Berbicara tentang cikal bakal atau awal mula dari keberadaan gamelan, yang diperlukan oleh penulis disini adalah hasil wawancara dari masyarakat yang memang tahu tentang keberadaan gamelan yang dimaksud. Menurut hasil wawancara penulis dengan salah satu penglingsir (orang tua di Banjar Sumuh) yang bernama I Ketut Dudug, menyatakan bahwa :
“…Pada awalnya di wilayah Banjar Sumuh telah terdapat ada seperangkat Gamelan Gambuh sekitar tahun 1800. Pada tahun 1948 tepatnya saat saya berusia 8 tahun, saya telah melihat bahwa Gamelan Gambuh tersebut telah ada dan ditempatkan di Sanggah Gede yang bernama Sanggah Pererepan, yang letaknya sebelah barat Balai Banjar Sumuh. Secara garis besar Gamelan Gambuh tersebut merupakan warisan nenek moyang warga Banjar Sumuh. Yang saya tahu dahulu hanya ada empat buah suling bambu (sepanjang satu meter dan memakai enam lubang nada), satu buah rebab, satu buah kempur, dua buah kendang kekerumpungan (lanang dan wadon), satu buah bantang kendang kekerumpungan pelegongan (tetapi belum ditukub kulitnya), satu pangkon ricik (ceng-ceng kecil), satu buah kempli, dan satu buah klenang…” (I Ketut Dudug, 15 november 2016).
Musik pengiring dramatari gambuh disebut gamelan gambuh. Gamelan gambuh juga sebagai sumber dari musik Bali. Disamping tuning ayatem, reoertoire dari pegambuhan masih terdengar pada gamelan-gamelan lain seperti : Gamelan Semar Pagulingan, Gamelan Palegongan, Gamelan Bebarongan, Gamelan Pecalonarangan, Gamelan Pearjaan, Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar dan lain-lainnya. (Dibia,1997:20)
Pada tahun 1950 tepatnya I Ketut Dudug berusia 10 tahun, I Ketut Dudug ini diajak ikut megambel untuk pertama kalinya. Beliau pun sangat senang sehingga beliau merasa seperti ketagihan untuk memainkan gamelan tersebut. Diantara penabuh-penabuh yang lain beliau adalah anggota yang paling kecil dalam sekehe. Adapun nama-nama anggota sekehe yang bisa disebutkan antara lain :
Pada tahun 1950 tepatnya I Ketut Dudug berusia 10 tahun, I Ketut Dudug ini diajak ikut megambel untuk pertama kalinya. Beliau pun sangat senang sehingga beliau merasa seperti ketagihan untuk memainkan gamelan tersebut. Diantara penabuh-penabuh yang lain beliau adalah anggota yang paling kecil dalam sekehe. Adapun nama-nama anggota sekehe yang bisa disebutkan antara lain :
- Pekak Masna (Pemain Kedang),
- Pekak Gredag (Pemain Kendang),
- Pekak Runeh (Pemain Kendang),
- Pekak Rereg (Penabuh),
- Pekak Regig (Penabuh),
- Pekak Pugeg (Penabuh),
- Pekak Ranes (Penabuh),
- Pekak Jenek (Penabuh),
- Ketut Cawa (Penabuh),
- I Made Tugeh (Penabuh),
- I Ketut Dudug (Penabuh).
Dari tahun 1950 sekehe Gambuh ini tergolong aktif mulai dari latihan sampai dengan ngayah ke Pura-Pura. Pada tahun 1958 gamelan gambuh ini mengalami perubahan dikarenakan oleh keinginan sekehe. Perubahan yang dimaksud hanya terdapat penambahan instrumen gangsa pemade, kantil dan jegogan yang terbuat dari Drim (sejenis besi) yang dibeli dengan harga Rp.300,- (tiga ratus rupiah) yang dikumpulkan dari jerih payah anggota Sekaa.
Tidak berselang lama, pada tahun 1965 terjadi kekacauan yang disebabkan oleh G30S PKI dimana para seniman disebut-sebut sebagai bagian dari politik. Ketika itu pula Sekehe gambuh yang ada di Sanggah Gede Pererepan ini di bubarkan dan alat-alat instrumennya dibawa satu persatu oleh anggota sekehe secara acak. Sehingga pada saat ini tersisa dua kendang kerumpung yang tersimpan di rumah Pekak Runeh (alm) dengan keadaan rusak (bolong) dan sisanya tidak diketahui keberadaannya. Dua kendang kerumpung itu pun sekarang kembali di tukub kulitnya dan disimpan sebagai peninggalan yang bersejarah di Banjar Sumuh.
Setelah sekian lama fakum dari keberadaan gamelan, pada tahun 1993 tepatnya menjelang perayaaan Tawur Kesanga (bulan kesembilan) para pemuda dan pemudi atau yang sering disebut STT di Banjar Sumuh membuat suatu karya seni anyaman yang biasanya disebut dengan Ogoh-ogoh. Perayaan Tawur Kesanga tetap dilaksanakan tanpa iringan gamelan baleganjur. Pada saat itu pula salah satu pemuda merasa perayaan Tawur Kesanga dibanjar Sumuh sangat sepi dan tidak meriah, jadi pemuda yang merupakan anak dermawan dan terbilang cukup mampu itu melapor pada ayahnya yang bernama Anak Agung Lanang Pustaka agar segan untuk menyumbangkan Gamelan baleganjur walaupun tidak lengkap. Sang ayah menyetujui permintaan tersebut dan dipesankanlah seperangkat alat gamelan baleganjur. Namun sayang sekali berselang tiga bulan sang anak jatuh sakit dan meninggal dunia. Walau dalam keadaan duka, tidaklah mengurangi niat Anak Agung Lanang Pustaka untuk menyumbangkan seperangkat Gamelan Beleganjur kepada STT. Beliau menganggap bahwa sumbangan tersebut adalah permintaan terakhir dari putranya. Dan pada perayaan Tawur Kesanga tahun 1994 Banjar sumuh kembali mempunyai Gamelan baleganjur. Adapun instrumen baleganjur yang di sumbangkan adalah 2 pasang kendang cedugan, 2 buah gong (lanang wadon), 1 buah kempur , 1 bebende, 6 cakep ceng-ceng kopyak, 4 buah reong dan 2 ponggang. Ketika itu Banjar Sumuh belum mempunyai balai gong, sehingga gamelan baleganjur ini diletakan di Pura Penataran Sumuh. Dan pada saat odalan di Pura, gamelan ini juga di mainkan sebagai pengeramek (pemeriah). Ketika itu I Ketut Dudug menjadi pelatih, meski tidak terlalu mahir, tetapi beliau senang melihat antusias pemuda untuk megambel.
Berdasarkan penuturan dari I Wayan Sudarma (pengempon Pura Penataran Sumuh) setalah selesai odalan di Pura, beliau melihat antusias pemuda untuk megambel sampai bergilir-giliran karena terbatasnya instrumen yang ada. Melihat hal tersebut lalu terpintaslah dipikiran beliau untuk menambahkan instrumen gangsa dan ugal, dan tiga bulan kemudian di belilah 4 tungguh gangsa dan 1 tungguh ugal. Lalu Anak Agung Jagat Kirana atas niat pribadi kembali menyumbangkan sebuah reong barangan dan 3 cakep ceng-ceng kopyak dan 1 buah ceng-ceng ricik. Pada tahun1995 sumbangan tulus iklas datang lagi dari pihak pengempon Pura Dalem Pesaji. Sumbangan tersebut berupa 1 buah trompong.
Melihat keikhlasan yang dilakukan beberapa warga tersebut, akhirnya pihak Banjar (Klian, Prajuru dan anggotanya) mengadakan kegiatan memungut sumbangan suka rela untuk tujuan melengkapi alat Gamelan yang kurang. Kegiatan ini membuahkan hasil yang cukup dan terkumpul uang yang dipergunakan untuk membeli 2 (dua) tungguh Jublag dan 4 (empat) tungguh Kantil. Hal tersebut terus berlanjut hingga tanggal 22 Oktober 2009, seluruh Pelawah Gamelan diukir di Desa Blahbatuh dan dibelikan Ugal Pengisep serta Instrumen Penyacah.