Seni

Pengertian Seni di Bali

IMG_20140709_141554Pengertian dan asal-asal seni sudah terurai secara menditail di atas dengan menghaturkan berbagai macam pendapat para sarjana yang menekuni keilmuan dalam bidang seni atau estetika yang jangkauannya tidak keilmuan pada suatu daerah tertentu saja,akan tetapi berlaku secara mendunia dan universal. Bahasanya menjangkau termasuk wilayah Bali yang sudah terkenal tentang seninya. Dalam hal membicarakan masalah pengertian seni para pakar ilmuan seni dari barat sebagai tersebut di atas, terutama yang mengarah pada pengertian yang rasional dan modern. Jika dissimak Bali yang sudah sangat termasyur ke seantero dunia dan banyak jumlah senimannya yang selalu dipaka acuan dalam membahas masalah seni atau keindahan. Walaupun ada, hanya sebatas pengertian yang belum dibarengi dengan usulan-usulan yang sistematis. Sehingga dalam hal ini para seniman harus lebih kreatif dalam meneliti guna menelorkan sebuah usulan yang mendekati kebenaran. Terutama apa yang mampu dikomparasikan dari bermacam-macam sebutan yang diberikan kepada para seniman di dalam masyarakat di Bali, hanya sebagai penghargaannya terhadap diri seniman sebatas sebutan sebagai akhli (profesi) saja. Dalam hal ini untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan beberapa pendapatn para sastrawan zaman silam yang tersohor, atau pendapat para seniman dan berdasarkan sumber sastra agama Hindu yang melatar belakangi kesenian Bali pada umumnya.
Pada intinya masyarakat Bali sampai saat ini belum mempunyai istilah tentang seni atau kegiatan yang berkaitan dengan olah rasa ini. Walaupun beberapa pengamat, pelaku, dan penikmat seni sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencarikan istilah yang identik dengan kegiatan berkesenian, sehingga dapat ditelorkan sebuah definisi tanpa menjamin kepada para peneliti luar Bali. Tentang kegiatan bekesenian orang /masyarakat Bali tidak perlu diragukan lagi kemampuannya, akan tetapi dikala menteorikan keterampila mereka sangat sulit. Hal ini ini disebabkan oleh pemahaman yang kental terhadap nilai-nilai filsafatnya yang telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ada anggapan bahwa berbuat lebih bak daripada berteori. Dalam kehidupan masyarakat Bali sangat tidak disukainya apabila seseorang suka berteori (tanpa kerja) saja dan menomorduakan sebuah perjuangan/kerja. Ungkapan tersebut diatas sangat beralasan karena didasari oleh wejangan dilsafat yang terurai dalam Bab III, ayat 8 pada kitab Bhagawad Gita dengan bunyi syairnya sebagai berikut :

Niyatam kuru karma tvam
Karma jyayo hyakarmanah,
Sarira-yatrapi ca ten a
Prasidhyed akarmanah.

Artinya :
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bukan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya, (Puji, 1999 : 83).
Untatian syair kitab Bhagawad Gita tersebut diatas, sangat kuat mengilhami umat Hindu di Bali khususnya para seniman yang tak henti-hentinya bergulat dengan permasalahan nilai-nilai filsafat. Luluhnya para seniman dengan pola kehidupan berfilsafat ini menyebabkan mereka selalu mengukur sikapnya dengan ajaran agama yang sangat dalam. Sehingga pola keseharian para seniman Bali (masyarakat Bali) sangat menjunjung motto/ungkapan filsafat yang berbunyi, yaitu : “Rame ing gawe sepi ing pamrih” yang artinya : bekerja penuh dengan pengorbanan. Terngiang akan kesadaran makna filsafat tersebutlah menyebabkan umat Hindu di Bali dalam berkarya tidak mau berbuat atau berkarya dengan menyebutkan namanya. Semua yang mereka lakukan bukan berarti tanpa tanggung jawab, akan tetapi penuh dengan tanggung jawab yang dalam, karena karyanya tersebut bingkai oleh nilai-nilai keagamaan. Sehingga hal tersebut justru lebih bertanggung jawab umatnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi dengan demikian berkarya adalah sebuah mediapersembahan/pemujaan pada Tuhan serta bukan untuk kepentingan pribadi (subjektif) layaknya seperti sniman di Zaman modern ini, yang penuh dengan target-target kepentingan pribadi saja. Semua kegiatan khususnya dalam kegiatan berkesenian, sangat sulit ditemukan istilah kata yang tepat untuk mewakili bahasa senini di Bali. Sehingga dikala akan membahas pengertian seni, sangatlah sulit, karena para seniman dimasa lalu dan masa kini masih mensitir istilah seni dari ungkapan para seniman sastra dimasa lampau. Dengan member sebutan para seniman yang akhli dalam suatu bidang seni tertentu, semuanya bukan memberi pengertian pada kata seni. Oleh kerena permasalahannya sangat rumit, dalam hal ini maka penulis seni dan selanjutnya akan merumuskan dalam sebuah definisi seni khususnya di Bali. Sehingga dalam membahas masalah kesenian kita mempunyai suatu acuan dalam berfikir untuk menemukan kesenian kita mempunyai suatu acuan dalam berfikir untuk menemukan sebuah definisi seni.
Dalam buku yang berjudul “Estetika Hindu dan Pembangunan Bali” yang disunting oleh Prof. Dr. Ida Bagus Gede Yudha Triguna M. S. bahwa seni berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Sani yang dengan hormat dan jujur. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa seni berasal dari bahasa Belanda gine atau jenius, (triguna, 2003 : xiiv-xv).
Dalam tulisan yang berjudul “Siva Nataraja : Simbol, Filsafat, dan Gignifikansinya dalam Kesenian Bali” oleh Drs. Ida Bagus Putu Suamba, M.A, mengatakan bahwa setiap kesenian yang dipentaskan dilandasi oleh filsafat agama Hindu yang tinggi. Para penari (pragina) dalam semangat ngayah mempersembahkan kesenian di jalan kesenian. Mereka mempersembahkan seni itu kehadapan Tuhan sebagai persembahan (yajna). Serta ingin dan rindu untuk bertemu/bersatu dengan Dewanya seni yaitu Siva Nataraja yang agung, (Suamba, 2003 : 3).
Dalam tulisan yang berjudul “Memahami Konsep Estetika para Kawi” dikarang oleh Drs. Ida Bagus Gede Agastya, dikatakan bahwa untuk memahami arti seni atau estetika masih memerlukan ketelitian dalam mensitir ungkapan rasa kagum, atau terpesona para kawi sastra yang terungkap dalam karya sastranya, seperti kata ‘lango” dalam bahasa kawi, mempunyai makna yang khas dan sukar diterjemahkan dalam bahasa lain. Akan tetapi yang ingin digunakan oleh kata itu mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan “rasa terpesona”. Pengalaman ini menyebabkan seolah-olah tak sadarkan diri, subjek tertelan atau terlarut dalam objek, daya tarik boljek itu demikian kuat sehinga segala yang lenyap terhadap objek itu sendiri menjadi kabur, pengalaman tentang kemanunggalan menyamarkan perbedaan antara subjek dengan objek dan kesadaran diripun menjadi lenyap, kata “lango” berarti baik terpesona maupun mempesonakan dan dapat dipakai, baik mengenai suatu oemandangan yang indah maupun mengenai orang yang terkesan oleh keindahannya. Secara objektif kata “lango” berarti sifat yang menyebabkan objek itu menghijmbau pada perasaan estetis. Ini tidak disebabkan oleh keadaan yang terang benderang akan tetapi karena suatu kehidupan atau kecantikan masih bersifat samar (tidak terlihat sepenuhnya) sehingga hal itu menyebabkan seorang seniman yang tak tertahankan ingin bertemu dengan sang keindahan. Jadi, kata”lango” dimaksudkan adalah sifat yang terdapat pada objek maupun menghanyutkan. Dalam subjek dan objek terdapat unsur yang sama. Kata-kata yang sering diungkapkan oleh para kawi sastra ketika mereka merasa terpesona pada sebuah keindahan, yaitu seperti : lango, lengeng ,lengleng,. Semua kata-kata tersebut merupakan perwakilan dari rasa perpesona aau terkagumnya seorang penyair pada sebuah objek keindahan yang dilihatnya (Agastia, 2003 : 32-34).
Utnuk melengkapi pendapat tersebut di atas, di bawah akan diuraukan sejauh mana pengertian seni pada masyarakat Bali dimasa lampau dan kini, seperti terungkap dalam prasasti Bebetin, berbunyi sebagai berikut :

Pande Mas, Pande Besi, Pande Tembaga, Pmukul, Pagending, Pabunjng, Papadaha, Perbangsi, Pertapukan, Perbwayang.

Artinya :

Jujur tabuh, jujur suling, topeng, juru banyol, badut, tontonan, pertunjukan wayang (Yudabakti, 2004 : 158).

Sesuai dengan pendapat para penulis dan beberapa tulisan yang menyangkut dengan masalah seni tersebut di atas, satupun tidak ada yang menyebutnya dengan kata seni, definisi seni, akan tetapin semua isi tulisan/ungkapannya masih berkisar pada perasaan terpesona dari si pengawi/penulis terhadap objek seni. Demikian pula terhadap kegiatan bekesenian pada masyarakat Bali tidak ada yang menyebutnya tentang definisi seni, akan tetapi kegiatan seni hanya sebatas sebagai profesi seni saja. Sebagai tersebut dalam prasasti di atas, seperti dalam kata amukul (juru/tukang tabuh), anuling (juru/tukang suling) dan lainnya sebagainya. Semua kata tersebut bukan menyebutkan atau memberikan arti tentang kata seni, akan tetai hanya sebatas sebagai juru/tukang atau pelayan. Kenyataan tersebut sampai sekarang pada masyarakat Bali profesi seni masih diidentikan dengan profesi tukang tau juru, sama hal dengan profesi sebagai tukang bangunan, juru bayar, tukang sepeda, dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut bukan berarti menyepelekan profesi seni, justru profesi seni sekarang di Bali masih mendapat tempat yang sangat khusus, terbukti para tukang kayu diberi nama “undagi” tukang senjata/alat-alat tajam disebut “pande besi”, tukang mas disebut dengan “pande / tukang mas. Demikian pula dengan profesi sebagai seniman, semuanya diberi sebutan hamper sama dengan profesi tukang atau juru yang artinya orang akhli dalam bidang seni tertentu. Seperti tukang/juru igel (tari), tabh (kekawitan), tembang (vocal), dalang, topeng, dan lain sebagainya diberi sebutan”pragina” (akhli seni tertentu). Jadi, pada intinya di Bali istilah kata seni sama sekali tidak ada, seperti pada masyarakat intelek di barat. Hal tersebut agar beralasan, karena bagi orang Bali berkesenian merupakan media persembahan kepada Tuhan. Sehingga segala persembahan atau yajna. Pada dasarnya berkesenian merupakan misi memasyarakatkan ajaran Ke Tuhanan atau Weda. Oleh karenanya profesi mereka sangat mulya dan terhormat, karena pada saat0saat penyelenggaraan upacara/yajna para seniman Bali diundang untuk pentas dalam kaitannya dengan prosesi yajna. Penghormatan mereka disajikan dalam bentuk upakara/banten dan materi (uang) sesuai dengan kedudukannya atau berat ringan, besar kecilnya suatu upacara yang diselenggarakan di masyarakat. Kesimpulannya pengertian seni pada masyarakat Bali adalah sebuah profesi pendukung rentetan yajna dalam arti seni sebagai kegiatan mementaskan (nyolahang) nilai-nilai sastra agama Hindu.
A. Seni Sebagai Simbol Kebenaran, Kesucian dan Keindahan

Sebagai disebutkan oleh seserang tokoh seni yang berwawasan sepritual yaitu Drs. Ida Wayan Oka Granoka, bahwa agama adalah seni dan seni adalah agama. Seni dan agama indentik. Kreativitas kesenian adalah nyolahang sastra, (Suamba, 2003 : 3).
Ungkapan tersebut di atas mengisyaratkan pada kita bahwa betapa dalam kemanunggalan antara seni dan agama di Bali. Sehingga jikalau tidak didalami secara sungguh-sungguh maka sangat sulit dibedakan mana seni dan mana agama. Karena setiap penyelenggaraan yajna pasti ada kesenian dan setiap pertunjukan kesenian pasti mengandung atau memuat ajaran-ajaran agama. Inilah inti kemanunggalannya yang harus dipahami secara mendalam. Istilah nyolahang sastra sangatlah beralasan, karena pentas seni merupakan media penyiapan ajaran agama. Jadi seni adalah simbol kebenaran, kesucian, dan keindahan.
Dalam proses penyampaian ajaran weda adalah proses yang sangat sulit, oleh karena itu perlu ditempuh dengan jalan yang strategiis melalui pemahaman ajaran weda. Kandungan Weda sangat dalam dan rumit yaitu unsur tatwa/satyam (kebenaran), kesucian (sivam), dihadapi dan dimasyarakatkan dengan proses konsep sundaram (keindahan). Dalam rangkaian unsur estetika/sundaram (keindahan) ini weda dijabarkan dalam bentuk itihasa-itihasa yaitu Mahabharata, dan Ramayana. Kehidupan oleh para Rsi di masa lampau dijabarkan lagi dalam bentuk : sloka-sloka, kekawin, palawakya, geguritan, dan lain-lainnya. Yang semuanya bertujuan untuk memudahkan para penganut agama Hindu untuk menghayati ajaran weda tersebut.
Kemudian dalam proses selanjutnya untuk memansyaratkan ajaran weda, para Rsi memilih melalui jalan berkesenian yang disampaikan dalam kegiatan upacara agama. Sehingga peran kesenian dalam upacara sangat penting kerena kesenian mempunyai misi menerangkan ajaran agama. Sesuai dengan uraian di atas, maka timbul pernyataan apakan seni bias dipisahkan atau ditiadakan dalam kegiatan keagamaan ? jawabannya adalah tidak. Karena pentas seni adalah pentas agama yang artinya pentas yang mengandung ajaran satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan Sundaram (keindahan) yaitu proses pemahaman ajaran weda. Jadi benarlah pentas seni adalah nyolahang sastra dan seni adalah simbol penjabaran ajaran weda melalui konsep pemahaman satyam (kebenaran/tatwam), sivam (kesucian), dan sundaram (estetika/keindahan).
B. Pengertian Seni Sakral di Bali

Seni Sakral merupakan kesenian yang di pentaskan pada saat pelaksanaan pelaksanaan suatu yajna dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sacral ini sangat disucikan dan dikeramatkan olehmasyarakat Bali. Mengingat pengaruhnya bagi keharmonisan alam semesta ini. Oleh karena itu seni sakral ini sangat mendapat perhaian pada masyarakat Bali. Mengingat pentingnya peran seni sacral dalam kehidupan keagamaan, maka sangat perlu diteliti tengtang makna, asal-usul keberadaan seni ini, sehingga dapat diketahui oleh khalayak ramai atau masyarakat umatnya para pemerhati seni tentang makna hal ikhwal eni sacral tersebut. Sesuai dengan hasil survey yang penulis lakukan melalui beberapa literature, seni sacral terdiri dari dua kata dasar yaitu “seni” dan “sakral”. Tentang penelitian seni tida perlu diulasi lagi, karena secara panjang lebar terluas pada uraian diatas. Akan tetapi, pengertian kata sakrallah yang paling perlu diperhatikan dalam bahasan ini. Kata sacral/keramat, berasal dari bahasa latin yaitu” sacrare “ yang artinya “mengkeramatkan’, dalam bahasa Belanda yaitu “sakraal”, dan dari bahasa inggris yaitu “sacred”. Sesuai dengan yang dipentaskan pada saat-saat tertentu saja (tidak dipentaskan pada smbarang tempat, waktu atau media). Dalam masyarakat Bali seni sakral idenik dengan seni “tenget” atau angker, maksdudnya tenget atau angker ini bukan berarti negative (tertutup, saklek, seram, dan lain sebagainya), akan tetapi “tenget” yang berarti menetapkan suatu kegiatan atau karya seni pada posisi yang tertentu atau tidak ditempatkan pada sembarang tempat. Hali tersebut dilakukan dengan tuuan agar masyarakat (penyungsunga) menghormati secara mendalam seolah-olah para dewa, bethara, roh leluhur yang bersthana di dalam karya seni itu. Serta melalui penghormatan tersebut dapat dipupuk keyakinan para penyungsung untuk menambahkan keyakinannya sehingga dikemudian hari keyakinan tersebut dapat diteruskan oleh anak cucu merela. Sakral atau tenget ini mengandung arti atau bertujuan untuk menghormati kesenian tersebut, sebagai bukti seni sakral hanya dipentaskan pada saat piodalan, atau karya/yajna tertentu.

 
III
FUNGSI KESENIAN BALI

Pada uraian diatas secara tidak langsung telah banyak disinggung tentang jenis dan fungsi kesenian Bali. Terutama pada bagian sumber atau sejarah seni di Bali, namun uraian fungsi tersebut hanya sebatas dalam jenis seni tertentu saja. Serta bukan menguraikan fungsi seni yang secara universal dan detail. Sehingga sangat sulit untuk ditemukan atau diklasifikasikan secara jelasnya di bawah akan diuraikan tentang fungsi seni di Bali secara benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pada intinya kesenian Bali mempunyai fungsi yang sangat sakral, karena dalam penciptaan karya seni Bali pada awalnya hanya untuk kepentingan kegiatan keagamaan semata. Serta disesuaikan dengan sumber tatwa sastranya. Maka sangatlah beralasan apabila dikatakan bahwa kesenian Bali adalah suatu kegiatan nyolahang sastra.

Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa kesenian Bali dipentaskan bertujuan untuk mensosialisasikan ajaran agama Hindu yang bersumber pada ajaran Weda dan Itihasa. Dengan penonton dapat menyerap ajaran agama yang disampaikan oleh para seniman dalam pementasannya. Oleh karenanya agama dan kesenian/kebudayaan sangatlah menyatu, sehingga jika kita tidak memahami ke dua unsure tersebut klita akan sulit untuk menelaahnya. Ibaratkan sebuah adonan yang mempunyai berbagai rasa yang mengenakkan. Dari sinilah lahir fungsi ganda kesenian di Bali. Dilihat dari satu sisi seni mengandungg fuingsi sebagai wali/sakral yang menjalankan sumber atau kepentingan sastra. Dan dari sudut pandang yang lain seni berfungsi sebagai meia pendidikan, dan hiburan. Pengklasifikasian tersebut, bukanlah suatu hal yang paten terdapat dalam ajaran tertentu, akan tetapi dilakukan untuk mudhnya membedakan makna dan fungsinya bila kita melakukan pendalaman pada seni sakral ini. Adapun fungsi kesenian Bali setelah diadakan pengklasifikasian, sebagai tersebut dalam Sminarar Seni Sakral dan Profan bidan seni tari diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan pengembangan Kebudayaan Daerah Bali yang diselenggarakan pada tanggal, 24 Maret 1971 di Denpasar. Dalam hal ini judul seminar hanya meliputi ruang lingkup pada seni tari saja. Akan tetapi menyangkut semua tidak terbatas pada seni tari saja. Akan tetapi menyangkut semua cabang seni diklasifikasikan secara baik. Baik untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan sedikittentang keputusan Seminar itu yang menyangkut pembagian tari Bali menurut fungsinya, antara lain sebagai berikut :

a. Seni Teri Wali (Sacred, religious dance) yaitu seni tari dipertunjukan di Pura-pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upcara/upakara agama. Pada umumnya kesenian wali ini tidak memakai lakon. Adapun yang termasuk dalam kategori seni wali yaitu kurang lebih : Tari Rejang, Tari Pendet, Tari Sanghyang, dan Tari Baris upacara.
b. Seni Tari Bebali (Ceremonial Dance), yaitu seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan upakarayang bertempat di pura-pura dan di luar pura, serta pada umumnya kesenian ini menggunakan lakon. Adapun yang termasuk dalam klasifikasi seni Bebali adalah sebagai berikut : Seni Pewayangan, Topeng Gambuh, serta segala seni tari yang diciptakan berlandasan ketiga tari-tarian tersebut.

c. Seni Tari Balih-balihan Securel Dance) yaitu, segala seni tari yang mempunyai unsur dan dasar dari seni tari yang luhur. Dalam hal ini tidak tergolong dalam seni Tari Wali dan Bebalih. Cirri khas Seni Tari Balih-balihan ini yang bersifat inovasi bahkan sangat kontemporer (mengandung seni yang serius dan penuh dengan nilai hiburan). Adapun yang termasuk dalam klasifikasi seni tari balih-balihan adaah : semua aktivitas seni yang dipertunjukan untuk hiburan masyarakat. Asalkan tidak termasuk dalam kelompok seni sacral/wali/bebalih sebagai tersebut pada butir a dan b di atas.

Sesuai dengan uraian tersebut di atas, bahwa pengklasifikasian seni dalam seminar pada tahun 1997 itu merupakan sebuah standar yang kita pakai dalam mengadakan perukuran sebuah karya seni sehingga kesakralannya dapat diketahui. Sebagai contoh dalam uraian pada butir a bahwa tarian wali bercirikan tidak memakai lakon. Namun keputusan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena terbukti pada seni pertujukan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena terbukti pada seni pertunjukan wayang sapuleger yang memakai lakon adalah benar-benar sebagai seni d dalam klasifikasi seni wali. Disamping itu karena prtunjukan Wayang Sapuleger merupakan wuku wayang atau pada hari Tumpek Wayang. Sesuai dengan uraian pada bagian seni tari walli di atas, tidaklah seenuhnya benar semua rai wali tidak memakai lakon.

Uraian diatas cukuplah jelas, apa sebenarnya fungsi kesenian dio Bali yang suatu bila ada orang yang ingin mempelajari fungai seni Bali mendapat keterangan yang valid. Dan yang penting adalah bagi para wisatawan atau para paramuwisata/pengelola kepariwisataan akan sering berhadapan dengan masalah pernyataan mengenai fungsi seni di Bali. Dengan mengetahui pengetahuan yang seklumit ini dapat memantapkan dunia kepariwisataan dan kesucian Pulau Bali yang kita cintai.
sumber: Filsafat Seni, I Wyn. Watra