Upacara Ritual Dalam Kesenian Bali

This post was written by wayanprimawan on Mei 1, 2012
Posted Under: Tak Berkategori

Makna Upacara dan Upacara Ritual Dalam Kesenian Bali.

 

Agama Hindu sebagai jiwa dari kehidupan kesenian Bali sudah barang tentu tidak dapat dipisahkan dari proses penyucian yang dilakukan. Baik terhadap orangnya maupun benda seni yang digunakannya. Tingkatan upacara yang diperuntukkan menjadi seorang seniman yaitu :

 

Pinunas Ica dan Upacara Panuasen.

 

Suatu hari yang dipilih sebagai dewasa dimulainya kegiatan tersebut. Menurut pakalaning dewasa ( wariga ) pengaruh sirkulasi wewaran, pawukon, panggal panglong dan sasih Sejak dimulainya kegiatan latihan ( mauruk ) diawali dengan upacara pinunas ica dan panuasen. pertemuannya menentukan baik buruknya atau ala ayuning dewasa. Memulai kegiatan kesenian hendaknya diusahakan memilih harinya berisikan tutur mandi, tutur masih, dina ketemu. Tutur m andi mempunyai arti dewasa ayu dalam memberikan nasehat atau petunjuk dan nguncarang mantra sidhi. Tutut masih dewasa ayu memberikan pelajaran atau pelatihan sedangkan kala ketemu berisikan hari baik untuk mengadakan rapat dan pertemuan. Memang dina ayu ini tidak mudah didapat dalam satu bulannya. Bila keadaan mendesak boleh memilih dewasa ayu yang lebih umum sifatnya dengan tetap menghindari ala-nya dewasa untuk kegiatan dimaksud. Untuk mendapat pertemuan dewasa yang baik itu sering harus menunda beberapa waktu kegiatan latihan dimulai, kendati semuanya sudah siap. Di samping itu perhitungan pananggal menuju bulan purnama lebih diutamakan disbanding pangelong.

Dengan menghaturkan upakara secukupnya yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta melalui I Ratu Anglurah Sakti Pangadangan yang disebut sebagai dewanya pragina, balian, sangging, undagi untuk mohon keselamatan. Sejak dimulainya latihan ( dalam paurukan ) seseorang sudah disamakan derajatnya. Kedudukan atau norma etika dalam pergaulan tingkat  golongan kasta atau warna sudah tidak berlaku lagi. Simbol Sang Tri Nugraha bercak putih yang sebagai hiasan urna ataupun pelipis bermakna sebagai simbol penetralisir menjadi persamaan derajat.

 

Upacara Byakaonan dan Prayascita.

Upacara ini bermakna pengelukatan menghilangkan mala dalam diri. Kekuatan jahat yang ada pada diri dikembalikan ke tempatnya. Sedangkan pamrayascita memberikan makna mengheningkan atau menjernihkan pikiran.

 

Upacara Pamlaspas

 

Upacara ini lebih ditujukan pada sarana seni yang digunakan seperti misalnya : wayang, topeng, pagelungan dan sejenisnya. Upacaranya dimulai dengan menghaturkan upakara tebasan durmanggala yang bermakna menghilangkan cacat atau petaka bahan. Dilanjutkan dengan pemakuhan menyatukan bagian – bagian yang terpisah seperti topeng dengan gelungan, wayang dengan bagian – bagiannya. Dilanjutkan dengan menghaturkan upakara pengulapan memohon berkah kekuatan niskala. Pamlaspas bermakna menyucikan barang atau sarana dan memohon kekuatan sinar suci Tuhan yang hendak distanakan pada barang tersebut.

 

Upacara Pangidep Hati

 

Upacara pangidep hati yang ditujukan kepada Sang Hyang Rare Angon untuk memohon anugerah sehingga membangun rasa kalanguan menjadikan gandrung lupa akan perangai diri untuk bertransformasi ke karakter yang dipelajari atau diperankan tidak punya rasa malu untuk bisa tampil sebagaimana mestinya. Ibarat kelakuan anak kecil yang secara bersahaja tanpa beban dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas.

 

Upacara Pamasupati

 

Wayang, topeng, gelungannya dan alat kesenian lainnya perlu dipasupati. Pamasupati suatu permohonan berkah dari Dewa Siwa sebagai dewa pencipta untuk dijunjung dan disungsung yang diharapkan mampu memberi kekuatan magis dari penampilan dirinya. Upacara ini didahului dengan menghaturkan upakara Panyepuhan yang bermakna membersihkan dan menajamkan.

 

Upacara Pasakap – sakapan

Upacara masakap – sakapan yang bermakna mengawinkan. Sejak dimulainya latihan seseorang saling pandang kemudian mendekatkan diri dengan ilmu yang dipelajari. Bila ilmunya tidak dikawinkan karisma budayanya kurang. Penyatuan segala aspek yang akan mentransformasikan dirinya menjadi seorang tokoh diperlukan adanya penyatuan secara sekala maupun niskala.

 

Upacara Mawinten

 

Upacara ini bermakna menyucikan diri, bertujuan untuk mohon waranugraha dalam mempelajari ilmu pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, wedha – wedha dan sebagainya. Terlebih lagi dharma seorang pragina yang melakonkan drama kehidupan ritual di dunia ini sehingga sering menyebut – menyebut bahkan memfigurkan dalam tokoh manifestasi Tuhan, orang yang telah tiada, kekuatan bhuta di samping kehidupan nyata manusianya sendiri. Pemujaan di sini diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : Bhatara Guru sebagai pembimbing, Bhatara Gana sebagai pelindung serta pembebas dari segala rintangan atau kesukaran,  dan Dewi Saraswati sebagai Dewi Penguasa Ilmu Pengetahuan. Dalam upacara ini dilakukan rerajahan dengan sarana bunga, madu yang dituliskan pada dahi ( lelata ), telapak tangan, anggota badan dan lidah dengan formulasi sastra modre disertai mantram – mantram puja pendeta atau pemangku yang mampu menghidupkan formulasi sastra tersebut. Formulasi sastra modre yang ditulis dan digambar di dalam kain putih atau pada topeng ( rerajahan ) dengan sarana dan mantram tertentu dapat memberikan kekuatan karisma dari penampilannya. Ada banyak tingkat pawintenan dari yang disebut dengan winten di bunga ( sari ), winten sastra, winten wiguna, winten agama ekajati dan dwijati. Seniman atau dalang, pemangku balian berhak mengambil tingkat pawintenan tingkat ekajati.

 

Pangaren atau Pangeger.

 

Sering ada penambahan dengan memberikan pengaren sebagai simbol penajaman dari apa yang dia miliki. Ditambah dengan pengeger yang bermakna mendapatkan daya tarik penampilannya yang selalu memikat.

 

Upacara Saat Pentas

 

Pada saat pentas ( sebelum dan sesudah menari ) sesajen selalu menjadi bagian yang mesti didahului. Upakara gelungan atau tapel, wayang, banten kalangan dan banten gamelan merupakan sarana utama untuk bisa berlangsungnya sebuah kegiatan pementasan. Didahului dengan menghaturkan canang pangrawos atau pamayasan di mana pragina itu berias. Kemudian menghaturkan upakara di belakang rangki, di belakang kelir, mohon keselamatan dan disertai banten kalangan mohon izin kehadapan Hyang Ibu Pertiwi dan kekuatan bhuta bahwa di tempat itu dipinjam digunakan untuk pentas. Di samping berbentuk sajen – sajen, juga berbentuk mantra – mantra tertentu digunakan pula oleh penari untuk menarik kekuatan gaib itu misalnya sebelum penari keluar diucapkan mantra “Om Idepku Sang Hyang Murtining Luwih, masasira ring aku, aku Sang Hyang Semara Murti, sarwa jagat kasih ring hunyan – hunyanku, Om Siddhi mandi mantramku. Demikian pula sebelum pertunjukan dimulai, didahului dengan sesajen dan tetabuhan dengan maksud supaya tidak mendapat gangguan dari I Bhuta Kala Graha dan I Bhuta Kapiragan dengan mengucapkan mantram : “Om Sang Kala Edan, iki bhukti sajinira yan sira wusan mukti rowangen hulun mangila – ngila mangigel. Om siddhi mandi mantramku”.

Dalam dharma pawayangan seorang dalang dituntut lebih rinci lagi tahap – tahap yang mesti dilakukan sejak mulai berangkat meninggalkan rumah menuju ke rumah yang menanggap, melaksanakan kegiatan ngewayang sampai kembali ngelebar banten di rumah Ki Dalang. Semuanya diatur oleh dharmanya sebagai seorang dalang.

Disarankan juga seorang seniman untuk melaksanakan pinunas ica Matirta Yatra atau Nawa Seraya di tempat – tempat suci Pura untuk memohon kemantapan anugerah Tuhan dalam mendharma bhaktikan dirinya sebagai abdi Tuhan dan abdi masyarakat atau negara.

Oleh : I Nyoman Catra, MA

Reader Comments

Trackbacks

  1. A片  on Agustus 22nd, 2022 @ 12:30 am
  2. Lincoln Georgis  on November 3rd, 2022 @ 1:55 am