Subscribe via RSS

RESENSI BUKU FILSAFAT SENI SAKRAL DALAM KEBUDAYAAN BALI

By komangsuryawan

RESENSI BUKU FILSAFAT SENI SAKRAL

DALAM KEBUDAYAAN BALI

 

Judul               : Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali

Pengarang       : I MADE YUDABAKTI dan I WAYAN WATRE

Penerbit           : PARAMITA Surabaya

Tebal               : 120 halaman

 

Seni Sakral adalah sebuah kesenian yang lahirnya dari perjuangan rasa bakti manusia untuk dipersembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian besar rasa bakti manusia, lalu diwujudkan dalam bentuk karya seni seperti tari, tabuh, suara, seni rupa, dan pedalangan. Untuk menguatkan perjuangan bakti mereka pada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hasil karya seni yang berhasil mereka wujudkan diperkuat dalam sebuah metologi atau sejarah. Sehingga seni itu selalu menjadi sakral sepanjang masa. Semua karya seni yang mereka anggap sakral dituangkan dalam beberapa lontar seperti : Purwagama Sesana, Barong Swari, Usana Bali, Japa Kala, Kala Purana, Tantu Pagelaran, Kecacar, Dharma Pewayangan, Siwanataraja, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana jika kalau kesenian sakral jika tidak bersumber pada tatwa agama? Apa fungsi seni Sakral? Apa terkait dengan filsafat? Hal-hal itu akan dibahas dalam buku yang ditulis oleh I Made Yudabakti dan I Wayan Watra, Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali.

Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang seni sakral pada pembaca. Namun juga memberitahukan filsafat seni, pengertian seni, fungsi kesenian, sejarah/ sumber seni sakral dan jenis-jenis seni sakral. Buku ini patut diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si pembaca yang mengakui bahwa buku ini, bisa memeberikan penegetahuan pada masyarakat awam mengenai seni sakral, mulai dari latar belakang,  sejarah dan seluruh kesenian sakral yang ada di Bali.

Meski penulis tidak membuat semua tentang seni, tapi ada yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca untuk memahami isi dari buku tersebut, dan mudah dicerna.  Kelebihan lain dari buku ini yaitu dilengkapi juga dengan gambar seni sakral. Seperti: gambar-gambar tarian-tarian sakral yang di pentaskan pada saat upacara agama Hindu, dan juga gambar tokoh pewayangan yang ada pada cerita sakral (sapuleger dan sudhamala) yang bisa membuat pembaca menjadi tertarik untuk membacanya dan si pembaca mengetahui tokoh-tokoh yang ada dalam seni sakral. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini.

Dalam buku ini disuguhkan beberapa pedoman mengenai sumber dari seni sakral tersebut. Seperti: diambil dari lontar Barong Swari disebudkan atau disinggunkan tentang terjadinya tarian Barong, Telek, dan Topeng. Lontar Kecacar dan Tantu Pegelaran disebutkan tentang mithologi tari Sanghyang Dedari. Lontar Prakempa disebutkan semua barungan gamelan mempunyai fungsi yang berlainan sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi. Dan lontar yang lainnya yang berkaitan dengan seni sakral.

Dalam buku ini dijelaskan juga mengenai tiga fungsi seni, yakni seperti: Seni Wali, yaitu seni yang dipentaskan khusus pada hari suci, tempat suci dan bagian seninya telah ditentukan oleh suatu keputusan sastra, seperti : Tari Rejang, Pendet, Sanghyang, Baris, dan Wayang Sapuleger. Seni Bebali, yaitu seni yang dipentaskan untuk mengiringi upacara yadnya di Pura-pura atau di luar Pura. Ciri khas kesenian Bebali adalah pentas seni yang memakai lakon. Adapu seni tersebut antara lain: Seni Pewayangan, Topeng, serta berbagai seni yang diciptakan berlandaskan ke tiga seni tersebut di atas. Seni Balih-balihan, yaitu seni yang mutlak diperuntukan sebagai hiburan atau tontonan masyarakat. Adapun seni tersebut antara lain adalah semua cabang seni selain yang tersebut pada butir di atas (butir Seni Wali, dan Bebali).

Buku ini pada bagian akhirnya juga dilengkapi dengan kesimpulan tentang isi buku dari awal sampai akhir dirangkum menjadi dua halaman. Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, penulis kurang menjelaskan secara detail tentang Karawitan yang mengiringi pementasan seni sakral tersebut. Penulis hanya menuliskan tentang filsafat tersebut.

Dengan memahami fungsi kesenian Bali secara benar, maka akan diketahui pula beberapa jumlah jenis-jenis kesenian Bali dalam setiap cabang seni. Jenis seni di Bali sangatlah banyak dan beraneka ragam. Yang termasuk jenis tersebut adalah seperti Seni Tari (Pedet, Rejang, Sanghyang, Baris), Wayang (Wayang Lemah, Wayang Sapuleger, Wayang Sudamala), Topeng Sidhakarya (Pajegan), Seni Karawitan ( Gong, Angklung, Saron, Gambang, Selonding, Semar Pagulingan, Gender Wayang), Seni Rupa (Lukis Parba, Pratima, Senjata/ Keris/ Tombak).

Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan seni sakral yang ada di Bali, sejarah/ sumber seni sakral, fungsi kesenian Bali,  jenis-jenis kesenian Bali di dalam buku “FILSAFAT SENI SAKRAL DALAM KEBUDAYAAN BALI”.

 

 

komang suryawan

 

BIOGRAFI I NYOMAN SETIAWAN SENIMAN DARI BANJAR SEBUNIBUS, DESA SAKTI, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

By komangsuryawan

I NYOMAN SETIAWAN ADALAH SALAH SATU SENIMAN KARAWITAN DARI BANJAR SEBUNIBUS, DESA SAKTI, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG.

I Nyoman Setiawan lahir pada tanggal 25 September 1968 di Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Nusa Penida. I Nyoman Setiawan mulai belajar megamel dari usia 10 tahun, yaitu semasih dirinya duduk di Kelas 5 SD Negeri 1 Sakti. Saking semangatnya Setiawan belajar megamel sampai ke luar desa. Setiawan tamat SD pada tahun 1981, kemudian Setiawan melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 1 Batununggul, meski berjalan kaki karena lokasi sekolah yang jauh Setiawan tetap semangat untuk bersekolah. Hingga pada tahun 1984 Setiawan dapat menyelesaikan sekolahnya. Pada tahun yang sama Setiawan melanjutkan sekolahnya ke KOKAR yang sekarang menjadi SMK Negeri 5 Denpasar. Setiawan tamat dari KOKAR pada tahun 1988 dan langsung di tunjuk menjadi pelatih di desanya. Karena keadaan ekonomi yang terbatas, Setiawan tidak bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.

Pada tahun 1993, I Nyoman Setiawan menikah dengan Ni Wayan Maju. Dari pernikahannya di karuniai 3 (tiga) orang anak yang semuanya senang menari dan menabuh. Setiawan mengajar megamel hampir 75% dari wilayah Nusa penida, diantaranya daerah Pejukutan, Kutampi, Penutuk, Banjar Perapat, Banjar Nyuh, Sakti, dan daerah lainnya di Nusa Penida. Selain di Nusa Penida, Setiawan juga mengajar sampai ke luar daerah, yaitu di Lombok dan Sumatra selama 2 (dua) tahun. Setiawan adalah sosok seniman yang ramah, Ia tak pernah mengeluh jika Ia tak di bayar saat melatih. Setiawan adalah salah satu seniman yang selamat dari kecelakaan maut yang menimpa Sekaa Angklung yang tenggelam di Laut Jungut Batu. Ia merasa beruntung bisa selamat dari kecelakaan itu. Selain mempunyai bakat dalam karawitan Bali, Setiawan juga mempunyai bakat membuat Bade/Wadah yaitu tempat membawa jenasah ke kuburan. Kecintnannya terhadap seni, Setiawan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan kesehariannya. Setiawan diberi kepercayaan oleh masyarakat Sebunibus untuk membina sekaa gong yang ada di banjarnya. Sampai sekarang Setiawan tetap menjadi pembina/pelatih dalam Sekaa Gong Kebyar Satya Dharma, Banjar Sebunibus Kelot dan Sekaa Angklung Santhi Giri Swaram.

Demikian tentang Biografi I Nyoman Setiawan Salah Satu seniman yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat.

 

 

 

“komang suryawan”

PERKEMBANGAN GAMELAN GONG KEBYAR DI BANJAR NYUH DESA PED KECAMATAN NUSA PENIDA

By komangsuryawan

PERKEMBANGAN GAMELAN GONG KEBYAR DI BANJAR NYUH

DESA PED KECAMATAN NUSA PENIDA

 

Gamelan Gong Kebyar merupakan seperangkat gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi upacara keagamaan khususnya agama Hindu dan mengiringi tari-tarian. Dalam dekade tahun melenium dunia kebudayaan khususnya kesenian mengalami perubahan-perubahan yang sangat mejolok utamanya dalam dunia Seni Karawitan. Perkembangan ini tidak saja membawa perubahan yang positif, tetapi juga membawa pengaruh yang negatif. Penyebabnya bukan mutlak dari pengaruh dunia kesenian, akan tetapi bersumber dari pengaruh global yang terjadi pada dunia modern ini.

Perkembangan seni karawitan yang belum berkembang di Banjar Nyuh membuat masyarakatnya menjadi belum mengetahui keanekaragaman seni musik di Bali pada umumnya. Seiring perkembangan zaman, masyarakat setempat mulai memikirkan budaya Seni Karawitan yang mereka miliki yang serba terbatas. Mulai sejak itu seni karawitan mulai di munculkan dengan dibentuknya sekaa gong. Keterbatasan dana saat itu yang menyebabkan masyarakatnya sulit membelinya, sehingga masyarakat berinisiatif untuk bersama-sama membuat Gamelan Gong Kebyar.

Tujuan penulisan ini tidak lain untuk mengetahui bagaimana perkembangan Gamelan Gong Kebyar di Banjar Nyuh.  Karena dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Yang  dulunya sederhana, sekarang sudah mengalami perubahan sesui dengan perubahan zaman.

 

Perkembangan Gong Kebyar Di Banjar Nyuh

Asal-usul dan perkembangan gamelan tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran gamelan dalam kehidupan masyarakat. Gamelan akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Menulusuri asal-usul gamelan secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman Belanda hingga kini banyak cendikiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang gamelan. Gamelan yang kita lihat sekarang ini berbeda dengan gamelan masa lalu, begitu pula dengan gamelan di masa depan akan berubah sesui zamannya. Namun perubahan ini tidak terpengaruh terhadap jati dirinya. Karena gamelan memiliki landasan yang kokoh.

Untuk mengungkap perkembangan suatu kesenian seperti seni gong kebyar di Banjar Nyuh, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida sungguh tidak mudah. Kesulitan-kesulitan yang menyebabkannya adalah kurangnya data-data mengenai gamelan tersebut dan hampir tidak ada data-data tertulis yang memuat tentang gamelan gong kebyar tersebut. Namun demikian dari beberapa informasi yang anggota sekaa maupun informan-informan luar yang mampu memberikan keterangan mengenai data-data tentang perkembangan dari gamelan gong kebyar ini.

Misalnya : I Ketut Gede Susila yang menjadi sekretaris (penyarikan) di  Desa Pekraman Banjar Nyuh (wawancara pada tanggal 30 September 2012 di rumahnya Banjar Nyuh) menerangkan bahwa skitar tahun 1960 ada empat banjar yang ada di Banjar Nyuh yaitu; Banjar Tebe, Banjar Ngandang, Banjar Seblange, Banjar Nyuh. Karena pada tahun ini masyrakat terkena wabah penyakit (orang mati mendadak) lambat laun empat banjar ini menjadi satu, yaitu Banjar Nyuh. Di Banjar Nyuh pada saat itu terdapat sebuah kesenian yang disebut Tari Gandrung, Seni Tari Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Tari Gandrung ini ditarikan oleh 2 (dua) anak-anak yang masih kecil dan digunakan sebagai penolak bala oleh masyarakat.  Setiap ada piodalan di pura-pura desa Tari Gandrung harus dipentaskan dan diiringi dua tungguh Gangse Pemade. Pada waktu itu hanya ada dua buah Gangse Pemade di Banjar Nyuh ini disebabkan karena keterbatasan jumlah masyarakat yang sedikit. Lama-kelamaan masyarakatnya merasa kurang lengkap karena keterbatasan alat musik untuk mengiringi upacara yadnya. Hingga sekitar tahun 1979 masyarakat membeli Gong Baleganjur, yang terdiri dari:

a)      2 (dua) buah kendang yaitu kendang lanang dan kendang wadon

b)      6 (enam) buah cenceng kepyak

c)      1 (satu) reong yang bermoncol/pencon 12

d)     1 (satu) tawa-tawa

e)      1 (satu) gong

f)       1 (satu) kempul

g)      1 (satu) kemong

Pada kisaran tahun 1979 ini, masyarakat hanya menggunakan Gong Baleganjur  sebagai pengiring upacara yadnya. Ketika masyarakat melaksanakan upacara yadnya yang lebih besar seperti “Karya Agung Ngentek Linggih” mereka merasa kurang dengan alat gamelannya, karena gamelan yang dimiliki hanya berupa seprangkat Gamelan Gong baleganjur. Mulai saat itu masyarakatnya mulai merencanakan (planning) untuk membuat seprangkat gamelan yang lebih lengkap yaitu gamelan Gong Kebyar.

Karena masyarakat sudah memiliki sprangkat Gong Baleganjur, Sekitar tahun 1980 ketua (kelian) I Jarna (almarhum) Banjar Nyuh mulai menggerakan masyarkatnya untuk bekerjasama membuat gamelan yang lebih lengkap agar menjadi Gong Kebyar yang dibantu oleh I Duduk (almarhum) yang mengetahui cara pembuatan gamelan dengan membeli. Dengan kerja keras masyarakat untuk menyelesaikannya, akhirnya terselesaiakanlah seprangkat alat Gamelan Gong Kebyar nista (setengah) pada tahun 1981, diantaranya:

a)      9 (sembilan) buah gangsa berbilah (terdiri dari 1 giying/ugal 4 pemade, kantil)

b)      2 (dua) buah jegoan berbilah 5

c)      2 (dua) buah jublag atau calung berbilah 5

d)     1 (satu) tungguh reyong berpencon 12 (reong baleganjur yang dirubah)

e)      2 (dua) buah kendang (lanang dan wadon)

f)       1 (satu) pangkon ceng-ceng

g)      1 (satu) buah kajar

h)      1 (satu) buah gong besar (gong dari gong baleganjur)

i)        1 (satu) buah kemong

j)        1 (satu) buah babende (gong kecil bermoncong pipih)

k)      1 (satu) buah kempli (semacam kajar)

l)        1 kempul (kempul dari gong baleganjur)

Seteleh Gong Kebyar tebentuk, masyarakatnya mulai berinisiatif membentuk kesenian Drama Tari Arja. Bersamaan dengan pembuatan Tari Arja masyarakatnya menggunakan Gamelan Gong Kebyar untuk mengiringi tarian tersebut, yang saat itu dilatih oleh Guru Sifat (almarhum) seniman karawitan alam dari Nusa Lembongan dan I Wayan Sandya (almarhum) seniman karawitan alam dari Sebunibus Desa Sakti. Karena tokoh yang melakoninya tidak lagi aktif dalam kesenian pearjaan, yang disebabkan oleh faktor pernikahan dan pemudanya tidak begitu tertarik oleh kesenian peajaan, jadi lambat laun kesenian Arja punah.

Dari tahun 1982-2008 masyarakatnya masih menggunakan Gamelan Gong Kebyar tersebut. Karena terlalu lama/tua gamelan tersebut, hingga pada tahun 2009 gamelan yang lama diganti, dengan menjual (tukar tambah) gamelan yang lama. Masyarakatnyapun memutuskan untuk mengganti gamelan yang lama agar lebih lengkap, yaitu membeli 1 (satu) barungan Gamelan Gong Kebyar yang terdiri dari:

a)      10 (sepuluh) buah gangsa berbilah (terdiri dari 2 giying/ugal, 4 pemade, kantil)

b)      2 (dua) buah jegoan berbilah 5

c)      2 (dua) buah jublag atau calung berbilah 5

d)     2 (dua) buah penyacah berbilah 7

e)      1 (satu) tungguh reyong berpencon 12

f)       1 (satu) tungguh terompong berpecon 10

g)      2 (dua) buah kendang besar (lanang dan wadon) yangdilengkapi dengan 2 buah kendang kecil.

h)      1 (satu) pangkon ceng-ceng

i)        1 (satu) buah kajar

j)        2 (dua) buah gong besar (lanang dan wadon)

k)      1 (satu) buah kemong (gong kecil)

l)        1 (satu) buah babende (gong kecil bermoncong pipih)

m)    1 (satu) buah kempli (semacam kajar)

n)      4 (empat) buah suling bambu (suling kecil 2 dan suling besar 2)

 

Barungan Gong Kebyar ini sangat berbeda dengan Gamelan Gong Kebyar yang dulu. Karena gamelan yang dulu serawahnya tidak berukir, dan gamelan yang sekarang sudah mengikuti perkembangan zaman, yaitu serawahnya lebih berukir.

2.2 Bentuk Gamelannya :

  • Bentuk Gangsa pada tahun 1960

  • Bentuk Gong Baleganjur pada tahun 1979

  • Bentuk Gong Kebyar pada tahun 1981

  • Bentuk Gong Kebyar pada tahun 2009

 


 

 

Kesimpulan

Jadi perkembangan Gong Kebyar di Banjar Nyuh  mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Ini membuktikan masyarakatnya sudah memperhatikan kebudayaan yang dimilki oleh masyarakat Banjar Nyuh, dari masyarakat yang hanya memiliki 2 (dua) tungguh Gangsa, berkembang menjadi Gong Baleganjur, kemudian berkembang lagi menjadi Gong Kebyar dan Gong Kebyar sampai saat ini di Banjar Nyuh masih tetap di pertahankan. Ini sesuai dengan Teori Evolusi yang artinya suatu proses perkembangan masyarakat dari tingkat yang sederhana ketingkat yang lebih tinggi.

 

Kalau evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah-olah dari suatu jarak yang jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa ribuan tahun), maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan bersangkutan ( Buku Pengantar Ilmu Antropologi. Hal 194).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

Aryasa, I.W.M. 1976/1977. “Perkembangan Seni Karawitan Bali”, Proyek Sasana Budaya Bali. Denpasar.

 

Team Survey ASTI Denpasar. 1980. Sejarah Perkembangan Gong Kebyar Di Bali, Proyek Penggalian, Pembinaan Seni Klasik Tradisional dan Kesenian Baru. Denpasar.

 

Koentjaningrat. 2009. “Pemgantar Ilmu Antropologi”, RINEKA CIPTA. Jakarta.

 

“Komang Suryawan”

 

KOMENTAR TABUH KREASI CITA WINANGUN

By komangsuryawan

TABUH KREASI CITA WINANGUN

Pesta Kesinian Bali 2008
Gong Kebyar Anak-Anak

YouTube Preview Image

Tabuh ini ialah menggambarkan sebuah cita-cita dari anak-anak yang akan dicita-citakan dari dari masa anak-anak sampai  masa dewasa. Di masa kanak-kanak mereka sangatlah berbahagia, demi meraih cita-cita mereka. Tabuh ini diciptakan oleh I Wayan Gede Arnawa.S,sn  pada Pesta Kesenian Bali  Tahun  2008, yang dibawakan oleh Sekaa Gong Dharma Satya Budaya dari Kecamatan Kuta Utara, Badung. Yang mewakili Duta Kabupaten Badung.

 

Komentar Video Tabuh Kreasi Cita Winangun

a. Dari Segi Penataan:

Dari segi penataan instrument  yaitu, Trompong berada di depan, sebelah kanannya Kendang, Cenceng ricik, kemudian diblakang trompong yaitu instrument Suling, di belakang Suling yaitu instrumen Ugal, sebelah kanan kiri Ugal ada Gangsa, dan di belakangnya ada instrumen Kantilan, kemudian di belakang Kantilan  yaitu instrument Reong, di kirinya ada Penyacah, di belakangnya Jublag, dan Jegog, kemudian di samping Jegog adalah instrument Gong. Kemudian penaruhan micropone berada di tengah-tengah penabuh, sehingga mengganggu penampilan penabuh, atau menutupi wajah penabuh.

b. Dari Segi Lighting:

Dari segi penataan cahaya  menurut saya kurang cerah, karena pemain gamelan tidak begitu jelas keliatan wajahnya.

 

c. Dari Segi Sound System:

Dari sound system, suara bende tidak kedengaran, instrument Ugal tidak kedengaran, suara cenceng ricik tidak kedengaran, dan instrument reong agak kecil suaranya. Yang lebih menonjol adalah suara gangsa dan suling.

 

Sekian dan terimakasih.

 

Tari Baris Jangkang Nusa Penida

By komangsuryawan

TARI BARIS JANGKANG NUSA PENIDA

 

 

Seni tari adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang mengandun nilai keindahan. Seni tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat terutama masyarakat hindu. Seni tari adalah salah satu dari sekian banyak yang memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Hindu dalam menyelenggarakan upacara keagamaan, khususnya di Bali. Kesenian Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari relegius masyarakat Hindu di Bali. Upacara di pura-pura (tempat suci) juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan lain-lainya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap relegius dari para umat penganut Hindu di Bali. Pregina atau penari dalam semangat ngayah atau bekerja tanpa pamerih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri dan seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni.

Tari sakral merupakan kesenian yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yajna dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni tari sakral sangatlah disucikan dan dikeramatkan oleh masyarakat Bali. Mengingat pengaruh pentas seni ini sangat besar pengaruhnya bagi keharmonisan alam semesta ini. Oleh karena itu seni sacral ini sangat mendapat perhatian pada masyarakat Bali. Mengingat pentingnya seni sacral dalam kehidupan keagamaan, maka sangat perlu diteliti tentang makna, asal-usul, keberadaan seni ini, sehingga dapat diketahui oleh khalayak ramai atau masyarakat umumnya para pemerhati seni tentang hal ikhwal seni sakral tersebut.

Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok; yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung. Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.

Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat percaya adanya roh halus dan jahat serta alam yang mengandung kekuatan magis. Untuk mengimbangi dan menetralisir keadaan tersebut masyarakat mengadakan upacara yang dilengkapi dengan tari-tarian yang bersifat religius. Salah satu dari sekian banyak tarian religius yang ada pada masyarakat Bali adalah Tari Baris Jangkang.

Dengan sifat religius masyarakat dan juga ajaran agama Hindu yang universal dan semua penganut dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa, maka banyaklah timbul berbagai kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan. Banyak tumbuh suatu kesenian yang memang ditujukan untuk suatu pemujaan tertentu, atau juga sebagai pelengkap dari pemujaan tersebut. Selain itu pula berkembang suatu seni pertunjukkan yang sifatnya menghibur. Dari kebebasan berekspresi dalam rangka pemujaan maupun sebagai pendukung dari suatu ritual tertentu, maka di Bali ada digolongkan menjadi dua buah sifat pertunjukkan atau seni. Yakni seni wali yang disakralkan dan juga seni yang tidak sakral atau disebut profan yang hanya berfungsi sebagai tontonan atau hiburan belaka.

Berbagai jenis tarian Bali menampakan adanya hubungan yang erat dengan aktivitas keagamaan dan juga berkembang menjadi tari-tarian yang dipentaskan di atas panggung. Baik seni pertunjukan sebagai sarana upacara atau ritual, sebagai hiburan maupun sebatas penyajian estetis semata. Masyarakat Hindu di Bali dalam berkesenian akan dilengkapi pula pelaksanaan ritual dengan upacara sesajen (banten) sesuai dengan adat daerahnya masing-masing, dimana upacara tersebut akan berpedoman pada filsafat konsep Tri Kona yaitu Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi/ keadaan). Seusai pertunjukan diharapkan mendatangkan kedamaian di dunia ini secara lahir bathin, makanya saat-saat tertentu dapat kita jumpai adanya pementasan tari Sanghyang, Rejang, Topeng, Barong, Baris Gede, Barong Ketingkling dan sebagainya.

Dalam budaya Bali, kesenian dan keagamaan yang saling berkaitan. Sebagaian besar seni pertunjukan tradisional Bali yang ada hingga kini berfungsi untuk ritual keagamaan yang penyelenggaraannya selalu jatuh pada waktu terpilih yang sakral serta diselenggarakan di tempat yang terpilih, dan bahkan ada seni pertunjukan yang hanya diselengagarakan apabila sebuah desa terserang wabah penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai seni Tari Baris Jangkang.

 

 

 Pengertian Tari  Baris Jangkang

Sebagai tarian upacara, sesuai dengan namanya “Baris” yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada. Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali antara lain seperti Tabel 2.1:

Tabel 2.1. Jenis Tari Baris yang Ada di Bali

Baris Katekok Jago Baris Tumbak
Baris Dadap Baris Presi
Baris Pendet Baris Bajra
Baris Tamiang Baris Kupu-Kupu
Baris Bedil Baris Cina
Baris Cendekan Baris Panah
Baris Jangkang Baris Gayung
Baris Demang Baris Cerekuak
Baris Mamedi Baris Ketujeng
Baris Gowak Baris Omang
Baris Jojor Baris Kuning
Baris Tengklong Baris Kelemet

 

Pada umumnya tari baris tersebut kebanyakan digunakan pada saat upacara keagamaan seperti upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya,Manusa Yadnya, Rsi Yadnya.

 

Gambar 2.1 Tari Baris Jangkang

Tari Baris Jangkang adalah sebuah tarian yang yang dipentaskan oleh sekelompok pria dewasa yang  ada di Desa Pelilit, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Tari Baris Jangkang sangat jauh berbeda, dengan tarian-tarian sakral lainnya. Dimana tarian ini memiliki nilai kesakralan dan unsur magis yang sangat tinggi. Secara keseluruhan, tarian ini melambangkan tentara kuno dari daerah-daerah terpencil di Bali. Para penari bergerak seperti tentara dalam koreografi yang militer di alam. Pada satu titik, mereka memanfaatkan tombak untuk membentuk sebuah garis pertahanan; di lain, para penari bertindak bersama-sama sebagai sebuah kekuatan ofensif. Ada juga saat-saat mereka membentuk dua kelompok dan mulai menyerang satu sama lain. Gerakan mereka dan gerak tubuh yang sederhana, mendasar dan langsung. Tarian ini di pentaskan ketika ada wabah penyakit di desa, masyarakat percaya bahwa hal itu dapat menangkis setiap wabah atau kekuatan-kekuatan jahat di desa. Lakon dari baris Jangkang yaitu Goak maling taluh, Buyung masugi.

Sejarah Tari Jangkang

Bali rupanya sejak dulu dikawal oleh para prajurit yang tangguh dan gagah berani. Bali Utara dijaga oleh pasukan yang siap siaga menyambut serangan musuh dengan presi atau tamiang. Bali Selatan dipertahankan oleh para prajurit bersenjata tombak. Bali Timur dibela mati-matian oleh pasukan rakyat dengan senjata gada. Bali Barat dikawal oleh para prajurit membawa pecut. Bali Tengah dijaga oleh pasukan tangkas membawa sanjata panah. Bahkan Pulau Nusa Penida juga ditakuti musuh karena memiliki pasukan bersenjata tombak panjang. Para prajurit patriotik tanah Bali itu masih eksis hingga kini. Para prajurit Bali masa lalu itu kini bermetamorfose menjadi puspa warna tari baris yang dipersembahkan dalam ritual keagamaan. Sebuah upacara ngaben besar di Singaraja lazim disertai dengan penampilan tari Baris Presi. Ketika piodalan penting di pura-pura besar di Denpasar selalu diikuti oleh penyajian tari Baris Gede. Ritual bayar kaul di kalangan masyarakat Nusa Penida, Klungkung, akan terasa mantap bila disertai dengan suguhan tari Baris Jangkang. Di bawah ini akan diulas sedikit mengenai sejarah Tari Baris Jangkang hasil wawancara dengan narasumber I Made Monjong S.Pd ketua baris jangkang di Pelilit.

Pada jaman kerajaan Klungkung ada seseorang yang berasal dari Dusun Pelilit Nusa Penida yang di anggap sakti bernama (I Jero Kulit) kesaktiannya terbukti membuat tirta dengan memanah batu. Sebagai pasukan kerajaan Klungkung tugasnya adalah memberi makan babi. Tempat makanan babi itu berupa besi yang berbentuk gong.

Suatu hari Jero Kulit mencoba memukul tempat makanan babi (gong) ternyata mengeluarkan suara dasyat. Saat itu pula Jero Kulit ingin memiliki gong tersebut, tapi dia minta izin dulu sama raja. Dan raja pun tidak percaya. Pada suatu hari anak raja sakit dan Jero Kulit membunyikan gong tersebut dan saat itu pula anak raja bangun dan kembali sehat. Jero Kulit meminta gong itu dibawa ke Pelilit, raja pun mengijinkan asal si Jero Kulit membuat tari-tarian. Si Jero Kulit pun pulang.

Pada suatu hari gong dibawa ke kebun (jurang rumput) di wilayah Pelilit. Pada saat itu kelian banjar mengetok kentongan karena di datangi musuh dari Desa Tanglad dan Desa Watas di suruh datang ke bale banjar dan mempersiapkan senjata. Tempa perangnya di perbatasan jurang kumut, perang pun segera di mulai Jero Kulit membunyikan gong tadi karena dasyatnya musuh melihat tanaman ilalang bergerak seperti senjata dan musuh berlari dengan jengkang-jengkang maka Jero Kulit membentuk tari jangkang. Setelah berbentuk tari berubah menjadi kempul.

 

Fungsi Tari Baris Jangkang

            Sebelum dideskripsikan fungsi Tari Baris Jangkang, dibawah ini akan dideskripsikan fungsi umum tari Baris. Fungsi umum tari Baris adalah sebagai berikut:

1)      tari baris yang berfungsi sebagai upacara Dewa Yadnya ini banyak jenisnya. Biasanya pada upacara ini, tari baris merupakan simbul widyadara, apsara sebagai pengawal Ida Batara sesuunan turun ke dunia pada saat upacara piodalan (odalan) di pura bersangkutan dan befungsi sebagai pemendak (penyambut) kedatangan beliau. Pada upacara ini tari baris biasanya disertai tari rejang yang ditarikan oleh beberapa dara manis sebagai simbul widyadari, apsari yang memberikan keindahan suasana turunnya Ida Betara Sesuunan.

2)      Tari baris yang berfungsi sebagai prasarana upacara Pitra Yadnya adalah sebagai simbul para widyadara menjemput roh (atma) orang yang meninggal untuk diajak menuju tempat yang abadi.

3)      Tari baris multifungsi. Di Nusa Penida tari baris jangkang digunakan untuk bermacam – macam upacara keagamaan baik itu upacara dewa yadnya maupun upacara pitra yadnya bahkan pada upacara bhuta yadnya pun penduduk di sana menggunakan tari baris tersebut. Di dalam pecaruan di lautan pun mereka menggunakan tari baris jangkang seperti yang pernah ditayangkan TVRI Studio Denpasar beberapa waktu yang lalu. Hal ini dapat kita maklumi bahwa di dataran Nusa Penida hanya terdapat satu jenis tari baris selai tari baris tunggal dan baris melampahan yang bersifat sebagai hiburan.

4)      Tari baris berfungsi sebagai penolak bala, sampai saat ini hanya satu jenis tari baris yang dijumpai sebagai sarana penolak bala dan wabah penyakit, yaitu tari baris cina. Oleh karena peranannya sebagai penolak bala dan wabah penyakit, maka baris cina sering disebut ratu tuan sama seperti sebutan barong dan rangda.

5)      Tari baris yang berfungsi sebagai hiburan biasanya tanpa melalui proses penyakralan. Kemungkinan hanya memohon taksu (charisma) agar tari baris tersebut laris atau banyak penanggapnya. Tari baris ini biasanya sebagai pertunjukan untuk menghibur masyarakat antara lain : baris tunggal, baris melampahan, baris masal, baris bandana manggala yudha, dan baris buduh.

Fungsi Tari Baris Jangkang yang ada di Nusa Penida adalah sebagai berikut;

1)      Menyembuhkan orang sakit

2)      Mengabulkan permintaan agar mempunyai keturunan atau bayar kaul.

3)      Melindungi Desa.

2.4  Kostum Tari Jangkang

Kostum yang digunakan oleh penari Tari Baris Jangkang sangat sederhana yaitu terdiri dari tongkat seperti tombak dengan hiasan benang tridatu, kamben cepuk, kain, baju dan celana panjang putih, selendang kuning, putih, dan udeng/destar batik. Tombak memiliki makna kesiapan dalam melawan kejahatan dengan hiasan tridatu yang berarti kekuatan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa).Tombak ini seperti pada cerita sejarahnya bahwa ilalang berubah menjadi senjata tombak. Kamben cepuk merupakan kain khas tenunan yang berasal dari Nusa Penida. Kamben ini dipercaya sebagai simbul penolak bala, karena dalam motif dan warna kain yang digunakan melambangkan symbol tri murti. Selendang kuning yang digunakan melambangkan symbol Dewa Mahadewa penguasa arah mata angin barat, baju dan celana panjang putih perlambang kesucian dan juga penguasa arah mata angin timur. Udeng/destar batik melambangkan kesederhanaan dan perlambang aneka warna sebagai symbol Dewa Siwa.

 

Gambar 2.2 Kostum Penari Tari Baris Jangkang

Iringan dan Instrumen Musik Tari Baris Jangkang

Iringan musik yang digunakan untuk Tari Baris Jangkang ialah berupa balaganjur. Balaganjur adalah pengiring prosesi yang paling umum dikenal di Bali. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap prosesi membawa sesajen ke pura, atau melasti (mensucikan pusaka / pratima), atau upacara ngaben akan diiringi oleh barungan yang sangat dinamis dan bersemangat. Instrumen yang digunakan pada Tari Baris Jangkang di Desa Pelilit Nusa Penida yaitu kendang (lanang dan wadon), cengceng, tetawe, gong, kempul, bonang.  Kendang berfungsi sebagai pemurba irama (mengatur irama gending). Tetawe  berfungsi sebagai pemeganga tempo dan pada bagian tertentu memberi ilustrasi dan aksentuasi sesuai dengan pupuh kekendangan.  Ceng-ceng berfungsi sebagai instrumen yang dianggap peramu atau pemersatu instrumen lainnya sekaligus juga memberi aksen berupa angsel bersama kendang. Cengceng dimainkan secara kakilitan atau cecandatan, dengan pola ritme yang bervariasi dari pukulan besik atau negteg pukulan “telu” dan “nenem” di mana masing-masing terdiri dari pukulan polos (sejalan dengan mat), sangsih (disela-sela mat), dan sanglot (di antaranya). Reyong menjadi satu-satunya kelompok instrumen pembawa melodi. Sebagaimana halnya cengceng, reyong juga dimainkan dalam Balaganjur terdiri dari Gilak yang dimainkan dalam tempo cepat atau sedang dan pelan.

 

 

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal berikut.

1)        Tari Baris Jangkang adalah sebuah tarian yang yang dipentaskan oleh sekelompok pria dewasa yang  ada di Desa Pelilit, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung yang memiliki nilai kesakralan dan unsur magis yang sangat tinggi. Tarian ini melambangkan tentara kuno dari daerah-daerah terpencil di Bali. Para penari bergerak seperti tentara dalam koreografi yang militer di alam. Lakon dari baris Jangkang yaitu Goak maling taluh, Buyung masugi.

2)        Nama Tari Baris Jangkang berasal dari larinya musuh (desa Watas dan Tanglad) dari Jero Kulit (desa Pelilit) dengan berlari jengkang-jengkang setelah melihat ilalang berubah menjadi senjata seperti tombak yan kemudian dibentuk menjadi Tari Baris Jangkang karena melibatkan barisan pasukan.

3)        Fungsi Tari Baris Jangkang yang ada di Nusa Penida sebagai sarana dalam upacara menyembuhkan orang sakit, mengabulkan permintaan agar mempunyai keturunan atau bayar kaul, dan melindungi desa.

4)        Kostum yang digunakan oleh penari Tari Baris Jangkang sangat sederhana yaitu terdiri dari tongkat seperti tombak dengan hiasan benang tridatu, kamben cepuk, kain, baju dan celana panjang putih, selendang kuning, putih, dan udeng/destar batik.

5)        Iringan musik yang digunakan untuk Tari Baris Jangkang di Desa Pelilit Nusa Penida ialah berupa balaganjur, dengan instrumen yaitu kendang (lanang dan wadon), cengceng, tetawe, gong, kempul, bonang.

Dalam pembahasan tentang tari Jangkang diharapkan agar kita mampu mempelajari jenis-jenis tarian yang ada di Nusantara, tidak hanya di dalam wilayah atau daerah setempat serta mampu ikut dalam pelestariannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim.tt. Baris Jangkang, Crows On The Lookout For Eggs. Tersedia pada www.dansmuseet.nu/english/index.html, diakses tanggal 31 Desember 2011

Bandem, I Made., dan Fredrik Eugene Deboer. 2004. Kaje dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi. Jogjakarta:  Badan Penerbit ISI Jogjakarta.

Kardji, I Wayan. 2010. Serba – Serbi Tari Baris, Antara fungsi Sakral dan Profan. Denpasar: CV : Bali Media Adhikarsa

Panji, IGBN., dan I Made Bandem. 1979. Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Penulis: I Komang suryawan, Jurusan Seni Karawitan, Fak. seni Pertunjukan, ISI Denpasar. 2012.