TABUH RAH

Juni 3rd, 2013

TAJEN DI BALI

 

 

Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, perjudian sabung ayam sudah dikenal dan cukup digemari sebagian masyarakat di beberapa daerah. Di Bali perjudian sabung ayam dikenal dengan istilah Tajen, yang berasal dari kata taji yang artinya benda tajam dan telah berkembang cukup mengakar di dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada awalnya “Tajen” merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan/ keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
Sejalan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali, telah terjadi pergeseran makna ritual dan bagian tabuh rah, yang mana makna tabuh rah atau prang sata telah dimanipulasi dan diterminologikan sebagai Tajen. Padahal bila dikaji, tabuh rah dan tajen merupakan suatu pengertian yang berbeda, namun pada kenyataannya tabuh rah dipakai tameng untuk menyelenggarakan tajen.

Ironisnya tajen ternyata mampu berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial. Latar belakang status sosial menjadi cair dan kabur, masyarakat membaur dan melebur secara fisik dan emosional, semua pihak terfokus pada pertarungan kedua ayam adu. Bahkan tajen oleh masyarakat juga sudah dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan dan permainan utnuk menghilangkan kejemuan dan kelelahan fisik setelah melakukan kegiatan berat.

Pada dekade belakangan ini posisi dan peran tajen semakin mengemuka dan seolah-olah mendapat legitimasi dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa oknum masyarakat beragurmentasi bahwa tajen yang digelar semata-mata ditujukan untuk kepentingan pembangunan atau pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Dari perspektif antropologi hukum fenomena sosial ini merupakan proses dekriminalisasi tajen sebagai perjudian. Meskipun ditinjau dari sudut agama khususnya agama Hindu, didalam kitab suci Wedha tidak ada satu ayatpun yang membenarkan adanya berbagai bentuk dan jenis kegiatan perjudian.

 

 

 

 

 

TAJEN, SABUNG AYAM ALA BALI

March 29, 2011 12 Comments

 

Sabung ayam, alias Gocekan, alias tajen, sudah lama tumbuh dan berkembang di Pulau Dewata. Sejak belasan generasi sebelumnya hingga kini, tajen telah merasuk ke sebagian warga bali , terutama laki-laki. Dulu tajen biasa dilakukan di tempat khusus, yakni sebuah arena yang dilengkapi dengan panggung penonton yang terbuat dari bambu. Namun sejak ada larangan pemerintah terhadap segala bentuk perjudian di tahun 1981, tajen tak lagi dilakukan pada tempat khusus tersebut. “Adu jotos” ayam jago pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rerimbunan kebun kopi, kebun kelapa, ladang jagung, tumpukan jerami usai panen, bahkan sudut pekuburan yang terpenting sulit dari pantauan pihak kepolisian.

 

Datangnya era reformasi memberi angin segar. Tajen tak lagi perlu “mengungsi”. Malah, belakangan tajen menjadi sarana untuk

“Aba abaan Siap ” Bawaan Ayam

Sebagaimana tak sembarang jagoan bisa terjun di ring tinju, demikian pula ayam aduan. Ia harus memiliki ciri dan syarat khusus. Selain bentuk kaki, jambul, atau jejuangan (keturunan), juga dilihat apakah ia berasal dari trah ayam berkualitas. Warna bulu, bentuk leher, bahkan komposisi warna bulu (ules) pun dipertimbangkan.

Malah ada kepercayaan mistis berkaitan dengan ayam seperti apa saja yang diizinkan masuk ring tajen. Tapi asal daerah ayam bukan masalah. Tak heran saat ini ayam aduan dalam tajen tidak melulu ayam lokal bali, tetapi juga ayam lombok, jawa, jepang, filipina, bahkan … amerika! Yang penting ia tidak mempunyai satu flek hitam di kakinya yang disebut raja wilah, atau tidak bercirikan warna merah di seluruh urat, lidah, maupun kulit, yang disebut ayam camah (Brahma). Kedua ayam itu pantang diadu dalam tajen.

Bila pemilik ayam nekad, risikonya bisa berupa perkelahian, atau serangan penyakit dadakan. Tak hanya si pemilik, anggota keluarganya pun bisa menjadi korban.

Dalam kitab anutan bebotoh (petaruh), disebut sebagai Lontar Pengayam-ayam, banyak disinggung tentang ayam yang dijamin tidak keok saat diadu. Selain ciri bawaan ayam yang mendatangkan keberuntungan, hari pertandingan pun berpengaruh. Siapa sangka, setiap jenis ayam memiliki hari baik tersendiri?

Soal perawatan menjadi faktor penting lainnya. Menjelang hari bertarung perhatian ekstra dicurahkan mulai soal makanan, perawatan dengan cara memandikan, mengurut, membedaki kakinya, menjemur, serta melatih si jago agar siap tempur di arena tajen.

Yang unik, arena aduan membedakan ayam berdasar warna dan keadaan bulu sekaligus. Buik (bulunya berwarna-warni), kelau (berbulu abu-abu), bihing (berbulu merah), wangkas (dadanya berbulu putih, sayapnya berwarna merah). Brumbun untuk “petarung” dengan kombinasi bulu merah, putih, dan hitam. Ayam berbulu putih disebut sa.

Sedangkan berdasarkan keadaan bulu, ayam dengan bulu leher sangat lebat dinamai ook. Bila tumbuh bulu (jambul) di kepala, disebut jambul. Godek, untuk ayam yang berbulu di … kaki!

“Kode Metoh” bertaruh

Konon, keberadaan bebotoh amat menentukan ramai-tidaknya tajen. Bahkan tajen dan bebotoh ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan.

Betapa tidak, karena arena tajen sering diramaikan teriakan-teriakan istilah yang tak lazim, antara lain gasal, cok, pada, telude, apit, dan kedapang. Gasal adalah sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat. Cok, sistem taruhan tiga lawan empat, pada (sama) adalah taruhan satu lawan satu. Telude, dua banding tiga, apit menggunakan satu banding dua, sedangkan kedapang sembilan banding sepuluh.

Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar, “petugas” yang melepas ayam sebelum bertarung, terlebih dahulu memperkenalkan setiap ayam dengan cara meletakkannya dalam sebuah segi empat di tengah wantilan. Saat itu, akan tampak mana ayam yang pantas diunggulkan dan mana yang tidak. Misalnya seorang pakembar membawa ayam jambul, sedangkan yang lain membawa ayam kelau. Jika ada bebotoh yang menjagokan ayam jambul, ia berteriak menyambut. Jika hingga pakembar selesai dengan acara perkenalan itu tidak ada bebotoh yang mengunggulkan ayam kelau, otomatis ayam jambul menjadi unggulan. Selanjutnya, para bebotoh riuh menawarkan taruhan.

Bebotoh yang ingin mendapatkan “musuh” biasanya meneriakkan sistem taruhan yang dipilih dari tempatnya, tanpa perlu berkeliling arena. Maka, yang menimpali teriakannya akan menjadi lawan taruhan. Bebotoh pun dapat menggunakan jari tangan sebagai isyarat sistem taruhan yang ia inginkan. Maka lawan yang berminat pun membalas dengan isyarat serupa.

Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai “petarung unggulan”, seseorang yang meneriakkan “cok” berarti memegang ayam yang menjadi lawan si unggulan. Syaratnya, kalau menang ia akan mendapatkan uang sebesar taruhan, sedangkan kalau kalah ia hanya membayar tiga perempat dari jumlah taruhan yang disepakati.

Dalam tajen pun ada wasit, yang disebut saya. Di setiap tajen ada empat saya yang bertugas yakni saya kemong, ketek, garis, dan lap. Saya kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, paling tinggi jabatannya. Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan.

Jika salah seekor ayam aduan sudah terkapar, bebotoh yang kalah akan menghampiri lawan untuk menyerahkan uang taruhan.

Sejak zaman Majapahit

Dalang wayang kulit sekaligus pelaku tajen IB Eka Darma Laksana menuturkan, tajen berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain.

Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang sata merupakan simbol perjuangan hidup.

“Tradisi ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200,” ujar Gus Eka, panggilan akrab IB Eka Darma Laksana.

Serupa dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali dalam menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad, tabuh rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah yang kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun banyak disebut dalam berbagai lontar. Misalnya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga (saat bulan sama sekali tidak tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali – Red.), Bathara Siwa mengadakan yoga, saat itu kewajiban manusia di bumi memberi persembahan, kemudian diadakan pertarungan ayam dan dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban adalah Sang Dasa Kala Bumi, karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.

Sedangkan dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara. Bukti tabuh rah merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba juga didasarkan dari Prasasti Batur Abang I tahun 933 Saka dan Prasati Batuan tahun 944 Saka.

Macam-macam tajen

Lantas bagaimana ritual suci semacam tabuh rah berubah menjadi tajen? Menurut Gus Eka, itu tidak lepas dari daya pikat yang ditampilkan dari seni bertarung dua ayam jagoan. Asal tidak melampaui batas secara hukum adat, tajen tidak dilarang. Apalagi aturan main antarsesama bebotoh harus dipatuhi. Aturan itu ternyata juga disebutkan dalam lontar Darma Pajuden. Kalaupun ada yang curang, otomatis tidak akan ada yang mengajaknya bertaruh lagi.

Maka, muncul pemahaman, ada perbedaan jelas antara tabuh rah dan tajen, meski awal mula tajen memang dari pelaksanaan tabuh rah. Tabuh rah adalah rangkaian upacara, berbeda dengan tajen atau krecan (dari kata ica yang artinya tertawa). Jadi, falsafah tabuh rah dan tajen tidak boleh dibaurkan agar tidak menimbulkan degradasi tatwa (nilai).

Meski tergolong sebagai ritual upacara, ternyata tabuh rah tidak dilakukan di semua daerah di Bali. Tapi bila suatu daerah sudah berkeyakinan harus melaksanakan upacara tabuh rah, maka mutlak pula dilakukan. Kalau tidak, justru akan mendatangkan musibah (sima) bagi daerah tersebut.

Pakar hukum adat dari Universitas Udayana Prof. Dr. Nyoman Sirtha, M.S. menyatakan, tajen berawal dari kebiasaan yang bersumber dari pelaksanaan upacara agama saat ada odalan (perayaan tahunan) di pura, yang selalu menghadirkan caru (kurban). Contohnya, upacara pada Dewa Yadnya diikuti dengan persembahan caru, salah satunya dengan menyembelih ayam yang ditujukan kepada butha kala.

Perkembangan selanjutnya, beberapa daerah menyimbolkan penyembelihan ayam dengan mengadu kelapa dengan telur, sampai telurnya pecah. Namun, ada daerah yang mengganti kebiasaan itu dengan cara mengadu ayam, yang akhirnya berkembang menjadi tajen, berasal dari kata tajian, karena setiap kaki kiri ayam aduan selalu dipasangi taji.

Namun secara sosiologis, lanjut Nyoman Sirtha, pelaksanaan tajen ada tiga macam. Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga pelaksanaannya tidak dilarang.

Kedua, tajen terang sengaja digelar desa adat untuk menggalang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang, bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski tidak tertulis. Tajen terang dilakukan terbuka dengan melibatkan pecalang, saya. Bahkan didahului dengan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.

Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat serta semata-mata berorientasi judi.

“Ada perbedaan mendasar. Kalau tajen terang, meski memakai taruhan, soal menang dan kalah bukan hal terpenting. Yang utama, mendapat hiburan. Berbeda dengan tajen branangan yang bisa disebut pelalian (bermain), karena rata-rata yang terlibat lebih mengutamakan berjudi, bahkan sampai lupa diri,” ujar Nyoman lagi.

Terlepas dari pandangan serta sorotan tentang tajen, sebenarnya kegiatan ini telah mengacu kepada aktivitas budaya yang rasanya amat sulit untuk dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat Bali. Beberapa waktu lalu, tajen bahkan telah dikemas sebagai atraksi wisata bagi wisatawan asing. Nyatanya wisatawan asing yang disuguhi atraksi langka itu sangat antusias sewaktu menyaksikannya. Agar lepas dari pendapat pro dan kontra, tajen memang lebih pas bila diteropong dari kacamata budaya Bali.

ANSAMBEL GENGGONG

Juni 3rd, 2013

Istilah genggong memiliki 2  pengertian, yaitu :

  1. Nama dari salah satu alat yang dibuat dari bahan pupug atau ‘pelepah pohon aren’. Setiap satu alat genggong dimainkan oleh satu orang dengan menempelkan tungguhan genggong tersebut pada mulut, kemudian meniup dan menarik-narik benang yang di hubungkan pada tungguh genggong. Kuat lemahnya tiupan akan menghasilkan tinggi atau rendahnya nada.
  2. Nama dari salah satu perangkat gambelan. Dalam gambelan genggong, tungguhan genggong  jumlahnya paling banyak diantara tungguhan yang digunakan, dan juga dari segi musikal, bunyi tungguhan ini adalah yang paling dominan. Dalam perangkat gambelan genggong, selain digunakan tungguhan genggong, juga digunakan tungguhan lain, yaitu tungguhan kendang (lanang dan wadon ), slober, ceng-ceng, tawa-tawa, klenang, dan gong pulu. Perangkat gambelan ini disebut gambelan genggong kemungkinan besar disebabkan karena dominannya peran tungguhan genggong yang dimilikinya. Dalam perangkat gambelan ini digunakan 6 -10 atau lebih tungguhan genggong yang dibunyikan oleh satu orang. Sedangkan dalam penyajian gending- gendingnya, tungguhan genggong lebih menekankan pada penggarapan melodi  atau gending dengan berbagai jenis pola tubuhnya yang akan membentuk satu jalinan, berupa gabungan pola tabuhan  polos dan nyandet. Dalam hal ini tabuhan tungguhan suling menyajikan melodinya.

Jumlah prangkat gambelan genggong di Bali sangat sedikit dan dapat dikatakan sebagai perangkat gambelan yang sangat langka. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya daya tarik bagi kawula muda untuk belajar memainkannya. Ketidak tertarikan ini disebabkan diantaranya karena adanya 2 faktor, yaitu fungsi perangkat gambelannya yang sangat terbatas, dan sulitnya permainan tungguhan genggong. Berdasarkan Informasi Seni Organisasi Di Lingkungan Kanwil Debdikbud Propisi Bali Tahun 1995/1996  jumlah perangkat gambelan genggong diketahui ada sebanyak 9 perangkat yang menyebar ke daerah-daerah kabupaten, dengan rincian penyebarannya sebagai beikut :

  1. Di Kabupaten Buleleng, terdapat 1 perangkat
  2. Di Kabupaten Gianyar, terdapat 7 perangkat
  3. Di Kabupaten Karangasem,  terdapat 1 perangkat

 

  • Tungguhan.

Jumlah tungguhan dalam satu perangkat gambelan genggong, pada masing-masing sekehe didapatkan adanya jumlah maupun jenis tungguhan yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan tungguhan dalam satu perngkat merupakan hal yang umum di kalangan karawitan Bali. Alternatif penggunaan tungguhan dalam satu perangkat genggong, salah satunya sebagai berikut:

No

TUNGGUHAN

JUMLAH

1 Tungguhan kendang (lanang dan wadon) 1 pasang
2 Tungguhan ceng-ceng ricik 1 pangkon
3 Tungguhan klenang atau menggunakan guntang 1 buah
4 Tungguhan slober 1 buah
5 Tungguhan kajar 1 buah
6 Tungguhan gong pulu atau guntang 1 buah
7 Tungguhan suling 4 buah
8 Tungguhan genggong 6 – 10 buah
9 Tungguhan kenong 1                    buah

 

 

  • Penataan Gamelan Genggong

      Penataan gambelan Genggong ini biasanya di sesuaikan dengan keperluan atau pun situasi tempat yang ada. Salah satu satu alternatif penataan tungguhan dalam perangkat gamelan Genggong adalah sebagai berikut:

 

9

8

7

7

7

7

6

2

2

3

4

5

1

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan :

  1. 1.                  Tungguhan genggong
  2. 2.                  Tungguhan kendang( lanang dan wadon)
  3. 3.                  Tungguhan kajar
  4. 4.                  Tungguhan ceng-ceng ricik
  5. 5.                  Tungguhan kelenang
  6. 6.                  Tungguhan slober
  7. 7.                  Tungguhan suling
  8. 8.                  Tungguhan kenong
  9. 9.                  Tunnguhan gong pulu
  • Perkembangan

      Pada perkembangannya sekarang, perangkat Genggong di gnakan untuk mengiringi tari seperti perangkat pada gambelan gong kebyar seperti misalnya, tari Panyembrahma, tari Baris, dan tarian baru yang merupakan susunan seniman-seniman dewasa ini.

 

  • Fungsi

Fungsi gambelan ini sekarang hanya terbatas untuk keprluan hiburan belaka, yaitu untuk menyajikan tari-tarian dan juga gending-gending petegak. Menurut Nyoman Rembang, salah satu pakar dalam karawitan Bali di katakana bahwa konon ceritanya pada masa lalu, tungguhan genggong digunakan untuk mengiringi temanten (pengantin) yang baru saja selesai meminang

 

Gong Kebyar

Juni 3rd, 2013

Pengerian gong kebyar

Gong Kebyar  adalah  salah satu perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri dari lima nada ( panca nada ) dengan laras pelog.
Gong Kebyar bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, karena hampir seluruh desa maupun banjar yang ada di Bali memiliki satu perangkat/ barungan Gong Kebyar. 

   Oleh karenanya gong kebyar menjadi satu barungan gambelan yang tergolong baru jika dibandingkan dengan jenis-jenis gambelan yang ada saat ini seperti misalnya, gambelan Gambang, Gong Gde, Slonding, Semara Pegulingan dan masih banyak yang lainnya.

 

Jenis-Jenis Gambelan gong kebyar

Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu gambelan gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar ini perbedaannya terletak pada :

ž  Tungguhan gangsa, Bali Utara bentuk bilah penjain dan dipacek sedangkan Bali Selatan menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung.

ž  Gambelan Bali Utara  suaranya lebih besar dari suara gambelan Bali Selatan, meskipun dalam patutan yang sama.

 

Barungan gong kebyar yaitu

ž  Dua buah  pengugal/giying

ž  Empat buah  pemade/gansa

ž  Empat buah  kantilan

ž  Dua buah  jublag

ž  Dua buah  Penyacah

ž  Dua buah jegoggan

ž  Satu buah  reong/riyong

ž  Satu buah  terompong

ž  Satu pasang gong lanang wadon

ž  Satu buah kempur

ž  Satu buah kemong gantung

ž  Satu buah bebende

ž  Satu buah kempli

ž  Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik

ž  Satu pasang kendang lanang wadon

ž  Satu buah kajar

 

 

Fungsi Gong Kebyar

Sebagaimana kita ketahui bahwa Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.

tentang saya

April 15th, 2013

Nama saya IMADE MEGI ANDIKA, tmpat tgl lahir saya 31 mei 1994 , saya kuliah di INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR… SD saya bersokalah di SD NO 5 PENATIH, SMP saya bersekolah di SMP N 8 DENPASAR, SMA saya bersekolah di SMK N 3 SUKAWATI… saya berkuliah di ISI krn saya sangat ingin mengetahui dan memperluas pengethuan saya tentang kesenian Bali, khususnya seni karawitan bali. Kegiatan kseharian saya adalal megambel, saya sering di ajak mgambel oleh teman dan sanggar, biasanya saya ngayah dipura dan di hotel. Srtiap hari sabtu saya mengajar karawitan di SD N 2 SUMERTA, di sana saya banyak dapat pengalaman mengajar, saya bercita-cita menjadi seorang guru, karena saya ingin melestarikan budaya Bali, khususnya di bidang seni karawitan bali. Hobi yang saya senangi yaitu memancing, karena memancing membuat saya menjadi orang yg lebih sabar, tempat yang sering saya kunjungi dan sangat saya senangi yaitu tmpat wisata Kebun Raya Bedugul, di sana saya sering berwisata dengan keluarga saya.

Saya adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara, Bapak saya bernama I Ketut Suma Suara, Ibu saya bernama I Wayan Karni (alm), Kakak saya beranama Ni Luh Putu Yuni Antari, dan Adik saya bernama Ni Nyoman Veby Tri Kusuma Yani. Bapak saya bekerja sebagai wiraswasta, Kaka saya saat ini sudah menikah, dan Adik saya saat ini msh duduk di bangku SMP. Saya dan sekluarga tinggal di Jln. Trengguli No 28, Br. Tambawu Kaja, Desa Adat Tambawu, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar timur.

Pengalaman yg sangat mengsikan bagi saya pada saat saya ngaya di Pura Batur dan Pura Besakih. Di sana saya bisa merasakan bagi mana asiknya bermain gamelan Gong Gede bersama Pak Pande, Pak Pasek, dan teman- teman saya di isi. Saya sangat senang karena baru pertama kali ini saya dapat memainkan instrumen gameln Gong Gede yang ad di Pura Batur dan Pura Besakih, dari sna pula saya dapat membedakan instrumen Gong Gede yg ada di Batur dan Besakih, instrumen Gong Gede di Batur hanya menggunakan 2 buah jegog, sedangkan di besakih menggunakan 4 buah instrumen jegog, dan susunan gamelannya pu juga berbeda.

Halo dunia!

April 8th, 2013

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!