Kendang Mebarung

Posted in Tak Berkategori on Agustus 27th, 2014 by wayanariawan

KENDANG MEBARUNG

DI DESA PERGUNG JEMBRANA

 

 Dewasa ini pulau Bali kendang mebarungmerupakan salah satu dari kepulauan Indonesia yang amat terkenal diseluruh Indonesia kemasuran pulau bali disebabkan oleh kehidpan masyarakat pulau bali yang memiliki kebudayaan yang tinggi yang dikagumi tidak saja oleh wisatawan yang semakin banyak dating ke Bali, tetapi juga oleh para sarjana yang telah melakukan penelitian disini.

Berbagai buku dan karangan-karangan singkat telah berhasil diterbitkan hinnga sekarang. Kecujali kebudayaan, pulau bali juga memiliki unsur-unsur penarik lainnya seperti keindahan alam dan keramah tamahan penduduknya.

Seorang sarjana asing yang bernama colin Mcphee dalam bukunya music In Bali mengatakan bahwa pulau bali telah terkenal keseluruh pelosok dunia, hal ini tidak hanya disebabkan oleh factor keindahan alamnya, tetapi lebih dari itu bali banyak menarik perhatian dunia karena seni budayanya.

Bali pulau yang penuh dengan kebahagiaan dimana music tari dan drama tidak hanya dicintai oleh semua orang, tetapi merupakan sesuatu yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Sungguh amat banyak kesenian-kesenian yng hidup dan berkembang di pulau bali baik kesenian wali, bebali, maupun balih-balihan, sehinnga ba li banyak diju,luki orang dengan pulau dewata, pulau kahyangan dll. Ini merupakan julukan yang membawa harumnya bangsa dan tanah air kita Indonesia.

Dalam rangka ikut berpartisipasi untuk membangun bangsa Indonesia seutuhnya maka pembinaan kepribadian bangsa melalui penghayatan nilai-nilai budaya bangsa adalah suatu lankah yang amat perlu. Berkenaan dengan hal tersebut maka pemberian informasi tentang jenis-jenis kebudayaan atau kesenian merupakan salah satu langkah dan sarana untuki bergerak kearah pembinaan tersebut. Dengan demikian dimaksudkan sebagai salah satu usaha agar nilai-nilai budaya itu dapat lebih dihayati sehinngaga dapatlah mempertebal ketahanan mental bangsa.

Kendang mebarung merupakan kesenian khas kabupaten jembrana sebagai salah satu kekayaan kesenian daerah bali, kesenian tersebut belum banyak dikenal orang hbal itu sangat menarik perhatian penulis dalam mengadakn penelitian atas dasar itulah penulis meneliti sampai sejauh mana kesenian kendang mebarung itu mengalami perkembangan.

Berdasarkan pertimbangaan-pertimbangan penulis maka dalam hal ini penulis memilih kendang mebarung sebagai obyek penelitian, obyek ini perlu diteliti karena hanya terdapat di kabupaten Jembrana khususnya di Banjar dauh Pasar, Desa Pergung.

Di kutip dari buku Kendang Mebarung Di Desa Pergung, Jembrana

oleh I Ketut Sudana, Jurusan Karawitan Tahun 1984, Pada halaman 1 – 19

 

 

 

 

 

MAKNA HARI RAYA NYEPI DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT

Posted in Tak Berkategori on Maret 6th, 2014 by wayanariawan

Bagi umat Hindu pergantian tahun Caka selalu dimulai sesudah tilem kesanga (IX), sehingga Hari Raya Nyepi merupakan tahun baru. Mengapa pergantian tahun dimulai sesudah berakhirnya sasih ke IX ?, padahal satu tahun itu ada 12 bulan menurut perhitungan kalender. Disamping itu kalender Bali mengakui satu tahun itu ada 12 bulan yakni Kedasa, Jiyestha, Sadha, Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kenem, Kepitu, Kaulu, Kesanga. Mengapa tahun Caka itu dimulai dari kedasa?

Hal ini disebabkan karena pengertian tentang angka. Umat Hindu khususnya di Bali mengakui bahwa angka yang tertinggi adalah angka 9 (sanga). Sedangkan angka sepuluh sebenarnya merupakan angka ulangan yang terdiri dari angka 1 dan 0 (angka sepuluh huruf Bali). Demikian juga angka sebelas merupakan angka ulangan 1 dan 1, begitu juga angka dua belas (12) dan sebagainya. Semuanya angka pengulangan kembali. Sedangkan angka sembilan dikatakan sebagai angka mistik (ajaib) karena satu-satunya angka kalau dikalikan angka bilangan kecuali angka nol atau pecahan, jumlahnya akan menunjukkan kelainan dari angka-angka yang lain. Sebab salah satu angka diantara angka satu sampai sembilan jika dikalikan dengan angka sembilan, hasil perkalian ini kemudian dijumlahkan pasti akan menghasilkan angka Sembilan misalnya :

9 X 4 = 36 ( 3+6=9)
9 X 5 = 45 ( 4+5=9)

Kemudian bandingkan dengan :
7 X 7 = 49 ( 4+9=13)
7 X 8 = 56 ( 5 +6=11) dan seterusnya.

Kemudian angka Sembilan juga dihormati oleh Umat Hindu dalam hubungannya dengan Dewata Nawa Sanga yaitu Sembilan dewa yang menguasai sembilan penjuru mata angin yaitu Dewa Iswara (timur), Dewa Mahesora (tenggara), Dewa Brahma (selatan), Dewa Rudra (barat daya), Dewa Mahadewa (barat),Dewa Sangkara (barat laut), Dewa Wisnu (utara), Dewa Sambu( timur laut), Dewa Siwa (ditengah).

Disamping itu angka sembilan juga dihubungkan dengan jumlah lubang yang dimiliki oleh tubuh manusia yaitu 7 di kepala dan 2 ditubuh bagian bawah, sedangkan puser (pungsed tidak merupakan lubang). Karena itulah kita mengenal nama dwara (9 lubang ditubuh kita). Kemudian jika dihubungkan sasih kesanga itu dengan letak matahari dan keadaan musim di Indonesia, merupakan paduan pengertian dan perhitungan yang sangat komplek. Mengapa demikian?, karena kesanga menurut perhitungan Bali akan jatuh pada bulan Maret perhitungan Masehi, dimana pada bulan ini kita khususnya di Indonesia akan melihat matahari tepat di tengah-tengah khatulistiwa untuk selanjutnya menuju atau bergerak ke lintang Utara. Umat Hindu mempercayai bahwa arah Utara itu adalah hulu (suci). Oleh sebab itu, pada saat-saat matahari ada dilintang Utara banyak dijumpai piodalan-piodalan. Didalam cerita Bhismaparwa dimana Bhagawan Bhisma setelah roboh di medan perang oleh Srikandi belum juga mau menghembuskan nafasnya yang terakhir karena menunggu sampai matahari berada di lintang Utara ( Utarayana ). Disamping arah Utara, arah Timur juga merupakan arah yang suci, sebab itulah paduan arah Utara dan Timur disebut Airsanya (timur laut) merupakan arah tersuci sehingga bangunan Padmasana ( sthana Ida Sang Hyang Widhi yang Maha Esa) mengambil letak arah Timur laut (Airsanya ).

Perhitungan umat Hindu khususnya di Bali begitu kompleknya dan mencakup bermacam-macam aspek, baik aspek angka, jumlah, arah, dewa dan juga musim. Sebagaimana kita ketahui bahwa di Bali khususnya dikenal dua (2) musim yang menonjol yaitu musim panas dan musim hujan. Dengan bergesernya matahari ke ambang utara, maka musim semi dan musim panas akan menyongsong, dimana musim hujan dan angin ribut telah berlalu. Dari duabelas (12) bulan yang di miliki uamat Hindu di Bali, membagikan atas dua bagian yaitu bulan kedasa sampai bulan kelima untuk Dewa, sedangkan mulai dari keenem sampai kesanga adalah bulan-bulan untuk bhuta, dimana bulan kedasa sampai bulan kelima matahari ada diambang utara, sedangkan dari bulan keenem sampai kesanga matahari berada dibagian selatan katulistiwa.

Udara dialam ini makin lama semakin kotor, akibat ulah manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang hidup didunia ini sehingga dunia ini menjadi kotor oleh racun-racun manusia dan makhluk lainnya. Maka dengan dimulainya pergantian tahun caka yang dimulai dari bulan kedasa seolah-olah kita menginjak alam baru dengan atmosfir yang bersih, tetapi bulan demi bulan udara alam semesta ini makin lama makin banyak dikotori,sehingga perlu diadakan pembersihan-pembersihan lagi berupa korban-korban ( Caru ) dimana arti caru itu adalah membersihkan atau mengharmoniskan. Dari bulan kedasa sampai kelima alam kita masih bersih, tetapi mulai dari keenem alam kita sudah dapat digolongkan kotor,dan makin lama semakin kotor sampai akhir kesanga yang merupakan puncak dari kekotoran ini. Sebab itulah mulai dari bulan keenem kita sudah mulai waspada karena mulai sejak bulan ini tantangan dan godaan-godaan akan semakin bertambah besar. Pertama-tama akan ditandai dengan masa panca roba dari musim panas kemudian hujan, matahari mengambang keselatan mulailah adanya upacara-upacara nangluk merana untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan supaya jangan tertimpa bahaya dan bencana.

Kemudian kita meningkat pada sasih kepitu dengan peteng pitunya, dimana gelap pada sasih tilem kepitu itu adalah merupakan bulan gelap. Kita harus menguatkan iman akan datangnya bencana dan godaan-godaan yang sangat hebat. Pada tilem kepitu umat dianjurkan supaya beryoga semadi, waspada dan waskita dan kita kenal dengan upacara Ciwa Ratri. Sasih kaulu kita sudah dihantam oleh hujan deras, angin rebut, halilintar dan sebagainya. Ini sebagai pertanda listrik-listrik berloncatkan merupakan halilintar, orang sakit semakin banyak, dan akhirnya puncak dari segalanya itu jatuh pada bulan kesanga dimana ”belabur kesanga” merupakan bahaya dan bencana bagi kita. Jadi mulai bulan keenem dengan nangluk merana, kita sudah mulai waspada terhadap akibat dari kotornya udara dengan mengadakan upacara-upacara Caru ( korban ), sasih kepitu itu mohon kehadapan Bhatara Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi ) dengan bersemadi semoga dianugrahi keselamatan dengan akan datangnya sasih kaulu dan kesanga yang merupakan bencana yang lebih besar terhadap manusia,tumbuh-tumbuhan dan ternak-ternak yang kita miliki. Pengaruh udara kotor ini menjelang kesanga akan ditandai dengan pertikaian-pertikaian, penyakit-penyakit dan hawa nafsu jasmaniah berkobar-kobar, orang cepat naik darah pada bulan-bulan ini, bahkan anjingpun yang masa birahinya berkala itu pada bulan-bulan ini meraung-raung mengerikan bulu roma sebagai tanda rindu kepada kekasihnya. Pada bulan tilem kesanga inilah diadakan upacara tawur atau Caru serentak diseluruh pelosok pulau Bali, untuk menetralisir kekuatan alam,hingga menjadi tenang kembali.

Besoknya harinya setelah pengerupukan atau mecaru, maka datanglah saatnya hari raya Nyepi dimana secara lahiriah, orang tidak boleh memuaskan hawa nafsu. Biasanya hawa nafsu itu timbul karena panas (makanan yang agak panas lebih enak dari yang dingin ). Karena itu lahiriahnya tidak dibenarkan berapi-api atau mempergunakan api pada saat itu.

Sesuai lontar Sundarigama pada waktu Nyepi orang harus :
Amati geni ( tidak boleh berapi-api)
Amati karya (tidak boleh bekerja )
Amati lelungan ( tidak boleh bepergian )
Amati lelanguan ( tidak boleh memuaskan hawa nafsu )

Secara rokhaniahnya Nyepi atau Sipeng ini adalah bersemadi atau mengheningkan pikiran dan perasaan menghentikan segala aktifitas (mengosongkan segala kenangan baik dan buruk), mengevaluasi diri sendiri seberapa jauh perbuatan baik yang bisa kita lanjutkan, dan seberapa besar kesalahan (perbuatan jelek ) yang perlu diperbaiki dan dibenahi di Tahun baru yang akan datang. Karena pada hari esoknya ngembak geni(api) kita sudah dapat mengisi dengan aktifitas baru dan prilaku baru pada permulaan tahun baru. Sebab tanpa mulai dari kosong kita tidak akan dapat membuat perhitungan dan perencanaan serta program yang baru. Jadi hakekat Nyepi ini adalah kita memulai segala sesuatu dengan nol seolah-olah kita memulai hidup baru pada permulaan tahun baru. [Made Saniarta].

 

 

KARAWITAN BALI

Posted in Tak Berkategori on Maret 6th, 2014 by wayanariawan

KARAWITAN BALI

Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya.

Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:
Gamelan wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominir oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang.

Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.
Beberapa gamelan golongan tua antara lain :

  • Angklung – Gender Wayang
  • Balaganjur – Genggong
  • Bebonangan – Gong Beri
  • Caruk – Gong Luwang
  • Gambang – Selonding

Gamelan Madya Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Beberapa gamelan golongan Madya adalah:

  • Batel Barong
  • Bebarongan
  • Gamelan Joged Pingitan
  • Gamelan Penggambuhan
  • Gong Gede
  • Pelegongan
  • Semar Pagulingan

Gamelan Anyar Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan kendang. Beberapa gamelan golongan Anyar sebagai berikut:

  • Adi Merdangga – Gamelan Manikasanti
  • Bumbung Gebyog – Gamelan Semaradana
  • Gamelan Bumbang – Gong Suling
  • Gamelan Geguntangan – Jegog
  • Gamelan Genta Pinara Pitu – Kendang Mabarung
  • Gamelan Gong Kebyar – Okokan / Grumbungan
  • Gamelan Janger – Tektekan
  • Gamelan Joged Bumbung

Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu kehidmatan upacara, karena gambelan ditempatkan di utama mandala apalagi irama gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin diciptakan. Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang lambat tetapi sakral misalnya tabuh telu, lelambatan, dll. Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara. Misalnya untuk suasana sedih ketika meninggal dunia sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu kebulatan tekad dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana sakral magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang. Pada upacara manusia yadnya digunakan gender, upacara di Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah pamerajan.

 

 

Perkembangan Karawitan Bali

Dalam periode tahun 1970 sampai dengan 1990an, seni karawitan Bali mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Kemajuan seni karawitan Bali pada waktu itu memperlihatkan dua sisi yang menarik dan sangat menentukan masa depan dari seni karawitan di daerah ini.

Di satu sisi telah terjadi penyebaran gamelan keseluruh Bali, bahkan keluar daerah serta keluar negeri. Kondisi ini diikuti oleh munculnya komposisi-komposisi karawitan baru yang semakin rumit dengan teknik permainan yang semakin kompleks.

Di sisi lain terlihat terjadinya perubahan ekspresi musikal dan pembaruan gaya-gaya musik lokal. Di Bali dewasa ini hampir setiap desa telah memiliki gamelan. Banyak desa bahkan memiliki 2 – 3 barungan gamelan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jenis gamelan yang paling baik perkembangannya adalah Gong Kebyar. Kiranya hal ini disebabkan oleh keberadaan daripada barungan gamelan ini yang serba guna dan yang paling sesuai dengan selera masyarakat banyak terutama kalangan generasi muda. Ada bebrapa contoh yang dapat dijadikan bukti terhadap perkembangan Gong Kebyar ini. Di desa Singapadu sebuah desa di Kabupaten Gianyar misalnya, hingga sekitar akhir tahun 1960 hanya ada 1 barung Gong Kebyar dan 7 barung gamelan Geguntanganatau Paarjan. Dua puluh tahun kemudian di desa yang terdiri dari 13 banjar dinas ini telah ada 6 barung Gong Kebyar dan 2 barung Geguntangan. Jumlah ini masih perlu ditambah 2 barung Gong Kebyar yang dimiliki oleh sanggar atau sekaa pribadi. Di kota-kota besar diluar Bali seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta juga telah berdiri group musik dan gamelan Bali. Dapat dipastikan bahwa gamelan yang dimiliki oleh group-group ini adalah gamelan Gong Kebyar. Di tingkat Internasional, gamelan Bali(Gong Kebyar, Semar Pagulingan dan Gender Wayang)sudah tersebar ke Eropa, Jerman, Australia, Jepang, Canada, India dan mungkin yang terbanyak ke Amerika Serikat. Walaupun kebanyakan dari barungan gamelan Bali ini ditempatkan di perwakilan RI, ataupun universitas-universitas, semakin banyak group-group swasta dan perorangan yang memiliki gamelan sendiri. Group Sekar Jaya El Ceritto, California, Giri Mekar di Woodstock, New York (keduanya di Amerika Serikat), dan group Sekar Jepun di Tokyo Jepang adalah beberapa group kesenian asing yang hingga kini masih aktif. Menjadi semakin kompleksnya komposisi gamelan Bali yang diwarnai dengan melodi serta teknik cecadetan yang semakin rumit.

Belakangan ini muncul komposisi-komposisi musik baru yang menampilkan melodi yang lincah dan mempergunakan banyak nada. Hal ini sangat berbeda dengan gending-gending dari masa lampau yang melodi-melodinya sangat sederhana, mempergunakan beberapa nada saja dan berisikan banyak pengulangan. Pola-pola cecadetan yang muncul belakangan ini sudah banyak memakai pola ritme/ hitungan tidak ajeg seperti tiga, lima atau tujuh.

Dalam komposisi lama, dalam gender wayang sekalipun pola ritme/ hitungan ajeg sangat dominan. Perubahan ini juga diikuti oleh masuknya jenis pukulan rampak dan keras, yang datangnya secara tiba- tiba seperti yang terjadi pada Gong Kebyar. Tambah lagi ekspresi musikal hampir semua gamelan Bali menjadi “ngebyar” (meniru Gong Kebyar). Nampaknya perubahan ini besar kaitannya dengan adanya pengaruh gamelan Gong Kebyar.

Kecenderungan yang lain adalah pengembangan barungan dengan cara menambah beberapa instrumen baru. Gejala ini yang terlihat dalam pengembangan gamelan Geguntangan, munculnya Adi Merdangga dan gamelan pengiring sendratari. Hal ini kiranya berkaitan dengan munculnya stage-stage pementasan besar dengan penonton yang berada jauh dari arena pentas (tempat menari). Agar musik dapat didengar oleh penonton yang berada di kejauhan ini, maka penambahan instrumen menjadi perlu selain menggunakan sistem amplifikasi. Misalnya saja pada tahun 1970, gamelan Geguntangan adalah suatu barungan kecil yang menimbulkan suara lembut merdu. Kini Geguntangan sudah dilengkapi dengan beberapa buah kulkul, dengan beberapa instrumen bilah seperti cuing dan lain-lain. Ada kecenderungan bahwa perkembangan seni Karawitan Bali lebih didominir oleh gaya Bali Selatan.

Seni Karawitan sebagaimana halnya kesenian Bali lainnya, juga meliputi dua gaya daerah : Bali utara dan Bali Selatan. Perbedaan antara kedua gaya ini tampak jelas dalam tempo, dinamika dan ornamentasi dari pada tabuh- tabuh dari masing-masing gaya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk tempo tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih cepat dari yang di Bali Selatan. Hal ini juga menyangkut masalah dinamika di mana tanjakan dan penurunan tempo musik Bali Utara lebih tajam daripada Bali Selatan. Namun demikian, ornamentasi tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih rumit daripada Bali Selatan. Akhir-akhir ini tabuh-tabuh gaya Bali Utara terasa semakin jarang kedengarannya, sebaliknya tabuh-tabuh Bali Selatan semakin keras gemanya. Semua yang sudah diuraikan di atas mengisyaratkan kemajuan karawitan Bali baik secara kuantitas maupun kwalitas. Ada kecendrungan bahwa di masa yang akan datang seni karawitan Bali, khususnya instrumental yang didominir oleh gamelan Gong Kebyar dan ekspresi “ngebyar” akan masuk ke jenis-jenis gamelan non-Kebyar. Sementara karawitan gaya Bali Utara dan Selatan akan berbaur menjadi satu (mengingat pemusik kedua daerah budaya ini sudah semakin luluh), gamelan klasik seperti Semar Pagulingan nampaknya akan bangkit kembali.

Di masa yang akan datang, bentuk-bentuk seni karawitan dan barungan gamelan Bali baru akan terus bermunculan. Adanya “kebiasaan” dikalangan seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali ide-ide baru, baik dari dalam seni budaya tradisi mereka maupun dari unsur luar yang senafas, sangat memungkinkan akan terwujudnya perkembangan seni karawitan Bali yang lebih baik di masa yang akan datang.

 

HUBUNGAN HARI RAYA DENGAN KARAWITAN

Posted in Tak Berkategori on Maret 6th, 2014 by wayanariawan

Hari Raya Galungan

Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan.

Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.

Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini.

Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan.

Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.

 

 

 

KEKAWIN

Posted in Tak Berkategori on Maret 6th, 2014 by wayanariawan

KEKAWIN SUMANASANTAKA

 

EDITOR                     : BAPAK WONGSO BROJO

TH EDISI                    : 2000

KARANGAN              : Mpu Manoguna

JAMAN                      : Pada zaman kuno bernama Sang Kalidasa di tanah india

CERITA                     :

 

Yang diceritakan dalam naskhah ini ialah lahirnya Prabu Dasarata di Ayodya.Ringkasan ceritanya adalah sedemikian. Bagawan Trenawindu bertapa, para dewa khuatir jika nanti menyerang dan menguasai kerajaan Indera. Bidadari yang bernama Harini diperintah Bathara Indera supaya menggoda. Sang Harini dikutuk Sang Trenawindu turun ke bumi, menjadi manusia, lalu menjelma menjadi puteri di negeri Widarba, bernama Dewi Indumati putera raja Karthakesika. Sepeninggalan Prabu Karthakesika, pentadbiran dikawal oleh putera laki-lakinya yang bernama Prabu Boja. Sang Prabu lalu membuat sayembara untuk adiknya yang bernama Dewi Indumati. Putera raja Ragu bernama Sang Aja akan menyertai sayembara itu, maka berangkat ke negeri Widarba. Dalam perjalanannya, Sang Aja membunuh gajah yang berubah menjadi bidadari, bernama Sang Priyambada, lalu bidadari tersebut mengucapkan terima kasih dan memberi hadiah panah bernama Wimohanâstra. Selain Sang Aja, para raja yang menyertai sayembara itu sudah datang ke Widarba. Antaranya raja Magada, raja Angga, raja Anwanti dan raja Anupa. Setelah menang dipilih menjadi suami Sang Indumati, Sang Aja pulang dengan isterinya. Dalam perjalanannya, Sang Aja diserang para raja yang kalah dalam sayembara; tetapi Sang Aja menang dengan senjata panah Wimohanâstra. Sepeninggalan Prabu Ragu, Sang Aja menggantikan kedudukan raja; tidak berselang lama, dia memiliki anak laki-laki yang diberi nama Sang Dasarata. Oleh kerana sudah sampai batas waktu yang ditetapkan atas kutukannya, Sang Indumati harus kembali ke syurga lagi. Bathara Narada menaburkan bunga kepada Sang Indumati, kerananya Sang Indumati meninggal (sumanasa = bunga; antaka = mati), jadi maknanya mati kerana bunga. Setelah Sang Prabu Aja menobatkan puteranya yang bernama Sang Dasarata, Sang Aja pergi ke pertemuan sungai Serayu dengan sungai Gangga. Di situ, Sang Raja meninggal. Rohnya naik ke syurga dan berkumpul dengan isterinya Sang Indumati atau Sang Bidadari Harini. Naskhah Sumanasântaka belum dicetak. Naskhah ini digubal semasa pentadbiran Prabu Warsahajaya, tetapi pujangganya yang menggubahnya, bernama Empu Manoguna, berkemungkinan masih akrab dengan yang di atas. Induk naskhah Sumanasantaka berbahasa Sanskerta bernama Raghuvamça, gubahan pujangga besar di tanah India pada zaman kuna bernama Sang Kalidasa.

 

 

DALAM KEKWAIN TERSEBUT MEMUAT ALAT KARAWITAN YAITU        : kendang, bedug, trebang.