GUGURNYA KUMBAKARNA, RAKSASA BERBUDI KESATRIA

April 22nd, 2018

Anak kedua dari Wisrawa dan Sukesi adalah Kumbakarna. walaupun ia berwajah Raksasa sebagai akibat hukuman Dewa kepada Wisrawa, tetapi Kumbakarna berbudi Kesatria. Ia mempunyai istri bidadari yang bernama Aswani. Hidupnya tentram, damai dan tak mengiuti jejak hidup Rahwana yang merupakan kakak dari Kumbakarna. Karena tidak menyetujui perbuatan kakaknya yang membabi buta, angkara murka dan merampas istri Ramawijaya.

Melihat negrinya diporak-porandakan Kumbakarna segera menemui Rahwana, dan membujuk untuk segera mengembalikan Dewi Shinta pada suaminya. Dengan berani ia memberi saran kepada kakaknya, ia berkata : ” Oh, Kakanda Rahwana, kembalikan Sinta kepada Sri Rama sebelum Alengka hancur karenanya.”

Rahwana bukannya menerima usul Kumbakarna, malahan mencacimaki dan mengusir Kumbakarna untuk pergi dan jangan mencampuri urusan negara. Tetapi apa jadinya, setelah Prahasta dan para Senapati gugur satu persatu oleh kesaktian Sri Rama, persediaan bahan pangan habism dan logistiknya kacau, maka Rahwana akhirnya dengan rendah diri meminta agar Kumbakarna menjadi Senapatinya.

Maka berkatalah Rahwana : ““O, Kumbakarna, aku membutuhkan tenagamu, dengarkan  baik-baik kataku. Negerimu hampir hancur berantakan, karena kamu hanya tidur mendengkur tidak menghiraukan. Semua Senapati dan perwira Alengka satu-persatu gugur. Kini negerimu diinjak-injak kera dan munyuk-munyuk wadya Sri Rama dari Maliawan. Sekarang mereka berkemah dan berbaris di gunung Suwelagiri. Kini, apakah baktimu kepada negara dan bangsamu.”

Tetapi Kumbakarna tak sepatah katapun menjawab. Sedang Rahwana hanya mondar-mandir seolah-oleh kehabisan kata, kemudian mengeluh sambil menghempaskan diri, duduk disinggasananya. Setelah sadar berteriaklah kembali meneruskan pidatonya:

“Oh Kumbakarna, kini seluruh harapanku tinggal kepadamu, ketahuilah bahwa paman Prahasta-pun telah gugur pula. Terjunlah ke medan laga adikku, bunuhlah Rama dan Laksmana. Tumpaslah Hanggada dan Anoman, musnahkanlah sekalian wadyamunyuk dan rewanda dari bumi Alengka. Ohhh, adikku, Kumbakarna yang kucintai, perlihatkanlah kesetiaan baktimu dan cinta kasihmu kepadaku. Aku adalah kakakmu yang tertua yang kini dalam kesedihan, aku yakin dengan kesaktianmu engkau dapat dan sanggup menumpas dalam waktu singkat seluruh wadya dan pengikut Rama.”

Setelah Kumbakarna mendengar bahwa Prahasta gugur, maka mulailah ia menggeram dan mngumpati katanya:

“Rahwana kakakku, itulah akibat orang yang berkepala batu, yang didengar hanya kemurkaan hatinya sendiri. Kecongkakan dan kepongahanmu engkau sendirilah yang membentuknya. Setiap kali engkau sesumbar, sok kuasa, seolah-olah tidak ada manusia di dunia ini yang melebihi kesaktianmu. Sekarang apakah jadinya? Negara hampir punah dan tumpas gulung tikar Oohhh Rahwana kakakku yang kuhormati dan aku segani, mengapa dahulu engkau tak mau dengar, dikala aku dan adikmu Wibisana yang cerdik bijaksana itu menasehatimu. Bukankah ia telah dengan berani dan penuh kejujuran mempersembahkan saran saranya, tetapi engkau buta, bahkan memarahinya, menuduhnya seolah-olah mengkhianatimu dan membantu lawan. Wibisana adalah manusia “Sarjana-sujanengbudi” yang dapat membaca akibat jauh dari hasil perbuatan baik dan buruk. Engkau tidak mendengarkan pertimbangannya, bahkan engkau mengutuk dan mengusirnya. Kini ia meninggalkanmu, meninggalkan negeri Alengka, bukan karena mengkhianati negara, tetapi ia memihak kebenaran. Itu adalah sikap “Suiana” yang tahu akan kebenaran.

Itulah bukti dan petunjuk bagimu, bahwa ia benar-benar berbicara dengan sepenuh jiwa dan cita-cita luhurnya, demi keselamatanmu sendiri. Kini engkau baru tahu akibat kepergiannya, seolah-olah Alengka kehilangan cahayanya. Para hulubalang bahkan engkau sendiri, berjalan menumbuk-numbuk seperti orang buta kehilangan tongkatnya ! Siapakah yang bersalah, oh kakakku, masih ada waktu. Kembalikan Sinta kepada Rama demi keselamatan negara dan bangsa Alengka. Saranku ini bukanlah karena aku takut berperang, tetapi aku tahu bahwa Ramalah yang berdiri dipihak yang benar. Kalau ini kau kerjakan, berarti engkau telah menyelamatkan negara dan bangsamu.”

Kumbakarna sadar Rahwana telah melakukan kebatilan, mengorbankan rakyatnya demi seorang wanita cantik jelita, Sinta namanya. Kumbakarna sadar Rama ada di pihak kebenaran dan takdir sudah menggariskan kebenaran harus menang, takdir para dewa sudah menggariskan kebatilan harus hancur dengan korban berapapun. Melawan Rama sama saja bunuh diri karena pasti kalah. Semua yang berpihak kepada kebatilan dengan motivasi apapun pasti tergilas. Kumbakarna seorang ksatria, seorang prajurit yang ikhlas menjemput takdirnya, dia berperang bukan demi membela Rahwana, kakaknya. Kumbakarna bukan berperang untuk membela kebatilan. Ketika Ibu Pertiwi memanggil, Kumbakarna memilih meletakkan tugas dan kewajibannya di atas hati nuraninya. Kumbakarna berperang demi negaranya….Alengka.

Kumbakarna tidak bisa berbuat apa-apa akan kekerasan hati sang kakak. Dia sadar dalam hal ini sang kakak bersalah dan faham alasan mengapa Sri Rama menyerang negerinya.

Kumbakarna berada dalam sebuah dilema. Ia harus memilih salah satu; Tanah airnya atau kebenaran.  Kebenaran adalah hal yang mulia, yang harus diperjuangkan dalam bentuk apapun. Dan dia pernah bersumpah untuk itu.

Kumbakarna ingat benar ajaran itu. Namun sekarang yang  dia lihat adalah darah dan mayat saudaranya. Hati Kumbakarna pedih. Tubuhnya menggigil karena marah. Sebenarnya dia enggan membela sang kakak. Tapi sebagai ksatria hatinya meradang melihat negerinya hancur, dan putra-putra bangsa tewas bergelimpangan darah.

Dan akhirnya dia membebaskan sumpahnya dan  memutuskan untuk berperang. Dia tidak perduli apa yang dilakukanya benar atau salah, dia berperang demi harga diri bangsanya dan kelangsungan hidup rakyatnya yang tidak bersalah, dan jadi korban kesombongan pemimpinnya.

Dan Kumbakarna pun akhirnya tewas di tebas panah sakti Sri Rama, dan  dia tidak menyesal , dia sadar  apa yang sudah dipilihnya dengan segala konsukuensinya.

Sri Rama pun terharu dan memberikan penghormatan tinggi kepada Kumbakarna.

Comments are closed.