Peranan Sruti Dalam Pepatutan Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu

 

Istilah sruti berasal dari bahasa Sansekrta  yang artinya adalah kitab – kitab weda ( Madiwarsito, 1985 : 539 ). Selain itu dalam dunia musik, misalnya dalam musik India dan Bali, sruti merupakan sebuah terminologi yang berarti jarak antara dua buah nada. Dalam musik Barat jarak antara 2 buah nada itu dikenal dengan nama interval.

Sruti atau interval memegang peranan yang sangat penting dalam pepatutan atau pelarasan gamelan Bali. Untuk dapat mengetahui betapa pentingnya peranan sruti itu dalam pepatutan gamelan Bali, maka akan dibahas tentang peranan sruti itu dalam salah satu gamelan Bali yang bernama Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu, ( disingkat SPSP ; mengenai gamelan SPSP lihat lebih lanjut  : McPhee, 1996 : Hood, 1990; Rai, 1996 ). Gamelan ini menggunakan pelog tujuh nada ( saih pitu ) dengan bahan bilah dan pencon terbuat dari perunggu.

Studi tentang sruti dan laras gamelan SPSP secara ilmiah ( scientific ) akan dilakukan dengan jalan menggunakan pendekatan tradisi dan modern. Secara tradisi akan dilihat proses pelarasan gamelan itu sesuai dengan apa yang diwarisi secara turun – temurun dan secara modern akan dilakukan pengukuran nada – nada gamelan tersebut dengan sebuah alat pengukur nada yang bernama Hale Sight Tuner ( sejenis stroboconn ). Dari pendekatan tradisi akan diketahui konsep yang melandasi seorang tukang laras gamelan itu bekerja dan tahapan – tahapan yang dilalui dari awal hingga akhir. Dari hasil pengukuran nada itu ( tonometric determination ) akan dapat diketahui denganmelan  rinci baik sruti ( dalam cents ) getaran perdetik ( dalam hertz ) maupun beberapa karakteristik lainnya dari The Tuning System gamelan SPSP itu sendiri.

Tahapan Dalam Pelarasan

Proses pelarasan gamelan SPSP dimulai dengan melaras instrument yang berbilah. Pelarasan ini dikerjakan oktaf ( pengangkep ) demi oktaf berpatokan pada petuding. Instrumen pertama yang dilaras adalah jublag sebab instrument ini dianggap sebagai Starting Poin dari gamelan itu sendiri. Setelah jublag dapat dilaras dengan baik, maka pelarasan itu dapat dianjutkan ke pengangkep yang lebih rendah yaitu jegogan atau juga bisa ke pengangkep yang lebih tinggi mulai dari pemade terus ke kantil. Perlu dicatat bahwa dalam pelarasan gamelan ini hendaknya jangkean dimulai dari pengangkep yang paling tinggi yaitu kantil sebab kantil itu memiliki frekuensi ( getaran per detik ) yang paling tinggi dalam barungan gamelan SPSP. Apabila pelarasan itu dimulai dari kantil, biasanya tukang lartas itu akan mengalami kesulitan untuk  melanjutkan ke pengangkep yang lebih rendah.

Setelah melaras semua instrument yang berbentuk bilah, maka akan dilanjutkan dengan melaras instrument yang bermoncol ( pencon ) seperti trompong, kempur, klenang dan kemong. B.iasanya instrument berpencon yang dilaras untuk pertama kali adalah trompong. Dalam gamelan SPSP trompong itu pada dasarnya terdiri dari dua pengangkep ( oktaf ) sesuai dengan pengangkep jublag dan pemade. Jumlah pencon dalam tiap tungguh biasanya bervariasi antara satu gamelan dengan gamelan yang lain, misalnya ada yang menggunakan 17 buah pencon ( gamelan SPSP Kamasan ), ada juga yang menggunakan 15 pencon ( gamelan STSI ), ada juga yang menggunakan 14 pencon ( Abian Kapas Kaja dan Puri Agung Gianyar ). Dengan adanya perbedaan jumlah pencon maka cara menyusun nada – nadanya ada variasinya, misalnya di Kamasan – Klungkung nada terendah pada trompongnya adalah nada ke 7 Ndaing ( 2 )dan nada tertinggi pada trompongnya adalah nada ke 2 Ndong ( 4 ). Di Pagan, nada yang terendah pada a trompong adalah nada ke 1 Nding ( 3 ) sedangkan nada tertinggi adalah nada ke 2 Ndong ( 4 ). Di STSI nada trompong yang terendah adalah nada ke 1 Nding ( 3 ). Di Puri Agung Gianyar dan Banjar Abian Kapas Kaja nada trompong yang terendah adalah nada ke 1 Nding ( 3 ) sedangkan nada tertinggi pada trompong adalah nada ke 7 Ndaing ( 2 ).

Instrumen trompong itu tidak dibuat dengan sistem “Ngumbang – Ngisep”. Oleh karena itu pelarasan trompong itu bisa mengikuti pengisep atau pengumbang. Kalau trompong itu dilaras sesuai dengan pengisep maka suara trompong itu tidak akan menonjol apabila seluruh instrumen dalam barungan gamelan itu dimainkan secara bersama – sama. Suara trlahompong seperti itu disebut dengan istilah “Maplekes”. Sebaliknya apabila trompong itu dilaras sesuai dengan pengumbang maka suara trompong itu akan sangat menonjol yang disebut dengan istilah “Ngulun”.

Instrumen suling biasanya dilaras sesuai dengan pengumbang sebab kalau suling  itu dimainkan ke pengangkep yang lebih tinggi maka suaranya akan mendekati pengisep. Kalau suling itu dilaras sesuai dengan pengisep, biasanya akan mengalami masalah ( bero ) apabila dipakai untuk memainkan pengangkep yang lebih tinggi.

Setelah pelarasan itu ( bilah dan pencon ) biasanya diletakkan di atas lantai selama kurang lebih enam bulan. Hal ini dilakukan supaya daun gamelan yang baru dilaras itu betul – nbetul metiyisan ( kering ). Apabila hal ini tidak dilakukan biasanya suara gamelan yang baru itu akan cepat sekali berubah ( bero ). Setelah daun gamelan itu betul – betul “Metiyisan” maka laras gamelan harus dicek ulang lagi supaya dapat diketahui apakah larasnya itu memang sudah stabil atau barangkali perlu dilaras ulang.

Pekerjaan selanjutnya adalah membuat bumbung atau resonator. Tiap resonator harus dilaras sesuai dengan nadanya. Karena itu pembuatan resonator ini harus dilakukan dengan hati – hati dan seksama pula. Setelah resonator itu dibuat dengan memuaskan, barulah daun gamelan serta resonatornya itu dipasang pada pelawah dari instrumen masing – masing.

Proses yang terakhir adalah menentukan angkepan – angkepan dari barungan gamelan itu sendiri. Angkep – angkepan berasal dari akar kata angkep yang artinya rangkap. Dalam hubungannya dengan pelarasan gamelan, yang dimaksud dengan angkep – angkepan adalah menyatukan suara dari seluruh instrumen yang membangun gamelan itu sendiri sesuai dengan rasa indah ( musical aesthetic ) dari pelarasnya sendiri. Guna kepentingan angkep – angkepan, tukang laras itu barangkali akan melakukan sedikit penyesuaian ( pelarasan kembali ) pada instrumen tertentu sehingga suaranya itu betul – betul angkep atau menyatu sesuai dengan konsep “The Totality Of The Sound”

Perbandingan Sruti Untuk Setiap Patutan

Salah satu faktor penting yang harus dilihat dalam pepik atutan ( saih ) yang ada dalam g amelan SPSP adalah masalah perbedaan sruti dari tiap patutan itu sendiri.Untuk itu berikut ini kita akan lihat perbedaan sruti dan embat dari kNdelima patutan yang ada yang didasarkan pada ukuran jublag pengisep dari kedua barungan yang diukur.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sruti itu memang benar – benar memegang peranan yang sangat penting dalam pepatutan gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu. Sruti yang baik akan menghasilkan embat yang baik. Dengan sruti dan embat yang baik maka akan berhasil pula dicapai kelima patutan yang ada dalam gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu yaitu : patutan  Tembung, Selisir, Sunaren, Baro dan Lebeng.

Oleh : Prof. Dr. I Wayan Rai. S.MA

Monumen Perjuangan Rakyat Bali ( Bajra Sandhi ) – Renon

2.1 Monumen Perjuangan Rakyat Bali Ditinjau

       Dari Segi Sejarahnya.

 

Baiklah, di bagian 2.1 ini saya akan menjelaskan tentang Monumen Perjuangan Rakyat Bali ditinjau dari segi sejarah – nya. Sejarah dibangunnya Monumen Perjuangan Rakyat Bali bermula dari peletakan batu yang pertama dibangun pada tahun 1988 dan akhirnya selesai pada tahun 2001 serta dibuka untuk umum pada tanggal 14 Juni  2003 oleh ibu Soekarno Putri ( Mantan Presiden Republik Indonesia).

 

 

2.2 Monumen Perjuangan Rakyat Bali Ditinjau

      Dari Segi Geografisnya.

 

Di Bagian 2.2 ini saya akan menjelaskan tentang Monumen Perjuangan Rakyat Bali ditinjau dari segi geografisnya. Letak geografis daripada gedung Monumen Perjuangan Rakyat Bali ialah sebagai berikut :

 

a). Batas sebelah Utara : Gedung Eksekutif ( Gedung

Gurbernur Bali).

 

b). Batas sebelah Timur : Gedung Dokumentasi dan Gedung

Dinas Kebudayaan.

 

c). Batas sebelah Selatan : Jalan Raya Puputan

d). Batas sebelah Barat : Gedung Legislatif ( Gedung DPRD )

 

 

2.3 Monumen Perjuangan Rakyat Bali Ditinjau

      Dari Segi Ekonominya.

 

Yang terakhir saya jelaskan dari bab 2 ini adalah Monumen Perjuangan Rakyat Bali ditinjau dari segi ekonominya. Dari segi ekonominya, gedung Monumen Perjuangan Rakyat Bali menghabiskan biaya pembangunannya sekitar kurang lebih jumlahnya nilai uangnya 15 Milyar dan dana pembangunannya murni dari APBD.

Tabuh Kreasi Rare Yowana

Konsep atau Ide Garapan

 

Di dalam proses kehidupan , kita mengalami perubahan yang cukup banyak . Yaitu dari masa anak- anak menjadi remaja seperti kami sekarang , dan kami mempunyai ide pokok untuk mengangkat perubahan masa kami dari anak- anak menjadi dewasa seperti sekarang ini .

 

Dalam perubahan anak-anak menjadi remaja akan banyak mengalami perubahan mulai dari sifat ,suara ,dan fisik. Seperti perubahan sifat seseorang anak yang baru menginjak usia remaja, saat kita masih anak- anak kita masih memerlukan kasih sayang dan bimbingan orang tua karena kita masih bersifat seperti cerewet,cengeng,manja. Dan ketika kita memasuki usia remaja kita mengalami perubahan yang cukup banyak dari perubahan fisik , tingkah laku , cara berbicara , dan yang paling menonjol adalah pergaulan kita di lingkungan masyarakat .  Maka peran orang tuanya sangat penting mendidik sampai menjadi remaja agar tidak terjerumus kedalam pergaulan yang negatif. Karena seorang yang masih remaja,rasa ingin tahunya sangat besar. Dengan konsep atau ide seperti itu kami mencoba menuangkannya dalam sebuah garapan dalam bentuk tabuh kreasi dengan memakai beberapa instrument gong kebyar antara lain :

 

Gong + kempur + kenong

2 tungguh jegog

1 tungguh riong + 4 buah suling

2 tungguh jublag

2 tungguh kantil

2 tungguh pamade (gangsa)

Sepasang kendang gupekan + 2 buah suling

1 kajar

1 kecek + 1 buah suling

6 buah suling

 

Instrument di atas ini kami gunakan untuk mengangkat tema tumbuh kembang dan perubahan sikap dari masa anak-anak menjadi remaja tersebut dengan permainan dari seluruh instrument yang tertera di atas sehingga kami terinpirasi untuk membuat garapan tabuh kreasi dengan judul “Rare Yowana”

Penyajian Instrument

 

Dalam  bagian ini kami menjelaskan tentang alat – alat yang kami pakai dalam garapan kami. Seperti gong kebyar kami hanya memakai sebagian dari 1 barung gamelangong kebyar. Untuk lebih jelasnya kami uraikan dalam tabel berikut :

 

No. Instrument Jumlah
1 Gong 1 tungguh
2 Kempur 1 tungguh
3 Kenong 1 tungguh
4 Jegog 2 tungguh
5 Jublag 2 tungguh
6 Riong 1 tungguh
7 Kantil 2 tungguh
8 Pamade/Gangsa 2 tungguh
9 Kendang 2 buah/sepasang
10 Kajar 1 tungguh
11 Kecek 1 tungguh
12 Suling 13 buah

 

Proses pengerjaan dan hasil yang dicapai

 

Proses pengerjaan garapan kami awalnya melakukan diskusi tentang garapan apa yang mau dibuat. Satu – persatu dari kelompok kami mengeluarkan ide. Pada akhirnya kami mulai menggarap tabuh kreasi pepanggulan. Namun garapan tersebut tidak kunjung selesai.Karena pendukung yang berhalangan atau melaksanakan tugas sekolah yaitu prakrin.Pada akhirnya di bulan Desember 2009 kami membuat garapan yang baru yaitu tabuh kreasi yang diberi judul “Rare Yowana” ini. Proses pengerjaannya dengan cara mengambil gending – gending tabuh kreasi yang sudah ada, dan yang sudah pernah di pentaskan. pukulan – pukulan instrument – instrumennya dirubah dari yang asli ( sangat rumit ) menjadi sedikit lebih mudah.

 

Pelatihan terus berjalan normal seperti biasa. Namun, kami merasa garapan itu sangat rumit sehingga minta dibuatkan yang baru lagi. Penggarap sudah stress tapi  garapan tabuh kreasi “Rare Yowana “ tersebut diulang lagi dan ketika ada rekaman gending di handphone salah satu pendukung kelompok 1 yang dijadikan bahan oleh penggarap bahwa sebenarnya penggarap mengambil gending yang pukulan – pukulan instrumentnya mudah dan cepat dimengerti. Pada akhirnya garapan tabuh kreasi “RareYowana “ tersebut dilanjutkan sampai tuntas dengan bantuan dan bimbingan  dari guru karawitan.

Tabuh Kreasi “Rare Yowana “

 

Sinopsis :

 

Pada umumnya di usia anak – anak kita biasanya hanya bermain, ceria, bandel, cengeng dan cerewet karena belum mengetahui apapun. Namun waktu terus berganti menjadikan anak tersebut mengalami pertumbuhan, perkembangan, sudah akil balik dan lebih bersikap dewasa .Dari ide tersebut penggarap mencoba untuk menuangkannya dalam barungan gamelan gong kebyar berbentuk tabuh kreasi dengan judul “Rare Yowana”. Rare yang artinya anak – anak dan Yowana artinya remaja. Merupakan suatu siklus kehidupan di mana dalam hal ini dikaitkan dengan seorang anak yang belum mengetahui apapun. Kemudian waktu terus berganti menjadikan anak tersebut semakin dewasa semakin ingin menambah ilmu pengetahuan, mengasah otak. Dengan maksud mengajak penonton memahami tumbuh kembang dan perubahan sikap seorang anak.  Susunan tabuh kreasi ini penggarap mengambilnya dari model tabuh – tabuh kreasi yang sudah ada dan sudah pernah ditampilkan terdiri dari kawitan, pengawak, kebyar pengecet dan pekaad.. Pukulan – pukulan instrumentnya dirubah menjadi sedikit lebih mudah dimainkan dan mudah diingat.

 

 

Sejarah Gamelan Semar Pegulingan di Banjar Abian Kapas Kaja

Sejarah Keberadaan Gamelan Semar Pegulingan di Banjar Abian Kapas Kaja Kelurahan Sumerta Kecamatan Denpasar Timur

Tahun 1980-an Sekehe Gong Banjar Abian Kapas Kaja mengadakan peremajaan ( Regenerasi ) sekehe. Sekehe Gong Remaja ini ingin membuat gamelan Angklung karena pada waktu itu ada Upacara Ngaben Massal.Itu yang memotivasi Sekehe Gong Remaja untuk membuat gamelan Angklung. Namun atas saran bapak I Wayan Beratha disuruh membuat gamelan Semar Pegulingan karena dengan sistem pelog 7 nada maka gamelan Semar Pegulingan tersebut secara umum memiliki keistimewaan pada multifungsi dalam segala gending. Baik gending Semar Pegulingan, gending Pelegongan, gending Angklung, gending iringan Tari Lepas dan gending iringan Wayang Kulit. Maka dari itu disepakati pembuatan gamelan Semar Pegulingan yang dibuat oleh bapak I Wayan Beratha dengan harga Rp. 6.000.000/1 barungan. Setelah itu Sekehe Gong Remaja mulai aktif berlatih menabuh Semar Pegulingan dengan mencari gending Lengker,Langsing Tuban,Sinom Ladrang,Selisir,Godeg Miring,Sumambang Bali, Sumambang Jawa, dan Tabuh Gari.

 

Pada tahun 1985 pementasan perdana pada Upacara Odalan Padudusan Agung di Pura DalemSumerta dan sejak itu juga Sekehe Gong Semar Pegulingan Banjar Abian Kapas Kaja setiap tahun mengisi acara di Pesta Kesenian Bali ( PKB )TamanBudayaArtCenterDenpasar sampai sekarang. Selain itu Sekehe Gong Semar Pegulingan dapat ngayah di Pura Besakih, Pura Semeru Jawa Timur dan Pura – Pura lainnya diBalidan sering juga diundang pentas pada Upacara Manusa Yadnya ( Pawiwahan/Pernikahan ).

Tokoh Seniman di Banjar Abian Kapas Kaja

Riwayat Hidup Tokoh Seniman di Banjar Abian Kapas Kaja, Kelurahan Sumerta, Kecamatan Denpasar Timur, KotaDenpasar

 I Wayan Rugeh

Sosok pria lugu dan sederhana ini menyimpan segudang prestasi serta pengalaman dalam bidang seni tabuh dan tariBali. Sejak usia anak – anak sudah menyenangi gamelan dan mampu menguasai Tari Baris, Tari Topeng dan Tari Kebyar Duduk berkat bimbingan gurunyaalmarhum Wayan Rendi. I Wayan Rugeh, kelahiran Banjar Abian Kapas Kaja KelurahanSumerta Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar sejak berumur 8 tahun saat masih duduk di Sekolah Rakyat atau tingkat Sekolah Dasar ( SD ) sudah belajar menari meskipun gurunya keberatan karena menganggapnya masih anak – anak. Karena terus mendatangi rumah gurunya di Banjar Lebah DesaSumerta Kaja,  Desa tetangga Banjar Abian Kapas Kaja tempat Rugeh tinggal, akhirnya tidak keberatan mengajar tabuh dan olah gerak tubuh tari Bali. Belajar secara sungguh – sungguh disertai bimbingan gurunya dalam waktu enam sampai tujuh tahun sudah mampu mengusai banyak tari dan memainkan instrumen gamelan tradisionalBalidengan sempurna. Meskipun sudah sering pentas di depan masyarakat umum, Rugeh yang masih muda tidak pernah merasa puas terhadap keahlian yang dimiliki. Kemudian Rugeh terus – menerus memburu guru tabuh dan tari sebagai tempatnya menimba ilmu. Ayah 8orang anak dan kakek tujuh cucu ini pernah membimbing/mengajar menabuh ke Badung,Tampaksiring,Ubud,Payangan dan Karangasem. Dalam membimbing ke berbagai daerah ini ia merasa puas dan bahagia karena ditemuinya semangat belajar seni yang tinggi pada generasi mudaBali. Rugeh juga aktif membina Angklung di Buaji Sari ( Anggrek Buaji Sari ) milik Bank Sri Partha dan membimbing di Dirga Ayu Suari Banjar Kerta BumiSumerta.

 

I Wayan Rugeh memiliki banyak guru yang mengajar secara ikhlas sehingga sekarang ia juga mendidik anak – anak atau siapa saja yang ingin belajar tabuh dan tariBalidibinanya dengan senang hati,” tutur suami dariNiWayan Sening. Pasangan suami – istri yang masihnampak sehat dan bugar di usia senja ini memang memiliki banyak siswa yang yang belajar tabuh dan tariBalidi rumahnya yg tidak jauh dariTamanBudayaArtCenterDenpasar. Seperangkat Gong Kebyar danGenderWayang yang menjadi koleksinya boleh dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin belajar menabuh dan menari. Tidak mengherankan rumah yang lokasinya di pinggir jalan WR. Supratman jurusan Denpasar –Tohpati itu senantiasa diramaikan oleh anak – anak maupunorang dewasa yang belajar menabuh dan menari. Ayah daridelapan anak ini selain membina dan mengajarkan keahliannya kepada masyarakat lokal, juga sanggup mentransfer keterampilannya kepadawisatawan yang sedang menikmati liburan diPulauBali. Dua warga negara asal amerika pernah belajar tari dan memainkan instrumen gamelan di rumahnya selama sebulan,”tutur Wayan Rugeh yang mengaku sering menolak pemberian uang dari siswanya yang baru akan mulai belajar. “ Kalau sudah mapan dan bisa mencari uang dari keahlian menabuh dan menari yang ia berikan, saat itulah ia baru mau menerima pemberian uang dari siswanya,” tutur pria pensiunan RRI Denpasar sejak tahun 1988.

 

Wayan Rugeh yang pernah bekerja sebagai Ajendam Kodam XVI Udayana yang sekarangbernama Ajendam Kodam IX Udayana ini berkesempatan menjelajahi Nusantara untuk menghibur keluarga besar prajurit maupun masyarakat umum. Instansi tempatnya bekerja mulai tahun 1960 sampai 1964 itu memiliki tim kesenianBaliberanggotakan 40 seniman andal yang serba bisa. Kodam – Kodam di Indonesia saat itu sering memesan kesenian dariBalisehingga memiliki kesempatan untuk menjelajahi Nusantara ( Melanglang Buana ) dari satu daerah ke daerah lainnya. “Hampir semua daerah diIndonesiapernah ia kunjungi kecuali Irian Jaya saat melakukan pementasan Kesenian Bali menghibur keluarga besar prajurit dan masyarakat umum. Daerah – daerah penjelajahan tersebut antara lain yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Singkawang – Maluku di tahun 1960-an, Tidore Bajan, Halmahera,Pulau Buru,Manado, Kupang, Lombok,Ende,Waingapu, Sumbawa dan Jakarta. Bekerja di Ajendam Kodam XVI itu berlangsung selama empat tahun sebelum pindah ke RRI Denpasar untuk mengisi siaran kesenianBali. Di tempat kerja yang baru itu kembali bertemu dengan rekan – rekan seniman yang selama ini sudah sering melakukan pementasan bersama seperti I Made Ruju, kelahiran Desa Batuan – Gianyar. Ia mulai bekerja pada tahun 1966 sebagai tenaga honorer bersama puluhan seniman lainnya untuk tetap mengisi acara siaran Arja setiap hari Minggu.

 

Masyarakat Bali waktu itu sangat menunggu – nunggu setiap acara yang memancarluaskan pergelaran Arja salah satu siaran favorit masyarakat yang ternyata seniman pendukungnya sebagian besar adalah tenaga honorer. Sekitar 35orang seniman yang mengabdikan diri puluhan tahun lamanya menjadi karyawan honorer RRI Denpasar akhirnya diangkat menjadi PNS meskipun secara teknis administrasi waktu itu tidak memenuhi persyaratan.

 

Saat mengabdikan diri di RRI itulah pada tahun 1978 mendapat kesempatan memperkuat tim kesenianBalimengadakan lawatan selama dua bulan keliling negara – negara Eropa. Bersama 35 seniman yang berasal dari berbagai daerah di Bali, pimpinan Anak Agung Ngurah Supharta dari Tabanan yang saat itu sebagai Kepala Sekolah KOKAR yang sekarangbernama Sekolah Menegah KarawitanIndonesia( SMKI ) Denpasar mengadakan pementasan ke sejumlahkotadi Eropa salah satunya di Italia. Di Italia ia menari dan berkeliling selama tiga bulan. Penampilan kesenianBalidi luar negeri antara lain gong kebyar, topeng, calonarang, dan wayang kulit mendapat perhatian besar dari masyarakat setempat, jauh sebelum pementasan karcis yang dijual sudah habis. “Pentas ke luar negeri memperoleh kesan dan pengalaman dari masing – masing senimannya karena sangat dihormati dan dihargai sejajar dengan artis – artis terkenal di negara tersebut.

 

Wayan Rugeh yang kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, dengan menikmati sisa – sisa kehidupannya mengusir kesepian dengan memanfaatkan waktunya untuk membuat gamelan ( instrumen musik ) tradisionalBali.Seperangkat Gender Wayang yang terdiri atas empat buahGenderWayang dijual seharga Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah ) yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu sebulan. Bahan yang diperlukan seluruhnya dipesan di Belahbatuh – Gianyar ia tinggal merakit sehingga pekerjaan tidak terlalu berat.Namun sekedar memperoleh keuntungan, setiap penjualan seperangkatGenderWayang mendapat keuntungan Rp. 1.000.000 ( satu juta rupiah ).

 

Selain itu juga membuat gamelan angklung yang setiap setnya seharga Rp. 25.000.000 ( dua puluhlimajuta rupiah ). Produksi gamelan tidak pernah sampai menumpuk karena begitu selesai langsung ada pembeli. Bahkan sering menerima pesanan lebih dulu. Pesanan selama ini berasal dari daerah pedesaan diBali.