TARI SANG HYANG DEDARI

Posted in Lainnya on April 7th, 2018 by suryanatih

 

Tari Shang hyang dedari merupakan tarian sacral yang dipentaskan sebagai tarian wajib pada sebuah ritual keagamaan.

Tarian shang hyang dedari disebut sacral karena tarian ini di lakukan pada saat penari sedang dalam keadaan “kerawuhan” atau kerasukan.

Berbeda dengan tarian dengan nama sejenis seperti tari sanghyang jaran, sanghyang bojog atau pun sanghyang janger maborbor yang mengamuk dan berapi-api, tarian shanghyang dedari ini sangat lembut seperti halnya tarian legong sehingga tarian ini juga merupakan seni pertunjukan sacral yang indah.

Tarian  Sanghyang “dedari” memiliki makna bidadari, tarian ini tersebar di berbagai daerah seperti bangli, badung dan dari desa bona, blahbatuh, gianyar.

Asal Mula Tarian Sanghyang Dedari Desa Bona

Sejarah awal mula tarian ini khususnya yang berasal dari desa bona, blahbatuh, gianyar diserang wabah penyakit yang diderita oleh warga, wabah yang begitu cepat dan sulit diobati,

Konon, ada beberapa anak-anak gadis bermain di seputaran pura puseh yang pada saat itu baru usai “piodalan” atau upacara agama, mereka bermain sambil bernyanyi-nyanyi lagu shanghyang.

Seorang gadis lalu menari mengikuti irama nyanyian sanghyang, tanpa sadar gadis itu kerawuhan atau kemasukan.

Melihat kejadian ini wargapun memutuskan untuk nangiang atau mensakralkan tarian sanghyng dedari dengan harapan wabah penyakit hilang dan tidak kembali mewabah desa.

Ritual Tarian Sanghyang Dedari

Tarian ini ditarikan oleh gadis-gadis cilik dalam hal ini karena gadis-gadis yang belum akil balik atau dewasa masih dianggap masih suci secara skala.

Tarian ini diawali dengan dua orang penari yang duduk di tengah prosesi upacara, kemudian akan dinyanyikan irama berlaraskan slendo dan pelog atau gending (nyanyian) shanghyang dedari.

Penari lalu memejamkan mata, dan hanyut dalam gending sanghyang lalu pinsan ini berarti penari sudah kerawuhan atau kesurupan.

Dalam kedaan kerawuhan ini penari ini kemudian di kenakan kostum berupa gelungan, pakaian tari dan kepet atau kipas tari.

Kemudian para penari dipundut atau dipikul dengan bahu sambil terus diiringi dengan gending sanghyang dan gamelan palegongan, para gadis ini menari-nari dengan mata terpejam sambil dipikul di bahu dan melompat ke tanah yang berarti tarian sudah usai.

Berbeda halnya dengan di desa pasangka karangasem, penari sanghyang dedari akan naik ke batang bambu yang sudah disiapkan dan menari-nari dia atas batang bambu.

Menonton tarian sanghyang desa pasangka sangat menegangkan, bayangkan penari yang masih belia dalam keadaan trance atau kesurupan memanjat ke bambu tinggi sambil menari-nari tanpa rasa takut terjatuh.

 

GAMELAN JEGOGAN

Posted in Lainnya on April 4th, 2018 by suryanatih

Asal Usul Sejarah Gamelan Jegog

Sejarah seni musik dan tradisi yang terdapat di suatu daerah akan memiliki hubungan dengan adat istiadat, selera masyarakat, kepercayaan dan letak wilayah geografinya. Hubungan tersebut mempengaruhi bentuk kesenian, seni musik, dan alat musik yang dimainkan. Salah satu contohnya adalah gamelan Jegog.

 

 

 

Tempat Asal Gamelan Jegog

 

Gamelan Jegog berasal dari daerah Jembrana, yang memiliki keadaan tanah yang tidak rata. Keadaan alamnya kering, berbeda dengan daerah lainnya di Bali yang berupa pegunungan landai yang ditunjang oleh pertanian. Di Jembrana banyak tumbuh pohon bambu dengan ukuran yang besar-besar. Kondisi alam seperti itulah yang mendorong seniman di sana untuk menciptakan alat musik dari bambu.

 

Kabupaten Jembrana terletak di Bali bagian barat. Di utara berbatasan dengan kabupaten Bulelang, di timur berbatasan dengan kabupaten Tabanan, di selatan berbatasan dengan samudra Hindia dan di barat dengan Selat Bali. Di Bali terdapat kurang lebih 28 jenis alat musik atau perangkat gamelan yang memiliki bentuk dan gending dengan warna suara, fungsi instrumentasi, karakter danrepertaire gending yang berbeda-beda.

 

Jembrana terkenal dengan masyarakatnya yang menyukai perlombaan/ pertandingan, khususnya kesenian jegog, seperti mabarung (adu kendang), jegog mabarung (adu jegog), makepung (balapan kerbau), mabente (adu kaki),majengka (adu panco), dan mapentilan (adu nyentil jari).
Sifat masyarakat yang gemar melakukan pertandingan tersebut terlihat pada bentuk kesenian/alat musiknya, seperti gamelan Jegog yang dibuat dengan ukuran yang besar agar tidak kalah tersaingi dengan alat musik lainnya.

 

Kemunculan Gamelan Jegog

 

Gamelan Jegog adalah gamelan yang masih terbilang baru, karena muncul pada awal abad XX Masehi. I Nyoman Rembang menyatakan bahwa perkembangan gamelan Bali dibedakan mejadi tiga kelompok, yaitu:

 

  1. Kelompok gamelan tua, yaitu gamelan yang diperkirakan sudah berkembang dari sebelum abad X Masehi.
  2. Kelompok gamelan madya, yaitu gamelan yang diperkirakan berkembang sesudah abad X Masehi.
  3. Kelompok gamelan muda, yaitu gamelan yang diperkirakan berkembang sejak awal abad XX Masehi.

 

Gamelan jegog ini merupakan kelompok gamelan muda atau generasi ke 3

 

Kisah Awal Kesenian Jegog

 

Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar. Secara aklamasi masyarakat Jembrana khususnya di kalangan seniman menunjuk bahwa yang menciptakan gamelan ini adalah I Wayan Geliguh atau Kiyang Geliduh (1872) pada tahun 1912. Ia adalah seorang seniman yang berasal dari Banjar Sebual, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Jembrana.

 

Temuan Kiang Geliduh itu kemudian dilanjutkan oleh Pan Natil di Desa Delodbrawah pada 1920. Pan Natil kelak dikenal dengan panggilan Kiang Jegog, akibat kesuntukannya mengalirkan jegog ke generasi berikutnya, hingga meluas ke sejumlah desa di kawasan Jembrana.

 

Satu dasawarsa berselang sejak generasi Kiang Jegog, musik berbahan baku bambu itu telah menyebar ke Desa Poh Santen dan Mendoyo Kangin. Pada dasawarsa 1940-an muncul di Desa Tegal Cangkring. “Jegog memang menjadi musik khas Jembrana yang dipetik dari hamparan huma dan hutan,” katanya.

 

Seniman jegog lainnya, I Wayan Wangsun, menjelaskan, gamelan jegog memang tidak sepopuler gong kebyar (gamelan Bali modern). Pada umumnya masyarakat dan seniman Bali belum begitu akrab dengan ensambel dari bambu itu. Memang, dari sekian khasanah gamelan Bali, perangkat alat musik bambu itu tak begitu banyak dicatat dan dicermati, baik oleh peneliti lokal maupun asing. Tetapi, di desa-desa belahan barat Bali, kebyar justru kalah gengsi dengan jegog. Gamelan yang instrumennya berbahan batangan-batangan bambu besar itu begitu digandrungi masyarakat setempat.

 

Manakala petani huma Kiang Geliduh menghalau burung-burung yang menghinggapi bulir-bulir buah padinya yang mulai menguning, demikian ceritanya, ia membunyikan penghalau burung. Alat penghalau burung itu dibuat dari bambu, yang memang sudah di dapat saat itu.

 

Ketika suntuk menghalau burung, petani-petani lain di lingkungan Subak Sebual yang melingkupi huma Kiang Geliduh, pun menyambut serta. Mereka seperti terpaut, ikut menyahut dengan alat penghalau burung dari bambu pula. Rata-rata kubu (pondok) para petani di huma saat itu berisi kulkul bambu. Tanpa aba-aba layaknya dalam kemiliteran, jadilah alat penghalau burung itu satu orkestra musik nan apik. “Interkoneksi, saling menyahut, mengalir begitu saja dalam irama rasa terukur,” ia menambahkan.

 

Di tengah keasyikan melamun itulah, tutur Wangsun, mekanisme kreativitas seni Kiang Geliduh terpantik. Rasa hatinya tergetar. Jiwa murninya menari-nari mengikuti irama suara bambu. Saat rembang petang menjelang. Kiang Geliduh mengumpulkan sesama petani huma sedesanya. Mereka mereka-reka sungguh-sungguh komposisi musik bambu itu. Diawali dengan barungan tingklik, perangkat musik bambu lebih kecil.

 

Barungan tingklik itulah kelak berbiak menjadi jegog, setelah disempurnakan, divariasikan dengan ruas-ruas bambu berbagai ukuran. Dari komposisi ruas-ruas bambu berbagai ukuran itu kemudian ditemukan barungan musik bambu lebih besar, utuh. Ingatan para petani seniman itu terpantik pada alat gamelan gong kebyar paling besar. Perangkat itu dinamakan jegog, karena tongkrongannya majegog, atau nylegodog besar. Dari sini nama jegog dikenal.

 

Sebagai produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat beragam. Awalnya Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia/ijuk, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gamelan jegog. Dalam perkembangan selanjutnya Gamelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata. Kini, jegog juga telah dikolaborasikan dengan instrumen musik-musik modern seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set, harpa, saxophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, tabla, dan sitar Jawa. Di Bali, kolaborasi ini dirintis oleh Nyoman Winda dan diberi nama JES (Jegog dan Semar pegulingan) Gamelan Fusion (JGF). Dan kolaborasi cantik ini telah ditampilkan di Arda Chandra Art Center 27 Juni 2010 lalu dalam ajang PKB ke 32.

 

Penampilan Gamelan Jegog begitu memikat, para penabuh menari-nari di atas gamelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.

 

Halo dunia!

Posted in Tak Berkategori on Maret 23rd, 2018 by suryanatih

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!