Sejarah Dari Gamelan Palegongan lalu menjadi Gamelan Gong Kebyar Seka Legong Karang Masdjati, Banjar Karang Suwung Desa Pedungan, Denpasar Bali

April 1st, 2018

 

Satu peristiwa histories penting dalam kehidupan masyarakat Bali telah terjadi yaitu jatuhnya Bali ketangan penjajah Belanda ditandai takluknya kerajaan Klungkung sebagai kerajaan terakhir pada tahun 1908. Sejak itu pemerintahan belanda mulai mengembangkan kekuasaannya dengan sistem pemerintahan barat sesuai dengan kepentingan colonial. Bali yang ketika itu terdiri atas delapan kerajaan, oleh belanda dijadika dua bagian, Bali Utara dibawah pengawasan seorang residen yang berkedudukan di Singaraja dan Bali Selatan dibawah pengawasan seorang asisten residen yang berkedudukan Denpasar. Bali Utara dibagi menjadi Buleleng dan Jembrana, sedangkan Bali Selatan terdiri atas Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, dan Klungkung yang membawahi Bangli dan Nusa Penida Berkurangnya kekuasaan raja – raja Bali itu mengakibatkan berkurangnya peratihannya Puri ( Keraton ) terhadap kelangsungan hidup seni pertunjukan klasik – Gambuh, wayang wong, topeng, legong, gong gede, semar pegulingan, dan lain – lainnya yang pernah mencapai masa keemasan pada zaman kejayaan raja – raja di Bali seperti Watu Renggong (1460 – 1550), Dalem Bekung (1550 – 1580), Dalem Tahan Dewa Agung Jambe (1845-1908). Oleh karena itu sangat logis jika kualitas dan kuantitas penyajian seni –seni klasik ketika itu menjadi menurun. Keadaan seperti itu sangat berbeda di Jawa yang justru karena berkurangnya kekuasaan lewat pelestarian dan perkembangan budaya,  tidak mengherankan kesenian keraton justru berkembang dengan baik. Untung seni pertunjukan Bali masih tetap dibutuhkan sebagai salah satu sarana upacara agama dan adat, sehingga kelangsungan hidupnya masih dapat di pertahankan atas pangayoman Pura (agama), Banjar (desa adat), dan Sekeha (organisasi) kesenian. Dari sisi ini tampak pemerintahan colonial Belanda sangat banyak merugikan rakyat Indonesia termasuk rakyat Bali.

Dalam Suasana Zaman seperti itu, dalam bidang seni tumbuh pula pembaharuan – pembaharuan yang juga merupakan aktulisasi kesadaran nasional dan rasa demokratis yaitu ansemble Gamelan Gong Kebyar, sebuah bentuk seni yang menggunakan susunan instrumen, pola garap gending, pola penyajian teknik tabuhan instrumen dan karakter baru, sehingga tepat sekali gamelan di masukan kedalam kelompok gamelan baru. Pemberian nama “kebyar” terhadap karya seni tersebut tepat, karena perangkat gamelan baru itu betul mampu mengekspresikan karakter kebyar, yaitu keras, lincah, cepat, agresif, mengejutkan, muda, enerjik, gelisah, semangat, optimis, kejasmanian, ambisius, dan penuh emosional.

Gamelan baru pelog pancanada ini pada awalnya merupakan sebuah pengembangan dari asambel merupakan Gamelan Gong Gede, sebuah orkes agung gaya kuno yang sangat diperlukan pada hari – hari besar atau upacara odalan di pura. Gamelan tradisional ini merupakan sebuah asambel gamelan yang paling lengkap di Bali yaitu dengan banyak menggunakan instrument yang dimainkan kurang lebih enam puluh orang penabuh. Semua itu dapat disebutkan pada lontar Aji Gurnita.

Dalam perkembangannya menjadi Gamelan Kebyar ada beberapa instrument Gamelan Gong Gede yang dihilangkan, dikurangi, diubah bentuknya, dan ada pula yang tidak mengalami perubahan. Instrumen yang dihilangkan terdiri dari : bende 

 

(bandede), ponggang, kempyung, gumanak, dan gentorang yang dikurangi dua buah, jublag dua buah, panyacah dua buah dan cengceng (kecek) beberapa buah; yang diubah: gangsa ageng diubah, gender (gangsa ugal), gangsa manengah menjadi gangsa pemade, gangsa alit, kepluk (kethuk/kajar), dan kemong dhang menjadi kemong (kenong)

Di antara sekian banyak istrumen yang diubah yang sangat menonjol mengalami perubahan adalah instrumen gangsa jongkok sama dengan yang ada di gamelan pelegongan. Dalam Gong Gede setiap tungguh (jawa: ricikan/ satuan) instrument ini menggunakan menggunakan lima buah nada: dhang (jawa: nem), dhing (Ji), dhong (ro), dheng (lu) dan dhung (mo). Akan tetapi dalam Gamelan Kebyar, pada awalnya instrument gangsa pernah menggunakan tujuh buah nada ditambah dhang alit dan dhing alit, kemudian berkembang menjadi delapan bilah nada yaitu; dhung, dhang, dhing, dhong, dheng alit, dhang alit, dan dhing alit, sembilan bilah ditambah nada dheng (sebelum nada dhung); dan selanjutnya sampai sekarang berubah menjadi berbilah sepuluh dengan urutan nada: dhong, dheng, dhung, dhang, dhing, dhong alit, dheng alit, dhung alit, dhang alit, dhing alit.

Jenis instrumen Gamelan Gong Gede yang tidak mengalami perubahan terdiri dari: gong, kempul (kempur), kendang, rebab, suling, trompong ageng (trompong), dan trompong barangan (barangan/reyong).

 

Dengan demikian jenis instrument yang digunakan dalam Gamelan Kebyar pada umumnya di Bali terdiri dari instrument melodis: trompong satu tungguh, reyong satu tungguh, gangsa ugal (giying) dua tungguh (ngumbangisep), gangsa pemade/pangenter dua tungguh (ngembangisep) gangsa kantil (kanthilan) empat tungguh (ngumbangisep), panyacah dua tungguh (ngumbangisep), rebab sebuah, suling satu sampai empat buah; instrument ritmis: kendang dua buah lanang dan wadon, cengceng satu atau dua stel, dan kajar (kethuk) satu buah; dan instrument kolotomik: kenong (kemong) satu buah, kempul (kempur) satu buah, dan gong dua buah lanang wadon.

Gamelan Pelegongan Banjar Karang Suwung sudah ada di zaman kerajaan Bali, di zaman Kerajaan Puri Pemecutan di pimpin oleh Raja Ida Tjokorda Pemecutan yang dahulu Kota Denpasar ini masih bernama Badung. Kembali menceritakan di sekitar Desa Pedungan di Banjar Karang Suwung dahulunya ada sebuah gamelan pelegongan yang klasik sebagaimana di tahun 1930-an gamelan itu dpembaharui. Di tahun itu gamelan tersebut sudah cukup tua dan ada banyak pelawah yang rapuh. Nama sekaa tersebut yang masih sampai sekarang bernama Sekaa Pelegongan Karang Masdjati, masih memakai nama pelegongan padahal gamelan kini sudah menjadi Gong Kebyar, karena gegending, pakem dahulu masih melekat di sekaa tersebut. Menceritakan adanya gamelan pelegongan di Banjar Karang Suwung, di zaman dahulu ada sebuah pemimpin desa atau utusan dari Kerajaan Bali atau Kerajaan Puri Klungkung waktu di pimpin dengan Ida Bhatara Waturenggong, Ida Bhatara Jro Mekel Danu Tirta sebagaimana beliau adalah nenek moyang dari keturunan Keluarga Jro Mekel Pedungan,Br.Karang Suwung Denpasar, Beliau dari keturunan patihnya Puri Klungkung, Pasek Gel – gel di utuskan untuk ke Badung ( Desa Pedungan, Denpasar) untuk membantu Puri Pemecutan perang melawan Puri Mengwi. Dahulunya belum di namakan Jro Mekel di karenakan dahulu hanya sebuah utusan dan darah dari keturunan Pasek Gel – gel, setelah menang perang melawan Puri Mengwi, Puri Pemecutan menang di medan perang. Keturunan Pasek Gel – gel yang tinggal di gubuk Desa Pedungan di beri gelar oleh Raja Waturenggong karena menjalankan tugas dengan sempurna, untuk menjadi keluarga bangsawan yang kecil dan di beri tempat tinggal dan beberapa hadiah sebuah tanah atau wilayah, untuk memimpin Desa yang bernama sebuah keris Desa Pedungan dan keluarga tersebut yang masih saat ini adalah Prati

 

 

Sentana Jro Mekel Pedungan Denpasar.

Adanya gamelan itu di Banjar Karang Suwung karena adanya pelawatan Ida Bhatara Ratu Ayu (Tapakan Rangda & Rarung) di Parerepan Agung Pura Dalem Batu Pageh, Br. Karang Suwung, Desa Pedungan, Denpasar Bali. Adanya tapakan itu awal dari anak dari Ida Bhatara Jero Mekel Danu Tirta, Ida Bhatara Jro Mekel Wayanan bertapa di sebuah goa yang di tengah – tengah jurang yang di penuhi karang – karang laut, pepohonan dan di bawahnya ada sebuah pantai ( Pantai Batu Pageh ), dan yang menemukan Pura Dalem Batu Pageh yang dahulu bernama Pura Dalem Batu Rejeng yang kini ada di Pura Dalem Batu Pageh, Desa Ungasan, Kab. Badung Bali. Beliau bertapa di sebuah goa yang ada sebuah pelinggih batu besar yang konon di anggap seperti bentuk Lingga Yoni, dan di anggap berdekat dengan Dewa Siwa, Ida Bhatara Jro Mekel Wayanan bertapa untuk menunas peanugrah karena untuk memberi petunjuk agar keluarga selalu kuat dengan godaan dan cobaan yang negatif, meminta agar selalu rahayu di keluarga tersebut. Lewatnya tentang sejarah tersebut, gamelan palegongan tersebut dipakai untuk mengiringi sebuah pelawatan rangda di Pura Parerepan, dan Legong yang ada di Pura tersebut. Sekitar zaman Kapal Sri Komala milik Belanda yang mengakibatkan terjadinya perang Puputan gamelan tersebut sudah ada. Pernah berhenti seka tersebut sekitar 3tahunan karena zaman PKI yang membunuh bunuh orang yang mengikuti PNI, dan zaman tentara Presiden Soeharto yang membunuh para PKI.

  • Seka Yang Menjadi Pemilik Gamelan Tersebut.

 

 

Hak atau pemilik dari gamelan yang ada di banjar karang suwung adalah milik banjar, dahulu memang milik Sekaa Pelegongan Karang Masdjati sebagaimana mestinya gamelan itu sudah di tanggung jawabkan oleh banjar. Dana perbaikan gamelan juga dari uang banjar, dan sekaa tidak merepotkan lagi untuk mencari dana mempertanggung jawabkan gamelan itu. Hal itu membuat sekaa lebih tenang karena tidak lagi memikirkan dana untuk perbaikan, tetapi di setiap kegiatan banjar maupun desa sekaa ini siap melaksanakan perintah dari banjar, karena kita juga harus saling membantu dan membalas budi, karena anggota banjar sudah membuat sekaa ini keringanan.

 

 

  • Aktivitas Yang Dilakukan Oleh Seka Tersebut (jadwal/berkala)

 

Jadwal tidak ditentukan lagi karena ada kesibukan masing – masing seperti sekarang ada yang masih sekolah di malam hari maupun sore hari membuat tugas maupun sekolah, seperti halnya di malam hari sekaa kami sudah ada penerusnya seperti anak muda, anak kuliahan, ada yang kuliah malem dan sore, teman yang SMK/SMA ada yang buat tugas dan kami bisa mengatur jadwal itu semua dari sebuah handphone/Smartphone yang bisa membuat suatu grup di aplikasi seperti adanya grup Line,BBM(Blackberry Massager) atau Facebook, dari sanalah kami sepakat atau tidaknya untuk latian kapan dan kapan.

 

  • Proses Latihan Yang Dilakukan

 

Proses kami latihan untuk menjaga dan melestarikan budaya Bali, menjaga penerus di Sekaa Pelegongan Karang Masdjati, walaupun itu sebuah instrumen Gong Kebyar, kami juga tidak lupa untuk terus belajar gegending pelegongan.

 

 

  • Materi Yang Telah Di Kuasai

 

Materi yang kami sudah pelajari adalah tabuh; Sekar Gendot, Alas Arum, Bebarongan Jagul, Bebarongan Buda Kecapi, Layar Samas, Bebarongan Layar Samas, Telek, Tetunjang Rangda, Barong Ket, Legong Kuntul, Legong Keraton, Simbar Solo, Angklung, Alap Don Base (Tari Sisia Jegeg), Rebong, Sinom Ladrang, Godeg Miring,  Pengrangrang Gede, Apsari, Tari Panji Semirang, Tari Baris Tunggal, Tari Cendrawasih, Tari Rejang Dewa, Tari Rejang Renteng, Topeng Wali, Tari Cilinaya, dan lain – lainnya yang gak bisa lagi saya sebutkan.

 

YouTube Preview Image
  • Event Yang Pernah Di Ikuti

 

Dahulu pada tahun 1994 pernah pentas di Keraton Jogjakarta, membawakan tarian Legong Keraton, Legong Prabu Lasem, Wayang Wong. Saat ini kami di penerus baru belum pernah ikut event melainkan hanya ikut di Upacara keagamaan di luar banjar maupun di sekitaran banjar atau desa, seperti pada bulan febuari 2016 kami pernah ikut acara calonarang di Pura Dalem Masdjati Desa Pedungan, Denpasar dan pada tgl 17 Mei 2017 kami ikut lomba Baleganjur di Lapangan Puputan Badung dengan event Parade Baleganjur Kota Denpasar, penggerak saya sendiri (Mekel Ekalawaya).

 

 

 

 

 

Halo dunia!

Maret 5th, 2018

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!