Baleganjur

Pengertian

BALEGANJUR salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan pada upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada penggunaan “ceng-ceng”, Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.

Sejarah Baleganjur

Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau pawai adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan gamelan ini makin melebar.Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam iringan pawai olah raga,mengiringi lomba laying-layang,dan ada juga yang dilombakan.
Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan dari gamelan bonang atau bebonangan.Baik dari segi instrumentasinya maupun komposisi lagu-lagunya.
Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai instrument pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong kajar,kempli,kempur,dan gong. Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang dimainkan memakai panggul cedugan. Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara ngaben.Sama kasusnya dengan gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk mengiringi upacara ngaben.

Instrumen Baleganjur

Instrumen dalam Baleganjur terdiri dari :
1 buah kendang lanang
1 buah kendang wadon
4 buah reong(Dong,Deng,Dung,Dang)
2 Ponggang(Dung,Dang)
8-10 buah cengceng
1 buah kajar
1 buah kempli
1 buah kempur
1 pasang gong(lanang’wadon)
1 buah bende

Pengelompokan

Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai dengan fungsinya secara umum.
A. Baleganjur Upacara
Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat “nuntun yadnya” sebagai pelengkap dari suatu yadnya.
B. Baleganjur kreasi
Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau “balih-balihan” yang biasa sebagai ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik). Gendingnya pun lebih rumit dan memiliki tehnik tinggi.

 

Gong Luang

Gong Luang

Gong Luang terdiri dari 2 suku kata yaitu Gong dan Luang. Kata “Gong” mengacu pada nama salah satu instrument gamelan tradisional Bali yang terbuat dari bahan perunggu bentuknya bulat seperti nakara, memiliki moncol pada sentralnya dan moncol itulah yang biasanya dipukul. Ukuran gong ini paling besar di antara barungannya (unitnya). Fungsinya dalam barungan adalah sebagai finalis lagu.
Istilah gong juga dipakai untuk memberi nama pada satu barungan gamelan. Contoh: Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Gong Suling, Gamelan Gong Beri dan lain sebagainya. Selanjutnya kata “Luang: atau “Ruang” atau “Rong” berarti ruang atau bidang. Istilah “Luang” ini sangat popular dipergunakan dalam dunia perundagian (arsitektur tradisional Bali), untuk menyebutkan nama bidang atau ruang – ruang kosong yang akan diberi hiasan berupa motif – motif ukiran dan sejenisnya.

 

Istilah “Luang” dipakai juga penamaan salah satu lagu Gambang yaitu “Menjangan Saluang”. Menjangan Saluang juga mengacu pada nama salah satu bangunan suci yang terdapat di Merajan/Sanggah (Tempat Suci keluarga bagi umat Hindu Bali). Di Sumatra, dikenal istilah “Saluang” untuk memberi nama pada sebuah bentuk instrumen tiup (seruling).
Menurut I Nyoman Raweg (Sudiana, 1982: 4) istilah “Luang” berarti kurang. Dalam hal ini dikatakan mengatan bahwa apabila unit gamelan tersebut kurang lengkap maka dinamakanlah Gong Luang. Tetapi, lebih lanjut Raweg mengatakan bahwa pendapat ini pun ternyata simpang siur. Pendapat lain menyatakan bahwa justru barungan yang lengkaplah bernama Gong Luang sedangkan yang kurang bernama “Saron” yaitu terdiri atas saron, gangsa jongkok besar dan gangsa jongkok kecil. Kelompok masyarakat lain mengatakan bahwa lengkap atau tidak barungan itu tetap saja namanya Gong Luang.
Terlepas dari pengertian “Luang” yang terpisah – pisah serta terkesan simpang siur tersebut. Pengertian Gong Luang yang dimaksud dalam deskripsi ini tidaklah dalam artinya yang simpang siur itu bahwa yang dimaksud dengan Gong Luang secara umum adalah barungan gamelan yang terdiri dari 7 (tujuh) nada. 5 (lima) buah nada sebagai nada pokok dan 2 buah nada sebagai nada pemero berlaraskan pelog miring.

 

Bentuk gamelan Gong Luang serupa dengan gamelan gong kebyar hanya saja Gong Luang terdiri dari 8 (delapan) atau 9 (sembilan) instrument sedangkan Gong Kebyar terdiri dari 25 sampai 30 instrumen. Sebagaimanina diinformasikan di atas, bahwa dalam Gong Luang terdapat 5 buah nada pokok dan 2 buah nada pemero. Meskipun demikian, pada suatu saat semua nada tersebut berfungsi sebagai nada pokok tergantung pepatutan yang dipakai.

Sejarah Gong Luang

Informasi mengenai Gong Luang. Baik yang berupa informasi oral, buku, deskripsi maupun artikel – artikel lainnya belum banyak ditemui. Oleh karena itu maka uraian mengenai asal – usul sejarahnya lebih banyak bersifat dugaan belaka. Menurut I Nyoman Rembang gamelan Gong Luang diperkirakan berasal dari Majapahit, dibawa ke Bali oleh sekelompok orang setelah kerajaan tersebut mengalami kejatuhan. Atau bisa jadi dibawa oleh sekelompok orang tatkala kerajaan Majapahit sedang jaya. Dugaan ini dilandasi atas adanya kemiripan antara gamelan Jawa yang ada sekarang dengan gamelan Gong Luang yang ada di Bali saat ini. Bedanya hanya terletak pada jumlah instrument. Jumlah instrument gamelan Gong Luang di Bali lebih sedikit dibandingkan jumlah barungan gamelan Jawa sekarang.

 

Selain itu, instrument yang bernama trompong dan riyong yang semula di Jawa dijajar empat – empat dalam satu tungguh, sekarang dijadikan 8 (delapan) dalam satu tungguhnya. Selanjutnya menurut Rembang bahwa apabila dilihat relief – relief gamelan yang terpampang pada dinding – dinding Candi Prambanan di Jawa Timur ternyata memiliki kemiripan dengan Gong Luang di Bali. Maka semakin kuatlah dugaan bahwa Gong Luang berasal dari Majapahit. Bukti lain yang dapat diterangkan bahwa dalam hal tembang atau lagu – lagu yang dipergunakan pada umumnya memakai iringan vokal berbahasa Jawa Kuno atau Jawa Tengahan.
Sejalan dengan pendapat di atas, informan Made Karba (Budana, 1984: 9) mengatakan juga bahwa Gong Luang berasal dari kerajaan Majapahit. Sepanjang pengetahuannya, konon pada zaman dahulu para patih dan punggawa dari kerajaan Kalianget berhasil merampas seperangkat gamelan Gong Luang dari Jawa Timur (Majapahit) dan langsung dibawa ke Bali. Gamelan tersebut didemonstrasikan di Desa Sangsi, Desa Singapadu Kabupaten Gianyar. Selang beberapa hari kemudian, di desa Sangsi terjadi pertempuran antara raja Sangsi melawan raja Singapadu. Akibatnya gamelan itu ditinggal begitu saja di desa Sangsi. Selanjutnya gamelan tersebut dikuasai oleh sekelompok masyarakat (warga Pasek) sampai sekarang. Itulah sebabnya gamelan Gong Luang tersebut dianggap sebagai milik keluarga Pasek (Gong Luang druwe Pasek). Sementara itu gamelan Gong Luang di desa Tangkas Kabupaten Klungkung yang dianggap sebagai Gong Luang yang paling tua usianya di Bali, memiliki sejarah yang menunjang asumsi di atas.

 

Menurut Informan I Nyoman Gejer dari Desa Tangkas ini mengatakan bahwa ayahnya I Nyoman Digul dan Mangku Ranten pernah belajar sekaligus menjadi anggota Sekehe Gong Luang di Puri (Kerajaan) Klungkung. Ketika pecah perang Puputan Klungkung tahun 1908, barungan Gong Luang milik kerajaan tersebut dirampas oleh Belanda. Selanjutnya masyarakat tidak mengetahui dimana barungan Gong Luang itu berada.
Sedangkan barungan Gong Luang yang ada di Tangkas sekarang adalah buatan baru beberapa tahun kemudian, dikerjakan di Desa Tihingan. Nada – nada Gong Luang yang baru ini dibuat semaksimal mungkin mendekati nada aslinya (yang pernah ada di Puri) atas jasa Mangku Ranten. Dari penjelasan informan di atas, rupa – rupanya barungan gamelan Gong Luang di Puri Klungkung tersebut berasal dari Majapahit mengingat hubungan antara kerajaan Klungkug dengan kerajaan Majapahit ketika itu sangatlah akrab.
Lain lagi cerita yang diperoleh di Desa Kerobokan Kabupaten Badung. Keberadaan Gong Luang di desa ini memiliki sejarah yang cukup unik. Sekitar abad XVI (Sudiana, 1982: 16) tersebutlah 3 (tiga) kerajaan kecil di desa itu yakni: Kerajaan Lepang, Kerajaan Taulan dan Kerajaan Kelaci. Ketiga raja di masing – masing kerajaan itu bergelar I Gusti Ngurah. Diceritakan bahwa raja kerajaan Lepang dan Kelaci masih muda. Keduanya sedang berusaha mencari jodoh. Di pihak lain, raja kerajaan Taulan memiliki seorang putri, selain cantik, juga ramah dan penuh sopan santun, Tidaklah mengherankan apabila banyak raja disekitarnya yang tertarik kepada putri ini semua berminat memperistrinya.

 

Dalam waktu cukup lama, raja Taulan bingung menjatuhkan pilihan bagi putrinya. Namun akhirnya raja Taulan menyetujui raja dari Kelaci. Raja – raja lain yang berminat tentu saja kecewa. Namun yang paling kecewa adalah raja kerajaan Lepang.
Pada suatu hari, raja Lepang secara diam – diam memasuki kerajaan Taulan dan akhirnya berhasil menculik Sang Putri. Berita hilangnya Sang Putri segera tersebar. Raja Kelaci yang telah resmi dijodohkan menjadi sangat marah kepada calon mertuanya dan tanpa pikir membakar hangus kerajaan Taulan. Raja Lepang membalas dendam lalu menyerang dan membakar hangus kerajaan Kelaci. Raja Kelaci pun berbalik menyerang dan membakar kerajaan Lepang. Konon, dalam waktu yang tidak begitu lama, ketiga kerajaan itu hancur dan rata dengan tanah. Persada Kerobokan dibanjiri darah di mana – mana. Beberapa orang rakyat yang berhasil menyelamatkan diri ke desa lain. Sepanjang pelarian itu mereka terpaksa “Ngerobok’ (mengarungi) darah. Daerah itulah selanjutnya dinamai desa Kerobokan.
Selang beberapa lama kemudian, seorang petani dari Desa Tektek Peguyangan yang tinggal di Kerobokan memacul tanah – tanah tegalan di bekas kerajaan Lepang. Dia sangat terkejut, karena pada tanah yang digalinya itu ditemukan sebuah gong dan beberapa buah trompong. Gamelan tersebut diduga milik kerajaan Lepang. Seluruh benda itu dibawanya pulang dan diserahkan kepada I Dukuh Sakti.

 

Selanjutnya, di tempat dimana ditemukannya gamelan itu didirikan sebuah Pura. Lama – lama, Pura ini digabung ke Pura Gunung Payung di Banjar Petingan – Kerobokan.
Adapun sebuah Gong dan beberapa trompong yang ditemukan itu, oleh I Dukuh Sakti dan keluarganya yang lain di sekitar Kerobokan ditambahkan lagi dengan alat – alat kelengkapan yang lain dengan mendatangkan ahlinya dari Klungkung. Konon, Pande dari Klungkung tersebut terus menetap di Desa Kerobokan.

Instrumen Gong Luang

Gong Luang diklasifikasikan sebagai gamelan golongan tua. Barungan gamelan Gong Luang tersebut pada umumnya terdiri dari:

  1. Instrumen Berbilah: Gangsa jongkok (2 buah pemade dan 2 buah kantil). Jublag 2 buah, Jegog 2 buah dan Saron.
  2. Instrumen Bermoncol: Trompong 1 tungguh, riyong 1 tungguh, Gong, Kempur, Kajar, Kendang 2 buah, Cengceng dan Suling.

Jumlah instrument tersebut tidaklah mutlak. Hal itu sangat tergantung pada kondisi Daerah atau Desa dimana Gong Luang itu berasal. Jumlah instrument Gong Luang Desa Kerobokan dapat diinformasikan sebagai berikut:
• Riyong 2 buah
• Kendang 1 buah
• Kenyong Ageng 1 buah
• Saron 2 buah
• Kenyong Alit 1 buah
• Jublag 1 buah
• Penyahcah 1 buah
• Cengceng Ricik 1 pangkon
• Jegogan 2 buah
• Kempur 1 buah
• Gong 2 buah (lanang – wadon)
Jumlah instrument Gong Luang Desa Apuan – Singapadu dapat diinformasikan sebagai berikut:
• Kendang 1 buah
• Gangsa Ageng 1 buah
• Cengceng Kopyak 1 pasang
• Riyong 2 buah
• Gong 1 buah
• Cengceng Ricik 1 pangkon
• Gangsa Alit 1 buah
• Kajar 1 buah
• Jegogan 2 buah
• Kempur 1 buah
• Saron 2 buah
Jumlah instrument Gong Luang Desa Tangkas – Klungkung dapat diinformasikan sebagai berikut:
• Gong 1 buah
• Riyong Pemetit 1 buah
• Riyong pemero 1 buah
• Gambang 2 buah
• Gangsa Alit 2 buah
• Kendang Bedug 1 buah
• Riyong Penyelat 1 buah
• Riyong Mananga 1 buah
• Gangsa Ageng 1 buah

 

 

Bentuk Gong Luang

Susunan nada yang terdapat dalam gamelan Gong Luang berjumlah 7 (nada) atau disebut saih pitu yaitu: ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung. Sedangkan pembagian larasnya secara proposional dibagi atas 3 (tiga) yaitu laras pelog, laras selendro, dan laras keselendroan. Dari sini dapat ditafsirkan bahwa Gamelan Gong Luang merupakan babon dari semua jenis karawitan yang ada sebelumnya atau yang mengenal laras pelog dan selendro. Arti sederhananya bahwa gamelan Gong Luang dapat dimainkan dalam laras pelog dan selendro. Hal ini dapat dibuktikan dari susunan nada – nadanya yang diturunkan sedemikian rupa sehingga dikenal pembagian tugas nada – nada yang disebut pepatutan: Selisir, Tembung, Sunaren, Pengenter, Baro, Lebeng. Semuanya ini dapat dikelompokkan ke dalam laras pelog. Sedangkan dalam laras selendro dapat diturunkan patutan: Sekar Kemuning, Pudak Sategal dan Isep Menyan.
Menurut sistem pembagian tugas nada,, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Patet Selisir  : 345713
• Patet Sunaren   : 45712
• Patet Tembung : 34613
• Patet Pengenter : 13512
• Patet Baro  : 35612
• Patet Lebeng  : 4567123
• Patet Sekar Kemuning : 45713
• Patet Pudak Sategal : 57134
• Patet Isep Menyan : 13547
Sebagai suatu catatan bahwa Gamelan Gong Luang ditinjau dari struktur nada yang dipergunakan hampir sama dengan gamelan – gamelan saih pitu lainnya. Itulah sebabnya suasana laras Gong Luang lebih dekat dengan gamelan Gambang. Dalam hal ini susunan nada Gambang yang ditransfer ke Gong Luang adalah sebagai berikut: Nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung, ndang, ndaing.
Pada umumnya dalam barungan gamelan memiliki ciri khas masing – masing sejalan dengan bentuk dan jumlah alat – alatnya. Demikian pula mengenai bentuk lagu (gending) dalam barungan Gong Luang hampir sama atau mungkin juga sama dengan kebanyakan gamelan yang memiliki susunan nada saih pitu (tujuh nada). Asumsi ini perlu dikaji kebenarannya. Perbedaan bentuk lagu yang didasari atas perbedaan bentuk alat, jumlah alat – alat yang fungsional misalnya akan tampak bahwa bentuk lagu – lagu Arja akan berbeda dengan bentuk lagu Gong Luang. Bahkan dalam karawitan vokal kekidungan misalnya hanya dikenal satu bentuk saja tanpa pengawak, pengisep, pengecet dan seterusnya.
Di bawah ini adalah salah satu contoh bentuk (struktur) lagu Gong Luang yang berjudul “Gegitan Malat”  Komposer I Wayan Sinthi, MA sebagai berikut:

  1. Pengawit: Diawali ucapan “Om” yang diucapkan oleh seluruh pengerawit, kemudian dilanjutkan dengan instrumentalia.
  2. Pengawak: Gending ini pararel antara vokal dengan instrumental yang disajaikan sedemikian rupa dengan tiga kali pukulan gong.
  3. Nyalit: Merupakan peralihan lagu berupa instrumentalia
  4. Pengisep: Bagian lagu ini motifnya hampir sama dengan pengawak diselang – seling dengan vokal dan instrumentalia.
  5. Nyalip: Sama dengan di atas yaitu merupakan instrumentalia yang hubung.
  6. Pengecet: Bagian akhir dari vokal dengan irama dinamis dan semarak.
  7. Pakaad: Bagian lagu ini mencapai final, iramanya semakin cepat dan akhirnya terjadi anti klimaks, menurun perlahan secara rikrih, lagu ditutup dengan pukulan Gong.

Bentuk lagu Gong Luang di atas sebenarnya telah mengalami pengembangan dari repertoar Gong Luang yang telah ada. Namun secara umum, repertoar di atas tetap mempertahankan keklasikan yang telah ada dan berakar kuat di dalam masyarakat. Modifikasi di atas semata – mata untuk mengikuti selera masa kini sehingga isu – isu bahwa lagu – lagu Gong Luang kurang diminati generasi muda dapat terjawab.

 

Image result for gong luang

 

Gamelan Gong Jangjing

SEJARAH SINGKAT GAMELAN GONG JANGJING

DI DESA SINABUN,KECAMATAN SAWAN,KABUPATEN BULELENG

Perangkat gamelan jawa ini lebih dikenal dengan sebutan Gamelan “GONG JANJING” merupakan salah satu peninggalan budaya yang ada di desa Sinabun.Adanya perangkat gamelan ini berhubungan erat dengan sejarah Desa Sinabun yang diambil dari kata Sinuhun yang artinya hormat kepada Beliau, yaitu raja yang berstana di dusun Menasa.Beiau terkenal dengan sebutan Raja Menasa yang sekarang berganti nama menjadi Desa Sinabun yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Adapun peninggalan dari Kerajaan Majapahit yaitu berupa pakaian pakaian raja dan peralatan upacara serta piranti yang digunakan oleh sulinggih(pedanda) pada saat muput upacara yang sekarang disimpan di desa Adat Sinabun.Gamelan Jawa (gong janjing) juga merupakan salah satu peninggalan dari Kerajaan Majapahit sebagai hadiah dari Raja kepada warga masyarakat Desa Sinabun yang disimpan di rumah salah seorang warga yang diperkirakan merupakan penduduk asli desa Sinabun Sebutan nama  Gamelan Jawa ini dikaitkan dengan asal datangnya gamelan ini yaitu dari Kerajaan majapahit, sedangkan sebutan /nama gong Jangjing dikaitkan dengan suara/irama tabuh dari perangkat gamelan tersebut.Sampai saat ini gamelan ini tetap ditampilkan pada saat piodalan di pura khayangan desa maupun piodalan di merajan/sanggah milik warga desa Sinabun. Perangkat gamelan ini terdiri dari kendang, kempul,kajar,suling,kempli,cengceng ricik,rebab,klenang,gangsa kanten.Peran utama gamelan ini terutama ditampilkan pada saat upacara nuntun Ida Bhatara Sesuhunan oleh sutri petapakan agar beliau berkenan turun untuk memberikan petunjuk kepada warga yang tangkil pada pelaksanaan upacara piodalan tersebut .Kebiasaan /adat ini tetap berlangsung sampai sekarang.

Sekaa yang menjadi pemilik Gamelan Gong Jangjing

Gamelan ini dimiliki oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu organisasi sebagai berikut;

KETUA                                  ; Wayan Wijana

SEKRETARIS                       ;Wayan Warsana

BENDAHARA                      ;Ketut Sunada

ANGGOTA                            ;Ketut Juniarta,Ketut Astana,Ketut Sumeraja,Ketut Nada,Ketut

Suparda,Gusti Ketut Subali,Ketut Jagiadnya,

Aktivitas yang dilakukan

Sekaa gamalean gong janjing ini secara rutin ngaturang ngayah pada saat piodalan di pura yang ada di wilayah desa Sinabun. Disamping itu sekaa ini juga melayani permintaan warga untuk mengiringi upacara piodalan di merajan.Imbalan balas jasa dari warga itu dikumpulkan menjadi Kas sekaa Setiap enam bulan sekali pada hari raya Galungan atau Pagarwesi, mengadakan rapat anggota untuk membahas uang kas.

Proses Latihan yang dilakukan

Sekaa ini mengadakan latihan pada saat-saat tertentu saja karena melihat situasi dari penabuhnya yang ada pada bekerja dan ada yang sudah tua, Biasanya satu hari sebelum piodalan di pura sekaa ini baru mengadakan latihan bersama di rumah pemilik gamelan tersebut, di samping itu gendingnya juga sudah di kuasai dan sudah hafal.

Materi yang di kuasai

Materi yang sudah di kuasai yaitu:

  1. Gending Bebatelan :fungsinya pada saat nuntun Ida Bathara Sesuhunan,dengan perantara Sutri Tapakan.
  2. Gending Penyegaraan :fungsinya untuk mengiringi persembahan Banten/wangi/sesajen kepada Ida Bathara Sesuhunan
  3. Gending Ngerebeg :fungsinya untuk merayakan kemenangan/kejayaan Raja
  4. Gending Raja Pala :pada saat nunas tirta wasuh pada
  5. Gending Pemendak Raja Duwe : fungsinya untuk menyambut Ida Bathara Sesuhunan.

Even yang pernah dilakukan

1.Pawai Pembukaan HUT Kota Singaraja

2.Pawai Pembangunan HUT RI di Kota Singaraja

3.BULELENG FESTIVAL.

Jenis-Jenis Instrumen 

1.Instrumen Kendang

2.instrumen suling

3InstrumenKajar

4.Instrumen Kempur/Kempul

5.Instrumen Kempli

6.Instrumen cengceng ricik

7.Instrumen rebab

8.Instrumen gangsa kanten

9.Instrumen Klenang

Tari Baris Putus

SEJARAH SINGKAT TARI BARIS PUTUS DI DESA SINABUN

Tari Baris Putus adalah satu satunya peninggalan sejarah kebudayaan yang ada di desa Sinabun. Sebelum terbentuknya tari Baris Putus (Baris Bengkol) di desa Sinabun, pertama tama ada dua orang laki perempuan dari desa Sigaran(Badung) yang merupakan keturunan Arya Wang Bang Pinatih datang ke Buleleng khususnya ke desa Sinabun. Dua orang tersebut datang karena istrinya mau di sunting oleh I Gusti Agung yang ada di Sigaran. Setelah warga tersebut tinggal di desa Sinabun  mereka menghilangkan status (nyineb wangsa), dan beberapa tahun kemudian datang lagi dua orang sepupunya(pemisanan) ke desa Sinabun. Setelah berkumpulnya keempat orang tersebut ,lalu mereka mengutarakan kata kata(berjanji) selama berada di Sinabun apabila mereka bisa menambah keturunan akan sanggup ngaturang ayah membuat pura Dalem. Akhirnya janji tersebut bisa di kabulkan maka sampai sekarang, keluarga ini ngaturang ayah ada yang menjadi jero mangku, kelian adat, kelian desa dan membuat perkumpulan Tari Baris Putus.Seiring perkembangan zaman Tari Baris Putus tersebut sering disebut dengan Tari Baris Gede(Tari Baris Bengkol).

Menurut wawancara dengan Nyoman Sebawa (salah seorang warga keturunan Arya Wang Bang Pinatih)yang bisa menjadi anggota perkumpulan  Tari Baris Putus (Tari Baris Bengkol) ini  adalah warga Sigaran yang merupakan keturunan Arya Wang Bang Pinatih yang berumur 17 tahun ke atas dan harus melaksanakan upacara penyucian diri dengan menggunakan Banten Prayascita atau Banten Pelukatan. Banten tersebut hampir sama dengan yang digunakan untuk penyucian jero mangku atau jero Balian.  Warga di luar keturunan Arya Wang Bang Pinatih tidak boleh masuk atau menjadi anggota dalam perkumpulan Tari Baris Putus tersebut.Konon katanya pernah ada anggota yang bukan keturunan Arya Wang Bang Pinatih masuk menjadi penari lalu jatuh sakit.

Penari baris yang masih ada sekarang ini adalah keturunan ke enam dan ketujuh. Keturunan ke enam yang masih ada sekarang ini ada 2 orang yaitu ; Wayan Sumandra dan Ketut Widiada sedangkan keturunan ketujuh yaitu; Ketut Suwitra ,Putu Natih, Ketut Suka, Putu Suwarta, Nyoman Suda dan Ketut Sudarma.

Tari Baris Putus ini khususnya di desa Sinabun ditarikan untuk mengikuti upacara Pitra Yadnya.Adapun sarana dalam pementasan tari ini dilengkapi dengan Banten Peras Pejati dan Banten Matah-Matahan(isi jeroan,  sebanyak 4 bungkus) ; Satu bungkus Banten Matah matahan ini digunakan pada saat mayat dinaikan ke Bade sebagai simbul penebah(membangunkan sawa). Setelah sampai di perempatan agung Baris tersebut menari dan mengeluarkan satu bungkus banten matah matahan sebagai simbul penunjuk jalan.Setelah sampai di Setra penari Baris Putus ini lagi mengeluarkan satu bungkus banten matah matahan sebagai simbul memotong/memutuskan tali penegulan /pengikat sawe. Satu bungkus banten matah-matahan dibawa pulang oleh penari baris tersebut untuk dipersembahkan pada taksu Baris Putus tersebut.

Selain untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya, Tari Baris Putus ini juga bisa ditarikan untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya khususnya upacara piodalan di pura yang ada di Desa Sinabun. namun penari dan pakaian yang digunakan berbeda dengan pakaian yang digunakan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya, Untuk Mengiringi Upacara Dewa Yadnya tari Baris Putus ini di tarikan oleh Teruna Teruni yang ngayah di pura .

Demikian sejarah singkat tari Baris putus yang ada di desa Sinabun.

Tari Wiranata

Sejarah Tari Wiranata

Dalam sejarah tari Bali Tari Wiranata termasuk ke dalam jenis tari pertunjukan atau bali – balian dan termasuk jenis tari tunggal karena hanya ditarikan oleh satu orang penari saja. Menurut isinya Tari Wiranata termasuk ke dalam jenis tari heroic karena tariannya mengandung unsur kepahlawanan yaitu menggambarkan tentang keperwiraan seorang raja yang gagah berani pantang mundur, gerak geriknya sangat dinamis dan penuh keagungan. Tari ini disusun oleh Nyoman Kaler pada tahun 1942.

 

Perkembangan Tari

Perkembangan Tari Wiranata sampai saat ini kurang diminati, karena gerakannya tergolong rumit. Masyarakat lebih dominan untuk menarikan Tari Margapati dibandingkan dengan Tari WiranataTari Wiranata pada umumnya akan ditarikan oleh remaja putri, namun  memungkinkan juga ditarikan oleh penari putra, baik itu dalam pementasan berkelompok (massal) maupun seorang diri (tunggal). Kesan keagungan akan tercermin dari gerakan tarian yang lincah, ekspresi wajah yang terkadang keras dan lembut, dan juga gerakan bola matanya (seledet) yang mencerminkan kewibawaan yang kental.

Semuanya tersebut dipadu menjadi gerakan yang utuh, sehingga akan terlihat sangat indah dengan estetika tinggi, dibalut dengan kostum berwarna cerah menjadi penampilannya begitu sempurna di mata para penikmat seni tari, sehingga tarian ini menjadi tontonan menarik dan menjadi hiburan wisata Pulau Bali di dalam wujud seni yang indah.

 

 

Fungsi

Fungsi dari Tari Wiranata adalah sebagai pertunjukan karena tari ini dibuat khusus untuk dipertontonkan serta memiliki nilai artistic dan estetik. Tari Wiranata juga termasuk ke dalam tari kreasi. Tari kreasi adalah bentuk gerak tari baru yang dirangkai dari perpaduan gerak tari tradisional kerakyatan dengan tradisional klasik. Gerak ini berasal dari satu daerah atau berbagai daerah di Indonesia. Selain bentuk geraknya, irama, rias, dan busananya juga merupakan hasil modifikasi tari tradisi. Contoh Tari Kreasi Baru selain Tari Wiranata adalah Tari Oleg Tambuliling, Tari Tenun, Tari Panji Semirang (Bali), Tari Kijang, Tari Angsa, Tari Kupu-kupu, Tari Merak (Jawa), Tari Pattenung, Tari Padendang, Tari Bosara, Tari Lebonna (Sulawesi Selatan), dll.

 

Ragam Gerak

  1. Mungkah Lawang pelan – pelan dengan agem kanan disertai mimik kenjung manis. Dan ngubah agem kanan kiri.
  2. Ulap – ulap di sebelah kanan dan gandar garep berjalan ke depan sambil ngurat daun melihat serong kiri ke depan dan serong kanan lalu gandanguri mundur.
  3. Ngerangrang pajeng kanan kiri dan ngangget sambil berputar – putar.
  4. Nepuk kampuh tangan di dada dan najog bertanjak dua jalan ke depan lalu gandanguri ke belakang.

 

 

Kostum

Mengenai Susunan Kostumnya sebagai beikut :

  Udeng untuk di kepala

  Badong untuk di leher

  Sabuk prade untuk di pinggang

  Ampok-ampok untuk di pantat

  Gelangkane untuk di lengan

  Kain lanjingan

 

Musik Iringan

Adapun tabuh yang di pakai dalam tari wiranata sebagai berikut :

  Bapang dengan irama tjepat

  Longger dengan irama sedang

  Bapang dengan irama bergelombang

  Pengentrag dengan irama tjepat

  Pemesan dengan irama halus dan pelan

  Pengetjet dengan irama tjep

 

Image result for tari wiranata