TARI KECAK

Tari Kecak yang sering disebut “The Monkey Dance” bagi orang-orang yang melakukan tarian dalam bentuk drama yang relatif baru namun telah menjadi pertunjukkan yang sangat populer dan terkenal menjadi sesuatu yang baik untuk ditonton baik domestik maupun luar negeri. Adegan-adegan tari kecak telah dipromosikan di beberapa poscard, buku petunjuk pariwisata dan lain-lainnya.

Nama Kecak adalah nama yang dapat digunakan untuk membuat pesan suara. Ada beberapa yang menerangkan bahwa kata “cak” memiliki arti yang sangat penting dan signifikan dalam pertunjukan.

Asal Muasal Tari Kecak

Tak diketahui secara langsung darimana tarian kecak datang dan dimana pertama kali berkembang, namun ada semacam kesepakatan pada masyarakat Bali kecak pertama kali berkembang menjadi seni di Bona, Gianyar sebagai pengetahuan yang digunakan untuk masalah-masalah yang ada atau yang dihasil dari perpaduan suara yang melodi yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian Sahyang yang disakralkan. Dan hanya dapat dipentaskan di dalam pura. Kemudaian pada awal tahun 1930an astist dari desa Bona, Gianyar adalah untuk mengembangkan tari kecak dengan mengambil bagian cerita Ramayana yang didramatarikan sebagai salah satu dari mereka. Tari Sanghyang tidak dapat dipertanggungjawabkan di muka umum sebagai seni pertunjukan. Bagian cerita Ramayana yang pertama adalah saat saat Dewi Sita diculik oleh Raja Rahwana.

Perkembangan Tari Kecak Di Bali

Tari kecak di Bali merupakan pengembangan terus sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat dari segi cerita dan pementasan. Dari Segi cerita untuk review pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana tapi bagian cerita yang lain dari Ramayana.

Kemudian dari segi pementasan juga mulai berkembang tidak hanya dapat ditemukan di Desa Bona, Gianyar namun juga desa desa yang lain di Bali yang sangat populer di Bali yang terdiri dari kelompok-kelompok yang ada anggotanya dan para anggota banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah atau pun oleh sekolah seni yang ada di Bali.

Seni Tari Kecak

Sebagai Suatu Pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa faktor, pertunjukan kecak penyanyi menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu musik sangat penting untuk review mengiringi lenggak lenggok penari. Namun dalam hal ini, anda dapat menggunakan musik untuk sekitar 50 – 70 orang orang akan membuat musik secara akurat, yang akan bertindak sebagai pemimpin yang merupakan bagian dari nada yang diperlukan sebagai penekan yang diperlukan untuk memberikan nada yang tinggi atau rendah. Sebagai penembang solo, dan sorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam tingkat kecak dalam gerakannya tidak bisa sesuai dengan pakem pakem yang diiringi oleh gamelan.

SEJARAH GAMELAN GONG KEBYAR

Gong kebyar adalah sebuah barungan baru. Gong adalah sebuah instrument pukul yang bentuknya bundar yang mempunyai moncol atau pencon di tengah – tengahnya. Kebyar adalah suatu bunyi yang timbul dari akibat pukulan alat – alat gambelan secara keseluruhan dan secara bersama – sama.Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini Kebyar disini bermakna cepat, tiba-tiba, dan keras. Gamelan ini menghasilkan musik-musik keras yang dinamis. Gamelan ini digunakan untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan yang instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Kebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkokan yang berbilah lima dirubah menjadi gangsa gantung yang berbilah sembilan atau sepuluh. Cengceng kopyak yang terdiri dari empat sampai enam pasang dirubah menjadi satu atau dua set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tanga.

Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gede yang kokoh atau pelegongan yang melodis. Pola Gagineman Gender Wayang, pola Gegambangan dan pukulan Kaklenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar. Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Gamelan gong kebyar yakni sebagai seni musik tradisional di Bali yang diperkirakan muncul di Kabupaten Singaraja yakni pada tahun 1915.

Desa yang di sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.

Perkembangan Gong Kebyar di Bali, seperti yang dikutip dalam catatan sukocoterdapat tiga Gamelan kebyar yang berkembang di Bali yaitu :

  • Gamelan kebyar yang bersumber dari Gong Gede,
  • Bersumber dari gamelan palegongan,
  • Murni buatan baru.

Yang pertama memiliki embat yang sesuai dengan embat gamelan gong gede yaitu agak rendah seperti yang banyak terdapat di Bali Utara. kelompok kedua menggunakan embat sama dengan embat gamelan palegongan (sumbernya) yaitu agak tinggi seperti yang sebagian besar terdapat di Bali bagian selatan, Gamelan-gamelan kebyar yang murni buatan baru sebagian besar ber-embat sedang seperti yang terdapat di berbagai daerah di Bali dan diluar Bali. Kenyataan ini menunjukan bahwa belum ada standarisasi embat untuk Gamelan kebyar di Bali.

Juga Dinamakan gong kebyar, menurut kutipan catatan ekadarmaputra dalam ISI Denpasar, Gong kebyar ditabuh untuk pertama kalinya menyebabkan terjadinya kekagetan yang luar biasa. Masyarakat menjadi tercengang dan ternak sapi yang sedang diikatkan di ladang dan di kandangnya terlepas dan lari tunggang langgang. Disebutkan juga dalam catatan blog tersebut, gong kebyar merupakan tabuhan bersama dan serentak yang diikuti oleh hampir semua tungguhan pada perangkatnya kecuali tungguhan suling, kajar, rebab, kempul, bebende kemong, kajardanterompong.

Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya bisa di depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada iringan tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang sangat dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu membangkitkan semangat.

Dalam perkembangannya gong kebyar munculah istilah gaya Bali Utara dan gaya Bali Selatan, meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng. Sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan lain mengambil gaya Bali Selatan. Disamping itu penggunaan tungguhan gong kebyar di masing-masing daerah sebelumnya memang selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan maupun fungsinya.

Struktur Gong Kebyar

Gong Kebyar merupakan salah satu perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri dari lima nada ( panca nada ) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrument terdiri sepuluh bilah. Gong Kebyar bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, karena hampir seluruh desa maupun banjar yang ada di Bali memiliki satu perangkat/ barungan Gong Kebyar.

Oleh karenanya gong kebyar menjadi satu barungan gambelan tergolong baru jika dibandingkan dengan jenis-jenis gambelan yang ada saat ini seperti misalnya, gambelan Gambang, Gong Gede, Slonding, Semara Pegulingan dan masih banyak yang lainnya. Barungan gong kebyar terdiri dari :

  • Dua buah (tungguh) pengugal/giying
  • Empat buah (tungguh) pemade/gansa
  • Empat buah (tungguh) kantilan
  • Dua buah (tungguh) jublag
  • Dua buah (tungguh) Penyacah
  • Dua buah (tungguh) jegoggan
  • Satu buah (tungguh) reong/riyong
  • Satu buah (tungguh) terompong
  • Satu pasang gong lanang wadon
  • Satu buah kempur
  • Satu buah kemong gantung
  • Satu buah bebende
  • Satu buah kempli
  • Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik
  • Satu pasang kendang lanang wadon
  • Satu buah kajar

Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu gambelan gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar ini perbedaannya terletak pada :

  • Tungguhan gangsa, Bali Utara bentuk bilah penjain dan dipacek sedangkan Bali Selatan menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung.
  • Gambelan Bali Utara kedengarannya lebih besar dari suara gambelan Bali Selatan, meskipun dalam patutan yang sama.

Dalam perkembangannya gong kebyar munculah istilah gaya Bali Utara dan gaya Bali Selatan, meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng. Sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan lain mengambil gaya Bali Selatan. Disamping itu penggunaan tungguhan gong kebyar di masing-masing daerah sebelumnya memang selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan maupun fungsinya.

Fungsi Gong Kebyar

Sebagaimana kita ketahui lewat literatur dan rekaman telah tampak bahwa Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi.

Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari kekebyaran. Namun sesuai dengan perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending yang lainnya. Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis tarian wali dan balih-balihan. Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Misalnya dalam gending gong kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender wayang dan gong luang. Juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, maka drama tersebut berganti nama menjadi drama gong dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya.

TARI BARIS CINA

Tari Baris Cina merupakan jenis tarian Bali yang diduga kuat mendapat pengaruh budaya Tionghoa. Selain dari namanya, hal itu terlihat dari gerakan dan tata busananya. Gerakan tarian ini lebih menyerupai gerakan pencak silat atau kung fu. Hampir tak ada jejak pepakem (gerak dasar) tari Bali dalam tarian itu. Busana yang dikenakan para penarinya pun unik. Mereka mengenakan setelan celana panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Di pura tertentu, penarinya juga mengenakan kacamata hitam ala juragan Tionghoa. Sebagai penutup kepala, mereka mengenakan topi bundar, bukan udeng atau gelungan sebagaimana yang dikenakan oleh penari tarian maskulin Bali pada umumnya. Senjata yang dibawanya pun bukan keris, melainkan pedang.

Baris Cina ditarikan oleh 18 laki-laki yang dibagi atas dua kelompok. Sembilan orang baris putih, dan sembilan orang baris selem (hitam). Keduanya melambangkan rwa bhineda yaitu dua kutub berseberangan yang selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa disebut dengan Yin-Yang.

Musik pengiring Baris Cina adalah Gong Beri yaitu seperangkat instrumen yang terdiri dari sungu, tawa-tawa ageng, tawa-tawa alit, kempli, kajar, bebende, klenang, cenceng, beduk serta gong ber dan gong bor. Gong Ber dan Gong Bor keduanya merupakan gong yang tak bemoncol di tengah-tengahnya. Ketika dipukul keduanya mengeluarkan bunyi sember, tidak merdu seperti gong yang bermoncol.

Begitu ditabuh, perangkat gamelan tersebut menimbulkan bunyi-bunyian yang membakar semangat. Persis seperti musik perang. Apalagi sebelum keseluruhan orkestra dimainkan, musik diawali dengan kumandang sungu (alat musik tiup dari kerang) yang terkesan seperti sangkakala peperangan.

Dalam buku Evolusi Tari Bali, pakar etnonusikologi dan pengamat tari Bali Profesor I Made Bandem memperkirakan tari Baris Cina tumbuh sekitar tahun 835, saat Prasasti Blanjong dituliskan. Tapi dia tak menjelaskan apakah Tari Baris Cina dan Gong Beri lahir pada saat yang bersamaan sebagai satu kesatuan atau dalam periode yang berbeda kemudian dikawinkan.

Tarian Baris Cina kini menjadi tarian sakral di Pura Dadia Banjar Kelod (Renon), Pura Mertasari Belanjong (Sanur), Pura Segara (Sanur), Pura Geria Delod Peken-Intaran (Sanur), dan Pura Petitenget (Kuta).

ASAL-USUL WAYANG KULIT

Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

 

Asal Usul

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.

Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa, . Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

GAMELAN SELONDING

Gamelan Selonding adalah gamelan sakral yang terbuat dari bahan besi yang hanya terdapat di daerah Karangasem, yaitu desa Tenganan Pegringsingan dan Desa Bongaya. Diduga juga ada gamelan Selonding yang terbuat dari kayu, namun sampai sekarang ini instrumen itu belum ditemukan. Nama lengkap dari gamelan Selonding Besi yang di Tengan Pagringsingan adalah Batara Bagus Selonding. Yang berarti Selonding adalah leluhur yang maha kuasa.

Gambelan Selonding merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local Genius dari leluhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.

Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.

Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman yang immanentdari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang oleh R. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 : 2).

Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna. Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya, Sumana Santaka, Wrttasancaya, Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.

Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan dalam sebuah lontar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung Tolangkir(Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)

Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der Tuuk dalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SRmenyebutkan Salunding adalah gambelan Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang ditabuh pada upacara tertentu.

Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh masyarakat pendukungnya.

Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri Jaya Bawa di Kediri yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.

Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian lainnya.

Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C, kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang, Manikliyu, dan Tigawas.

FUNGSI GAMELAN SELONDING

Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upaya adat Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi Abuang, Perang Pandan (Mekare-karean) dan lain-lain.

SPESIFIKASI  GAMELAN SELONDING

            Berikut penjelasan tentang spesifikasi gamelan selonding.

 Jumlah Satuan Ciri-ciri Instrumen
8 tungguh berisi 4 buah bilah
6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah
2 tungguh berisikan 8 buah bilah

 Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :

Jumlah Satuan Instrumen
2 tungguh gong
2 tungguh kempul
1 tungguh peenem
1 tungguh petuduh
1 tungguh nyongnyong alit
1 tungguh nyongnyong ageng

Adapun masing-masing pelawah selonding mempunyai ukuran sebagai berikut:

  1. Instrumen gangsa wadon.

Panjang bagian atas : 76 cm
Panjang bagian bawah:69 cm
Lebar : 15,5 cm
Tinggi : 25 cm

  1. Instrumen gangsa lanang

Panjang bagian atas: 76 cm
Panjang bagian bawah: 67 cm
Lebar: 14 cm
Tinggi: 25 cm

  1. Instrumen oncangan lanang I

Panjang bagian atas: 41 cm
Panjang bagian bawah: 36 cm
Lebar: 15 cm
Tinggi: 20 cm

  1. Instrumen oncangan wadon I

Panjang bagian atas: 43,5 cm
Panjang bagian bawah: 33,5 cm
Lebar: 18,5 cm

  1. Instrumen oncangan wadon II

Panjang bagian atas: 57 cm
Panjang bagian bawah: 43 cm
Lebar: 18,5 cm
Tinggi: 20 cm

  1. Instrumen oncangan lanang II

Panjang bagian atas: 43,5 cm
Panjang bagian bawah: 41 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 20 cm

 

  1. Instrumen penerang lanang

Panjang bagian atas: 61,5 cm
Panjang bagian bawah: 55 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 21 cm

  1. Instrumen penerag wadon

Panjang bagian atas: 61,5 cm
Panjang bagian bawah: 54 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 21 cm

Sesuai dengan struktur dari lagu-lagu selonding bahwa tiap-tiap inbstrumen mempunyai tugas yang berbeda-beda dalam barungannya. Adapun tugas-tugas itu ialah seperti berikut:

  • Gangsa lanang, jumlah bilahnya delapan buah bertugas mengendalikan melodi lagu. Urutan nadanya: dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding – dong .
  • Gangsa wadon, jumlah bilahnya delapan buah, bertugas mengendalikan melodi lagu. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding.
  • Oncangan lanang I, jumlah bilahnya empat buah, bertugas menjalin kotekan/ cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding .
  • Oncangan lanang II, jumlah bilahnya empat , bertugas menjalin kotekan / cecandetan. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng
  • Oncangan wadon I, jumlah bilahnya empat buah , bertugas menjalin kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng .
  • Oncangan wadon II, jumlah bilahnya empat buah , betugas membuat jalinan kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding.
  • Penerag lanang, jumlahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan nadanya: dung – dong – ding.
  • Penerag wadon, julah bilahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng .

Adapun gending selonding yang sering di mainkan yaitu:

  1. Sekar gadung
  2. Nyangnyangan
  3. Rejang gucek
  4. Rejang ileh, dll.