LEAK MEYOGA DI KALA PURNAMA

LEAK MEYOGA DISAAT PURNAMA

 

IMG_20140709_135736Secara umum purnama dan tilem di yakini sebagai hari suci, di mana banyak aktifitas rerahinan , ritual yadnya di lakukan pada hari ini termasuk upaya penyucian diri / menghening hening, amupug raga wighna ring sarira, metirta gocara dan berbagai bentuk pemujaan kehadapan hyang widhi. Purnama dikaitkan dengan payogan sang hyang wulan/ candra, sedangkan tilem di hubungkan dengan hari payogaan sang hyang surya. Surya candra atau purnama tilem, kedua nya ini sering pula di sebut hari pesucian sang hyang rwa bhineda.
salah satu ritual unik yang secara tradisional di percaya di lakukan oleh pengikut wama marga atau penganut black magic ( penekun aji ugig) pada saat bulan purnama melakukan latian mengasah daya cipta yang sangat di perlukan untuk mempertajam kemampuan aji pengacep yang di miliki nya. Hal ini di lakukan dengan menatap bentuk sang hyang candra ( bulan ) saat tengah malam, kemudian memvisualnya dalam selaning lelata. Tentu saja ritual khusus ini di lakukan secara sembunyi sembunyi agar tidak mengundang perhatian. Bahkan tidak jarang kriya tersebut dilakukan terlebih dahulu ngereh( menebar semacam daya hipnotik , pesirep) agar aman dan tidak terlihat oleh siapa . kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat juga menyebutkan bahwa pada saat melakukan ritual menatap sanghyang candra itu. Menganut leak pada tingkatan tertentu dahulu malin rupa menjadi bojog atau kera atau semacamnya mungkin atas dasar kepercayaan tersebut ada mitos yang berkembang di tengah masyarakat ada bojog mebalih bulan.
sebenarnya latian memfokuskan daya cipta seperti menatap obyek ( bulan, api, dupa dan lain sebagainya ) itu merupakan salah satu krya dalam ajaran astaga yoga yang disebut dharanam. Salah satu cara untuk melakukan dharanam ini adalah dengan jalan menatap obyek tunggal tanpa berkedip untuk mengikat pikiran mencapai pemusatan konsentrasi. Latian ini disebut tranaka. Ungkapan ‘ bojog mebalih bulan’ itu juga bias di makna I sebagai leak meyoga nunggahang idep amuja sang hyang candra yang sangat bermanfaat bagi peningkatan daya cipta bathin. Karena, apakah itu ilmu hitam , apalagi ilmu putih sangat bertumpu pada kekuatan daya batin pelakunya.
Pada saat tilem teristimewa yang terkait dengan mitos pengeleakan adalah tilem kesanga. Tilem kesanga ini di percayai sebagai hari pasucian bhatara baruna dan kekuatn kekuatan beliu lain nya yang beristana di pusat samudra. Jika bhatara baruna berhasil di puaskan dengan yadnya pada saat itu, beliau akan membawakan srining amerta kamandanu kepada pemujaannya. Amerta kamandanu adalah inti sari air hidup yang sangat kekal. Mencapai hidup yang kekal ( sukha tanpa wali duhka ) adalah dambaan setiap ingsan hindu sesuai dengan ajaran sastra agama mungkin atas dasar ini pula, penganut liak pun medewasraya pada saat tilem dengan tujuan yang sama yakni untuk mendapatkan waranugraha keabdian hidup.
pada saat tilem kesanga tersebut di lakukan upacara semacam ujian skripsi dan wisudha dalam jagat pengeleaakan . pada saat itu lah sang guru leak dalam struktur hirarki tertinggi, di ikuti oleh para elit pengeleakan dalam istilah aguron guron mereka, menggelar rapat pleno tertutup . dalam siding pleno itu murid murid leak nyihnayang bhakti ring ida nabe leak dengan menampilkan sesolahan ( semacam atraksi kehalian , malin rupa ) pada tingkatan nya masing masing dan khusus kepada mereka yang menjalankan aji pedestyan , akan menunjukan sertifikat atau bukti bukti kesuksesannya ( berupa data jumblah korban manusia yang berhasil termangsa melalui aji pedestyan yang di milikinya ) selama beroprasi mengamalkan ilmunya, tentu saja ada penilaian atau sertifikat sehingga ada yang lulus dan ada juga yang tidak lulus , yang lulus akan di wisuda dan mendapakat kenaikan pangkat , sedangkan yang gagal harus siap menerima sangsi atau mendapat dispensasi tertentu . bukankah keesokan hari nya umat hindu akan merayakan hari raya nyepii jadi pada saat itu ang murid melakukan tawur agung mempersembahkan guru daksina sebagai bentuk dedikasi kepada sang guru jagat pengeleakan . percaya atau tidak percaya entah suatu kebetulan atau memang demikian adanya ada pendapat yang mengsosiasikan energi tawur agung jagat pengelekan itu dengan prilaku binatang ( anjing,kuluk) saat sasih kesanga konon pada saat sasih kesanga ada berbagai atraksi ( adu birahi) sehingga menebarkan energy birahi yang dasyat sampai ke dunia sekala makluk hewaniah yang paling sensitive dengan aroma khas pengeleakan adalah anjing. Karana itu begitu energi birahi di indera oleh binatang yang bernama anjing itu, sepontan nafsu birahi mereka tidak terkendali alhasil , seluruh bangsa anjing tanpa rasa malu melakukan demo besar besaran ( bersenggama) ketika sasih kesanga tiba.
manusia memiliki sumber kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam diri nya kekuatan gaib itu sering disebut juga tenaga dalam daya sepritual , daya metafisika atau kekuatan bhatin . meskipun demikian , tidak semua orang dapay memanipulasinya . demikian pula untuk dapat melakukan ilmu sihir atau penestyan . untuk memiliki kemampuan penestyan misalnya, tentu memerlukan proses pematangan bahtin dengan menjali ritual tertentu , melengkapi berbagai persyaratan terkait dengan ritual disebut dengan bantel dll disamping itu, ada hari hari istimewa yang di yakini dapat memberikan keberhasilan dalam melakukan ritual khusus untuk tujuan tujuan tertentu beberapa contohnya adalah : untuk memasang aji pengedeg desti atau malasang anak mekurenan biasa nya di pilih dari sukra paing atau sukra umanis , dimana pekerjaan masang srana yang di perlukan untuk tujuan itu, biasanya dilakukan pada saat waraspati wage sedangkan pada saat seseorang mulai belajar ilmu biasanya memilih hari redite atau sukra pon atau redite kliwon untuk ngerangsuk lan ngegepang guna sida mandi.
Dalam komonitas social yang bercorak relegio magis, kehidupan masyarakat tidak bias dilepaskan dari keyakinan akan adanya kekuatan gaib baik yang bersumber dari alam kesaktian roh leluhur ,magig serta kuasa supranatural lainya telah tumbuh subur sejalan dengan paham dinamisma dan animism.
Masyarakat Bali yang memiliki corak budaya relegio magis yang sangat kental, juga tidak luput dari kepercayaan akan kekuatan gaib yang disebut magig . jika di daerah lain kita mengenal istilah seperti santet, sihir , selak,suanggi dan sebagainya masyarakat bali tidak asing dengan istilah leak, guna guna, desti teluh dan teranjana. Istilah istilah ini memang berkonotasi negative dan secara tradisional pepuler disebut dengan pengiwa . sedangkan kekutan magig yang bersifat kebalikannya sering disebut dengan penengen .
Pada dasar nya, kekuatan megig tidsk lah besifat putih atau hitam . motivasi manusia yang berbeda dalam mengaolah dan menggunakan magig dalam kehidupan itulah yang membuat magig bersifat hitam atau putih beraliran kiwa dan penengen . keberadaaan paham magig kiwa dan penengen ini telh melengkapi hubungan bipolar dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan garis kebijaksanaan hindu purba (satana dharma) yang disebut dengan RWA BHINEDA.

SUMBER : BUKU LEAK MEYOGA DIKALA PURNAMA.
KADEK YUDHIANTARA.

 

Runtuhnya Kerajaan Majapahit

RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT

Mutiara yang Ditinggalkan

 

IMG_20140709_114525Kerajaan majapahit merupakan kerajaan Hindu terbesar pada abad ke-14 sampai pertengahan abad 15 Masehi ditanah Jawa. Kebesaran nama Majaphit sebagai sebuah kerajaan yang mencapai puncak keemasannya pada jaman raja Hayam Wuruk, kitab Negarakertagama menyebutnya tidak terlepas dari para pendetha-pendetha Hindu yang menjadi bhagawanta kerajaan yang sangat berperan dalam menentukan arah dan langkah para raja sebelum mengambil keputusan.
Para rsi/pandhita Hindu ini akan dikenang sepanjang sejarah sebagai bagian dari peristiwa sejarah masa lampau kerajaan-kerajaan hindu Majapahit. Para rsi/pandhitaketika itu adalah seorang bhagawanta (purohito). Kerajaan yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh kalangan istana maupun msyarakat sehingga menjadi sebuah simbul dari kegunaan kerajaan Majapahit.
Namun ketika mulai merosot hingga runtuhnya hegemonitas kekuasaan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke 15 (1435 Masehi), berbagai peristiwa mendasar menimpa para pendheta ini. Majapahit yang dulunya menguasai daerah dari Funan Sampai Gurun, satu demi satu mulai memisahkan diri, sehingga kerajaan majapahir hyanyalah kerjaan biasa tanpa pengaruh kekuasaan seperti sbelumnya. Akhinya para bhagawanta kerjaan, mulai meninggalkan komunitasnya di Majapahit akibat terjadinya pergolokan internal dalam diri terhadap lingkungkannya.
Peristiwa menghilangnya hegemonitas kekuasaan kerajaan Majapahit pada tahun 1453 masehi sangat berpengaruh, pada menghilangnya hegemonitas kepercayaan kepada para pendeta Hindu Ciwa-Budha dikalangan Istana Majapahit. Perisiwa ini menjadi tonggak sejarah bergeraknya pendeta Ciwa-Budha ke daerah-daerah timur seperti Daha, Pasuruan, Blambangan dan Bali yang masih kuat dengan pengaruh Hindunya.
Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat berpendapat tebal dan kuatnya seseorang terhadap apa yang diyakininya ketika sudah tidakditerima lagi olh komunitasnya, akan menjadi alasan untuk mereka menempuh jalan baru agar mampu melanjutkan tradisi yang dimiliki sesuai dengan apa yang menjadi keyakinannya terutama dalam agama, fulsafata, seni dan sbegainya (Kuntowijoyo, 1987: p.1).
Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 Masehi awal mulanya adalah sebuah kawasan hutan termasuk wilayah kerajaan Daha. Atas permohonan Raden Wijaya kepada Prbu jayakatwang hutan Tarik tersebut dijadikn sebuah perkampungan (perdukuhan). Ketika pembukaan hutan Tarik tersebut Raden Wijaya dibantu oleh orang-orang Madura rakyat Arya Wirajaya tanpa persediaan makanan yang cukup. Hutan Tarsik banyak ditumbuhi oleh pohon “maja” yang berbuah lebt. Karena merasa kelaparan dan tidak adanya persediaan makanan yang cukup menyebabkan orang-orang Madura yang membantu membuka hutan memakan buah maja tersebut, tetapi karena buah maja tersebut rasanya “pahit” akhirnya dibuang dan berkata “Buah Maja Pahit”. Itulah sebabnya pedukuhan tersebut kemudian di sebut Majapahit yang merupakan awal mula dari nama kerjaan Majapahit. Hutan Tarik yang awalny sebuah pedukuhan, kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan Raden Wijaya Sebagai raja pertama (Suhardana, 2008: 168).
Ketika klerajaan Majapahit dipinpin oleh Ratu Tri Buanan Tungga Dewi dan Gajah Mada sebagaiu Patih Amengku Bumi, dan Mpu Tantular sebagai purohito (penasehat) kerajaan, sudah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa tengah. Puncak keemasan Majapahit pada masa Prabhu Hayam (saka 1334-1389).
Keberhasilan majapahit mencapai puncak kejayaannyatidak terlepasa dari Sumpah Palapa seorang Mahapatih Gajah Mada yang mamapu mempersatukan wilayah kerajaan-kerajaan di Nusantara meliputi: Funan, Campa, Kamboja, Bali, Lombok, Sumbawa, Madura, Bugis, Bone, Mandar, Makassar, Bajo, Srawak, Malaka dan Gurun. Prapanca seorang Pujangga besar Majapahit mengisahkan perjalanan sejarah berdirinya kerajaa Majapahit dalam sebuah karya sastra yang bernama kitab Negarakretagama. Kitab yang mulanya ditulis disebuah desabernama desa Tepasana daerah Lumajang pada tahun Saka gunung-gadjah-budi-janma = 1287 atau b1365 Masehi dan berakhir ditulisnya di wilayahnya Kamalasana (Karangasem Bali) namun tidak jelasa tahunnya (Samsubur, 2011: 12), mengisahkan asal usul dari Prabu Hayam Wuruk (pupuh 2), keberadaan istana Mjapahit (pupuh 8), derah bawahan Majapahit (pupuh 13). Selain itu juga pada pupuh 17 mengisahkan, mengisahkan perjalanan Prabu Hayam Wuruk mengunjungi berbagai wilayah kerajaan Majapahit, termasuk mengunjungi wilayah Tepasana dan Blambangan (Suhardana, 2008: 115).
Dilukiskan pula oleh Prapanca dalam karya besarnya tersebur pada pupuh 71, tentang kemerosotan Majapahit. Wilayah kekuasaan Majapahit yang luas dalam Satu wadah wilayah Nusantara, ternyata setelah meninggalnya Gajah Mada pada tahun rasa = 1268 atau 1364 Masehi, menjadi masalah bagi pengawasan dan keamanan wilayah yang begitu luasnya. Sementara Sang baginda raja mengalami kesulitn mendapatkan sosok pemimpin seperti Gajah Mada sebagai penganntinya. Sulitnya mendapatkan pengganti Gajah Mada yang mengetahui hati seluruh rakyat, bahkan pada bagian ketiga pupuh 71 dilukiskan oleh Prapanca bahwa Sang Nata Raja Wilwatika berpegang teguh pada pendirian untuk tidak mengganti Gajah Mada, sehingga semua tanggung jawab Gajah Mada diambil oleh Sang Baginda.
Akibat dari ikap Baginda tersebut, mulai terjadi perpecahan di kalangan istana sampai akhirnya merambah ke luar sitana. Perpecahan internal di maasing-masing wilayah lambat laun semakin jelas ke permukaan. Oleh karena itu (dalam pupuh 72) Sang Baginda kemudian memutuskan mengangkat beberapa materi yang mendampinginya dalam menghadapi masalah tersebut diantaranya:
– Mpu Tadi sebagai wreda menteri Karib Baginda;
– Mpu Nala sebagai Pahlawan Perang bergelar Tumenggung;
– Mpu Dani sebagfai Menteri Muda;
– Mpu Singa sebgai Saksi dalam segala perinth raja;
– dan pejabat-pejabat lainnya.
Walaupun demikian perpecahan dalm lingkungan keluarga para penguasa Majapahit tak bisa dibendung, bagaikan mutiara yang terpecah kalangan keluarga untuk menunjukkan sikap antipati terhadap rohaniawan-rohaniawan Hindu dengan mencri jalan sendiri-sendiri dan melupakan tradisi secara turun temurun telah diyakininya. Keinginan keluarga kerajaan di Bagian Timur dan bagian Barat yang saling memperebutkan pengaruh untuk mendapatkan kekuasaan bagaikan bara api dalam sekam. Akhirnya berujung pada perang Parereg di tahun 1409 Masehi. Antar saudara penguasa kerajaan yang saling berebut status kekuasaan kemudian mencari jalan sendiri-sendiri sebagai alternative baru untuk mengamankan dan melegitimasi kekuasaan dalam bida politik perdagangan dan kekayaan yang ada.
Ketika pada masa pemerintahan Prabu Hyang Wisesa, pengaruh Islam sudah mengepung dan memasuki wilayah Istana Majapahit walaupun kelihatannya dengan missi damai, namun akhirnya mampu memecahn belah mutiara keluarga kerajaan. Yang secara turun temurun dengan pengaruh Hindu. Keluarga kerajaan yang telah terpengaruh oleh pengaruh Islam kemudian melakukan manufer baru untuk mencari bentuk dengan cara melakukan perkawinan dengan merek yang telah lebih dahulu mengikuti paham baru tersebut. Tindakan ini telah membuat sutu lingkaran penagruh yang begitu kuat menyelimuti kerajaan Majapahit
Selain itu semakin melunturnya kepercayaan pekabat-pejabat kerajaan dalam melaksanakan tugas semakin jelas terlihat. Awan gelap kalisegara sandyakalaning majapahit relah menyelimuti kerajaan Majapahit, Sunan Kalijaga pada mulanya seorang tumenggung kerajan Majapahit yang paling disegani ketika mendapat tugas untuk pergi ke wilayah Gresik guna mengingatkan kepada adipati Gresik paham baru Islam agar kembali dan taat pada kekuasaan pusata Majapahit, ternyata berbalik halkuan dan mampu di-Islamkan oleh Adipati Gresik dibantu oleh Sunan Bonang. Demikian Sunan Ampel adalah keponakan dari permaisuri Raja Majapahit Dyah Kertawijaya juga telah mengikuti paham baru Islam.
Masuknya pengaruh Islam dikalangan istana secara perlahan-lahan telah mengubah tradisi mengubah tradisi Hindu yang mempercayai berbagai kebiasaan tradisi religius. Dewa-dewi sebagai manifestasi Sang Pencipta mulai ditinggalkan. Paham Siwa budha mulai mengalami degradasi, dimana tidak ada lagi pemujaan-pemujaan terhadap para Dewa yang dipimpin kaum bhagawanta kerajaan. Simbul-simbul keagamaan, berupa ritus-ritus tradisional mulai tidak terawatt bahkan dihancurkan tattakala terjadi peperangan, diganti dengan simbul-simbul baru yang janya boleh diwujudkan dengan satu simbul sebagai utusan Tuhan.
Demikian pula para rohaniawan kerajaan yang terdiri dari para pendetha Hindu diajarkan oleh para mubalian Budha yang juga menjadi simbul keagamaan Hindu majapahit mulai ditinggalkan dengan mengikuti simbul dan pola baru yang oleh para mubalig-mubalig Islam. Bahkan Ram Swarup dalam bukunya yang berjudul Pandangan Hindu atas Kristen dan Islam yang diterjemahkan oleh Made Partadana, menyebutkan penghancuran simbul-ssimbul keagamaan tersebut merupakan cara terbaik mempercepat proses untuk memuja Tuhan dalam bentuk pelayanan yang paling dapat diterima oleh Tuhannya (Ram Swarup, 2008: 118-124).
Ancaman internal lain yang terjadi di Kerajaan Majapahait adalah suatu kecerendungan di kalangan masyarakat secara perlahan mengikuti paham baru tersebut. Daerah pesisir Utara Jawa, Demak, Jepara, Kudu, Pajajaran, Pati Tuban telah menjadi pusat pengaruh Islam. Hal inilah yang menjadi pemicu pada semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga tradisional kerajaan sebagaimana waktu-waktu yang lalu yang sejak beberapa abad sebelumnya tumbuh dengan dengan kuatnya.
Secara eksternal, datangnya para pedagang-pedagang dari Gujarat, Arab, Persia yang dating membeli hasil bumi dengan pusat perdagangandi Selat Malaka, menjadi sebab lain semakin merosotnya pengaruh kekuasaan Majapahit. Para pedagang ini merupakan pedagang-pedagang yang sangat dikenal di daerah Asia Pasifikdan kepulauan Nusantara. Mereka dating membeli hasil bumi rempah-rempah seperti Pala, Lada, cengkeh dan hasil bumi lainnya. Kedatangannya inilah menjadi missionaris Islam sehingga semakin berkembannya pengaruh Islam karena memang mereka adalah pemeluk Islam yang taat. Berlabuhnya mereka di Pesisir Utara Jawa, seperti di Tuban, Gresik, Demak kurun waktu abad ke 14 Masehi sampai pertengahan abad ke 15 Masehi seakan-akan menjadi petugas missionariss suci penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
Upaya Mempertahankan Jati Diri
Sementara itu dikalangan para pendetha yang menjadi purohito kerajaan mulai gundah gulana hatinya memikirkan nasib kerajaan Majapahit. Para Rsi/Pendetha baik dari kalangan Hindu maupun Budha yang dulunya merupakan tokoh spiritual kerajaan yang sangat dihormati dan dipatuhi, ketika terjadi pergolakan-pergolakan di kerajaan Majapahit seakan-akan kehilangan kewibawaan. Detik-detik sandyakalaning Majapahit sudah semakin jelas tatkala berbagai nasehat dan saran yang biasanya diberikan oleh para rohaniawan kepada kalangan kerajaan sudah tidak diperlukan lagi, akibat dari perbedaan arah keyakinan. Dasar-dasar etika moral sang Bagawanta yang dulunya begitu dihormati sirna oleh legitimasi nafsu dan harta seperti. Apa yang dilukisskan oleh pujangga prapanca dalam karya besarnya Nagarakertagama. Pada pupuh 95 naskah kuno ini melukiskan keadaan dirinya dan para pendetha sebagai Bagawanta kerajaan merasa begitu gundah gulana dan sangat edih karena sudah tidak berguan lagi di Majapahit. Dirinya dihina lagi oleh para bangsawan kerajaan tidak diamalkn lgi. Akhirnya, demi untuk mempertahankan harga dirinya sebagai seorang penasehat kerajaan (purohito). Sang Pujangga kemudian meninggalkan kerajaan Majapahitpergi ke sebuah gunung menjadi pertapa untuk menennangkan diri dan melakukan tapa brata (Suhardana, 2008: 112-113).
Apa yanmg dilukiskan pujangga Prapanca tersebut mungkin hanya sebagaian kecil dari penderitaan para rohaniawan/bagawanta kerajaan Majapahit ketika itu. Perubahan keyakinan yang begitu mendasar pada sendi-sendi kehidupan kerajaan merupakan pukulan yang amata telak kepada kalangan penasehat kerajaan yang secara perlahan kehilangan hegemonitas kerohaniannya yang menyebabkan mereka seakan-akan menjadi orang yang dipinggirkan di lingkungan kerajaan.
Perselisihan akibat perbedaan keyakinan semampunya telah diredam oleh kalangan pendetha, namun tidak mampu membendung pertentangan di lingkungan keluarga maupun penguasa kerajaan yang telah berbeda keyakinan. Arah keyakinan mereka sudah bagaikan langit dan bumi. Yang tidak mungkin unbtuk dipersatukan kembali.
Seperti apa yang dilaporkan seorang kaisar dari negeri China bernama Yung Lo, melaporkan pertentangan antara kerajaan wilayah Timur Majapahit yang dipimpin oleh Duhitendu Dewi/Kertarajasa dan kerajaan wilayah barat Majapahit yang dipimpin oleh Wikrama Wardhana sejak 1393 Masehi.
Selain pengaruh agama Islam yang semakin kuat menyerbuy wilayah kerajaan Majapahit, perpecahan semakin memuncak ketika kerajaan timur mengirim utusan ke negeri China untuk mendapat pengakuan dari kaisar. Tindakan ini oleh Wikarama Wardhana dianggap wsebagai upaya memecah kesatuan kerajaan Majapahit. Terlebih – lebih ketika pelayaran pertama kaisar China Ceng Ho pada tahun 1376 Masehi. Yang dibantu oleh seorang mubalig muslim dari negeri Yunan bernama Sam Pau sempat mampir di Majapahit bagian timur. Kedatangannya ini dirasakan merupkan missionaris muslim di walayah kerajaan oleh Wikrama Widartha. Akibtnya kunjungan kaisar China ini menambah semakijn meruncingnya hubungan anatar timur dan barat (Samsubur: 2011: 84).

Sementara itu seiring berjalkannya waktu satu demi satu keluarga kerajaan telah memeluk agama islam. Perbedaan paham dan keyakinan yang tidak jarang berujungb pada pertumpahan darah di anatara keluarga. Lemahnya tapuk pemerintahan din tingkatb pusat kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan, ditambah masuknya pengaruh Islam dalm lingkungan kerajaan, akhirnya berujung pada Perang Paregreg pada 1406 Masehi yang menjadi tanda-tanda awal akan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Kehancuran kerajaan Majapahit selain diungkapkan Mpu Prapanca dalam kitab Negarakertagamanya, dalam kitab Pararton juga dijelaskan akibatb perang Paregreg tersebut diberitakan bahwa pada rtahun 1322 saka – 1400 Masehi raja Barat Hyang Wikrama Wadhana kemudian meninggalkan kerajaan menjalani hidupm sebagai seorang brahmacari di sebuauh pertapaan sesuai dentgan ajaran catur asrama yang adianutnya (Samsubur, 2011: 86)
Selain pergi kegunung menjadi seorang pertapa, mereka ingin berusaha mempertahankan dan menyebarkann ajarannya, mencari daerah baru menuju arah matahari terbit demi untuk sebisa mungkin mempertahankabn jati diri dan kelangsungan keyakinan Hindu mauopun budha yang telah mendarah daging pada diri mereka masing masing.
Selain itu pergolakan yang saling memperebutkan kekuasaan di anatara mereka dalamn perang Paregreg menjadi bagian yang turut mrmuicu semakin banyaknya tokoh-tokoh hindu Majapahit meninggalkan kerajaan menuju daerah-daerah jajahan yang menjadi kekuasaan kerajaan Mjapahit sebelumnya,n seperti Pasurua, Daha, Kediri, Blambangan, Bali, Sumbawa dan sebagainya.
Tampilnya Danghyang Nuirartha
Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra yang sering dipanggil dengan sebutan Pedanda Sakti Wawau Rauwuh, merupakan salah seorang Pendetha Hindu Majapahitb yang umumrnya masih muda ketika meninggalkan Kerajaan Majapahit bersama orang tuanya pada pertengahan abad ke-15 Masehi. Beliau merupakan salah seorang Pendtha Hindu yang meninggalkan Majapahit menuju Daha, Pasuruan, Blambangan. Beliaun sampai di Bali pada kurun waktu kedua abad ke-15 Masehi atau kurang lebih satu setenagh abad setelah Majapahit dapat menaklukan kerajaan Bali Kuno tahun 1343. Setelah sampai di Bali Danghyang Nirartha kemudian meneteap di Desa Mas dan memiliki pengaruh yang sangat besar di segala lapisan masyarakat Bali. Bahkan setelah putra-putranya didwijati di Pasraman Taman Pule kemudian menjadi bagawanta kerajaan (purohito) dikalangan raja-raja Bali ketika itu. Kemudian beliau menyebar hamper di seluruh wilayah Bali, bahkan sampai nke tanaha Lombok apa yang kita kenal dengan Catur Brahman yaitu Kemenuh, Keniten, Manuaba, dan Mas.
Catur Brahman yang saat ini hamper menguasai golongan Brahman di Bali seakan-akan menenggelamkan golongan Brahman Bujangga Waisnawa yang datang dari Majapahit sebelumnya yang memiliki pengaruh besar di tanah Bali pada masa Bali kuno. Dengan tibanya Danghyang Nirartha di Bali, maka posisi brahmana keturunan Majaphit kaum Bujangga Waisnawa yang datang sebelumnya agak mengalami degradasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan hilngnya klan Brahmana kalangan tertntu yang sempat berperan samgat penting pada tatann kehidupan kerajaan Bali kuno.
Kenyataan ini dapat kita lihat bahwa para penasehat-penasehat kerajan di Bali selalu diambil dari keturunan Danghyng Nirartha atau setidak-tidaknya mengaku atau mengklaim diri sebagai keturunan beliau. Bahkan yang lebih jelas terlihat di era bad 21 sat ini hampit tidak kita temui seorang pandhita dari Brahmana Wangsa yang tidak mengkalim dirinya keturub\nan Fanghyang Nirartha (Soegianto Sastrodiwiryo, 2010: 25), walalu kemudian muncul dari golongan pandhita dari golongn tertentu seperti dari Pasek )Mpu sebagai pemimpin agama MGSSR), warga Pande (Mpu sebagai pemimpin agama dalam Mahasemayanya), Ida Pandhita (PBMM) dari Pratisantana Bendesa Manik Mas da golongan pandhiat lain dalam berbagai golongan yang ada di Bali.
Selain pengaruh dalam bidang keagamaan, kehadiran Sang Pndhita Sakri dari Jawa ini banyak menanamkan berbagai ilmu di kalangan masyarakat terutama pemberiannya kepada sang mertu di Desa Mas, seperti; usada, tatwa susla. Berbagai ajin sakti, seperti; Siwer Mas, Sulambang Geni, Pasupati Rencana dan Sebagainya juga menjadi ajaran beliau. Kharisma Danghyang Nirarth seakan-akan bagaikan besi sembarni terhadap lingkungan yang mempu menariknya berikut kuat. Untuk mengungkap fenomena keyakinan apa sebenarnya yang ada pada diri Danhghyang Nirartha tidaklah mudah bagi kita. Terlebih-lebih ketika mengungkpkan gejolak hati Sang Pendetha tatkala semakin melemahnya pengaruh Hindu akibat meredupnya tapuk kekuasdaan Kerajaan Majapahit (sandyakalaning Majapahit). Sebagai seorang sanyasin yang berugas menjalakan dharma agama tanpa anti terhadap kekerasa apalagi pembunuhan. Cara meninggalkan kerajaan ini sebagai wujud dari begitu kuatnya keyakinan dan keinginan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan tradisi Hindu Majapahit di daerah yang bru sebgai peninggalan leluhurnya.
Daha sebagai kerajaan wilayah Majapahit yang didatangi Nirartha muda bersama orangtuanya memang belum terkena pengaruh islam. Agama Hindu Siwa begitu kuar di kerajaan Daha karena purohito kerajaan merupakan penganut Hindu Siwa yang sangat dihormati. Ketika Nirartha muda sanapi di kerjaan Daha, purohito Mpu Penawaran telh mangkat. Nirartha muda hny berjumpa dengan istri sang Mpu dan putrinya yng bernama Dyah komala. Kedatangan mereka di kerajaan Dajha disambut dengan rasa gembira. Terlebih-lebih pada saat itu Nirartha masih muda dan tampn. Permohgonan dari istri Sang Mpu Panawaran kepada danghyang Nirartha agar mau menikah dengan putrinya, diterima dengan senang hati oleh SDang Nirartha. Terlebih-lebih, Diyah Komala yang berwajah sangat cantik tersebut tentu menggairhkan hati Sang Nirartha untuk menikahnya.
Di Ker5ajaan Faha, Nirrtha Muda memulia kehidupan grahasta asrama dengan mengakhiri masa lajangny. Atas permohonan dari mertuany, Ia pun kemudian beralih paham dari aliran Budha ke paham Hindu Siwa guna menyeleamatkan dan melanjutkn berbagai peninggalan mertuanya berupa pustaka-pustaka suci, dan peninggalan bertuah lainnya. Dari pernikahannya ini menurunkan dua orang putra putrid bernama Ida Ayu Swabada dan Ida Kulwan (WiragasandhI) kemudian menurunkan Brahman Kemenuh.
Dari Daha tanpa diikuti oleh orang tua dan istrinya, bersama putr putrinya yang masioh beli Danghyang Nirartha muli menapaki nperjalanan spiritualnya (dharmayatra) berbekal “keyakinan agar biusa mempertahankan jati diti hindu Majapahit” menuju kerajaan Pasuruan. Sesampinya di kerajaan Pasuruan, Danghyang Nirartha langsung menuju pasraman saudara orang tuanya Danghyang Penawasikan. Kedatangan Danghyang Nirartha disanbut sukcita oleh Sang bagawanta kerajaan Pasuruan bersama putrinya Dyah Sanggawati. Danghyang Nirartha yang masih terlihat muda dan tampan ketikan berada di Kerajaan POasuruan banyak menjadi perhatian wanita kerajaan, tutur katanya yang lembut terhadap setiap orang membuat rasa tentram bagi siapa saja yang berada disampingnya. Entah setelah tinggal berapa lamat, di Paasuruan Beliau menikah lagi dengan sepupunya, Dyah Sanggawati. Ketika berada di Pasuruan Danghyang Nirartha menimba berbgai ilmu kerohanin, keagamaan, dan kesaktin dari Sang Rsi Penawasikan. Beliau benar-benar mempersiapkan diri dengan berbagai ilmu sebelum memasuki wilayah baru untuk menjadi seorang guru loka bagi setiap penduduk yang akan dilewatinya dikemudian waktu. Setelah perkawinannya beberapa waktu kemudian Dyah Sanggawati melhirkan dua orang putra yang diberi nama Ida Lord an Ida Wetan yang kemudian menurukan Brahmana Manuaba.
Dalam babad Dharmayanta Danghyang Nirartha, dicantumkan bahwa bahwa setelah samapai dikerajaan Blambangan Danghyang Nirartha menkah lagi dengan sepupuny yaitu adik dari raja Blambangan, Dalem Sri Juru yang bernama Patni Keniten. Dari pernikahnnya ini kemudian dikaruniai tiga orang putrid yaitu; Ida Istri Rai, Ida Putu Telaga, Ida Nyoman Kenitan, yang kemudian menurunkn Brahmn Keniten.
Danghyang Nirartha yang memiliki raut muka tampn, tingkat kerohania yang tinggi. Sifat rendah hati, suka menolong, kian hari semakin banyak pengikutnya. Karena semakin banyak pengikutnya menyebabkan timbul semacam alinsi pengikut sang Brahmana. Ketika terjadi berbgai tekanan-tekanan di kerajaan Blambangan menyebakan semakin banyaknya rakyat mencari perlindungan kepada sang Pendetha. Faktor lain yang juga mempkeuat catatan diatas adalh adanya hubungan dekat anatar Istri Danghyang Nirartha dengan Dalem Sri Juru sebagai kakaknya. Oleh Dalem Sri Juru hubungan ini dikhawatirkn putra-putri Danghyang Nirartha dapat menganggu suksesi di kerajaan Blambangan dikemudian hari. Kekahwairan Dalem Sri Juru ini cukup beralasan karena Danghyang Nirartha adalah pendatang dari Majapahit yang sudah tentu memliki pengaruh yang cukup kuat. Terlebih-lebih munculny sebuh isu dalam bentuk skandal percintaan yang berkmbng dikalangan istana terutama dihembuskan oleh mereek yang tidak senang dengan kehadiran Sang Pendetha Nirartha di kerajaan Blambangan. Isu yang berkembang di lingkungan Istana menyatakan adanya hubungan asmara antara Danghyang Nirartha dengan istri Dalem Sri Juru. Bahkan Dalem Sri JuruDanghyang Nirartha telah memasang Guna-Guna karena bau bdan dan keringat Sang rsi menebar bau harum yang memikat istriny. Gambaran kemarahan Dalem Sri Juru terhadap Danghyang Nirartha tersebur seperti termuat dlamn lontar Dwijendra Tatwa sebagi berikut;
Petikan Lontar No. 17a/Bddn
“…Wus lama pwa sirengkana, ingapta pwa nalik nira kasasar, riwekasan pwa stri nira Sri Juru ring Blambangan, edandera Danghyang Nirartha, anajaraken pwa sira apasang guna, sawetning mrik sunargandhaning waya wanira, apan rasananung aringet iraanabwan wangi kaya air mawa …”
Akibat peristiwa tersebut menyebabkan Dalem Sri Juru mencari berbagai cara agar dapat menyingkirkan Danghyang Nirartha. Diantaranya menggnakan kekuasaannya mempengaruhi agar orang-orang yang dekat dengan Danghyang Nirartha untuk tidak lagi berhubungan dengan Sang Rsi sampau usaha yang dapt mengncam keselamatan Sang Rsi dan keluarganya. Mengatahui hal itu kemudian Danghyang Nirartha bertindak cepat. Tanpa membuang-buang waktu dan tanpa persiapan yang cukup dengan bantuan orang-orang yang menjadi pengikunya bersama dengan seluruh keluarganya secara diam-diam kemudian meninggalkan wilayah kerajaan Blambangan. Mereka bergerak melalui jalan setapak (sunutan) menujun pantai pesisir timur wilayah Blambangan . di wilayah Pantai Majaga (Pelabuhan Muncar sekrang), Danghyang Nirarth kemudian menyebrang ke tanah Bali. Dengan menaiki sebuah perahu dalam keadaan bocor milik seorang nelayan Majagha. Setelah ditambat degan kulit labu kele, istri ndan putr-putriny menyeberangi lautan selat Segara Rupek, Sang Panditha sendiri menyeberang dengan nak buah labu kele, semetara tangan dan kakinya digunakan sebgai ndayung kemudi hingga akhirnya sampai di pesisir Purancak kurang lebih tahun 1489 Masehi. (Soegianto Sastrodiwiryo, 2010: pp.48-49).
Mengungkap Jati Diri Danghyang Nirartha
Perjalanan Danghyang Nirartha keika berada di kerajaan Daha, Pasurun dan kerajaan Blambangan sampai akhirnya menyeberang ke Segara Rupek tersebut diatas dungkap sedakit dalam beberapa babad. Selain kisah perkawinan dan perjalanan tersebut diatas , bagaimana aktivitas Danghyang Nirartha diwilayah-wilayah tersebun tidak diungkapkan. Namun perjalanan danghyang nirartha setelah sampai di Bali, Lombok bahkan sampai ke tanah Sumbawa dapt diketahui kisahnya dari beberapa tulisan babad maupun dalam bentuk tulkisan lomtar. Peristiwa apa yang belaiu alami walaupun tidak semua sampai pada kita saat ini, dituangkan dalam tulisan j\kuno berbentuk kidung, pupuh, tutur yang jumlahnya mencapi puluhan buh seperti: Nusa Bal, Mahesa Megat Kung, Kidung Sebun Bangkung, Sarakusuma, Dharma Pitutur, Dharma Sunya Keling, Wilet Demung Sawi, Kakawin Anjang Nirartha, dan sebagaunya.
Dalam perjalannya sejak pertama kali sampai di tanah Bali di penghujung Abad ke 15 (1489 Masehi), banyak sekali meninggalkan jejak sejarah yang tak ternilai harganya. Telebih-lebih dalam berbagai babad maupun lontar tertulis, setiap Beliau tinggl di tempt-tempat yang dilewati/disinggahi banyak membantu masyarakat yang tertimpa bencana. Sebagai rasa hormat atas jasa-jasanya tersebut kemudian diwarnai dengan adanya persembahan putrid tokoh pemimpin di wilayah tersebut untuk sang Rsi (pangguru yoha). Par wanita yang menjadi persembahan selanjutnya akan dijadikn istri dan ada pula yang dijadikan peladen dalm perjalanan Beliau.
Persembahan seorang wanita kepada sang Pendetha yantg dilakukan para tokoh pada saat itu sebagai perwujudan simbolis rasa hormat kepada Sang Guru Nabe. Selain itu penyerahan seorang wanita ini sangat ereat bila dikaitkan dengan konsep hukum feodalisme ntradisional patron lient (kawula gusti), berupa hubungan yang sangat erat antara atasan dan bawahan, murid dengan guru, antara orang yang dibntu kepeda mereka yang telah membantunya. Sebut saja di Pasuruan, Di Daha, di Blambangan, di Gading Wani dan setelah akhirny tinggal di Pasraman Taman Pule Desa Mas Sang Pandhita kawin dengan putrid Pangeran Mas dan yang lainnya. Dari pernikahan beliau dengan beberapa wanita tersebut kemudian menurunkan keturunan yang saat ini tersebr di seluruh Bali, Lombok, dan daerah lainnya. Dari keturunan-keturunan Beliau tersebut saat ini kita mengenal apa yang disebut dengan golongan Brahma Siwa yang ada di Bali yang seanjutnya disebut dengan Catur Brahmana seperti: Brahman Kemenuh, Brahmn Manuaba, Brahman Keniten, Brahman Mas (Lontar Danghyang Nirartha No. 23 – 24).
Apabila kita renungkan perjalanan dharma yatra yang dilakukan oleh Danghyang Nirartha pada pertngahan abad ke 15 sampai awal abad ke 16 masehi tersebut, merupakan perjalananan sipiritual yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, karena disetiap Beliau mampir selalun menanamkn nili-nilai keagamaan dan kerohanian para penduduk. Bahkan sebelum Sang rsi bersama kelurga meninggalkan wlayah tersebut, beliau selalu meninggalkan jejak sejarahn berupa pendirian tempat suci yang ditendai dengan meninggalkan sebuah benda/atribut yang beliau bawa / miliki dalam perjalanan. Sebut saja misalnya Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Peura Pekjendungan, Pura Peti Tengat dan sebagainya. Pura Purancak misalnya, dibangun sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta karena telah melindungi dalam perrjalanan menyebrang lautan bersama seluruh keluaarganya hingga selamat. Pura ini kini menadi saksi sejarah sepanjanmg jaman karena merupakan tonggak awal perjalanan Danghyang Nirartha memasuki wilayah Bali pada tahun 1489 Masehi.
Di wilayah Pura Purancak inilah untuk pertama kalinya Danghyang Nirartha menginjakkan kaki di tanah Bali. Demikian pula keberadaan Pura Rambut Siwi, pada saat Beliau sampai di tempat ini Beliau menemukan sebuah pelinggih yang keadaannya sangat memperihatinkan karena diterjang oleh ganasnya hembusan air laut. Beliau merasa prihatin karena perlinggih tersebut tidak memiliki kekuatan magis untuk menghadapi terjangan angin laut, sehingg sebelum meninggalkan tempat tersebut Beliau memberikan/meniutipkan seutas rambutnya kepada pemangku pura untuk diungsung din pura terseebut.
Di Pura Pakendungan yang terletak di daerah bagian Selatan desa Braban berdekatan dengan Pura Luhur Tanah Lot, konon terdapt sebilah keris yang merupakan keris Ida Pandhita yang dibawa dalam perjalanankemudian dititipkan di Pura ini untuk disungsung. Sekarang keris ini disimpn dan dikeramatkan di Puri Kediri Tabanan. Keris Pejenengan Ida Bhatara hanya akan dikeluarkan dan diarak (grebeg) dari Puri Kediri (Tabanan) menuju Pur5a Pekendungan pada saat puja wali berlangsung.
Di pura Peti Tenget Kerobokan pada saat Ida Panditha melewqati tempat ini juga menitipkan tempat sirihny (pecanangan) kepada mahluk halus yang bernama Buto Ijo yang dijumpainya sedang bersembunyi di semak-semak. Buto Ijo kemudian diberikan ilmu sakti agar bisa menjaga tempat Sirihnya di tempat tersebut. Sampai saat in pecanangn tersbut kemudian disungsung di pura setempt.
Pura Uluwatu yang terletak di ujung selatan Pulau Bali di daerah Pecatu Badung juga kita yakini menjadi tempat terakhir Beliau berada di tanah bali setelah sebelumnya memberikan upacara Dwijati kepada empat orang putranya menjadai seorang Brahmana. Ditempat inilah beliau bmelakukan yoga semadhi untuk keselamatan jagat raya yang berakhir dengan moksanya Beliau untuk bersatu dengan Sang Pencipta di Siwa Loka (Wayan Supartha, 2010: v-268).
Di desa Gading Wani mengajarkan seluruh pnduduk ilmu keagamaan dan mendiksa Ki vbandesa gadng Wani. Menjadi sorang pndhita dengan gelar Dukuh Gading Wani. Sebagai rasa bakti sang murid kepada Sang Guru Nabe, Ki Bandesa Gading Wqani menyerahkan putrinya yang cantik Ni Luh Petapan kepada Ida Pandhita untuk dijadikn sebagai pelayan, tetapi kemudian akhirnya dijadikan sebagai isteri selir yang selanjutnya menurunkan Ida Petapan.
Di Desa Mas juga mendiksa Pangeran Mas menjadi pndhita dengan Gelar Panditha Mas. Dengan adanya pendiksaan yang telah dilakukan oleh dang Hyang Nirartaha kepada Pangeran Mas kemudian ditandai dengan persembahan (pangguru yoga) putrinya Gusti Ayu Manika Gumitir yang kemudian pernikahan. Dari pernikahannya ini dikemudian hari menurunkan seorang putra bernama Ida Kidul/Ida Bok cabe yang selanjtnya menurunkan Brahmana Mas. Pernikahan inilah yang membuat adanya hubungan yang sangt kut antara Danghyang Nirartha dengan Pangeran Mas baik secara moral, psikologis, maupun secara genetis.
Pangeran bandesa Manik Mas sebagai salah satu dari sedertan orang yang memiliki hubungan moral, psikologis, dan genetis dengan Danghyang Nirartha menjadi bagan dari sejarah masa lalu yang perlu diceritakan kembali agar generasi penerus utamanya Pretisentana Bendesa Manik Mas dan Brahman Mas bisa mengetahui dan memahami seberapa dekat hubungan keduanya. Hubungan yang memiliki nilai sejrah yang sangat tinggi untuk kita cermati. terbukti dengan adanya peninggalan sejarah berupa Pura Taman Pule dan Pura Bok Cabe yang kemudian statusnya menjadi Dwi Parhyangan bagi keturu8nannya (Tim Pengkaji Sereah dan Babad PBMM, 2010: 70-71). Pura Taman Pule yang awalnya sebuah pasraman yang dibangun oleh Pangeran Bendesa Manik Mas sebagai tempat tinggal Danghyang Nirartha dan seluruh keluarganya di Desa Mas.
Demikian pula Pura Bok Cabe pada awalnya diperuntukkan bagi kelaurga Brahman Mas, kemudian menjadin sebuah Pura sungsungan Pratisentana Bendesa Mank Mas dan Catur Brahmana utamanya Brahman Mas seperti apa yang telah tertuang dalam Bhisama Danghyang Nirartha kepada keturunannya. Selain itu kedekatan antara danghyang Nirartha dengan Pangeran Bendesa Manik Mas ubntuk para pratisentananya agar selalu ingat dengan Pura taman Pule dan Pura Bok cabe sebagai pura yang harus dismbah oleh pratisentana keduanya.
Pemahaman Tentang danghyang Nirartha
Penulisan tentang sejarah Perjalanan Danghyang Nirartha hanyalh merupakan rekonstruksi dari peristiwa masa lampau. Seperti halya tulisan dalam bentuk babad tentang Danghyang Nirartha penulisanya mengisahkan berdasarkan pada apa yang didengar dari pendahulunya secara turun temurun. Mengingat secara umum babad ditulis sekitar abad 20-an, sementara isi cerita babad mengisahkan peristiwa berabad-abad sebelumnya. Menulkis sejarah danghyang Nirarth dengan berbagai sumber seperti halnya babad, dalam memahainya sama halnya seperti mengajak beberapa orang buat memegang seekor gajah. Ada yang meraba ekornya, ada yang meraba kakinya, ada yang meraba kupingnya, ada yang meraba tambulelenya dan sebagainya. Untuk mendapatkan tulisan sejarah tentang perjalanan Danghyang Nirartha agar mendekarti kebenaran, dalam pengungkapannya selain diperlukn beberapa buah sumber sebagai bahan acuan agar bisa dicarikan benang merah perjalanannya sejarahnya juga diperlukan pengulangan penulisan tentang sejarah Danghyang Nirartha oleh penulis-penulis lainnya.
Perlu kita sadari sulitnya untuk mendapatkan catatan akurat berupa prasasti tentang Sang Wau Rawuh, selain guratan penguprakan (pisau kecil pengutik yang selalu dibawa untuk menulis di daun lontar). Pada kurun waktu abad 15-an. Sulitnya mendapkn sumber trsebut mungkin dikarenakan pada saat kedatangan danghyang Nrartha di wilayah kerajaan Bali Dwipa bukan lagi merupakan sebuah kerajan yang merdeka seperti pada masa kerajaan Bali Kuno yang pada masa pemerintahannya banyak meninggalkan catatan berupa prasasti. Sebut saja prasasti Blanjong yang berangka tahun 835 saka atau 910 masehi pada masa kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa di wilayh Sanur. Demikian pula prasasti Cempga, Songan, Sembiran dan lainnya.
Tradisi pencatatan peristiwa penting mungkin tidak pernah lgi dilakukan oleh raja-raja Bali setelah bkekuasaan Majapahit dikarenakannDalem Ketut Kresna Kepakisan ditunjuk menjadi raja Bali Dwipa hanya menjadi wilayah bawahan kerajaan Majapahit. Setelh Bali Dwipa dapak titaklukn leh ekspedisi militer pasukan Majaphit dibawah pimpuinan Gajah Mada 1343, kemudian menjadikan wilayah Bali Dwipa sebagai wilayah “propinsi” dari kerajaan Majapahit. Segala sesuatu baik itu dalam urursan tata pemerintahan maupun bidang-bidang lainnya diatur oleh Majaphit. Kebjakan dari pemerintahan Majapahit dapat dilhat dari peneempat Patih Wulung tahun 1343 Masehi dalam usaha untuk melegitimasi kekuasaan di Bali Dwipa dengan kebijakan pertama adalah dalam tata urusan pemerintahan denga pembentukan lemabaga-lembaga poemerintahan Bali Dwipa sesuai dengan sistem yang berlaku di Majapahit. Selanjutnya baru dilanjutkajn dengan ditugaskannya Adipati pertama Mjapahit dari keturunan Wang Bang Kepkisan, yng kemudian menjadi Raja pertama di Bali bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Sumber Sejarah Danghyang Nirartha
Dalam mengisahkan cerita Sejarah Danghyang Nirartha acuan buku ini adalah berupa turunan lontar, turunan babad, maupun turunan prasasti yang berkaiatn dengan kisah sejarah Danghyang Nirartha, yang semuanya tersimpan di Balai Pusat Dokumentasi dan Kebudayaan Bali Denpasar. Turunan lonytar yang digunakan sebagai sumber pokok adalah Turunan Lontr Danghyang Nirartha, turunan Babad Darmayatra Danghyang Nirartha, Babad Sang Brahmana Catyr, Turunan Babad Bendesa Manik Mas, Turunan Lontar Sakulogotra I Gede Manik Mas, Piagem Pasek tatar , Prasati Pasek Bandesa.
Turunan Lontar Danghyng Nirartha, Babad Darmayattr Danghyang Nirarth and Babad Sang Brahmnana Catur dijadikan sebgai sumber acuan karena ketiga sumber ini memuat asal usul Danghyang Nirartha, perjalanan dharma yatra Danghyang Nirartha, ternasuk juga memuat asal usul dari catur Brahmana. Sert hubungannya dengan Pengeran Bandesa Manik Mas. Selain itu turunan Lontar, Babad Bandesa Manik Mas, Turunan Lontar Sakulogotra I Gede Mamik Mas, Piagem Pasek Tatar, Prasasti Pasek bandesa, Bandesa Tangkas Kori Agung memberikan gambaran tentang asal – usul Pangeran Bendesa Manik Mas, termasuk didalamnya memuat kisah hubungannya keduanya. Selaian sumber-sumeber tersebut diatas juga digunakan sumber berupa buku-buku yang mendukung seperti Babd Warga Brahmana yang ditulis oleh Jro Mangku Ketut Soebandi. Buku ini dijadikan sebagai sumber dalam memberikan gambaran perjalanan danghyang Nirartha dari tanah Jawa sampai ke Blai, Lombok dan Sumbawa. Termasuk pula berisi asal usul , peninggalan dan keturunan Danghyang Nirartha.
Buku babad Bali Agung karangan Rsi Binthang Dhanu Manik Mas dan Djoni Gingsir digunakan sebagai sumber pendukung karena memeberikan gambaran sejarah Danghyang Nirartha ketika berada di Bali Dwipa . selaian itu juga digunakan buku sejarah dan babad Pratisentana Bendesa Manik mas terbitan Tim Pengkaji Sejarah dan Babad Pratisentana yang berisi sumber referensi berbagai buku tentang sejarah dan babad Bendesa Manik Mas.
Buku lain yangt ditulis oleh Samsubur mengenai Sejarah Kerajaan bLambangan cukup membantu dalam memberikan gambaran peristiwa sejarah keterkaitan antara kerajaan Blambangan dengan Kerajaan Hindu lainnya, karena isinya diambil dari sumber-sumber local blambangan maupun sumber asing berpa laporan-laporan p[erjalanana pelancong asing ke wilayah kerajaan Balambangan kurun waktu abad ke 14-18 Masehi.
sumber : sejarah perjalanan danghyang nirartha, Drs I wayan Suadnyana

Topeng

Topeng

Foto0359Tari topeng berarti menari menggunakan topeng atau tapel sebagai penutup muka. Topeng pada mula munculnya tidak menggunakan lakon lakon tertentu karana biasanya hanya merupakan wali (pengertian masyarakat bali) dalam upacara adat di bali yang biasanya disebut topeng pajegan yang hanya di tarikan oleh seorang penari. Kata pajegan berasal dari kata pajeg yang berarti borong dalam bahasa Indonesia dengan mendapat sufiks- an sehingga menjadi kata pajegan berarti borongan di samping itu, kata pajegan juga berarti sejenis sesajen yang diatur sedemikian rupa guna persembahan kepada para dewata.
Prof bandem pada tahun 1978 mengatakan bahwa kata topeng berasal dari kata tup yang berati tutup di tambah saja dengan eng yang sehingga menjadi tupeng. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga menjadi topeng.menurut pengamatan penulis kiranya sangat sulit mencari kata tup dalam bahasa bali. Secara etimologi tidak mungkin kata topeng itu berasal dari kata tutup berarti tutup kemudian mendapat sufiks a sehingga menjadi kata tutupa yang berarti di tutup kemudian di tambah kata depan ing yang berarti dalam bahasa Indonesia. Kemungkinan pula mendapat dengan kata muka yang berarti muka daridalam bahasa Indonesia. Dari kata tutupa ing muka apa bila kata di depannya berakhir dengan vokal – a di ikuti oleh kata ing maka akan menimbulkan persendian sehingga menjadi eng dengan demikian, kata tutupa ing menjadi tutupeng lama kelamaan dari kata tutupeng lalu menjadi kata tupeng kemudian menjadi topeng dewasa. Secara lingustik kata topeng telah merupakan kata dasar yang mengandung arti sama dengan kata tapuk yaitu tutup .
Dari topeng pajegan akhirnya mengembang menjadi topeng prembon dengan menambah beberpa penari topeng atau pun penari lain seperti tarian lepas jauk atau baris, dan yang lebih dominan dengan memasukan penari arja khususnya mantra manis dan mantra buduh kadang dang di sertai dengan penari galuh (putri) dengan inya atau condong (dayang-dayang). Dengan demikian, di dalam topeng prembon bukan semua penari harus memakai tapel, yang pada umumnya menggunakan tapel berupa manusia walaupun kadang kadang digunakan pula jenis tapel berupa raksasa atau dewa.
Bandem mengatakan bahwa tari topeng diperkirakan muncul di bali pada masa pemerintahan raja ugrasena pada tahun 818 caka (896 masehi). Ini termuat dalam prasasti bebatin yang dikutip dari karya tulis I Wayan simpen AB dengan judul SEJARAH WAYANG PURWA.
Di Pura penataran topeng, blahbatuh tersimpan 21 buah topeng yang mewakili beberapa tokoh seperti : Dang Hyang Kepakisan , Patih Gajah Mada , Arya Damar, Raja Hayam Wuruk , Aji Wengker , Dalem Kresna Kepakisan…….. Di samping itu, di desa ketewel sukawati juga terdapat topeng sang hyang yang disebut juga topeng dedari antara lain : Nilotama , Supraba, Manaka, Ken Sulasih Kandran Gagar mayang , Gudita , topeng-topeng ini juga menggunakan canggem.
Topeng panca terdiri dari atas lima orang penari topeng sesuai dengan arti kata panca ( lima) topeng jenis ini pertama kali mucul di kerajaan badung dengan tokoh tokohnya : nyarikan sriada , ida bagus bodo, keneng , dan Ida Bagus Purya. Kemudian di susul dengan perkembangan topeng panca di klungkung dan gianyar. Dari perkembangan topeng panca ini kemudian di badung muncul sebuah pertunjukan yang menggabungkan tari topeng dan arja atau pun legong, baris, jauk yang disebut topeng prembon. Hal ini pertama tama dicetuskan oleh I wayan kaler.
Pada masa jaya nya pementasan topeng prembon rombongan Ida Boda , Nyarikan Sriada, Ida purya pertujukan topeng sering mengambil cuplikan cerita lawe sebagai lakon. Kemudian setelah Ida Boda waafat , maka muncul topeng prembon I Nyoman Pugra dari banjar kesima , dan A A oka dari blangsinga , Gianyar bali. Untuk melengkapi keperluan dalam hal pementasan suatu lakon maka di masukan unsure arja dalam hal ini mantri manis yang di bwakan oleh I Wayan Murdi. Kadang- kadang disertakan juga dengan penari jauk, baris, legong, limbur, inya(condong) , galuh atau putri , desak sesuai dengan kebutuhan lakon yang akan di pentaskan saying sekali rombongan ini hanya popular puluhan tahun karana I Nyoman Pugra meninggal ketika pentas di solo (jawa) . kemudian disusul dengan meninggalnya anak agung oka (popular dengan sebutan gung blang ) berselang beberapa bulan dari kematian I Wayan pugra.
Perlu pula diketahui di sini bahwa I nyoman pugra lah yang menciptakan tarian topeng monyer ( topeng manis/ bebagusan) yang pertama kali dan langsung sebagai pembawa tarian itu pada saat pementasan . topeng manis disebut sebagai ganti tarian topeng tua yang pada saat itu di iringi denagn tabuh weeda lumaku berbeda hal nya saat ini oleh para pencipta tabuh sudah di buatkan tabuh khusus untuk mengiringi topeng manis yang di bawakan oleh sekehe dari gladag badung yang bernama sekehe gong wijaya kusuma. Setelah kedua tokoh tersebut wafat , maka Ni Wayan Murdi bergabung dengan arja candrametu keluarga kesenian bali ( KKB) RRI denpasar , di samping rombongan topeng prembon I Nyoman Pugra , pada saat itu di badung berkembang pula rombongan topeng prembon Ida Bagus Ngurah(dalang buduk ) , daweg dari lukluk dengan kawan kawan . beliau (Ida Bagus Ngurah) mempopulerkan gending kusir dokar pada saat pementasan topeng nya. Daweg yang popular karana tarian topeng tua ( werda lumaku) yang paling berbobot saat itu tidak lam dapat menyertai Ida Bagus Ngurah karana kecepatan meninggal karana mengajar tari di Lombok.
Setelah semua tokoh diatas meninggal , maka daerah tingkat I Bali mulai mengadakan festival tari topeng prembon yang di ikuti oleh semua kabupaten yang ada di bali untuk itu kabupaten badung di wakili oleh rombongan topeng prembon carangsari di bawah pimpinan Gusti Ngurah Windia
Sumber: Topeng Prembon, I Wyn. Kargi.

Seni

Pengertian Seni di Bali

IMG_20140709_141554Pengertian dan asal-asal seni sudah terurai secara menditail di atas dengan menghaturkan berbagai macam pendapat para sarjana yang menekuni keilmuan dalam bidang seni atau estetika yang jangkauannya tidak keilmuan pada suatu daerah tertentu saja,akan tetapi berlaku secara mendunia dan universal. Bahasanya menjangkau termasuk wilayah Bali yang sudah terkenal tentang seninya. Dalam hal membicarakan masalah pengertian seni para pakar ilmuan seni dari barat sebagai tersebut di atas, terutama yang mengarah pada pengertian yang rasional dan modern. Jika dissimak Bali yang sudah sangat termasyur ke seantero dunia dan banyak jumlah senimannya yang selalu dipaka acuan dalam membahas masalah seni atau keindahan. Walaupun ada, hanya sebatas pengertian yang belum dibarengi dengan usulan-usulan yang sistematis. Sehingga dalam hal ini para seniman harus lebih kreatif dalam meneliti guna menelorkan sebuah usulan yang mendekati kebenaran. Terutama apa yang mampu dikomparasikan dari bermacam-macam sebutan yang diberikan kepada para seniman di dalam masyarakat di Bali, hanya sebagai penghargaannya terhadap diri seniman sebatas sebutan sebagai akhli (profesi) saja. Dalam hal ini untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan beberapa pendapatn para sastrawan zaman silam yang tersohor, atau pendapat para seniman dan berdasarkan sumber sastra agama Hindu yang melatar belakangi kesenian Bali pada umumnya.
Pada intinya masyarakat Bali sampai saat ini belum mempunyai istilah tentang seni atau kegiatan yang berkaitan dengan olah rasa ini. Walaupun beberapa pengamat, pelaku, dan penikmat seni sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencarikan istilah yang identik dengan kegiatan berkesenian, sehingga dapat ditelorkan sebuah definisi tanpa menjamin kepada para peneliti luar Bali. Tentang kegiatan bekesenian orang /masyarakat Bali tidak perlu diragukan lagi kemampuannya, akan tetapi dikala menteorikan keterampila mereka sangat sulit. Hal ini ini disebabkan oleh pemahaman yang kental terhadap nilai-nilai filsafatnya yang telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ada anggapan bahwa berbuat lebih bak daripada berteori. Dalam kehidupan masyarakat Bali sangat tidak disukainya apabila seseorang suka berteori (tanpa kerja) saja dan menomorduakan sebuah perjuangan/kerja. Ungkapan tersebut diatas sangat beralasan karena didasari oleh wejangan dilsafat yang terurai dalam Bab III, ayat 8 pada kitab Bhagawad Gita dengan bunyi syairnya sebagai berikut :

Niyatam kuru karma tvam
Karma jyayo hyakarmanah,
Sarira-yatrapi ca ten a
Prasidhyed akarmanah.

Artinya :
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bukan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya, (Puji, 1999 : 83).
Untatian syair kitab Bhagawad Gita tersebut diatas, sangat kuat mengilhami umat Hindu di Bali khususnya para seniman yang tak henti-hentinya bergulat dengan permasalahan nilai-nilai filsafat. Luluhnya para seniman dengan pola kehidupan berfilsafat ini menyebabkan mereka selalu mengukur sikapnya dengan ajaran agama yang sangat dalam. Sehingga pola keseharian para seniman Bali (masyarakat Bali) sangat menjunjung motto/ungkapan filsafat yang berbunyi, yaitu : “Rame ing gawe sepi ing pamrih” yang artinya : bekerja penuh dengan pengorbanan. Terngiang akan kesadaran makna filsafat tersebutlah menyebabkan umat Hindu di Bali dalam berkarya tidak mau berbuat atau berkarya dengan menyebutkan namanya. Semua yang mereka lakukan bukan berarti tanpa tanggung jawab, akan tetapi penuh dengan tanggung jawab yang dalam, karena karyanya tersebut bingkai oleh nilai-nilai keagamaan. Sehingga hal tersebut justru lebih bertanggung jawab umatnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi dengan demikian berkarya adalah sebuah mediapersembahan/pemujaan pada Tuhan serta bukan untuk kepentingan pribadi (subjektif) layaknya seperti sniman di Zaman modern ini, yang penuh dengan target-target kepentingan pribadi saja. Semua kegiatan khususnya dalam kegiatan berkesenian, sangat sulit ditemukan istilah kata yang tepat untuk mewakili bahasa senini di Bali. Sehingga dikala akan membahas pengertian seni, sangatlah sulit, karena para seniman dimasa lalu dan masa kini masih mensitir istilah seni dari ungkapan para seniman sastra dimasa lampau. Dengan member sebutan para seniman yang akhli dalam suatu bidang seni tertentu, semuanya bukan memberi pengertian pada kata seni. Oleh kerena permasalahannya sangat rumit, dalam hal ini maka penulis seni dan selanjutnya akan merumuskan dalam sebuah definisi seni khususnya di Bali. Sehingga dalam membahas masalah kesenian kita mempunyai suatu acuan dalam berfikir untuk menemukan kesenian kita mempunyai suatu acuan dalam berfikir untuk menemukan sebuah definisi seni.
Dalam buku yang berjudul “Estetika Hindu dan Pembangunan Bali” yang disunting oleh Prof. Dr. Ida Bagus Gede Yudha Triguna M. S. bahwa seni berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Sani yang dengan hormat dan jujur. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa seni berasal dari bahasa Belanda gine atau jenius, (triguna, 2003 : xiiv-xv).
Dalam tulisan yang berjudul “Siva Nataraja : Simbol, Filsafat, dan Gignifikansinya dalam Kesenian Bali” oleh Drs. Ida Bagus Putu Suamba, M.A, mengatakan bahwa setiap kesenian yang dipentaskan dilandasi oleh filsafat agama Hindu yang tinggi. Para penari (pragina) dalam semangat ngayah mempersembahkan kesenian di jalan kesenian. Mereka mempersembahkan seni itu kehadapan Tuhan sebagai persembahan (yajna). Serta ingin dan rindu untuk bertemu/bersatu dengan Dewanya seni yaitu Siva Nataraja yang agung, (Suamba, 2003 : 3).
Dalam tulisan yang berjudul “Memahami Konsep Estetika para Kawi” dikarang oleh Drs. Ida Bagus Gede Agastya, dikatakan bahwa untuk memahami arti seni atau estetika masih memerlukan ketelitian dalam mensitir ungkapan rasa kagum, atau terpesona para kawi sastra yang terungkap dalam karya sastranya, seperti kata ‘lango” dalam bahasa kawi, mempunyai makna yang khas dan sukar diterjemahkan dalam bahasa lain. Akan tetapi yang ingin digunakan oleh kata itu mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan “rasa terpesona”. Pengalaman ini menyebabkan seolah-olah tak sadarkan diri, subjek tertelan atau terlarut dalam objek, daya tarik boljek itu demikian kuat sehinga segala yang lenyap terhadap objek itu sendiri menjadi kabur, pengalaman tentang kemanunggalan menyamarkan perbedaan antara subjek dengan objek dan kesadaran diripun menjadi lenyap, kata “lango” berarti baik terpesona maupun mempesonakan dan dapat dipakai, baik mengenai suatu oemandangan yang indah maupun mengenai orang yang terkesan oleh keindahannya. Secara objektif kata “lango” berarti sifat yang menyebabkan objek itu menghijmbau pada perasaan estetis. Ini tidak disebabkan oleh keadaan yang terang benderang akan tetapi karena suatu kehidupan atau kecantikan masih bersifat samar (tidak terlihat sepenuhnya) sehingga hal itu menyebabkan seorang seniman yang tak tertahankan ingin bertemu dengan sang keindahan. Jadi, kata”lango” dimaksudkan adalah sifat yang terdapat pada objek maupun menghanyutkan. Dalam subjek dan objek terdapat unsur yang sama. Kata-kata yang sering diungkapkan oleh para kawi sastra ketika mereka merasa terpesona pada sebuah keindahan, yaitu seperti : lango, lengeng ,lengleng,. Semua kata-kata tersebut merupakan perwakilan dari rasa perpesona aau terkagumnya seorang penyair pada sebuah objek keindahan yang dilihatnya (Agastia, 2003 : 32-34).
Utnuk melengkapi pendapat tersebut di atas, di bawah akan diuraukan sejauh mana pengertian seni pada masyarakat Bali dimasa lampau dan kini, seperti terungkap dalam prasasti Bebetin, berbunyi sebagai berikut :

Pande Mas, Pande Besi, Pande Tembaga, Pmukul, Pagending, Pabunjng, Papadaha, Perbangsi, Pertapukan, Perbwayang.

Artinya :

Jujur tabuh, jujur suling, topeng, juru banyol, badut, tontonan, pertunjukan wayang (Yudabakti, 2004 : 158).

Sesuai dengan pendapat para penulis dan beberapa tulisan yang menyangkut dengan masalah seni tersebut di atas, satupun tidak ada yang menyebutnya dengan kata seni, definisi seni, akan tetapin semua isi tulisan/ungkapannya masih berkisar pada perasaan terpesona dari si pengawi/penulis terhadap objek seni. Demikian pula terhadap kegiatan bekesenian pada masyarakat Bali tidak ada yang menyebutnya tentang definisi seni, akan tetapi kegiatan seni hanya sebatas sebagai profesi seni saja. Sebagai tersebut dalam prasasti di atas, seperti dalam kata amukul (juru/tukang tabuh), anuling (juru/tukang suling) dan lainnya sebagainya. Semua kata tersebut bukan menyebutkan atau memberikan arti tentang kata seni, akan tetai hanya sebatas sebagai juru/tukang atau pelayan. Kenyataan tersebut sampai sekarang pada masyarakat Bali profesi seni masih diidentikan dengan profesi tukang tau juru, sama hal dengan profesi sebagai tukang bangunan, juru bayar, tukang sepeda, dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut bukan berarti menyepelekan profesi seni, justru profesi seni sekarang di Bali masih mendapat tempat yang sangat khusus, terbukti para tukang kayu diberi nama “undagi” tukang senjata/alat-alat tajam disebut “pande besi”, tukang mas disebut dengan “pande / tukang mas. Demikian pula dengan profesi sebagai seniman, semuanya diberi sebutan hamper sama dengan profesi tukang atau juru yang artinya orang akhli dalam bidang seni tertentu. Seperti tukang/juru igel (tari), tabh (kekawitan), tembang (vocal), dalang, topeng, dan lain sebagainya diberi sebutan”pragina” (akhli seni tertentu). Jadi, pada intinya di Bali istilah kata seni sama sekali tidak ada, seperti pada masyarakat intelek di barat. Hal tersebut agar beralasan, karena bagi orang Bali berkesenian merupakan media persembahan kepada Tuhan. Sehingga segala persembahan atau yajna. Pada dasarnya berkesenian merupakan misi memasyarakatkan ajaran Ke Tuhanan atau Weda. Oleh karenanya profesi mereka sangat mulya dan terhormat, karena pada saat0saat penyelenggaraan upacara/yajna para seniman Bali diundang untuk pentas dalam kaitannya dengan prosesi yajna. Penghormatan mereka disajikan dalam bentuk upakara/banten dan materi (uang) sesuai dengan kedudukannya atau berat ringan, besar kecilnya suatu upacara yang diselenggarakan di masyarakat. Kesimpulannya pengertian seni pada masyarakat Bali adalah sebuah profesi pendukung rentetan yajna dalam arti seni sebagai kegiatan mementaskan (nyolahang) nilai-nilai sastra agama Hindu.
A. Seni Sebagai Simbol Kebenaran, Kesucian dan Keindahan

Sebagai disebutkan oleh seserang tokoh seni yang berwawasan sepritual yaitu Drs. Ida Wayan Oka Granoka, bahwa agama adalah seni dan seni adalah agama. Seni dan agama indentik. Kreativitas kesenian adalah nyolahang sastra, (Suamba, 2003 : 3).
Ungkapan tersebut di atas mengisyaratkan pada kita bahwa betapa dalam kemanunggalan antara seni dan agama di Bali. Sehingga jikalau tidak didalami secara sungguh-sungguh maka sangat sulit dibedakan mana seni dan mana agama. Karena setiap penyelenggaraan yajna pasti ada kesenian dan setiap pertunjukan kesenian pasti mengandung atau memuat ajaran-ajaran agama. Inilah inti kemanunggalannya yang harus dipahami secara mendalam. Istilah nyolahang sastra sangatlah beralasan, karena pentas seni merupakan media penyiapan ajaran agama. Jadi seni adalah simbol kebenaran, kesucian, dan keindahan.
Dalam proses penyampaian ajaran weda adalah proses yang sangat sulit, oleh karena itu perlu ditempuh dengan jalan yang strategiis melalui pemahaman ajaran weda. Kandungan Weda sangat dalam dan rumit yaitu unsur tatwa/satyam (kebenaran), kesucian (sivam), dihadapi dan dimasyarakatkan dengan proses konsep sundaram (keindahan). Dalam rangkaian unsur estetika/sundaram (keindahan) ini weda dijabarkan dalam bentuk itihasa-itihasa yaitu Mahabharata, dan Ramayana. Kehidupan oleh para Rsi di masa lampau dijabarkan lagi dalam bentuk : sloka-sloka, kekawin, palawakya, geguritan, dan lain-lainnya. Yang semuanya bertujuan untuk memudahkan para penganut agama Hindu untuk menghayati ajaran weda tersebut.
Kemudian dalam proses selanjutnya untuk memansyaratkan ajaran weda, para Rsi memilih melalui jalan berkesenian yang disampaikan dalam kegiatan upacara agama. Sehingga peran kesenian dalam upacara sangat penting kerena kesenian mempunyai misi menerangkan ajaran agama. Sesuai dengan uraian di atas, maka timbul pernyataan apakan seni bias dipisahkan atau ditiadakan dalam kegiatan keagamaan ? jawabannya adalah tidak. Karena pentas seni adalah pentas agama yang artinya pentas yang mengandung ajaran satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan Sundaram (keindahan) yaitu proses pemahaman ajaran weda. Jadi benarlah pentas seni adalah nyolahang sastra dan seni adalah simbol penjabaran ajaran weda melalui konsep pemahaman satyam (kebenaran/tatwam), sivam (kesucian), dan sundaram (estetika/keindahan).
B. Pengertian Seni Sakral di Bali

Seni Sakral merupakan kesenian yang di pentaskan pada saat pelaksanaan pelaksanaan suatu yajna dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sacral ini sangat disucikan dan dikeramatkan olehmasyarakat Bali. Mengingat pengaruhnya bagi keharmonisan alam semesta ini. Oleh karena itu seni sakral ini sangat mendapat perhaian pada masyarakat Bali. Mengingat pentingnya peran seni sacral dalam kehidupan keagamaan, maka sangat perlu diteliti tengtang makna, asal-usul keberadaan seni ini, sehingga dapat diketahui oleh khalayak ramai atau masyarakat umatnya para pemerhati seni tentang makna hal ikhwal eni sacral tersebut. Sesuai dengan hasil survey yang penulis lakukan melalui beberapa literature, seni sacral terdiri dari dua kata dasar yaitu “seni” dan “sakral”. Tentang penelitian seni tida perlu diulasi lagi, karena secara panjang lebar terluas pada uraian diatas. Akan tetapi, pengertian kata sakrallah yang paling perlu diperhatikan dalam bahasan ini. Kata sacral/keramat, berasal dari bahasa latin yaitu” sacrare “ yang artinya “mengkeramatkan’, dalam bahasa Belanda yaitu “sakraal”, dan dari bahasa inggris yaitu “sacred”. Sesuai dengan yang dipentaskan pada saat-saat tertentu saja (tidak dipentaskan pada smbarang tempat, waktu atau media). Dalam masyarakat Bali seni sakral idenik dengan seni “tenget” atau angker, maksdudnya tenget atau angker ini bukan berarti negative (tertutup, saklek, seram, dan lain sebagainya), akan tetapi “tenget” yang berarti menetapkan suatu kegiatan atau karya seni pada posisi yang tertentu atau tidak ditempatkan pada sembarang tempat. Hali tersebut dilakukan dengan tuuan agar masyarakat (penyungsunga) menghormati secara mendalam seolah-olah para dewa, bethara, roh leluhur yang bersthana di dalam karya seni itu. Serta melalui penghormatan tersebut dapat dipupuk keyakinan para penyungsung untuk menambahkan keyakinannya sehingga dikemudian hari keyakinan tersebut dapat diteruskan oleh anak cucu merela. Sakral atau tenget ini mengandung arti atau bertujuan untuk menghormati kesenian tersebut, sebagai bukti seni sakral hanya dipentaskan pada saat piodalan, atau karya/yajna tertentu.

 
III
FUNGSI KESENIAN BALI

Pada uraian diatas secara tidak langsung telah banyak disinggung tentang jenis dan fungsi kesenian Bali. Terutama pada bagian sumber atau sejarah seni di Bali, namun uraian fungsi tersebut hanya sebatas dalam jenis seni tertentu saja. Serta bukan menguraikan fungsi seni yang secara universal dan detail. Sehingga sangat sulit untuk ditemukan atau diklasifikasikan secara jelasnya di bawah akan diuraikan tentang fungsi seni di Bali secara benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pada intinya kesenian Bali mempunyai fungsi yang sangat sakral, karena dalam penciptaan karya seni Bali pada awalnya hanya untuk kepentingan kegiatan keagamaan semata. Serta disesuaikan dengan sumber tatwa sastranya. Maka sangatlah beralasan apabila dikatakan bahwa kesenian Bali adalah suatu kegiatan nyolahang sastra.

Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa kesenian Bali dipentaskan bertujuan untuk mensosialisasikan ajaran agama Hindu yang bersumber pada ajaran Weda dan Itihasa. Dengan penonton dapat menyerap ajaran agama yang disampaikan oleh para seniman dalam pementasannya. Oleh karenanya agama dan kesenian/kebudayaan sangatlah menyatu, sehingga jika kita tidak memahami ke dua unsure tersebut klita akan sulit untuk menelaahnya. Ibaratkan sebuah adonan yang mempunyai berbagai rasa yang mengenakkan. Dari sinilah lahir fungsi ganda kesenian di Bali. Dilihat dari satu sisi seni mengandungg fuingsi sebagai wali/sakral yang menjalankan sumber atau kepentingan sastra. Dan dari sudut pandang yang lain seni berfungsi sebagai meia pendidikan, dan hiburan. Pengklasifikasian tersebut, bukanlah suatu hal yang paten terdapat dalam ajaran tertentu, akan tetapi dilakukan untuk mudhnya membedakan makna dan fungsinya bila kita melakukan pendalaman pada seni sakral ini. Adapun fungsi kesenian Bali setelah diadakan pengklasifikasian, sebagai tersebut dalam Sminarar Seni Sakral dan Profan bidan seni tari diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan pengembangan Kebudayaan Daerah Bali yang diselenggarakan pada tanggal, 24 Maret 1971 di Denpasar. Dalam hal ini judul seminar hanya meliputi ruang lingkup pada seni tari saja. Akan tetapi menyangkut semua tidak terbatas pada seni tari saja. Akan tetapi menyangkut semua cabang seni diklasifikasikan secara baik. Baik untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan sedikittentang keputusan Seminar itu yang menyangkut pembagian tari Bali menurut fungsinya, antara lain sebagai berikut :

a. Seni Teri Wali (Sacred, religious dance) yaitu seni tari dipertunjukan di Pura-pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upcara/upakara agama. Pada umumnya kesenian wali ini tidak memakai lakon. Adapun yang termasuk dalam kategori seni wali yaitu kurang lebih : Tari Rejang, Tari Pendet, Tari Sanghyang, dan Tari Baris upacara.
b. Seni Tari Bebali (Ceremonial Dance), yaitu seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan upakarayang bertempat di pura-pura dan di luar pura, serta pada umumnya kesenian ini menggunakan lakon. Adapun yang termasuk dalam klasifikasi seni Bebali adalah sebagai berikut : Seni Pewayangan, Topeng Gambuh, serta segala seni tari yang diciptakan berlandasan ketiga tari-tarian tersebut.

c. Seni Tari Balih-balihan Securel Dance) yaitu, segala seni tari yang mempunyai unsur dan dasar dari seni tari yang luhur. Dalam hal ini tidak tergolong dalam seni Tari Wali dan Bebalih. Cirri khas Seni Tari Balih-balihan ini yang bersifat inovasi bahkan sangat kontemporer (mengandung seni yang serius dan penuh dengan nilai hiburan). Adapun yang termasuk dalam klasifikasi seni tari balih-balihan adaah : semua aktivitas seni yang dipertunjukan untuk hiburan masyarakat. Asalkan tidak termasuk dalam kelompok seni sacral/wali/bebalih sebagai tersebut pada butir a dan b di atas.

Sesuai dengan uraian tersebut di atas, bahwa pengklasifikasian seni dalam seminar pada tahun 1997 itu merupakan sebuah standar yang kita pakai dalam mengadakan perukuran sebuah karya seni sehingga kesakralannya dapat diketahui. Sebagai contoh dalam uraian pada butir a bahwa tarian wali bercirikan tidak memakai lakon. Namun keputusan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena terbukti pada seni pertujukan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena terbukti pada seni pertunjukan wayang sapuleger yang memakai lakon adalah benar-benar sebagai seni d dalam klasifikasi seni wali. Disamping itu karena prtunjukan Wayang Sapuleger merupakan wuku wayang atau pada hari Tumpek Wayang. Sesuai dengan uraian pada bagian seni tari walli di atas, tidaklah seenuhnya benar semua rai wali tidak memakai lakon.

Uraian diatas cukuplah jelas, apa sebenarnya fungsi kesenian dio Bali yang suatu bila ada orang yang ingin mempelajari fungai seni Bali mendapat keterangan yang valid. Dan yang penting adalah bagi para wisatawan atau para paramuwisata/pengelola kepariwisataan akan sering berhadapan dengan masalah pernyataan mengenai fungsi seni di Bali. Dengan mengetahui pengetahuan yang seklumit ini dapat memantapkan dunia kepariwisataan dan kesucian Pulau Bali yang kita cintai.
sumber: Filsafat Seni, I Wyn. Watra

Br. Selat, Beringkit.

Data Banjar Selat Beringkit

IMG_20140709_141533Banjar Selat terletak di desa Beringkit Kecamatan mengwi Kabupaten badung. Kata Selat yang artinya kelod sesua dengan tempat berdirinya banjar yang berada di sebelah selatan jalan saya sangat bangga bertempat tinggal di Banjar Selat karana banjar Selat mempunyai berbagai prestasi yang sangat bagus di bidang olah raga dan seni serta kekompakan warga nya pada saat gotong royong prestasi yang pernah di raih Banjar Selat Beringkit ialah juara 1 lomba panjat pinang, juara 1 lomba tarik tambang juara 2 lomba ogoh-ogoh dan juara 1 lomba Balaganjur antar Banjar di Desa adat Beringkit jumblah kepala keluarga yang berada di Banjar Selat Berigkit adalah 85 kepala keluarga dan mayoritas penduduk Banjar Selat Beringkit ialah pedagang 50% petani 30% wirasuwasta 10% dan pegawai negeri sipil 10% yang pertama menjabat sebagai kelihan adalah I Nyoman Punia dengan wakil yang bernama I Ketut dana menjabat sekitar 5 tahun dan kelihan banjar yang sekarang bernama I Nyoman Swandhi dengan wakilnya yang bernama I Ketut Wirta yang menjabat dari tahun 2013 sampai sekarang Banjar Selat Beringkit luas Balai Banjar selat Beringkit kira-kira 1 are dan mempunyai organisasi pemuda-pemudi yang bernama STT Satya Muni yang berdiri pada tanggal 28 juni 1983 arti dari kata Satya Muni ialah Satya yang berarti setia dan Muni yang berarti perkataan jadi arti dari nama Satya Muni adalah pemuda yang setia akan semua perkataan nya. Stt Satya Muni berjumblah 55 anggota diantaranya adalah pemuda 34 orang dan pemudi 23 orang yang pertama menjabat sebagai ketua pemuda adalah I Putu Sukita dengan wakilnya yang bernama I Putu Wisna menjabat masing- masing-masing 2 tahun dan ketua yang menjabat sekarang adalah I Made Pande Gunawan dengan wakilnya yang bernama I Putu Aris Mertanuraga menjabat dari tahun 2013 sampai sekarang Banjar Selat Beringkit mempunyai sekehe gong yang bernama sekehe gong Eka Budaya swastika yang berdiri pada tanggal 6 april 2011 dengan kelihan yang pertama bernama I Putu Ariawan gending yang dikuasai sekehe gong eka budaya swastika ialah :
1. Gending tabuh pisan bangun anyar
2. Gending tabuh pat gari
3. Gending tabuh telu buaya mangap
4. Gending tabuh telu gajah nongklang
5. Gending tabuh pat sekar katrang
6. Gending tabuh pat semarandana
7. Gending tabuh pat Ginanti
8. Gending lelambatan Gagak
9. Gending tabuh Manas Manis
10. Gending tabuh pat Galang kangin
Tabuh-tabuh tarian yang dikuasi oleh sekehe gong eka budaya swastika ialah :
1. Tarian Cendrawasih
2. Tarian Puspanjali
3. Tarian Merak Angelo
4. Tarian Margapati
5. Tarian Sekarjagat
6. Tarian Nelayan
7. Tarian Kasmaran
8. Tarian Sekar Jepun
9. Tarian Oleg Tamulilingan
10. Tarian panyembrama
11. Tarian Pelegongan Kreasi Mesatya
12. Tarian Pelegongan Kreasi Sutri Mas Wiguna
13. Tarian Topeng Keras
14. Tarian Topeng Tua
15. Tarian Baris Tunggal
16. Tarian Rejang Dewa
17. Tarian Topeng Monyer
18. Tarian Jauk Manis
19. Tarian Jauk Keras
20. Tarian Blibis