Latar belakang
Mahābhārata, merupakan kisah epik besar yang menceritakan tentang kehidupan keluarga Dinasti Kuru sebagai kisah sentral. Salah satu bagian yang terkenal dalam kisah tersebut adalah perang di Kurukshetra. Kurukshetra berarti “daratan Kuru”, disebut juga Dharamkshetra yang berarti “daratan keadilan”. Lokasi tersebut dipilih sebab daratan tersebut merupakan tanah yang sangat suci. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terma’afkan berkat kesuciannya
Kisah perebutan kekuasaan terjadi antara keturunan Pandu dengan keturunan Dretarastra. Pandu dan Dretarastra bersaudara tiri, lain ibu namun satu ayah. Dretarastra buta sejak lahir, maka pemerintahan diserahkan oleh ayahnya kepada adik tirinya, Pandu. Setelah Pandu meninggal, Dretarastra menggantikan posisi Pandu sebagai kepala pemerintahan di Hastinapura. Ia sebenarnya bukan seorang Raja sejati, hanya pejabat pemerintahan sementara waktu.
Pandu memiliki lima putera yang disebut Pandawa, sedangkan Dretarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandawa dan Korawa tinggal di istana yang sama dan dididik oleh guru yang sama, Dronacharya. Korawa bersifat licik, khususnya Duryodana, kakak sulung para Korawa. Mereka ingin mewarisi tahta Dinasti Kuru, namun Pandawa adalah penerus kerajaan yang sebenarnya. Selama Pandawa masih ada, Korawa tidak memiliki peluang untuk mewarisi tahta. Maka berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan para Pandawa. Namun para Pandawa selalu selamat meskipun nyawa mereka berkali-kali terancam. Hal itu berkat perlindungan yang seksama dari pamannya, Widura, dan Sri Kresna, sepupunya.
Setelah gagal dengan berbagai usaha, kemudian Korawa mengajak Pandawa main dadu, dengan syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Tapi permainan dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan.
Setelah masa pengasingan berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka mereka memintalima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Alat yang digunakan dalam peperanagan
Gong beri digunakan dalam peperangan. Kata beri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang.
Trompet adalah alat musik tiup logam. Terletak pada jajaran tertinggi di antara tuba, eufonium, trombon, sousafon, French horn, dan Bariton.
Di dalam sloka tersebut terompet hanya di pergunakan pada saat,datang nya sang Raja,pada saat pertemuan,dan pada saat mengawali peperangan.
Berlainan dengan filsafat seni di india, maka pemikiran estetik di Tiongkok tidak di arahkan kepada drama dan psikologi,melainkan kepada seni lukis, seni musik dan moral. Pemikiran estetik di india konsep rasa merupakan kata kunci, maka di tiongkok pengertian tao-lah yang melandasi segala refleksi tentang seni dan moral. Secara harafiah tao berarti jalan atau marga. Kata Kong Hu Cu (juga dalam tradisi humanistik klasik di barat, mengajarkan kepada seorang muda untuk menghargai barang – barang indah dengan sendirinya memperkuat kesadaran moralnya, dan sebaliknya). Tao adalah prinsip mutlak, dasar purba segala sesuatu, yang memberi eksistensi, bentuk dan gerak kepada segala sesuatu yang ada, yang menciptakan keselarasan di tengah – tengah kekacauan. Maka dari itu tugas seorang seniman ialah menangkap tao atau roh yang tersembunyi di dalam segala sesuatu yang ada dan menampilkannya lewat karya seninya. Sebelum memainkan salah satu barang – barang, seseorang seniman harus di sucikan terlebih dahulu agar kita bisa menyentuh serta menangkap roh yang tersembunyi di dalam barang – barang tersebut lewat kontemplasi. Supaya kontemplasi itu dapat di lakukandengan baik, maka jiwa sang seniman harus di jernihkan, dijadikan seimbang dan selaras dengan hukum segala hukum, dengan dasar keselarasan semesta.
Jika seni rupa di India dan Indonesia sama – sama memperlihatkan meluapnya gairah ke hidupan. Setiap seorang pelukis selalu mengingatkan bahwa menurut kepercyaan hindu dunia dan segala manifestasi kehidupan di akibatkan oleh bhatara siwa yang sedang menari penuh gairah hidup dan rasa bahagia. Tak ada satu bidang yang kosong, semuanya terisi dengan makhluk – makhluk, warna – warni. Lain sama sekali pandangan dasar dalam seni rupa di tiongkok. Sang pelukis manunggal dengan barang – barang, tidak di hanyutkan olehnya, melainkan untuk merampas ch’i-nya, roh yang memberi kehidupan. Ia mengesampingkan keramain dalam bentuk dan warna yang memabokkan, agar makna spiritual lebih dapat di tonjolkan, keserasian dengan jiwa manusia. Lain lagi dengan seni rupa di cina yang mementingkan ruang – ruang kosong dan waktu – waktu sunyi sebab kekosongan dan kesunyian menurut mereka mengisyaratkan dimensi spiritual di dalam alam semesta dan mengajak manusia untuk berkontemplasi.
kanon atau kaidah pokok yang disusun oleh Hsieh Ho, menurut kaidah ketiga pelukis hendaknya setia kepada obyeknya sambil melukiskan bentuk – bentuknya. Dalam kaidah ke empat ditandaskan lagi keselarasan dalam mempergunakan warna – warni. Kaidah kelima mendesak seorang seniman untuk mengadakan perencanaan dahulu dalam menempatkan unsur – unsur karyanya.
Rebab merupakan salah satu nama tungguhan atau instrumen gesek yang di gunakan dalam jenis – jenis barungan gambelan yang terdapat di daerah – daerah tertentu seperti daerah Bali, jawa timur, jaw tengah, jawa barat, sumatera dan lain – lainnya.
Di jawa barat terdapat dua bentuk instrumen gesek, yaitu rebab dan tarawangsa. Dari kedua instrumen tersebut, instrumen tarawangsa lebih besar dari pada instrumen rebab. Selain ukuran yang berbeda warna suara juga berbeda karena menggunakan membran yang bahannya berbeda Di jawa barat terdapat dua bentuk instrumen gesek, yaitu rebab dan tarawangsa. Dari kedua instrumen tersebut, instrumen tarawangsa lebih besar dari pada instrumen rebab.penggesek rabab terbuat dari rotan dan sebagai geseknya menggunakan bulu ekor kuda(bubat).
Rabab pesisir berkembang di minangkabau , di daerah pesisir selatan( painan) yang menggunakan 4(empat) senar (2 helai terbuat dari benang dan 2 helai menggunakan senar biola). Ada juga yang menggunakan 1 helai dari benang dan 3 senar biola. dilihat dari bentuk dan segi ke tiganya mempunyai ke samaan terutama menggunakan sejenis senar atau kawat,terdapat bagian menyetel kawat untuk menimbulkan nada, dan menggunakan resonator. Dari segi bentuk terdapat kemiripan kecuali jenis rabab kabupaten pesisir selatan sumatera barat seperti biola. Sedangkan perbedaannya terletak pada ukuran, penggunaan nada, garap, gesekan, dan penggunaan jumlah kawat.
sedangkan ke beradaan rebab di Bali dapat dikatakan masih asing karena sedikitnya barungan gamelan yang menggunakan maupun jumlah penyajinya yang relatif sedikit di bandingkan dengan jenis tungguhan lainnya seperti tungguhan kendang, pemade, kantil, kempul, kajar, ceng – ceng, gong dan lain – lainya. Gambelan yang menggunakan tungguhan rebab di Bali adalah gong kebyar, gong suling, semar pegulingan saih lima, semar pegulingan saih pitu, pengarjaan dan pegambuhan. Tungguhan rebab dalam jenis – jenis barungan gamelan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda – beda terutama dari segi musikal. Tungguhan rebab merupakan salah satu tungguhan yang menggarap atau menyajikan melodi atau gending pada seluruh sajian gending / repetoar. Peranan rebab tidak seperti barungan gamelan pegambuhan, yaitu lebih menekankan pada pemantapan hasil sajian suatu gending atau sering juga disebut oleh masyarakat luas adalah untuk memaniskan sajian gending. Meskipun peranan tungguhan rebab dalam jenis – jenis barungan gamelan tersebut hanya terbatas untuk memaniskan sajian gending tapi dapat menentukan kualitas sajian gending secara menyeluruh.
Kang Ching Wie adalah sebuah cerita rakyat bali kuno yang berdasarkan dari kisah nyata. Pada jaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama kerajaan panoradon dengan pemimpinnya yang bernama Raja Jaya Pangus. Pada saat itu sang Raja Jaya Pangus ingin berpergian ke pesisi pantai bali utara yang tepatnya di pantai Kakisik Minasa. Disana sang Raja Jaya Pangus melihat kapal yang dari cina bersandar disana, yang dimana di kapal itu juga terdapat seorang putri cina yang bernama Diah Kang Ching Wie. Setelah sekian lama sang raja Jaya Pangus pun ingin meminang sang putri cina yang bernama Diah Kang Ching Wie ini sebagai permaisurinya, namun seorang pendeta yang bernama Ida Sang Begawan Siwa Gama tidak menyetujui hubungan ini karena perbedaan agama yakni Sang Raja Jaya Pangus yang dari bari menganut Hindu Siwa dan Sang Putri Diah Kang Ching Wie yang dari cina menganut Agama Budha. Namun saat itu Sang Raja Jaya Pangus malah membangkang dan tidak menghiraukan kata-kata Sang Pendeta Ida Sang Begawan Siwa Gama.
Singkat cerita sampailah pada saat upacara perkawinan anatara Sang Raja Jaya Pangus dengan Sang Ratu Diah Kang Ching Wie, pada saat juga tiba-tiba terjadilah bencana angin puting beliung, banjir bandang, yang mengakibatkan kehancuran di kerajaan panoradon. Setelah itu mengungsilah Sang Raja Jaya Pangus beserta rakyatnya ke gunung, tepatnya sebelah timur Desa Penulisan dan mendirikan kerajaan yang bernama Kerajaan Balingkang berasal dari kata Bali dan Kang, Bali yang diambil dari kata Bali yakni pulau tempat asal Sang Raja Jaya Pangus dan Kang diambil dari nama Sang Putri Cina yakni Diah Kang Ching Wie.
Dalam kerajaan ini terdapat modifikasi dan alkulturasi budaya, budaya Cina yang masuk dan mempengaruhi kebudayaan di Bali seperti Pis Bolong. Di bali Pis Bolong atau uang kepeng adalah lambang dari Panca Datu, yang pungsinya untuk melengkapi sarana upacara Yadnya di Bali. Seperti Panca Yadnya yaitu : (1) Dewa Yadnya. (2) Manusa Yadnya. (3) Pitra Yadnya. (4) Rsi Yadnya. (5) Buta Yadnya.
Setelah sekian lama hubungan Sang Jaya Pangus dengan Diah Kang Ching wie namun tidak juga dikaruniai seorang anak, dan akhirnya Sang Jaya Pangus memutuskan untuk pergi ke lembah Gunung Batur yakni di Danau Batur untuk melaksanakan tapa semadi, namun sesampainya di Danau Batur Sang Jaya Pangus malah bertemu dengan gadis cantik nan jelita yang benama Dewi Danu. Sang Jaya Pangus langsung jatuh cinta kepada Dewi karena kecantikannya, dan begitupun dengan Dewi Danu, namun Sang Jaya Pangus mengaku masih bujang pada Dewi Danu agar Dewi Danu mau menjadi istri Sang Jaya Pangus. Singkat cerita satu setengah tahunpun berlalu.
Di kerajaan Balingkang Sang Diah Kang Ching Wie menunggu kepulangan Sang Jaya Pangus dengan cemasnya karena kepergiannya yang lama. Begitu cemasnya Diah Kang Ching Wie sehingga membuat Diah Kang Ching Wie ingin menyusul Sang Jaya Pangus ke tempatnya bertapa semadi. Sesampainya Sang Kang Ching Wie di tempat Jaya Pangus bertapa semadi yakni di Danau Batur Sang Kang Ching Wie malah melihat Sang Jaya Pangus bercumbu dengan Dewi Danu dan mempergokinya, dan terjadilah saling caci maki antara Sang Diah Kang Ching Wie dengan Dewi Danu dan terjadilah pertempuran antara mereka. Tidak berselang lama akhirnya Dewi Danu mengakui dirinya sebagai Sang Hyang Betari Batur Ratu Sang penguasa Danu Batur, dan setelah itu dikutuklah Sang Jaya Pangus dan Diah Kang Ching Wie mejadi sebuah batu, namun Sang Jaya Pangus memohong agar dirinya dan Diah Kang Ching Wie dikutuk menjadi Arca Lingga agar menjadikan Bali yang Bali Dwipa.
Maka dikutuklah Sang Jaya Pangus dan Diah Kang Ching Wie menjadi Barong Landung, Sang Jaya Pangus menjadi Barong Landung Lanang yang disebut Jero Wayan, Diah Kang Ching Wie menjadi Barong Landung Istri yang disebut Jantuk.
Demikaianlah penggalan secara singkat cerita rakyat Bali kuno yang mengisahkan cerita Kang Ching Wie atau asal mula Barong Landung.
Pementasan Sendratari Kang Ching Wie.
Pementasan Sendratari Kang ching Wie dilaksakan pada tanggal 22 Desember 2011 bertempat di Bale Banjar Kedempal Abiansemal Dauh Yeh Cani dalam rangka ulang tahun sekaa truna truni Wira Karya Banjar Kedempal Abiansemal Dauh Yeh Cani dan peringatan Hari Ibu. Banjar Kedampal memiliki empat Tempekan yakni : (1) Tempekan Susuk. (2) Tempekan Labah. (3) Tempekan Tengah. (4) Tempekan Likawa.
Masing – masing Tempekan ini diwajibkan membuat satu kreatipitas untuk memeriahkan ulang tahun Sekaa Truna Truni Wira Karya dan peringatan Hari Ibu, maka Tempekan Likawa membuat suatu garapan Sendratari yang berjudul Kang Ching Wie (Kawit Barong Landung).
Aspek – aspek yang mendukung dalam sendratari kang ching wie.
Gambelan yang digunakan dalam pementasan Sendratari Kang Ching Wie adalah Gambelan Gong Kebyar berikut bagian – bagian instrumen yang digunakan :
v 1 buah kendang wadon.
v 1 buah kendang krumpungan.
v 3 buah pemade.
v 3 buah kantilan.
v 1 buah kecek.
v 1 buah kajar.
v 1 buah tawa – tawa.
v 2 buah jublag.
v 2 buah jegog.
v 1 buah klenang.
v 1 buah gong.
v 1 buah kempur.
v 1 buah klentong.
v 6 pasang ceng – ceng kopyak.
Sendratari Kang Ching Wie (Kawit Barong Landung) adalah sebuah cerita rakyat Bali kuno yang berdasarkan dari kisah nyata yang diwujudkan kedalam Sendratari.
KRITIK dan SARAN
Kritik
Dari penampilan pementasan sendratari ini sudah cukup baik, namun dari penempilan ekpresinya masih belum bagus, gerakannya kurang, dan penjiwaan dari karakter belum baik. Tapi dari keseruruhan penampilan sudah cukup menghibur.
Saran
Penulis mengharapkan untuk memajukan seni khususnya seni sendratari agar dimasa mendatang kesenian ini tidak hilang. Dan diharapkan kesenian ini terus dipertujukan.
FROFIL SENIMAN KARAWITAN I WAYAN KASTAWA
Di Bali terdapat beberapa aspek pokok yang sangat berkaitan erat dan sangat mendarah daging dengan masyarakat BALI, yaitu Seni, Budaya dan Agama. Perkembangan Seni pada kehidupan masyarakat BALI merupakan sesuatu yang lahir dari interaksi masyarakat itu sendiri. Hasil Kebudayaan dituangkan baik melalui aktifitas Seni Tari, Karawitan, maupun Seni-seni yang lain, yang dimana semua itu merupakan suatu aspek dari kehidupan beragama masyarakat BALI
Melihat itu, I WAYAN KASTAWA sebagai seniman Karawitan yang lahir pada tanggal 23 November 1961, yang bertempat tinggal di Banjar Kedampal, Desa Abiansemal, Badung. Pak Yan Kasta, begitu sapaan yang sering terdengar dari para teman – teman senimannya. Peranannya sebagai seniman, tidak lepas untuk selalu menyiapkan tenaga untuk ngayah – ngayah di pura – pura sebagai penabuh, dan juga sebagai Pengurus Sekaa Tabuh di Banjar Kedampal Abiansemal yang bernama Sekaa Gong Catur Mandala. Selain itu juga Pak Yan Kasta, juga mengajar nabuh di rumahnya maupun di rumah yang mau belajar. Semua itu di lakukan demi ajegnya Budaya BALI. karena hanya dengan melakukan tindakan nyata serta pengabdian yang tulus iklas dan dengan di dasari oleh Seni, Budaya, Agama, dan Pariwisata, BALI akan dapat terus berkembang.
Terlahir dari keluarga yang amat sederhana, yang Pak Yan Kasta, sering di panggil tidak berdiam saja dalam kecintaan saya dengan Seni Budaya BALI baik di tingkat lingkungan tempat tinggal, sampai Nasional. Adapun yang sudah saya lakukan yakni mewakili bali dalam Festifal Seni dan Budaya yang diadakan di Taman Mini Indonesia Indah .
Memang semua itu didasari dengan kecintaan saya terhadap kesenian BALI, dan dengan penuh rasa pengabdian dan tanggung jawab terhadap kelangsungan dan ajegnya Seni Budaya BALI dan perkembangan Pariwisata. Itu semua bisa dilihat dari aktifitas berkesenian saya secara nyata di lingkungan Desa tempat tinggal saya.
Tutur’ Pak Kastawa……………