Musik Balaganjur

This post was written by ngurahsudarma on Juli 11, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

kjkjjkjkjkBaleganjur. Gamelan balegsnjur adalah salah satu dari sedikitnya sepuluh jenis gamelan golongan kuno yang hingga kini masih tetap eksis di Bali. Hingga kini ada dua pengertian berbeda yang melekat dengan gamelan prosesi ini. Pertama, musik pengusir bhuta kala sehingga gamelan ini disebut dengan kalaganjur. Kedua, musik pembangkit semangat sehingga ia disebut dengan baleganjur.

Barungan baleganjur dibentuk oleh sejumlah instrumen musik dan yang paling dominan adalah alat-alat berpencon ( gong, kempul, bende, reyong, kajar, tawa-tawa, kempli ) alat-alat berbentuk piringan ( ceng-ceng kopyak ) serta sepasang kendang. Salah satu ciri khas dari musik baleganjur terlihat pada permainan ceng-ceng kopyak yang menggunakan pola kekilitan ( interlocking ) tiga jenis yang terdiri atas pukulan polos yang sejalan dengan pukulan kajar, pukulan sangsih yang mendahului kajar, dan sanglot yang bermain di tengah-tengah untuk mengikat atau merangkul kedua pukulan diatas ( polos dan sangsih ).

Perubahan yang cukup mendasar dari gamelan baleganjur belakangan ini adalah yang menyangkut fungsi dan statusnya, dari yang selama ini sebagai gamelan pengiring prosesi menjadi gamelan yang di pertunjukan secara mandiri. Hal ini mengigatkan kita akan kecak di tahun 1930-an, dari yang semula sebagai bagian organik dari pertunjukan sanghyang menjadi dramatari musikal, dengan lakon Ramayana, yang berdiri sendiri. Perubahan fungsi dan sttus baleganjur seperti ini bermula dari kontes gamelan baleganjur pada tahun 1986-an, oleh Himpunan Seniman Remaja ( HSR ), dalam rangka menmperingati HUT Puputan Badung. Dengan adanya perubahan ini estetika baleganjur perlahan-lahan berubah dan tabuh-tabuh yang dimainkan dalam gamelan ini mulai menggunakan struktur komposisi formal dengan rasa musikal yang semakin mendekati kebyar. Tidak kalah menariknya adalah penampilan dari para penabuhnya yang semakin demonstratif karena mereka mulai memainkan gamelan dengan gerak-gerak tubuh yang dipolakan atau dikoreografikan.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, baleganjur pada umumnya dimainkan untuk mengiringi prosesi keagamaan seperti prosesi upacara ke pura, prosesi ke laut, atau ngaben dan prosesi lainnya. Untuk mengiringi prosesi-prosesi ini grup baleganjur yang biasanya ditempatkan di bagian paling belakang ( seebagai penutup prosesi ), dengan tabuh-tabuh gilak pejalan, dalam tempo yang bervariasi, dari pelan, sedang, hingga cepat. Di mata masyarakat Bali, musik-musik baleganjur dieasakan mampu menambah wibawa dan keagungan dari prosesi yang tengah berlangsung.

Ketika tampil dalam prosesi-prosesi ritual keagamaan seperti ini sikap tampil para penabuh baleganjur, yang berjumlah antara 25 sampai 30 orang, pada umumnya biasa-biasa saja dan tidak demonstratif. Mereka sepertinya menyadari bahwa fungsi musik yang mereka mainkan adalah untuk melengkapi prosesi, bukan sebagai sajian tabuh yang sengaja untuk diperdengarkan atau dipertontonkan.

Ketika gamelan baleganjur mulai disajikan sebagai atraksi utama, maka para pemainnya mulai mengubah sikap tampil. Mereka mulai menabuh sambil menari-nari. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan konteks pertunjukan gamelan baleganjur dapat mempengaruhi sikap pemain. Dalam hal ini, lomba baleganjur 1986 selain memulai sebuah tradisi musik baru juga menandakan lahirnya pertunjukan musik baleganjur. Salah satu tonggak perubahan bentuk tabuh dan penampilan baleganjur adalah lahirnya Adhi Merdangga pada tahun 1984 oleh STSI Denpasar. Gamelan prosesi garapan baru ini, yang sering disebut sebagai Traditional Marching Band sering ditampilkan dalam pawai pembukaan PKB. Dalam baleganjur baru ini, antara lain dilakukan penambahan instrumen dan pemain, dari yang biasanya sekitar 22 buah instrumen dengan sekitar 35 pemain menjadi 70 instrumen dengan sekitar 100 orang pemain. Pengembangan bentuk dan struktur komposisi tabuh dengan cara memasukkan pola-pola ritme marching band. Semua penabuhnya yang terdiri dari laki dan perempuan, memainkan alat-alat gamelan sambil menari. Sebagai salah satu unsur penting dari barungan baru ini adalah puluhan orang penari laki dan perempuan yang menari mengikuti irama musik. Terlepas dari kenyataan bahwa Lomba Baleganjur pertama di Denpasar baru terjadi dua tahun kemudian, rasa musikal dan teknik permainan baleganjur banyak meniru adhi Merdangga. Rasa musik dan teknik penampilan adhi Merdangga, yang menggunakan motif-motif gerak tari yang sederhana, perubahan pola lantai untuk membentuk konfigurasi-konfigurasi tertentu, mulai banyak ditransfer ke dalam baleganjur. Semenjak itu masyarakat Bali mulai menyaksikan sajian gamelan baleganjur menjadi lebih visual sehingga menarik untuk disaksikan. Kini masyarakat bali sudah terbiasa menonton lomba baleganjur di mana bberbagai jenis tabuh baleganjur dipertontonkan sebagai sajian karya musik yang mandiri. Dengan dimulainya tradisi baru ini, lomba-lomba baleganjur yang dilaksanakan dalam berbagai event di Bali telah berhasil membuat gamelan prosesi ini menjadi semakin populer di masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Salah satu kegiatan budaya yang menjadi ruang pentas bagi gamelan baleganjur adalah dalam pawai ogoh-ogoh menjelan hari raya Nyepi. Sejak diadakannya pawai ogoh-ogoh di Denpasar, semakin banyak banjar yang memiliki sekaa-sekaa baleganjur termasuk yang banjar-banjar pendatang yang ada di kota ini. Semuanya ini merupakan bukti nyata dari perubahan dan peningkatan status sosial gamelan baleganjur di masyarakat dari unsur pelengkap menjadi sajian utama. Sejalan dengan perubahan ini adalah mulai lahirnya tabuh-tabuh baleganjur kreasi baru dengan tema serta struktur komposisi formal mengikuti prinsip tri-angga yang meliputi tiga bagian pokok : kawitan, pengawak atau pengadeng dan pekaad. Pada lomba yang pertama misalnya, Sekaa Baleganjur Kaliungu Kaja menampilakan kreasi tabuh baleganjur berjudul Angga Yowana karya I Ketut Gede Asnawa. Sejak lima tahun terakhir ini muncul kreasi-kreasi tabuh seperti Jagra Nirbaya oleh sanggar Lestari, Tanggun Titi, Tonja-Denpasar (2001), Durga Murti oleh Sekaa Truna Eka Bhuana Dharma, Banjar Sengguan, Tonja-Denpasar (2002), atau Sumpah Palapa oleh sanggar Werdhi Cwaram, Padang Sambian Denpasar (2002). Akibat dari dimasukkannya instrumen-instrumen melodis seperti beberapa buah suling bambu ukuran menengah, beberapa buah reyong tambahan serta penambahan tawa-tawa dan sejumlah ceng-ceng kopyak, kini fisik gamelan baleganjur yang berkembang di desa-desa di Bali relatif lebih besar dari barungan baleganjur di masa lalu. Beberapa sekaa baleganjur bahkan ada yang menggunakan reyong berlaras pelog tujuh nada sehingga mereka bisa memainkan tabuh-tabuh dengan melodi yang berisikan nada-nada miring ( pamero ), termasuk yang berlaras selendro, untuk memperkaya nuansa musikal dari tabuh-tabuh yang dibawakan. Tabuh-tabuh baleganjur yang banyak dimainkan dalam forum-forum festival belakangan ini cenderung “ ngebyar “ dalam pengertian menampilkan tabuh gamelan dengan kecepatan tinggi diselingi hentak-hentakan, ditambah dengan menonjolkan permainan kelompok instrumen seperti reyong, kendang atau ceng-ceng, yang menjadi identitas Kebyar. Selain itu, hampir semua group baleganjur menggunakan pukulan kendang “ jejagulan” yang kemudian diikuti oleh pukulan ceng-ceng kopyak yang khas. Pola-pola tabuh yang sama cenderung juga digunakan pada prosesi, baik untuk prosesi odalan maupun ngaben. Akibatnya masyarakat sering tidak lagi bisa mengenali jenis prosesi yang akan berlalu atas dasar gamelan baleganjur yang mengiringinya. Di masa-masa lampau, jika terdengar ada tabuh baleganjur yang memainkan tabuh-tabuh gilak yang agung dan berwibawa, hampir setiap orang tahu bahwa prosesi yang akan berlalu adalah peed odalan, melasti, atau iring-iringan yang mengusung benda-benda sakral seperti barong ke suatu pura. Akan tetapi, jika terdengar tabuh baleganjur yang didominir oleh tabuh-tabuh bertempo cepat seperti kale, seringkali disertai sorak-sorai, maka prosesi yang akan berlalu adalah prosesi ke kuburan ( ngaben ). Pembaruan rasa musikal gamelan baleganjur seperti ini dapat dimaknai lebih dari pembaruan ekspresi seni musik, melainkan juga mulai kaburnya batas-batas antara nilai-nilai ke luan ( suci ) dengan yang ke teben ( tidak suci ). Perubahan gamelan baleganjur memperlihatkan adanya transformasi budaya musik sejalan dengan perubahan masyarakat Bali.

sumber :  Dibia, I Wayan 1979. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar. Akadami Seni Tari Indonesia Denpasar

Comments are closed.