Apr
08
2018

Ogoh – Ogoh Sang Purusadha Banjar Abiantimbul Desa Pemecutan Kelod Kecamatan Denpasar Barat

PENDAHULUAN
Hari Raya Nyepi merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Dimana pada hari ini umat hindu melakukan atau mengadakan Semadhi pembersihan diri lahir batin. Pembersihan atas segala dosa yang sudah diperbuat selama hidup di dunia dan memohon pada yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan untuk bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang . Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit. Hari Raya Nyepi jatuh pada hitungan Tilem Kesanga ( Kesembilan ) yang diyakini saat baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan dipercayai merupakan hari penyucian para dewa yang berada dipusat samudra yang akan datang kedunia dengan membawa air kehidupan (amarta ) untuk kesejahteraan manusia dan umat hindu didunia.
Jika kita renungi secara mendalam perayaan Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang dilakukan umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis sehingga ketenangan dan kedamaian hidup bisa terwujud. Mulai dari Melasti/mekiis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan Alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar dan ciptaan Tuhan yang lain yaitu para bhuta demi keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara diri sejati (Sang Atma) umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam diri manusia ada atman (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa). Dan Ngembak Geni dengan Dharma Shantinya merupakan dialog spiritual antara kita dengan sesama. Sehingga melalui Perayaan Nyepi, dalam hening sepi kita kembai ke jati diri (mulat sarira) dan menjaga keseimbangan/keharmonisan hubungan antara kita dengan Tuhan, Alam lingkungan (Butha) dan sesama sehingga Ketenangan dan Kedamaian hidup bisa terwujud.
Ada beberapa upacara yang diadakan sebelum dan sesudah Hari Raya Nyepi:
– Upacara Melasti
Selang waktu dua tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi, diadakan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis, dihari ini, seluruh perlengkapan persembahyang yang ada di Pura di arak ke tempat tempat yang mengalirkan dan mengandung air seperti laut, danau dan sungai, karena laut, danau dan sungai adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa membersihkan dan menyucikan dari segala kotoran yang ada di dalam diri manusia dan alam.
– Tawur Agung
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “tilem sasih kesanga” (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Butha Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Butha Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
– Puncak Acara Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan “Catur Brata” Penyepian yang terdiri dari
Amati Geni: Tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu.
Amati Karya: Tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani.
Amati Lelungan: Tidak berpergian melainkan mawas diri,sejenak merenung diri tentang segala sesuatu yang kita lakukan saat kemarin , hari ini dan akan datang.
Amati Lelanguan: Tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusat. Pikiran terhadap Sang Hyang Widhi Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabata” saat fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya, selama (24) jam.
Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi. Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru.
– Ngembak Geni (Ngembak Api)
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada “pinanggal ping kalih” (tanggal 2) sasih kedasa (bulan kesepuluh). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.
Menurut tradisi, pada hari Nyepi ini semua orang tinggal dirumah untuk melakukan puasa, meditas dan bersembahyang, serta menyimpulkan menilai kwalitas pribadi diri sendiri. Di hari ini pula umat Hindu khususnya mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendekatan rohani yang telah dicapai, dan sudahkah lebih mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.
Seluruh kegiatan upacara upacara tersebut di atas masih terus dilaksanakan, diadakan dan dilestarikan secara turun menurun di seluruh kabupaten kota Bali hingga saat ini dan menjadi salah satu daya tarik adat budaya yang tidak ternilai harganya baik di mata wisatawan domestik maupun manca negara.

DESKRIPSI OGOH – OGOH
STT Yowana Sawitra Banjar Abiantimbul tahun ini membuat ogoh – ogoh yang berjudul Sang Purusadha. Disini Sang Purusadha diceritakan akan menghaturkan 100 raja untuk dijadikan korban kepada Sang Hyang Kala agar Sang Purusadha bisa sehat kembali. Sang Purusadha mulai menangkap satu persatu para raja hingga berjumlah 99 orang, namun Sang Hyang Kala memerintahkan agar berjumlah 100 orang raja. Diperintahkanlah Sang Purusadha untuk mempersembahkan sang Sutasoma sebagai korbannya, dan Sang Purusadha pun menggempur sutasoma. Pada Saat pertempuran berlangsung, Sang Purusadha pun berubah menjadi raksasa yang sangat besar, memiliki kesaktian yang luar biasa, tangan lebih dari dua. Sutasoma pun tidak bisa dikalahkan karena memiliki ajaran budhapaksa atau tidak melawan sehingga seluruh senjata yang mengenai tubuh sutasoma berubah menjadi bunga. Pada akhirnya sang Purusadha tidak bisa menaklukan sang sutasoma. Karena merasa kasihan Sutasoma bersedia menyerahkan diri kepada Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Kala pun langsung berubah menjadi naga besar. Dengan cepat sang sutasoma pun di lahap oleh naga besar tersebut dan tiba – tiba setelah melahap, perut naga tersebut sakit dan tidak bisa menelan Sutasoma, dikarenakan kesaktian yang dimiliki sutasoma. Setelah kejadian tersebut dengan tenang dan bijaksana Sutasoma memberikan wejangan tentang pemahaman Siwa Budha atau Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua. Itulah sedikit gambaran tentang cerita sang purusadha yang ingin diungkapkan melalui karya seni ogoh – ogoh.
Pencetus awal ogoh – ogoh sang purusadha ini yaitu ketua STT nya sendiri yaitu I Gede Hardiyana Putra, SH , dan dibantu oleh beberapa pemuda – pemuda yang ada. Awal proses pembuatannya yaitu pada tanggal 16 januari 2018 dan berakhir pada tanggal 15 maret 2018 ( H-1 ). Proses pembuatannya pun banyak mengalami kendala, seperti pemuda yang tidak pernah membantu ke banjar, sampai kekurangan bahan atau kekurangan inspirasi. Kendala itupun berlanjut hingga akhirnya ogoh – ogoh selesai pada H-1 pengerupukan. Menurut sang penulis, kendala itu semakin besar dan berlanjut karena arsitek ogoh – ogoh tersebut tidaklah mahir dalam membuat karya seni berupa ogoh – ogoh dan akhirnya tidak sesuai dengan harapan.

BALEGANJUR YANG MENGIRINGI
Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti pasukan atau barisan, ganjur berarti berjalan. Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan, yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan. Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau pawai adat dan agama. Tapi dalam perkembangannya, sekarang peranan gamelan ini makin melebar. Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian, ikut dalam iringan pawai olahraga, mengiringi lomba layang – layang, mengiringi lomba ogoh – ogoh, dan ada juga yang dilombakan.
Disini, Baleganjur yang mengiringi ogoh – ogoh STT Yowana Sawitra Banjar Abiantimbul, terlihat sedikit berbeda. Mengapa berbeda? Karena iringan baleganjurnya tersebut menggunakan instrument trompong pada gamelan gong kebyar yang dijadikan peran reong dalam baleganjur ini. Mengapa menggunakan instrument trompong? Kebetulan penggarap dari gending baleganjur disini yaitu penulis sendiri. Penulis menggunakan instrument trompong, karena tema dari ogoh – ogoh kali ini yaitu Bhuta Kala. Menurut sang penulis, jika menggunakan instrument trompong sebagai peran reong, akan menimbulkan suara yang besar, dan sedikit seram. Dan itu sangat cocok untuk mengiringi ogoh – ogoh yang bertemakan Bhuta Kala yang notabene berkarakter seram.
Sang penulis sendiri disini memegang instrument kendang. Dipilihnya instrument kendang karena instrument kendang notabene selalu memegang peranan sangat penting dalam gamelan Baleganjur. Dan karena sang penulis sendiri pun yang membuat semua gendingnya.

 

Bagian awal gending baleganjur tersebut penulis mengisi dengan pola reong yang menggunakan instrument trompong, dan dilanjutkan dengan sedikit kebyar. Dan setelah itu dilanjutkan pola irama ceng ceng dan kendang yang bebas tanpa terpengaruh dengan temponya, tetapi sudah ditentukan berapa kali pengulangannya. Pada bagian ini, penari yang bertugas membawa kayon akan ditampilkan dengan irama yang sudah ditentukan. Setelah itu diisi kebyar untuk mencari penyalit yang berisi pola saut menyaut antara ceng ceng dan kendang. Setelah bagian penyalit, dilanjutkan dengan gending berjalan yang sudah ditentukan melodi, irama dan dinamikanya. Pada bagian ini, menonjolkan penari yang bertugas membawa obor. Setelah bagian ini, lanjut ke bagian penyalit yang diisi kebyar.
Bagian kedua, diisi dengan vokal yang mengikuti pola reong ( megending ) . Dan dilanjutkan dengan gending berikutnya yang menitikberatkan pola reong yang dibuat sedemikian rupa untuk mengiringi keluarnya para penari yang menceritakan Sang Purusadha itu sendiri. Setelah itu, dilanjutkan penyalit yang berisi sedikit kebyar untuk menuju bagian pengawak. Setelah bagian pengawak, yaitu bagian pengecet. Bagian pengecet disini terdapat beberapa pola yang berulang – ulang yang sudah ditentukan dan menuju bagian penyalit. Pada bagian penyalit disini sang penulis mengisi dengan gilak biasa supaya ada keterkaitannya dengan khas baleganjur itu sendiri. Dari tempo sedang menuju tempo cepat yang menandakan habisnya bagian pengecet.
Bagian ketiga yaitu bagian pesiat. Disini bagian pesiat, menceritakan Sang purusadha berperang dengan sang sutasoma. Penulis membuat bagian pesiat dengan gending baleganjur cepat alias menggambarkan terjadi peperangan. Yang diisi selingan pola pukulan tawa – tawa yang berirama 1 4 3 2 1 . Dan setelah itu menuju bagian gending yang dikhususkan untuk mengiringi ogoh – ogoh tersendiri.
Bagian terakhir ini gending baleganjurnya beraliran cepat atau biasa disebut Ngarap. Bagian ngarap ini memiliki 2 pola saja, karena keterbatasan waktu yang disediakan yaitu maksimal 8 menit tampil.

KESIMPULAN
Makna Nyepi itu sendiri adalah manusia diajarkan untuk mawas diri, merenung sejenak dengan apa yang telah kita perbuat. Dimasa lalu, saat ini dan merencanakan yang lebih baik dimasa yang akan datang dengan tidak lupa selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh sang Pencipta. Ada beberapa rangkaian upacara sebelum hari raya Nyepi itu sendiri, yaitu upacara melasti, tawur agung, hari raya nyepi itu sendiri dan yang terakhir ngembak geni. Sehari sebelum hari raya Nyepi tersebut selalu ditandai dengan adanya ogoh – ogoh.
Kali ini tema ogoh – ogoh yaitu Bhuta Kala, dan STT Yowana Sawitra Banjar Abiantimbul Desa Pemecutan Kelod membuat ogoh – ogoh yang berjudul Sang Purusadha. Menceritakan perang sang purusadha dengan sang sutasoma. Iringan baleganjur yang digunakan sedikit berbeda karena menggunakan instrument trompong sebagai peran reong. Penggarap dari baleganjur ini yaitu sang penulis sendiri. Penulis sendiri berperan penting dalam penggarapan gending baleganjur ini, maka dari itu penulis memegang instrument kendang yang notabene berperan sebagai komando dalam gending atau dalam barungan.

DAFTAR INFORMAN

Nama : I Gede Hardiyana Putra, SH
Tempat Tanggal Lahir : 02 Mei 1993
Umur : 25 Tahun
Jabatan : Ketua Sekaa Teruna Banjar Abiantimbul
Pendidikan Terakhir : S1 Ilmu Hukum Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Baleganjur
id.wikipedia.org/wiki/Nyepi

 

Video : YouTube Preview Image

Written by in: Tak Berkategori |

Tidak ada komentar

Comments are closed.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL


Powered by WordPress | Theme: Aeros 2.0 by TheBuckmaker.com