Category Archives: sejarah karawitan

CIKAL BAKAL BERDIRINYA GAMBUH MAYA SARI

  1. A.    Latar Belakang

Tahun 1965 adalah tahun yang bersejarah, karena pada saat itu terjadi G 30 S PKI. Dimana setelah peristiwa G 30 S PKI tersebut terjadi perpecahan di tubuh Semetonan Triwangsa, sehingga dua kelompok, yaitu kelompok Sila Murti dan kelompok Sila Mona. Mengapa hal itu terjadi? Penulis mendapat informasi dari beberapa informan tentang masalah pecahnya golangan Tri Wangsa ini menjadi dua kelompok. Desa pekraman yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomoor 03 Tahun 2001, dijelaskan bahwa Desa Pekraman adalah kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan masyarakatymat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tetangganya sendiri (Gunada, 2009:2).

Desa Pekraman Batuan yang sebeumnya disebut Desa Adat merupakan desa peninggalan sejarah, yang sekrang merupakan desa cagar budaya. Disebut desa bersejarah karena Desa Pekraman ini dibangun pada waktu pemerintahan Raja Paduka Haji Sri Darmawangsa Wardhana Pangkaja Sthanotungga Dewa yang sangat bijaksana.

Pada tahun 1985, Proof. Hildred Gertz dari Univercity of Princeton USA menyelidiki kehidupan social dan kebudayaan masyarakat Batuan melalui prasati yang pernah dibaca oleh Sastrawan dari Universitas Udayana pada tahun 1966/1970, yaitu 47 tahun yang lalu. Isi prasasti tersebut, disebutkan bahwa pada waktu pemerintahan Raja Paduka Haji Sri Darmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Sthanotungga Dewa yang sangat bijaksana, masyarakat kepada raja, seperti: menghaturkan upeti, mengerjakan kebuun raja, termasuk keluarga raja serta pembantu-pembantunya, memelihara Pura Sang Hyang Baturan, Pesanggrahan dan Pertapaan yang ada di wilayah Desa Baturan beserta upacaranya.

Keadaan seperti itu, berjalan dengan baik dan tidak bisa ada masalah baik dari golongan biasa maupun dari golongan atas (Triwangsa), sudah berangsung bertahun-tahun. Hal ini, dapat berlangsung karena yang menjadii Bendesa (pemimpin) di Pura Desa Adat Batuan pada waktu itu adalah golongan dari Puri. Mungkin dari golongan Puri ini, membuat suatu aturan atau kesepakatan dengan golongan bawah, sehingga golongan atas hanya “maturan” atau sembahyang saja, tidak ikut membuat upakara/upacara piodalan. Sedangkan yang menyelenggarakan upacara adalah golongan biasa.

Namun, setelah generasi berikutnya (dari golongan biasa) yang menjadi pemimpin di Desa Adat itu, mulailah terasa ada ketidak adilan antara golongan biasa dan golongan atas. Sehingga pemimpin generasi muda berikut ini menuntut agar golongan ikut bersama-sama melakukan kewajiban atau menangung beban di Pura Kahyangan Baturan. Walaupun ada tuntutan dari golongan biasa untuk bersama-sama menanggung beban ayahan di Desa Adat Batuan, namun tuntutan tersebut tak terpenuhi. Mulailah terjadi riak-riak kecil ketidak harmonisan antara golongan biasa dan golongan atas, tetapi tidak menimbulkan reaksi keras. Hal ini, terjadi sebelum tahun 1966, yang masih dapat dittoleransi antara kedua golongan ini.

Namun pemimpin muda berikutnya, melakukan pembacaan prasasti yang ada di Pura Des Adat Batuan pada tahun 1966, dengan tujuan untuk mengetahui isi prasasti itu. Isi prasasti yang dibaca pada tahun 1966 itu, berisi beberapa keputusan seperti yang telah disebutkan di atas, telah dilanggar oleh pemimpin dari golongan atas tersebut. Karena itu, kembali timbul tuntutan hak dan kewajiban kepada golongan atas tersebut agar ikut bersama-sama melakukan pekerjaan sebagaimana yang dilakukan oleh golongan biasa.

Timbul konflik kecil antara golongan biasa dan golongan atas, dimana golongan atas belum berani menentukan sikap. Walaupun terjadi konflik kecil tetapi dapat teratasi, namun tetap saja tuntutan itu harus diterima oleh golongan atas.

  1. B.    Karya Mamungkah di Pura Dalem Sukaluih, Tahun 1971

Pada tahun 1971 di Pura Dalem Sukaluih dilaksanakan Karya Mamungkah. Karya yang besar itu sudah tentu dilengkapi dengan rentetan acara yang akan mengiringi upacara yang besar itu. Pada umumnya apabila ada upacara besar seperti yang dilaksanakan oleh krama Pura Dalem Sukaluih sangat diperlukan iringan tari wali atau wewali (bebali), seperti: Wayang Gedog, Topeng Sidakarya, atau Wayang Wong, dan Gambuh. Sedangkan Gambuh yang ada pada saat itu adalah gambuh yang biasa Ngayah di Pura Desa yaitu gabungan antara seniman Semeton dan seniman dari Pekandelan. Dari seniman yang ada di Pekandelan bermaksud akan Ngaturang Gambuh pada saat Karya. Namun, menurut Pak Bukel Kak taweg menentangnya, nbeliau mengatakan bahwa Gambuh tidak ada hubungannya dengan Karya.

Walaupun demikian, dari pihak seniman tetap berusaha agar gambuh ada pada saat Karya. Oleh karena itu, timbul ide dari Kak kakul untuk mencari gambuh yang didukung oleh pihak semetonan dan pihak seniman Pekandelan. Walaupun pada waktu itu, kedua golongan di atas (Sila Murti dan Silamona) tidak aktif di Pura Desa, tetapi satuan gambuh yang ada di Batuan masih dianggap bersatu antara semetonan dan seniman Pekandelan.

Menurut Bapak Bukel yang dikonfirmasi mengenai permasalahan Gambuh yang harus ada pada saat karya di Pura Dalem Sukaluih, diceritakannya sebagai berikut: Semula maksud baik dari pihak seniman Kak Kakul dan seniman lainnya waktu itu, mohon Gambuh pada semetonan. Menurut Bapak Bukel yang menjadi tim Gambuh di semetonan pada waktu itu adalah I Dewa Kompiang Badung dan A.A Gde Putra. Lobi pertama untuk mencari tenaga penari dan penabuh hany 40 orang saja. Permohonan itu sudah disanggupi, namun pada lobi kedua ada syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon. Syaratnya adalah agar seluruh sekehe yang berjumlah 150 orang (semeton dalem puri) disertakan (diundang). Tetapi maksud maksud dari pihak Kak Kakul dan seniman lainnya tidak demikian. Artinya hanya mencari beberapa saja dari penabuh dan penarinya. Oleh karena itu, permohonannya ditolak oleh pihak semetonan karena tidak menuruti persyaratan yang diajukan. Pihak pemohon merasa berat karena pihak Dalem Sukaluih tidak akan mampu menyediakan (nyangu) sebanyak itu, maka batal mencari gambuh pada semetonan.

Selanjutnya muncul idel lagi dari Kak Kakul untuk membentuk gambuh dengan beberapa penari saja yang ada meskipun tabuhnya tidak lengkap. Baru beberapa kali latihan berjalan ternyata tidak bisa terwujud, karena kendalanya adalah pada tabuh atau gendingnya tidak lengkap. Maka timbul lagi ide untuk mencari tokoh yang menguasai gending gambuh. Semula dimohon Dewa Kak Kompiang untukk membinanya bersama di Pekandelan, namun beliau katanya masih ragu-ragu, kata Pak Bukel. Mungkin keragu-raguannya itu disebabkan oleh pecahnya semetonan, karena kalau ke sana disangka yang aneh-aneh oleh pihak semetonan Silamona (maklum situasi waktu itu belum konduusif).

Langkah berikutnya, kata Pak Bukel: pihak seniman di Pekandelan mendekati Ida Bagus Kakiang Ceti. Dari pendekatannya ituu Ida bersedia dating membinanya ke Pekandelan. Pada saat iitu latihan berlangsung dating Dewa Kak Kompiang mengamati orang sedang latihan bersama Ida Kakiang Ceti. Spontan Kak Kakul menyuruh Dewa Kak Kakiang bersama-sama membinany.

Pada waktu latihan kata Pak Bukel hanya menggunakan gending bapang gede untuk tari laki-lakinya sedangkan gending kakan-kakannya oleh Dewa Kak Kompiang. Namun, karena dianggap belum lengkap/sempurna, maka Pak Budi mencari Ida Bagus Tegog dan Dewa Ketut Jatra yang menguasai gending gabor. Selanjutnya ketiga tokoh ini latihan di rumah Pak Budi (tidak disebutkan kelanjutannya).

Tetapi, setelah Dewa Kak Kompiang, menyertai latihan di sana Ida Bagus Kakiang Ceti berhenti. Menurut Pak Bukel Ida Bagus Kakiang Ceti hanya dapat bergabung kurang lebih selama seminggu akhirnya tidak berlanjut. Latihan selanjutnya diteruskan oleh Dewa Kak Kompiang bersama penabuh lainnya di antaranya yang senior adalah Bapak Budi. Sedangkan di bidang penari yang juga ikut mendukung gambuh ini adalah Dewa Kak Cita. Gambuh yang dipersiapkan “Ngayah” di Pura Dalem Sukaluih dilatih secara kontinyu sampai larut malam agar dapat dipentaskan nanti. Latihan secara kontinyu ini dilakukan dua minggu menjelang puncak karya. Syukur dengan usaha yang maksimal dari para seniman ini Gambuh dapat mengiringi upacara karya.

  1. C.     Pentas di Jakarta

Menurut Bapak Bukel setelah karya di Pura Dalem Sukaluih selesai, Gambuh ini berlanjut dilatih dan dimantapkan oleh tokoh-tokoh seni agar tidak berhenti sampai di saat karya saja. Kebetulan pada waktu itu, Sukmawati (anaknya Bung Karno) ikut bergabung dalam Gambuh ini. Ia berperan sebagai Panji. Pada waktu itu, dating ibu Sukmawati ke Batuan dan mengajak sekehe Gambuh ini ke Jakarta untuk dipentaskan. Kedatangan Ibu Sukmawati itu, sekitar tahun 1977-1978.

Sekembalinya dari Jakarta gambuh ini semakin tumbuh dan berkembang baik dari segi personil maupun dari segi kemampuannya. Kemudian Gambuh yang dibangun ini akan diberi nama. Menurut Bapak Bukel, untuk pemberian nama terhadap gambuh yang telah ada ini, para tokoh seni minta petunjuk kepada Mangku Desa. Mangku Desa merestui dan memberinya nama “Gambuh Maya Sari”. Mulailah pada saat itu ada dua satuan Gambuh di Batuan, yaitu Gambuh Triwangsa dan Gambuh Maya Sari. Gambuh Maya Sari ini sebagian besar didukung oleh krama Banjar Pekandelan dan Dewa Kak Kompiang, Dewa Kak Serong, dan Dewa Kak Cita.

Dampak dari munculnya Gambuh Maya Sari adalah terkucilnya Dewa Kak Kompiang dan Dewa Kak Cita oleh Semeton Silamono. Entah apa yang menjadi pemikiran pemuka semeton Silamono, sehingga kedua tokoh gambuh di atas tadi disisihkan dari semetonan Silamono. Pengucilan ini dicetuskan oleh I Dewa Kompiang Badung, I Dewa nyoman Pasek, dan beberapa pemuka lainnya pada saat paruman. Oleh karena itu, mereka tersisih dari Semeton Silamono, sehingga mereka bergabung di Semetonan Sila Murti dalam hal melunasi iuran piodalan di Pura Dalem Puri. Karena pada waktu itu, piodalan di Pura Dalem Puri kedua tokoh ini tidak diterima iuranannya oleh pihak Silamono.

Ketika itu, setiap odalan di Pura Dalem Puri penyungsung masih dikotak-kotakkan, yaitu pihak Sila Murti, pihak Silamono, dan pihak semeton Sukawati yang secara bergilir ngodalin. Hal ini jelas masih terdapat dualisme kelompok semetonan dan masih meninggalkan sisa-sisa zaman partai di masa orde lama.

Namun, lama kelamaan pengkotak-kotakan itu tidak lagi muncul seperti adanya kelompok Sila Murti dan Silamono di Pura Dalem Puri. Entah apa alasannya kedua kelompok itu lebur menjadi satu. Demikian menghaturkan piodalan hanya dilaksanakan oleh semeton penyungsung Batuan dan semeton penyungsung Sukawati.

Sekehe Gambuh Maya Sari tidak bertahan selamanya seperti yang diharapkan sebelumnya, karena di dalam sekehe tersebut terdapat suatu masalah antara pendukung sekehe, sehingga ada yang memisahkan diri. Dari peristiwa tersebut terbentuklah satuan gambuh lagi di bawah pimpinan Bapak Made Jimat. Gambuh ini di bawah naungan sanggarnya yang bernama “Panti Pusaka” pada saat itu.

Tidak hanya Pak Made jimat yang mau membentuk satuan Gambuh tetapi Pak Kantor juga membentuk Gambuh di bawah naungan “Sanggar Kakul”. Nama ini diambil dari maestro besar seorang tokoh seniman tari topeng di Batuan yang allround (serba bisa) dan juga seorang dosen luar biasa di KOKAR dan ASTI pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Gambuh yang dipimpin oleh Pak Kantor ini penarinya didominasi oleh keluarga besarnya, baik dari ipar, sepupu, menantu, anak, dan keluarga terdekatnya.

Sebuah seni, baik seni tari, seni suara, atau seni lainnya mempunyai tingkat sensitifisme yang tinggi. Sehingga tidak jarang kelompok-kelompok seni tersebut mengalami perceraian, yang dipicu oleh SDM dan kulitasnya masing-masing. Ada pula penybabnya adalah ingin menunjukkan jati dirinya sebagai seniman untuk berkompetisi antara seniman atau grup seni yang satu dengan grup seni yang lainnya. Hal ini sah-sah saja, asalkan tidak mempunyai rasa tersaingi tetappi memiliki rasa motivasi yang tinggi untuk memajukan seninya masing-masing.

Hal ini juga terjadi di grup/kelompok seni suara, seperti halnya yang ada di Jawa dan daerah lainnya timbul perceraian pula, misalnya kelompok penyanyi/hrup Band Koes Plus, Grup Band 4 Nada, dan contoh Grup Band yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa sensitifisme seorang seniman. Demikian pula halnya dengan munculnya satuan-satuan gambuh baru. Seperti satuan gambuh kecil yang dipimpin oleh Pak Bukel. Di mana Pak Bukel sendiri adalah keluarga Pak Kantor yang juga pendukung gambuhnya. Terwujudnya satuan gambuh Pak Bukel ini tiada lain tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengembangkan tarinya, khususnya gambuh karena anaknya Wayan dan menantunya adalah sejana seni. Itulah tujuannya semula tidak ada maksudnya untuk menyaingi Gambuhnya Pak Kantor atau yang lainnya, kata Pak Bukel. Bahkan beliau siap membantu dan memanfaatkan senimannya untuk mendukung Gambuh Pak Kantor. Walaupun gambuh ini terbentuk namun sebagian penarinya juga berasal dari keluarga gambuh yang terdahulu, katanya.

Terbentuknya beberapa satuan Gambuh di Batuan merupakan perkembangan dari Gambuh Maya Sari itu sendiri. Tetapi Gambuh Maya Sari saat ini nyaris dilupakan, bahkan jarang sekali mendapat pembinaan. Meskipun demikian para senior tari dan tabuh telah berhasil menumbuhkembangkan beberapa Gambuh di Batuan.