. Pendahuluan

Estetika atau ilmu keindahan bukanlah pengetahuan tulen (science) saja, tetapi dalam tubuhnya mengandung unsur-unsur falsafah. Unsur sciencenya adalah bagian-bagian yang dapat dikaji dengan perhitungan logis, yang seolah-olah dapat diukur dengan jelas.[1] Sedangkan unsur falsafah tentang keindahan yang selama sejarah telah menelorkan banyak ragam teori dan pandangan, akan bermakna memberi wawasan terhadap kesenian. Apakah dipandang dari sudut benda indah dari benda seni itu sendiri, apakah persepsi dari keindahan dan benda kesenian itu harus dipermasalah-kan sebagai fungsi atau kemampuan yang ada dalam hati sanubari dan jiwa manusia.

Analogi dengan hal tersebut di atas, ada beberapa hipotese yang diharapkan dapat memandu penulis dalam mengamati nilai-nilai estetika Wayang Kulit Bali `Lakon Bima Swarga` karya Dalang I Made Sidja dalam upacara pitrayadnya di Bali. Pertama, tradisi seni pewayangan dan jagad pedalangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai moral budaya para leluhur, dan sampai sekarang wayang berfungsi sebagai sajian untuk mengiringi upacara (wali) dan sekaligus hiburan (balih-balihan). Dengan fungsi seperti itu tentu ada beberapa nilai yang berperan terutama bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini akan didekati melalui estetika falsafah dengan melakukan perbandingan, pengkaitan, persamaan. Pemilihan Dalang I Made Sidja dalam penulisan ini berdasarkan pandangan bahwa, beliau termasuk salah seorang dalang `suhu` (panutan) di wilayah Bona, Blahbatuh khususnya dan Gianyar pada umumnya, bahkan di Bali. Sidja sering dijadikan narasumber (informan) dari berbagai disiplin ilmu maupun adat termasuk kader-kader dalang yang ingin mengikuti jejaknya mengetahui dan memahami berbagai sumber ceritera. Karenanya Sidja sering disebut seniman serba bisa, ia paham dan kenal betul berbagai macam pengetahuan termasuk mampu melakukannya. Sejatinya beliau sering dijadikan contoh atau tauladan sehingga secara kualitas maupun kuantitas diakui oleh para dalang dan masyarakat pencinta seni di Bali.

Kedua, sebagai sebuah karya seni, pertunjukan Wayang Kulit Parwa lakon Bima Swarga mengandung tiga unsur pokok yaitu; struktur, bobot, dan penampilan, yang masing-masing menyimpan nilai estetika dalam mendukung kesatuannya. Ketiga unsur tersebut akan diamati melalui estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley. Tulisannya yang berjudul The General Criterion Theory (sifat estetik umum), ia menyebutkan ada tiga sifat estetik pokok yang menentukan mutu kesenian yaitu, unity (keutuhan), complexity (kerumitan), dan intensity (kekuat-an).[2] Ketiga sifat pokok (primer) ini akan dijabarkan melalui teorinya Bearsley yang kedua yaitu the instrumentalist theory of aesthetic value (teori intrumental tentang keindahan dalam seni), yaitu sifat-sifat skunder yang memberi bahan penunjang bagi kehadiran sifat-sifat primer.

Sesuai dengan judul di atas, tulisan ini akan membahas beberapa persoalan yang menyangkut muatan nilai estetika Wayang Kulit lakon Bima Swarga karya Dalang I Made Sidja. Tiga hal pokok yang dibahas dalam tulisan kecil ini yakni pengertian wayang kulit dan beberapa prinsip yang mendasarinya, implementasi nilai-nilai estetika yang terkandung didalamnya. Makna lakon Bima Swarga dalam implementasi pada upacara Hindu di Bali, serta pribadi Dalang I Made Sidja yang selama hidupnya diabdikan untuk ngayah berkesenian.

 

B. Wayang Kulit Bali

Fungsi dan makna wayang, tidak sekedar sebagai hiburan tetapi juga sebagai hasil seni budaya, pendidikan, penerangan, piwulang filosofis, karenanya wayang sebagai kesenian adiluhung hendaknya disikapi dan ditempatkan pada satu keseluruhan dan keutuhan. Untuk menyikapi dan penempatkan pada proporsinya yang wajar, kita tidak cukup hanya mengenalnya, tetapi juga menghayati, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi sehingga timbul kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan. Dalang dan dunia pewayangan penting sekali diikutsertakan dalam rangka mensukseskan pembangunan bangsa Indonesia. Kedudukan, fungsi dan maknanya sangat penting terutama dalam rangka usaha untuk membina mental spritual atas jiwa dan budi pekerti kehidupan masyarakat Indonesia yaitu lewat simbolisme pementasan lakon-lakon wayang.

Hingga kini penulisan tentang wayang masih terus dilakukan, sehingga memberi kesan seolah-olah hasil kebudayaan tradisi bangsa Indonesia yang berwujud wayang merupakan sumber kajian budaya yang dapat ditimba tanpa ada keringnya. Untuk menghayati dan memahami sedalam-dalamnya masalah pewayangan, agaknya diperlukan telaah atau pendekatan secara interdisilpiner, karena telaah secara monodisipliner saja akan memperoleh gambaran semu atau sepihak. Hasil telaah dan analisa tentang wayang selama ini, pada umumnya lebih menekankan pada sisi dan makna filosofis yang diperoleh lewat dalang secara verbal, baik analitik maupun dramatiknya. Orang lebih suka mendengar atau melihat penyajian wayang dari sang dalang daripada membaca sendiri repertoirenya. Bahkan, tidak sedikit dalang yang memainkan wayang itu berdasarkan repertoire yang tidak dibaca sendiri, melainkan dari hasil mendengar dan melihat atau menonton penyajian dalang lain. Berbagai jenis karya sastra kuna yang berkembang di Bali, maka lahirlah jenis-jenis wayang kulit Bali antara lain: (1) karya sastra Mahabharata/Bharatayuda, melahirkan jenis Wayang Parwa; (2) epos Ramayana, melahirkan jenis Wayang Ramayana (sering disebut Wayang Batel); (3) karya sastra Calonarang, melahirkan Wayang Calonarang; (4) karya sastra Malat (salah satu versi ceritera Panji), melahirkan Wayang Gambuh, Wayang Arja, dan Wayang Dangkluk; (5) Cupak-Gerantang (ceritera rakyat Bali), melahirkan Wayang Cupak; (6) sastra Serat Menak (ceritera Amir Hamzah), melahirkan Wayang Sasak; (7) sastra Tantri Kamandaka, melahirkan Wayang Tantri.

Kesenian, apa pun bentuknya, pada dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman. Sebagai sebuah hasil olah rasa, cipta, dan karsa seniman, kesenian tidak akan bisa dilepaskan dari ikatan nilai-nilai luhur budaya, termasuk estetika, yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal seniman yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat dengan muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.[3]Upacara-upacara keagamaan di Bali, sangat memerlukan sekali jenis-jenis kesenian untuk menopang pelaksanaan berbagai macam bentuk upacara, seperti: seni rupa (ukiran dan lukisan di pura), seni tari, seni musik (karawitan) dan termasuk seni pewayangan. Dalam fungsinya mendukung ritual keagamaan, maka wayang kulit dapat digolongkan menjadi 2 macam yakni: (1) pertunjukan bebali, yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara dewa yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya; dan (2) pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistik dan didaktis.[4] Sesuai dengan kesepakatan pada seminar seni sakral dan profan[5] di Denpasar, menempatkan pertunjukan wayang atau seni pewayangan pada seni tari bebali (ceremonial dance), yaitu seni yang dipertunjukkan dalam fungsinya sebagai pengiring upacara dan upakara di pura atau di luar pura. Namun kalau diteliti lebih cermat dalam kenyataan di lapangan tidaklah semua pertunjukan wayang berfungsi sebagai pengiring upacara.

   Wayang Sapuh Leger dalam prakteknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara, akan tetapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari keseluruhan upacara, Wayang Sapuh Leger termasuk seni wali (sacred relegious) yaitu berfungsi sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama. Atas dasar kenyataan tersebut (pertunjukan) wayang dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni: (1) wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi sebagai bagian dari keseluruhan upacara yang dilaksanakan; (2) wayang bebali, pertunjukan wayang sebagai pengiring upacara di pura atau dalam rangkaian upacara panca yadnya, seperti Wayang Lemah dan Wayang Sudamala; (3) wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk tontonan umum yang fungsinya diluar wali dan bebali dengan menitikberatkan fungsi seni dan hiburannya.

 

C. Lakon Bima Swarga

Hariani Santiko mengatakan bahwa, diantara tokoh-tokoh pewayangan (khususnya Mahabharata), lima bersaudara yang dikenal dengan Panca Pandawa, anak dari raja Pandu dengan dua istri Kunti dan Madri dari kerajaan Astina. Dari kelima bersaudara tersebut, tokoh Bima yang sangat dikenal dan mempunyai kedudukan istimewa pada jaman Majapahit. Hal itu terbukti dengan ditemukannya relief atau arca Bima terpahat di candi Sukuh berceritera tentang Bima Swarga dan relief Nawaruci (Bimasuci) dipahat pada dinding pertapaan Kendalisada di lereng gunung Penanggungan.[6]  H.I.R. Hinzler menginformasikan bahwa di Bali ditemukan sumber sastra naskah Bima Swarga berbentuk prosa dan puisi antara lain, yang berbentuk prosa ditemukan sebuah lontar memuat ringkasan kisah Bima Swarga berupa Satua Kawi Pedalangan (satua wayang) yang didapatkan di Tampekan (?), menurut versi dalang tersebut berasal dari tahun 1930-an, sedangkan yang berbentuk puisi berupa tembang (pupuh) dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno koleksi Gedong Kirtya (Singaraja) dan Fakultas Sastra UNUD Denpasar.[7]Sri Reshi Ananda Kusuma juga menyampaikan hal senada, bahwa naskah Bhima Swarga yang diterbitkan oleh CV. Kayumas Denpasar dan Pusat Satya Hindu Dharma Indonesia, merupakan salinan lontar milik Fakultas Sastra UNUD Denpasar dengan nomor Lor. 318. Kantor Dokumentasi Budaya Bali (Pusdok) Denpasar juga mengalihaksarakan lontar Bima Swarga yang didapatkan di Gedong Kirtya dengan nomor Lor. IIIb.375/17, disalin pada tanggal 12 Juli 1971, dan 5 Oktober 1978.

Mengamati kedua teks/naskah Bima Swarga tersebut di atas (Lor.318 dan IIIb.375/17) terdapat persamaaan dan perbedaannya. Secara puitis, kedua naskah tersebut sama-sama memakai tembang (pupuh) dengan alur ceritera pokok Bima pergi ke kawah membebaskan ayahnya (Pandu) serta ibu tirinya (Madri) dari siksaan Yamadipati, dan naiknya kedua orang tua Pandawa ke sorga. Perbedaannya, pada naskah 318 memakai tembang (pupuh) dua jenis yakni Puh Adri dan Puh Pucung yang terdiri dari 328 bait, sedangkan naskah IIIb. 375/17 hanya memakai satu jenis tembang yakni Puh Adri dengan jumlahnya157 bait. Perbedaan yang lain diamati dari segi alur dramatiknya, naskah 318 memulai ceriteranya Pandu dan Madri mohon (ngame-ame) kepada Kunti dan anak-anaknya untuk membebaskan dirinya di neraka dari siksaan Yamadipati, dan selanjutnya Bima yang ditugaskan mengambil dan mencari tirta kamandalu (tirta amerta) sampai ke sorga dan berakhir Pandu dan Madri mendapat kedudukan di sorga. Sedangkan naskah IIIb. 375/17 terdiri dari tiga bagian yakni, (1) Bima dihalangi oleh para dewata untuk mencari tirta kamandalu dan sempat dibunuh dua kali oleh Bhatara Bayu yang dihidupkan kembali oleh Sanghyang Jagatnata (Bhagawan Cintya), akhirnya air kehidupan itu diberikan kepada Bima untuk membebaskan Pandu dan Mandri (1 s/d 87 bait); (2) siksaan atma-atma dalam kehidupannya di dunia berbuat tercela dilakukan oleh pasukan Yamadipati dengan berbagai cobaan dan rintangan (sejumlah 30 bait). Bagian kedua dari naskah ini yang diberi judul `Iki Kidung Atmaaruwara` mendekati sama dengan naskah no. 318 (bait 43 s/d 79). Sedangkan (3) bertajuk `Iki Kuntiyadnya`, berceritera tentang Pandawa melakukan upacara Pitrayadnya dengan persembahan kidang putih (ari sweta) ber-jumlah 40 bait.[8]

Mengamati pertunjukan wayang dengan lakon Bima Swarga yang dipentaskan oleh Dalang I Made Sidja (83 tahun) nampaknya mengikuti naskah Bima Swarga nomor 318, namun ketika penulis menonton karya pakelirannya tidak sampai tuntas. Bapa Sidja, demikian beliau sering disebut memulai dari Kunti menyuruh anak-anaknya, terutama Bima membebaskan arwah ayah dan ibu tirinya dan berakhir ketika Kunti menasehati Bima untuk wajib menyembah ayahndanya. Hinzler juga menyebutkan, bahwa rata-rata dalang di Bali melakonkan Bima Swarga tidak sampai tuntas (sama dengan penyajian Sidja), atau lakon ini di bagi dua (2) bagian yakni, diutusnya Bima membebaskan Pandu dan Madri, dan atau Bima di utus mencari tirta kamandalu di sorga. Pada bagian kedua dari lakon Bima Swarga sempat penulis tonton ketika dalang I Made Kembar (58 tahun) dari Padang Sambian (Badung) menggelar wayang dengan lakon Bima Swarga di Banjar Abian Kapas Kaja, Kodya Denpasar, Rebo, 10 Juli 2002.

Adapun jalan ceriteranya adalah Bima diutus oleh ibunya Dewi Kunti untuk mencari arwah kedua orang tuanya, raja Pandu dan Dewi Madri yang disiksa oleh pasukan cingkarabala Yamadipati di nerakaloka. Rupanya Bima tidak begitu mudah mengambil-nya, karena harus berperang melawan pasukan cingkarabala termasuk penguasa neraka loka yakni Sanghyang Yamadipati. Berkat kekuatan dan keteguhan hatinya, Bima berhasil mengangkat tulang-belulang kedua orang tuanya untuk dibebaskan naik menuju sorga. Demikian ceritera ringkas yang dibawakan oleh Dalang I Made Sidja dengan cukup lugas, padat, dan meyakinkan. Secara konvensional lakon Bima Swarga mengikuti struktur tradisi pewayangan Bali, namun yang menarik adalah adegan sikap Bima yang menolak menyembah arwah orang tuanya, justru diterangkan (dijabarkan) pada menjelang akhir pertunjukan ini yang sekaligus sebagai konsklusi. Penonton atau pendengar sempat penasaran untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi sifat `aku`nya Bima dibalik sikap keluguannya itu. Diduga bahwa, Sidja menyajikan pakeliran ini sebagai strategi dan upaya untuk mengemas dalam bentuk sanggit (pah-pahan satua) untuk menyiasati supaya penonton atau pendengar menjadi betah dan tidak bosan menonton atau mendengarkan disamping upaya-upaya lainnya.

Khusus dalam pewayangan, pengolahan lakon ini adalah hasil interpretasi masing-masing individu dari setiap dalang, oleh karenanya semua hasil pengolahan itu dikenal sebagai lakon `kawi dalang`. Sifat-sifat dan cara pengolahan itu sangat bervariasi yang menyebabkan jauh dekatnya hasil olahan dari babonnya menjadi berbeda-beda. Dari pembiakan lakon-lakon itu, kini dikenal banyak jenis-jenis lakon dalam pewayangan seperti, lakon baku (pokok); lakon sempalan (terpotong-potong); lakon carangan (cabang); lakon karangan (interpretasi); lakon babad (legenda); lakon komik (gambar); lakon anggit-anggitan/kawi dalang; dan lain sebagainya. Untuk lakon Bima Swarga termasuk lakon kawi dalang, hal itu bisa ditelusuri dari alur dramatiknya mendekati struktur alur pewayangan. Dugaan tersebut dikuatkan dengan ditemukannya kisah Bima Swarga berupa Satua Kawi Pedalangan (satua wayang) oleh Hinzler seperti disebutkan di atas. Ciri khas lakon kawi dalang adalah, seorang dalang ngakit/nganggit satua (membuat pola ceritera) dengan cara mengambil ceritera pokok (babon) dari Astadasaparwa (Mahabharata) sebagian/ episode, kemudian mengarang (ngawi) dengan adaftasi dari naskah-naskah lain yang sesuai dengan kondisi dan situasi (kontekstual) seperti, Yamapurana Tatwa, Atma Prasangsa. Lakon Bima Swarga dalam pertunjukan wayang kulit sangat jelas mengiringi upacara pitra yadnya (ritual kematian). Lakon Bima Swarga dipentaskan pada waktu malam hari menjelang puncak upacara ngaben/pitra yadnya (H.–1), sehingga lakon ini berfungsi sebagai media komunikasi, persembahan simbolis, keserasian norma-norma masyarakat, pengukuhan sosial dan upacara keagamaan, dan menggugah rasa indah dan kesenangan, atau lebih singkatnya memberikan tontonan dan tuntunan.

 

D. Dalang I Made Sidja

Di Kabupaten Gianyar telah dikenal sebagai gudangnya seniman di Bali. Salah seorang diantaranya adalah I Made Sidja, seorang dalang cukup terkenal tidak saja di Bali, namun di Indonesia bahkan ia juga dikenal di luar negeri. Bapa Sidja, demikian ia sering disebut lahir di Banjar Bona Kelod, Desa Belega, Kecamata Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, tahun 1933 dari perkawinan antara I Wayan Gentur dengan Ni Nyoman Gedor. Berbekal pendidikan formal Sekolah Rakyat (SR), Sidja memper-sunting gadis sekampungnya bernama Ni Nyoman Saprug, telah lahir 10 orang anak tetapi yang masih cuma 6 orang  diantaranya; 1) Ir. I Nyoman Sanglah; 2) Ni Ketut Sulandari; 3) Ni Wayan Sasi; 4) I Made Sidia, SSP., M.Sn.; 5) Ni Nyoman Sari, SSn.; dan 6) I Wayan Sira, SSn. Semenjak ditinggalkan istri tercinta, Sidja mengasuh keenam anaknya dan menduda sampai sekarang dan itu ia lakoni dengan ketabahan dan kesabaran yang tinggi, sehingga anak-anaknya berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi dan bisa hidup bahagia bersama keluarga dan kerabatnya.

Pada tahun 1945, ia mulai tertarik menekuni bidang kesenian dan kali pertama dipelajari adalah gamelan gender wayang berguru kepada I Gusti Lanang Oka (Bona) dan Dewa Ketut Tibah (Gianyar). Untuk mendukung kegiatan berkesenian, Sidja belajar hampir seluruh jenis kesenian seperti, topeng; arja; calonarang; wayang, gender; gamelan batel; palegongan; geguntangan; menatah wayang; memahat topeng; mem-buat berbagai jenis perangkat upakara (sate tegeh/gayah; palagembal; bade; lembu dll.). Baginya belajar kesenian karena senang dan sepertinya roh kesenian menjadi panggilan hidupnya sehingga Sidja terus menjelajahi rimba seni dan budaya Bali dengan cara belajar dan belajar terus kepada guru yang dianggap mumpuni dibidangnya seperti, menari topeng dan sastra babad kepada I Ketut Rinda (Blahbatuh) dan ngwayang kepada I Nyoman Granyam (Sukawati, Gianyar). Selanjutnya berturut-turut belajar aksara Bali dari I Gusti Made Seler, geguritan, macepat dan sekar madya diajari oleh I Wayan Kereg (Blahbatuh), belajar mengukir paras, kayu, kulit dari I Gusti Nyoman Tantra dari Selat Blahbatuh, belajar membuat wayang, tapel, dan barong dari Bapak Sabung dari Blahbatuh, belajar memulas dari Bapak Laba dari Bedulu, tangkil ke puri Singapadu nunas ajah nyeket tapel barong ring Cokorda Oka, belajar ngewayang dari Bapak I Nyoman Granyam dari Banjar Babakan (Sukawati), belajar gender wayang dari Dewa Putu Pica dari Gianyar, belajar tentang filsafat mengatasi masalah penderitaan dan pepatah-pepatah kepada I Gusti Lanang Oka dari Puri Bona dan I Gusti Agung Gelgel Keramas, belajar makekawin dari I Gusti Lanang Krebek dari Selat Klungkung, belajar menari klasik dan tabuh dari I Dewa Ketut Tibah dari Gianyar, I Gusti Lanang Oka, Bapak Buja dari Blahbatuh dan I Wayan Ruju dari Batuan. Belajar membuat sesajen/banten upakara seperti, sarad, isin tukon, nama-nama jajan dari I Gusti Ketut Kontoran dari Bona Kangin, belajar membuat sate tegeh berdasarkan dharma caruban dan jagal mangsa dari I Made Sengger dari Blahbatuh dan I Wayan Rubag dari Patolan, belajar membuat Bade, Madia, Patulangan (sarana kremasi) dari I Made Redeng dari Bona Kelod, menerima seperangkat gender dan wayang dari I Gusti Lanang Oka. Saking banyak belajar dan mempraktekkannya, ia lupa tanggal dan tahun belajar karena kesibukan yang padat belum lagi banyaknya orang mendatangi rumahnya yang sederhana baik masyarakat lokal maupun tamu asing bahkan artis nasional (Muni Cader; Clif Sangra; Dewi Yul sekluarga). Dengan pakaian sederhana (kain/kamben dililit handuk), Sidja meladeni tamu-tamunya tanpa beban dan risih, dan menariknya semua senang dan betah.

Filosofi yang dianutnya adalah hidup sebuah pengabdian, dan filosofi seni yang dianutnya berkesenian adalah yajnya, betul-betul dilakoninya bersama semua anak-anak dan kerabat dekatnya. Karena itu Sidja berpesan kepada para seniman/pragina muda untuk banyaklah belajar kepada seniman tua dan carilah tutur-tutur sebagai pengetahuan (wawancara dirumahnya, Bona, Blahbatuh, Minggu, 16 Oktober 2011).

 

E. Nilai-nilai Estetik Wayang Kulit Parwa Lakon Bima Swarga

Maksud pengungkapan nilai-nilai estetik Wayang Kulit dalam tulisan ini, bukanlah untuk mengajak para pembaca agar ikut menganggap jenis tarian ini bermutu tinggi. Penulis masih menghargai subjektivitas dan pengalaman estetik yang pernah dialami dan dirasakan. Namun demikian, sungguhpun apa yang dirasakan indah oleh orang Bali dan orang asing yang pernah menggelutinya, mungkin juga tersimpul dalam benak para pembaca, terutama bagi mereka yang menggeluti bidang kesenian. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar, sebab unsur-unsur indah tidak selalu bersemayam dalam pribadi masing-masing, tetapi ia juga terkondisikan oleh sifat-sifat yang universal. Oleh karena itulah kedua aspek keindahan yaitu aspek estetika falsafah dan aspek estetika ilmiah tak dapat dipisahkan apabila membicarakan keindahan sebuah karya seni.

 

  1. 1.    Aspek Falsafah

Pembahasan nilai-nilai estetis kesenian Bali, khususnya Wayang Kulit melalui pendekatan falsafah, tak dapat dipisahkan dari konsep dan pandangan hidup orang Bali. Hal ini disebabkan seni pertunjukan di Bali bukan hanya dipandang sebagai barang hiburan dan kemewahan semata, melainkan juga dipakai sebagai alat pengikat solidaritas suatu komunitas. Lebih dari pada itu, seni pertunjukan juga dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya mencari perlindungan, atau secara magis diharapkan dapat mempengaruhi suatu keadaan. Nilai-nilai estetis yang terkandung dari pagelaran wayang fungsinya seperti ini apabila dihubungkan dengan sifat keindahan itu sendiri yaitu dapat memberikan rasa tentram, tenang, dan nyaman, bahkan rasa penyerahan diri. Padanya tidak hanya terkandung unsur indah yang dinikmati secara visual dan auditif dengan mendekati persoalan-persoalan dari luar, tetapi dengan peninjauan ke dalam, merupakan kegiatan intelek, budi, spiritual, dan rokhani. Wayang Kulit yang memiliki akar dan perjalanan budaya yang panjang, menjadi sebuah seni tradisi yang dirasakan sebagai milik bersama berdasarkan atas cita rasa masyarakat pendukungnya.

Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar dalam penghayatan agamanya yakni, tatwa (filsafat), susila (etika), dan acara (upacara/ritual, adat-istiadat). Masyarakat Bali dalam melaksanakan praktek keagamaan, lebih menekankan pada susila dan acara, sehingga padanya ada anggapan-anggapan terhadap nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai moral. Kebaikan pada dasarnya mengandung semacam aura estetik yang kuat dalam dirinya, yang mempesona, mangharukan, mengagumkan dan sebagainya. Pelaksanaan upacara keagamaan mewariskan potensi keterampilan dalam seni budaya dan disiplin rokhani, tekun bekerja dan taat pada norma-norma kehidupan manusia. Mengadakan pertunjukan kesenian baik wayang, tari maupun gamelan di pura, merupakan ungkapan pengabdian yang tinggi nilainya untuk menghormati bhatara-bhatari sebagai manifestasi Ida SangHyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan ngayah (mengabdi) menunjukkan keterampilan membuat barang kerajian yang terkait dengan upacara keagamaan. Sedangkan mesolah (menari), megamel (menabuh), ngwayang serta makidung (menyanyi) adalah ungkapan karma marga (ajaran susila) dan bhakti marga (ajaran acara) untuk mensukseskan upacara agama di Bali, sehingga ngayah menjadi motivasi utama bagi tumbuhnya kesenian Bali. Ida Pedanda Made Sidemen, seorang sastra kawi menganggap mengarang karya sastra adalah suatu kegiatan kebhaktian, dan karya sastra sebagai persembahan, jalan untuk menuju terciptanya karya yang indah yaitu kakawin. Yoga yang diungkapkan dalam bait-bait manggala (pembukaan) menjadikan sang kawi mampu `mengeluarkan tunas-tunas keindahan` (alung lango), karena ia dipersatukan dengan dewa yang merupakan keindahan itu sendiri.[9]

Pandangan tentang keindahan seperti ini banyak ditemukan pada masa Yunani klasik seperti misalnya Plato. Ia menganjurkan untuk mengabstraksikan keindahan itu dari benda atau peristiwa dunia, hingga keindahan itu dianggap sebagai kekuatan, sebagai dewa yang tidak dapat dilihat wujudnya, tetapi dewa keindahan itu dicerminkan oleh benda yang indah atau perbuatan yang baik di dunia.[10] Hal senada juga dikatakan oleh Kapila Malik Vatsyayam, yang menyebutkan bahwa di India di antara 200-100 SM, filsuf Bharata yang pertama menulis teori tentang keindahan dan kesenian (natyasastra) berdasarkan agama Hindu yakni, segala penciptaan karya seni dianggap sebagai pengabdian terhadap Tuhan sebagai suatu yoga atau pengorbanan.[11]

Pandangan-pandangan tersebut di atas juga dipraktekkan dalam berkesenian di Bali. Setiap pertunjukan seni di Bali, terlebih Wayang Kulit pada prosesnya sudah dimulai dengan memohonkan berkah di Pura Taksu yang disebut padewasan ngwayang. Mereka menyadari bahwa kekuatan niskala (supranatural) sering membantu `mendalang` sehingga penonton akan jadi terpesona dan mengaguminya. Hal inilah menyebabkan pertunjukan wayang tak habis-habisnya mempunyai kekuatan menarik karena sumbernya berpangkal pada niskala disamping kemampuan pribadi. Orang Bali, secara mitologis menganggap pertunjukan wayang berasal dari dewa-dewa di sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan dalam 2 (dua) naskah lontar yaitu lontar Siwagama, dan lontar Tantu Pagelaran. Lontar Siwa gama menyebutkan sebagai  berikut:

“…sinasâ ring lemah, ryyarepaning saluagung, ginawéken panggung Hyang Trisamayâ, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksâ dé Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling redep kacapi, rinorwan pamanjang mwang gulâ ganti, sinamening langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit ring Yawa Mandala, tinonton ing wwang akwéh.[12]

Terjemahannya…di bumi, tepatnya di depan rumah Balé Gedé, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukan wayang memakai kelir, Bhatara Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceriterakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang di bumi Jawa, orang yang menonton cukup banyak…”

Naskah lontar Tantu Pagelaran, juga menyebutkan tentang asal mula pertunjukan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut:

“…Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara panadah Bhatara Kalarudra; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tatwa bhatara mwang bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang langon-langon. Bhatara Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina hawayang,tineher habandagina hawayang, mangkana mula kacarita nguni”[13]

Terjemahannya “…Para dewata menjadi takut, Siwa yang berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan pertunjukan wayang. Mereka menceriterakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukan itu diadakan di atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memainkan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukan wayang kulit.

Pandangan masyarakat Bali untuk melegitimasi nilai-nilai estetik dalam wayang, seperti disebutkan dalam dua buah lontar tersebut diatas bahwa mahkluk-mahkluk di sorga menjadi dalang, katengkong, dan penabuh. Hal tersebut dapat diambil manfaatnya dari ungkapan di atas, bukan kebenaran fakta, melainkan makna yang mendalam bahwa wayang adalah sebuah produk seni yang dihormati, dan menjadi idola dalam masyarakat. Penciptaan yang dilakukan oleh semua mahkluk sorga, bermakna bahwa karya seni ini adalah ciptaan seniman-seniman besar yang berkedudukan tinggi. Secara filosofis memberikan pengalaman estetis seperti kesenangan, kepuasan, dan ketentram-an. Salah satu paradigma dalam kesenian Bali yang berkaitan dengan aspek filsafat adalah taksu dan jengah. Taksu adalah kekuatan dalam (inner power) yang memberi kecerdasan, keindahan dan mujizat. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Seniman muncul dengan stage presence yang memukau, sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya. Taksu kalau disalin mendekati genuine creativity, yang berfungsi meningkatkan kreativitas meliputi segala aspek kehidupan yang membawa kemajuan-kemajuan dan mempertinggi budaya bangsa. Taksu sebagai anugrah Tuhan adalah hasil kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang masing-masing dalam keadaan murni. Jengah dalam konteks budaya (seni) Bali memiliki konotasi sebagai competitive pride yaitu semangat untuk bersaing, guna menumbuhkan karya seni yang bermutu. Sementara taksu memiliki arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah adalah sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu.[14] Nilai adiluhung pedalangan/pewayangan termasuk jenis pertunjukan yang `utameng-lungguh` dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bali. I Gusti Ketut Kaler sebagaimana dikutip oleh Ketut Rota, sempat berucap “…punika awinan pangringgitane sinanggeh pagelaran utameng lungguh, punapi malih sane marupa wali  sekadi wayang lemah, sudhamala, miwah sapuh/empu leger…”.[15]Pernyataan tersebut di atas mengisyarat-kan kesadaran seorang dalang bahwa, kekuatan niskala (supranatural) sering membantu pertunjukan wayang sehingga penonton akan jadi terpesona melihatnya. Disamping kemampuan spiritual, dalang diharapkan mampu menguasai unsur-unsur seni yang membangun keseluruhan pentas pewayangan.

  1. 2.    Aspek Ilmiah

Sebagai sebuah karya seni, Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya.  Sedikitnya ada 6 (enam) unsur estetik yang saling terkait dan seirama dan terjalin dalam satu sajian wayang antara lain; seni drama, seni rupa (lukisan, tatahan, wanda), seni sastra, seni suara (vokal dan antawacana), seni karawitan, seni tari (gerak/tetikesan/gaya), dan seni yang lainnya. Wujud visual dari pertunjukan wayang merupakan perpaduan  harmonis dari beberapa unsur seni yang masing-masing saling mendukung keutuhannya dalam satu lakon (lampahan/satua). Wujud lakon melibatkan dua dimensi yakni, dimensi ruang dan waktu. Hal tersebut dapat diukur, karena libatan dimensi ruang dan waktu akan terbawalah dalam pewayangan yang memiliki unsur-unsur estetika. Ternyata diketemukan tiga unsur mendasar yang berperan dalam sebuah struktur pertunjukan wayang yang menimbulkan rasa indah pada sang pengamat yaitu, keutuhan, penonjolan, dan keseimbangan. Keutuhan yang dimaksud adalah bahwa karya yang indah menunjukkan dalam keseluruhannya yang utuh, bermakna antara semua unsurnya, yang satu memerlukan kehadiran yang lainnya, dan saling mengisi.[16] Perpaduan tiga dasar sebuah pertunjukan yakni; wiraga, wirasa, dan wirama seperti motif-motif gerakan/ tetikesan wayang dihubungkan dengan vokal dalang (alas harum, bebaturan) berpadu dengan dialog (antawacana) serta iringannya, kesemuannya itu berfungsi ke arah satu tujuan yaitu keutuhan, kebersatuan, kekompakan (unity). Adanya keutuhan dalam keanekaragaman yang dapat memperkuat keindahan yang diketengahkan oleh Prancis Hutcheson (1694-1746) menyebutkan bahwa, karakter-karakter khusus yang nyata pada obyek yang dipersepsi, dapat mencetuskan pengalaman keindahan adalah keseragaman dalam keaneka-ragaman (uniformity in variety).[17] Apabila dihubungkan dengan teori Beardsley, adanya keanekaragaman yang berpadu inilah disebut dengan compleksity atau kerumitan yang menentukan mutu estetik karya seni.

Selain keutuhan dan kompleksitas, juga terdapat unsur-unsur yang berfungsi memperkuat intensitas pertunjukan wayang dengan mengamati adanya penonjolan-penonjolan. Hal ini sangat penting dalam sebuah pertunjukan, karena mengarahkan perhatian penonton yang menikmati karya seni kesuatu hal yang tertentu. Penonton menyaksikan pertunjukan wayang lewat bayangannya, memberi kesan/aura magis yang lebih kuat dan menonjol sebagai cermin karakter-karakter manusia. Dalam lakon Bima Swarga, tokoh yang ditonjolkan adalah Bima alias Wrekodara, karena ia berperan penting sebagai penyelamat arwah kedua orang tuannya (raja Pandu dan Dewi Madri). Selanjutnya keseimbangan tetap merupakan syarat estetik yang mendasar dalam semua karya seni, karenanya unsur-unsur keseimbangan sebagai sebuah prinsip bentuk estetik adalah persamaan dari elemen-elemen yang bertentangan atau berlawanan.[18] Di dalam pertunjukan wayang kulit, pertarungan antara kebaikan dan kejahatan digambarkan melalui pertikaian antara kelompok protagonis melawan kelompok antagonis.[19] Lakon Bima Swarga, menempatkan Bima dan Pandawa sebagai tokoh protagonis (pihak kanan) dan Yamadipati beserta kelompok nerakaloka berada di pihak antagonis (pihak kiri) yang masing-masing melambangkan kelompok yang baik dan yang buruk. Unsur-unsur keseimbangan juga terdapat dalam musik iringanya seperti gender wayang yang selalu berpasangan antara teknik pukulan polos dan sangsih.

Nilai kebenaran (kejujuran, ketulusan, kesungguhan) disajikan melalui lakon-lakon seni drama Bali yang dibangun sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak, yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur, yang berbudi tulus dengan yang tidak tulus. Lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam wayang kulit, dramatari Calonarang, arja, drama gong, dan sebagainya pada umumnya mengetengah-kan pertarungan antara nilai-nilai kebaikan dengan keburukan yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar atau setidaknya dengan akhir yang imbang (tidak ada kalah menang).[20] Di dalam seni rupa, keseimbangan yang demikian disebut dengan `a-symmetric balance` yaitu keseimbangan yang tidak simetri. Akan berbeda dengan `symmetric balance` yaitu keseimbangan yang terjadi oleh dua buah bagian yang sama seperti tubuh manusia, pinang dibelah dua, kupu-kupu dan lain-lainnya, sehingga pengalaman keseimbangan akan memberikan ketenangan. Keseimbangan yang simetri, disamping memberi rasa tenang juga memberi rasa stabil, sedangkan keseimbangan yang tidak simetris karena unsur balancenya sudah memberi rasa tenang, tetapi tenang dibarengi oleh rasa dinamis, seolah-olah akan berubah, berkesan akan bergerak. Karena faktor inilah, a-symmetrice balance mempunyai daya tarik bagi orang yang menyaksikannya.

Keutuhan dalam tujuan amat diperlukan untuk karya seni, agar perhatian penonton betul-betul dipusatkan kepada maksud yang utama dari karya seni itu. Berbicara tentang keutuhan akan mengarah pada kawasan bobot, isi, dan makna dari karya seni yang bersangkutan. Bobot atau isi yang dikandung dapat diamati melalui suasana yang ditampilkan. Intensitas pertunjukan wayang kulit Parwa lakon Bima Swarga oleh Dalang I Made Sidja, tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitra yadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Tuhan, sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat Bali yang sangat memerlukan akan kehadiran pertunjukan wayang.

Sebagai sebuah tontonan, penampilan merupakan hal yang menentukan pencapaian nilai-nilai estetik sebuah karya seni. Penampilan dimaksudkan adalah cara penyajian, cara bagaimana seni disuguhkan kepada yang menyaksikan atau khalayak ramai. Dalam penampilam terdapat tiga unsur yang berperan yakni, bakat, keterampilan, dan sarana.[21] Dalang I Made Sidja sangat piawai penyajikan pertunjukan wayang dengan cukup lugas, padat, dan meyakinkan. Secara konvensional lakon Bima Swarga mengikuti struktur tradisi pewayangan Bali, namun yang menarik adalah adegan sikap Bima yang menolak menyembah arwah orang tuanya, justru diterangkan (dijabarkan) pada menjelang akhir pertunjukan ini yang sekaligus sebagai konsklusi. Penonton sempat penasaran untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi sifat `aku`nya Bima dibalik sikap keluguannya itu. Diduga bahwa, Sidja menyajikan pakeliran ini sebagai strategi dan upaya untuk mengemas dalam bentuk sanggit (pah-pahan satua) untuk menyiasati supaya penonton atau pendengar menjadi betah dan tidak bosan menonton. Dalam sebuah sajian seni pertunjukan seperti wayang kulit, semua unsur berpadu, baik vokal dan iringannya, keterampilan sabet/tetikesan wayang, sarana pendukungnya (kelir, wayang, lampu blencong), dan gayor (tata panggung) dan yang lainnya, lebur menjadi satu sajian. Apabila terjadi ketimpangan atau penganaktirian salah satu unsur saja didalamnya, akan dapat menurunkan nilai-nilai estetis sebuah sajian karya seni. Maka penampilan merupakan hal yang sangat menentukan dalam pencapaian nilai-nilai estetik sebuah karya seni.

 

 

 

F. Kesimpulan

Wayang Kulit sebagai salah satu bentuk kesenian Bali, ternyata banyak menyimpan nilai-nilai estetis yang cukup tinggi. Didalamnya terkandung nilai estetis tidak hanya teramati lewat pendekatan filsafati, dengan konsep-konsep obyektif dari masyarakat pendukungnya, akan tetapi teramati pula melalui pendekatan ilmiawi yang bersifat umum. Dari pembahasan tersebut di atas,  dapat disimpulkan sebagai berikut:

–     Secara filsafati, nilai estetis Wayang Kulit Bali lakon Bima Swarga tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitrayadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat pendukungnya. Dengan konsep taksu dan jengah merupakan dua paradigma yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas lewat kerja keras dan penuh pengabdian pada kesenian, yang pada hakekatnya merupakan pengabdian kepada Tuhan melalui nilai-nilai estetis yang bersifat religius.

–     Filosofi yang dianut oleh Dalang I Made Sidja sebagai seniman adalah yajnya yakni hidup sebuah pengabdian, sehingga sebagian besar hidupnya diabdikan untuk berkesenian dalam rangka ngayah.

–     Telaah studi kesastraan, teks Bima Swarga termasuk karya sastra yang melukiskan keadaan (peniruan) alam (mimetik); menggambarkan perilaku kehidupan masyarakat yang menganut keyakinan atau kepercayaan yang digunakan sebagai pegangan iman (moral) yang menambat-kan seseorang pada satu pegangan yang kokoh (panca srada); konsep neraka dan sorga sebagai ide kebaikan dan keburukan; alat atau media untuk mencapai tujuan tertentu yakni dalam konteks sosio-budaya (pragmatik).

–     Teks Bima Swarga, menempatkan Bima sebagai tokoh sentral (sentral pigur) karena ia sangat berperan penting dalam keseluruhan lakon itu. Bima dianggap mewakili karakter seorang yang jujur, lugas, tidak pandang bulu, ulet, tidak pernah putus asa, spontan, dan tidak pernah menghindari tantangan, sehingga banyak nama disandang-nya sebagai sebuah penghargaan tinggi bagi ksatria/pahlawan yang ihklas mengorban-kan dirinya. Secara semiotik, Bima dianggap sebagai mediator yang `menjembatani` antara manusia dengan Sang Maha Pencipta (Paramasiwa).

–  Secara estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley, bahwa Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya. Adanya keutuhan dalam keanekaragaman, keutuhan dalam tujuan, dan keutuhan dalam perpaduan dapat menambah nilai kompleksitas. Dengan adanya penonjolan-penonjolan dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian penonton pada suatu hal yang dipandang lebih kuat, akan menambah intensitas dari pertunjukan wayang.

–  Pertunjukan Wayang Kulit memiliki struktur yang rapi dan komplek. Keteraturan itu akan menampakkan keutuhan dalam tujuan, sehingga terkandung bobot, isi, dan maknanya melalui suasana yang ditampilkan seperti, gerakan wayang (tetikesan), dialog (antawacana), gamelan (iringan), rupa/tatahan wayang. Hal tersebut mengandung kesan atau suasana tegang, meriah, dan gembira dengan bermacam gagasan atau ide yang dimunculkan seperti; kepahlawanan, kepemimpinan, percintaan. Sebagai sebuah tontonan, penampilan merupakan hal yang sangat menentukan dalam pencapaian nilai-nilai estetik sebuah pertunjukan wayang. Dengan bakat, keterampilan dan sarana yang mendukung dalam penampilan seorang dalang, akan menunjukkan ketotalan artistiknya di arena (panggung).

–  Nilai-nilai estetis yang terkandung dalam kesenian wayang yang dinikmati secara visual dan auditif apabila dihubungkan dengan sifat keindahan fungsinya dapat memberikan rasa tentram, tenang, dan nyaman, bahkan rasa penyerahan diri. Padanya tidak hanya terkandung unsur indah dengan mendekati persoalan-persoalan dari luar, tetapi dengan peninjauan ke dalam, yaitu kegiatan intelek, budi, spiritual, dan rokhani.

 

 

Sumber Acuan:

Bandem, Dr. I Made, Peranan Seniman dalam Masyarakat, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1991.

 

Hariani Santiko. “Bhima pada Masa Majapahit: Tokoh Mediator dalam Agama Hindu-Saiwa”, dalam Cempala, Edesi Bima, Majalah Jagad Pedalangan dan Pewayang-an, Penerbit Senawangi-Jakarta, 1996.

 

Hinzler, H.I.R. Bima Swarga in Balinese Wayang,The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.

 

Dickie, George, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979.

 

Djelantik, Dr. A. A. M, Pengantar Dasar Ilmu Estetika, I, Estetika Instrumental, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1990.

 

___________________, Pengantar Ilmu Estetika, II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1992.

 

Mantra, Prof. Dr. I. B, “Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Bali, Dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas”, Disampaikan dalam rangka Dies  Natalis XXII dan Wisuda Seniman Setingkat Sarjana ke-I, STSI Denpasar, 21 Febroari 1989.

 

Rota, Ketut. “Retorika sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”, Laporan Penelitian, STSI Denpasar, 1990

 

Yudha Triguna, I.B.G. (Penyunting), Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbit-kan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003.

 


[1]A. A. M. Djelantik, “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar, 1994, p. 15. Lihat Juga, Fx. Mudji Sutrisno dan Christ Vewrhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993,  p. 81

[2]George Dickie, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979, pp. 149-158

[3]I Wayan Dibia, “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003, p. 93

[4]I Gusti Bagus Sugriwa, “Ilmu Pedalangan/Pewayangan”, Konservatori Karawitan Indonesia, Djurusan Bali, Denpasar, 1963, p. 7. Karya tulisnya juga diterbitkan oleh Yayasan Pewayangan Daerah Bali dengan judul “Piagem Pedalangan/Dharma Pewayangan”, dalam Aneka Pewayangan Bali, Yayasan Pewayangan Daerah Bali, 1978, p. 15.

[5]Keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari, Proyek Pemeliharaan dan Pengembang-an Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar, Tanggal 24-25 Maret 1971, p. 2

[6]Hariani Santiko. “Bhima pada Masa Majapahit: Tokoh Mediator dalam Agama Hindu-Saiwa”, dalam Cempala, Edesi Bima, Majalah Jagad Pedalangan dan Pewayangan, Penerbit Senawangi-Jakarta, 1996.pp. 6-8

[7]H.I.R. Hinzler. Bima Swarga In Balinese Wayang,The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.p.194.

[8]cf. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, “Alih Aksara Lontar Bima Swarga”, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, Denpasar, 1995.

[9]Dr. A. A. M Djelantik , Pengantar Dasar Ilmu Estetika, II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1992, p. 22

[10]http://en.wikipedia.org/wiki/Aesthetics

[11]http://www.google.co.id/wikipedia.org/wiki/Natya_Shastra

[12]cf. Pemerintah Propinsi daerah Tk. I Bali, “Alih Aksara Lontar Siwagama”, bait 66a, turunan lontar milik Ida Pedanda Sidemen dari Geria Sanur (Denpasar), Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar, 1988, pp. 60-61.

 [13]cf. Pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Bali, Alih Aksara Lontar Tantu Pagelaran”, bait 44b-45a, diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar, 1987, p. 43. Lihat juga Th.G.Th. Pigeaud, De Tantu Panggelaran, Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitge-geven, vertaald en toegelicht,`s-Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij, voorheen H.L. Smits, 1924, pp. 103-104.

[14]Prof. Dr. I. B. Mantra, “Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Bali, Dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas”, Disampaikan dalam rangka Dies  Natalis XXII dan Wisuda Seniman Setingkat Sarjana ke-I, STSI Denpasar, 21 Febroari 1989. pp. 9-10. Lihat juga,  I Made Bandem, Peranan Seniman dalam Masyarakat, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1991. p. 18

[15]Ketut Rota. “Retorika sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”, Laporan Penelitian, STSI Denpasar, 1990, p. 5.

[16]Dr. A. A. M. Djelantik, Pengantar Dasar Ilmu Estetika, I, Estetika Instrumental, Penerbit Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1990,  p. 32

[17]George Dickie, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979, p.16

[18]Ibid.  p. 42

[19]I Wayan Dibia, “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003, pp. 101-102

[20]Dibia, op. cit., p. 101

[21]Djelantik, op. cit., p. 60

Wayang Sapuh Leger

Filed under: Tak Berkategori — wicaksana at 2:15 pm on Rabu, Mei 8, 2013

Mengungkap Fungsi Wayang Sapuh Leger

Judul                 :  Wayang Sapuh Leger
Penyusun           :  I Dewa Ketut Wicaksana
Tebal                :  xxviii, 260 halaman
Penerbit            :  Pustaka Bali Post

—-

 

TUMPEK Wayang (yang tahun ini jatuh pada 17 Mei dan 13 Desember) merupakan hari istimewa bagi umat Hindu di Bali. Jika ada bayi lahir tepat pada hari itu, konon memiliki sifat-sifat ataupun bakat istimewa baik negatif maupun positif.

Menurut salah satu kalender Bali, orang yang lahir pada wuku Wayang memiliki sifat suka disanjung, perintahnya tak bisa dibantah. Namun, ia juga memiliki pribadi yang halus, pandai bergaul, tutur bahasanya halus dan menarik. Apakah pernyataan itu benar, tentu saja jawabannya beragam. Pasalnya, di atas bumi ini, ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang lahir pada Tumpek Wayang dipastikan memiliki sifat yang berbeda, tergantung pada kepercayaan, kultur, bakat, lingkungan dan faktor lainnya.

Bagi umat Hindu di Bali, ada keyakinan bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Menurut lontar “Sapuh Leger”, Dewa Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak yang dilahirkan pada Wuku Wayang.

Untuk memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut serta menghindari bahaya akibat dikejar-kejar Dewa Kala, maka ada solusi yang merupakan keyakinan pula, yakni mohon tirta (air suci) penglukatan atau pengruwatan dari pertunjukan Wayang Sapuh Leger.

Apakah semua itu bisa dipercaya seratus persen? Oleh karena hal ini masalah keyakinan, tentu sulit dijawab dengan pasti. Namun yang jelas, Wayang Sapuh Leger ternyata juga menarik perhatian orang asing. Dalam buku ini ada dikemukakan, pada tahun 2005, seorang warga Prancis menanggap Wayang Sapuh Leger untuk upacara kelahiran putranya. Upacara yang digelar di rumah mertuanya di Baturiti, Tabanan, itu berlangsung khidmat. Apakah ia menanggap Wayang Sapuh Leger hanya untuk jor-joran ataukah memang ia yakin bahwa pertunjukan itu dapat menyelamatkan anaknya?

Oleh karena hal ini masalah yang bersifat irasional, maka sulit dijawab dengan mengemukakan argumenatasi secara rasional. Timbul juga pertanyaan: mengapa Wayang Sapuh Leger yang konon dianggap angker, dan penyelenggaraannya paling berat, sangat mempengaruhi pola pikir umat Hindu di Bali?

Menurut penyusun buku ini, I Dewa Ketut Wicaksana, tidak banyak orang yang menaruh perhatian untuk membuktikan serta mencari jawaban atas penyebabnya.

Kenyataan seperti itu, menurut Wicaksana, hanya diterima begitu saja, tanpa tergelitik untuk menelusuri lebih jauh, untuk menemukan apa yang terjadi di balik konsep penyelenggaraan drama ritual tersebut. Itulah sebabnya, ia tertarik untuk menelusuri, selain ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di balik pertunjukan Wayang Sapuh Leger, juga ingin mengkaji fungsi dan makna pertunjukan wayang tersebut dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.

 

Dari Tesis

Penelitian Wicaksana tertuang dalam tesis yang dipertahankan di hadapan penguji Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 1997. Tesis itulah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku seperti ini, setelah mengalami proses editing seperlunya terutama pada masalah teknis.

Secara garis besar, buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama, Wicaksana menuliskan tentang latar belakang masalah, mengapa ia tertarik meneliti pertunjukan Wayang Sapuh Leger. Sebagaimana penulisan tesis pada umumnya, dalam bab ini, Wicaksana menyodorkan sejumlah teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan.

Dalam bab berikutnya, Wicaksana mengungkap tentang genre Wayang Sapuh Leger dalam Wayang Kulit Bali, apa latar belakang dan bagaimana struktur pertunjukan tersebut. Dalam bab ini juga dikemukakan upacara lukatan yang meliputi sesajen, mantram-mantram yang dicantingkan dalam upacara tersebut, pelaku upacara, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan dalang dan Dharma Pedalangan.

Dalam bab selanjutnya, Wicaksana mengungkap struktur estetik pertunjukan Wayang Sapuh Leger, dan pada bab empat, ia menganalisis fungsi dan makna pertunjukan seni sakral tersebut bagi kehidupan masyarakat Bali. Buku ini juga dilengkapi dengan lampiran mantram-mantram yang berkaitan dengan pementasan wayang.

Menurut Wicaksana dalam buku ini, secara eksplisit pertunjukan Wayang Sapuh Leger hanya berfungsi untuk upacara dalam siklus kehidupan manusia. Namun secara implisit, pertunjukan ini menyiratkan adanya upacara Panca Yadnya yakni Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya.

Foto-foto yang ditampilkan dalam buku ini meliputi pertunjukan wayang kulit Sapuh Leger, bentuk-bentuk sesajen yang digunakan, dan ada lima dalang yang ditampilkan. Mereka itu empat dalang dari Gianyar yaitu dalang I Wayan Wija, I Made Sija, I Gusti Putu Darta, I Wayan Narta dan satu dalang dari Buduk (Badung) yakni Ida Bagus Puja. Penampilan dalang tersebut dalam gambar lebih banyak terlihat sedang melakukan upacara ritual.

Buku ini tidak saja penting disimak bagi peminat budaya, ilmuwan (peneliti), tapi juga bagi umum terutama bagi mereka yang ingin menekuni dunia pedalangan. Sayang, buku ini dicetak hitam putih, sehingga foto yang ditampilkan belum memberikan gambaran yang maksimal. Jika fotonya dicetak berwarna, serta lebih banyak menampilkan foto wayang Bali, buku ini tentu saja akan lebih afdol.

* wayan supartha

 

Halo dunia!

Filed under: Tak Berkategori — wicaksana at 6:01 am on Rabu, Mei 8, 2013

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!