
Kemunculan Gong Gede Saih Pitu ini disebut-sebut dimulai pada tahun 1995 yang diawali dengan permintaaan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung yang ingin membuat suatu fragmen tari dengan menggunakan iringan barungan gamelan Gong Gede, namun gending-gending (melodi) yang ingin digunakan agar dapat memperkaya permainan patet-patet laras pelog saih pitu pada gamelan tersebut. Darisanalah muncul ide dari alm. I Wayan Beratha untuk merancang suatu barungan gamelan baru agar dapat memenuhi permintaan Pemda Kabupaten Badung. Beliau memadukan laras pada Gong Gede yang awalnya hanya menggunakan pelog saih lima menjadi Gong Gede dengan laras pelog saih pitu (7 nada pelog). Sehingga muncul sebuah barungan gamelan baru yang dinamakan Gong Gede Saih Pitu.
Namun Gong Gede Saih Pitu milik Pemda Kabupaten Badung ini tidak berusia panjang. Pada tahun 1998 barungan gamelan ini ikut terbakar dengan gedung-gedung Pemda Badung karena kerusuhan atas kekalahan Megawati Soekarnoputri pada Abdurrachman Wahid (Gus Dur) pasca Pemilihan Umum Presiden Indonesia pada tahun tersebut. Untuk mempertahankan keadaan gamelan Gong Gede Saih Pitu ini, ISI Denpasar kembali memunculkan gamelan Gong Gede Saih Pitu ini pada tahun 2005. Gamelan ini semula digunakan sebagai pengiring Sendratari kolosal kini sudah berkembang di masyarakat untuk mengiringi upacara keagamaan di Bali. Sesuai dengan namanya yakni Gong Gede Saih Pitu, sistem laras yang digunakan pada barungan gamelan ini yakni menggunakan laras pelog saih 7 (pelog 7 nada) yakni terdiri dari nada nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung, ndang dan ndaing. Dan pada setiap instrumen yang berbilah hanya menggunakan 1 oktaf nada, sedangkan pada instrumen yang berpencon menggunakan 2 oktaf nada.
