Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana (Sri Hasta Dhala)

Hari Saraswati selalu dirayakan di Ashram Lembah Bayam di bawah tuntunan Maha Guru Srijaya Nara, beliau telah menurunkan garis-garis gurupadeca yang menjadi pedoman pelaksanaan sadana sucinya. Adapun sadana suci yang wajib dilaksanakan adalah melaksanakan puasa selama 14 hari. Pelaksanaan puasa dimulai dengan etika yaitu melaksakan upacara pakeling atau mohon berkat kepada Tuhan Shiwa yang dilaksanakan secara bersama-sama sehari sebelum puasa di mulai. Pada tahun ini hari Saraswati jatuh pada tanggal 10 Agustus 2013 sehari setelah hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 8 dan 9 Agustus 2013, maka pelaksanaan pakeling  dilakukan tanggal 28 Juli 2013. Dalam upaya memantapkan sarada bhakti selain melaksanakan puasa, para bhakti juga diberikan pelatihan Suara Pranidana, yaitu melaksanakan Wiswa mengelilingi Ashram  dengan Japa Maha Mantram, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Disamping itu pula diberikan pelatihan Yoga dan Yantra oleh Maha Guru melalui pembimbing Yoga yang telah ditugaskan.

Disamping itu pula Sri Sat Guru juga mengalirkan tuntunan yang masuk ke dalam diri dan hadir dalam wujud suara hati yang menggema dalam diri, hal itu dapat dirasakan oleh salah satu bhakta Ashram Vrata Wijaya yang merupakan Ashram dibawah naungan Ashram Lembah Bhayam. Salah satu tuntunan itu berupa petunjuk untuk membangkitkan kewajiban terhadap diri, masyarakat maupun dunia. Hal itu terjadi tiga minggu sebelum Hari Saraswati yang mengisyaratkan kepada para bhakti-Nya di Ashram Vrata Wijaya untuk datang menghadap Guru. Ketika hal itu telah disepakati dan diyakini kebenaran-Nya, maka enam belas orang bhkati diminta untuk melalukan Tirta Yatra ke empat pura di Bali, yaitu: di Pura Uluwatu, yang dilakukan oleh: Dewa Putu Merta, Desak Santhi, Bu Man Singekerta, dan Pak Urip. Di Pura Andekasa oleh; bapak Ketut Sukardana, Ibu Kadek Bawak, Ibu Man Sukardana, dan I Gede Sudarpa. Di Pura Sangeh dilakukan oleh; Pak Mardika dan Bu Mardika, Ibu Gung Putrid an I Gede Robet (Susila Dharma) dan di Pura Batukaru dilakukan oleh  Pak Ida Bagus Arsa Astawa, Pak I Made Bendi Yudha, Ibu Nengah dan Ibu Bendi. Sadana ini dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2013 secara serentak menyebar menghadap ke empat pura tersebut di atas. Kemudian para bhakti yang lain menyambut kedatangan perwakilan teman-teman yang menghadap. Setelah datang air suci distanakan di depan Padmasana, Kemudian para bhakta yang bertugas menyampaikan temuan petunjuk-nya, Guru menerima hal itu semua dan tugas dilanjutkan lagi setelah ditanya kepada para bhakti mereka siap untuk melaksanakan untuk melanjutkan permohonan air suci berkat dari Ibu di laut dan Bapak di Gunung yang dilakukan oleh empat orang bhakta sebagai perwakilan; Ida Bagus Arsa Astawa, I Made Mahardika, I Dewa Putu Merta dan I Ketut Sukardana. Selanjutnya mereka memilih pantai Watuklotok Klungkung dan Pura Indra Kila di Payangan Gianyar dan pelaksanaannya pada hari Kemis tanggal 8 Agustus 2013. Mereka kembali dan tiba di Ashram Vrata Wijaya jam 11 malam. Air suci disambut dengan doa suci, tabur bunga, cendana dan api suci jiotir, serta segehan manca warna.  Selanjutnya air suci di persembahkan di Ashram Vrata Wijaya dan disambut oleh bhakta dengan pakaian ungu lengkap yang diwakili oleh seorang bhakta wanita (Ibu Mahardika), para bhakti yang lain menyambut dengan lantaran putih kuning dengan tabur bunga dan diringi alunan lagu puja-puji Dewi Gangga dengan iringan music yang menyayat hati membangun suasana penuh religious mengiringi perjalanan air suci menuju Arca Shiwa dan mengelilingi sebanyak tiga kali putaran lalu air suci distanakan di depan Arca. Getaran suasana religious sangat menggema yang  mengakibatkan para bhakta meneteskan air mata penuh keharuan, harapan, kerinduan bersatu dalam pertemuan spirit, sehingga ekspresi spontan tercipta dengan sendirinya berupa gerakan tari,  ucapan mantram-mantram suci dalam bahasa rohani yang tidak terjangkau oleh alam pikir menjadikan suasana pemujaan penuh kekhusukan mengantarkan seluruh jiwa mencapai pendakian spiritual dan penyatuan dalam sekejap. Ketika proses pendakian telah mencapai puncaknya, suasana kembali berangsur-angsur tenang pulih kembali ke alam jasmani.

Selanjutnya pemujaan dilakukan, diawali dengan arcanam Puja-Puji memuliakan kebesaran-Nya dan sekaligus memohon petunjuk selanjutnya. Permohonan petunjuk diawali dengan pemujaan sesuai dengan garis-garis gurupadeca dan selanjutnya air suci diusung oleh para bhakti dan distanakan di depan Arca Dewi Gangga di Beji. Doa-doa suci dilantunkan dan diiringi lagu-lagu dan musik puja-puji Gangga  untuk memuliakan Tuhan Shiwa dalam manifestasinya sebagai Dewi Gangga yang dilengkapi dengan persembahan bunga catur warna yang dimasukkan ke dalam air, melalui etika yang telah digariskan. Setelah beberapa menit kemudian air suci dimuliakan lagi oleh perwakilan bhakta melalui mantram yang diucapkan secara bersama-sama. Akhirnya air suci dapat diberkati untuk penyucian alam, lingkungan tempat tinggal dan penyucian diri. Untuk penyucian diri telah dilaksanakan dan dipercikkan kepada seluruh bhakta dan yang lainnya di bawa untuk penyucian tempat tinggal. Untuk pelaksanaannya di alam akan menunggu petunjuk lebih lanjut. Pelaksanaan sadana ini digunakan sebagai bahan renungan suci menyambut hari besar turun-Nya pengetahuan Suci Saraswati, hari Jumat, tanggal 9 Agustus 2013, bertempat di Ashram Vrata Wijaya.

Renungan sastra dimulai jam 21.00 sampai 01. 25  wita yang dihadiri oleh 50 orang bhakta, dan juga hadir Guru Sri Jaya Narendra yang bertugas membina umat di Lombok. Selesai renungan suci para bhakti melaksanakan pekemitan ngemit Tirta Suci yang masih distanakan di Beji untuk penyucian diri pada hari Banyupinaruh dan Tirta Suci yang akan dipersembahkan untuk penyucian alam di darat dan di laut yang akan dilaksanakan Senin malam di dua tempat yaitu pantai Goa Lawah Klungkung dan pantai Merta Sari, Sanur Denpasar.

Berbagai permasalahan pengetahuan yang mengalir dari dalam diri dan di luar diri, sebagai upaya penghayatan dan pemaknaan pengetahuan Jnana Buda Siwa dan implementasinya dalam menuntun prilaku kehidupan dibahas secara bersama-sama.

Pengetahuan yang mengalir sebelum dan pada saat melaksanakan sadana bhakti Tirta Yatra tanggal 5 dan 8 Agustus 2013, dapat disaksikan oleh para bhakti melalui:

1). Darsan-darsan dalam wujud-Nya sebagai: Shiwa, Ibu Parwati, Dewi Gangga, Sri Nandini,  Shiwa Bharuna bertangan empat mengibaskan kain putih dengan sinar aksara suci yang keluar dari tangannya, Ibu Dewi Durga memeluk dengan penuh kasih, Maha Guru beserta Ibu Guru, Guru, Alam Semesta, air danau mengelilingi pura saat pemujaan, dengan berbagai sinar dan kemahakuasaan-Nya, menuntun, memberkati dan mebebaskan kegelapan jiwa kita.

Darsan-darsan dari para leluhur dapat disaksikan dalam senyuman bahagia disertai permintaan air suci untuk penyempurnaannya.

2). Petunjuk-petunjuk suci yang berkaitan dengan cara permohonan dan etika seorang bhakta dalam melaksanakan sadana suci. Tuntunan ini menegaskan kepada umat manusia kembali menegakkan etika dalam setiap tindakan agar menemukan kedamaian dalam hidup.

3). Pengetahuan filsafat yang berkaitan dengan makna keseimbangan empat dan simbol suci warna dapat dirasakan getaran sucinya, meresap ke dalam diri melalui persembahan bunga suci empat warna. Dari resapan pengetahuan yang muncul dari dalam diri dan menemukan penyeimbangnya di luar diri melahirkan sikap tegar, berani mengabdi karena telah meyakini kebenaran. Keyakinan itu tumbuh dan berkembang akibat kegelisahan sang diri untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya. Dengan kuasa pengetahuan dan keyakinan berani membongkar dan melampaui lapisan dinding-dinding tebal yang membelenggu sebuah kebenaran. Pengalaman dan proses pelatihan jasmani yang pernah dialami sebagai pernyataan diri akibat sentuhan pengetahuan yang telah meresap ke dalam jiwa.

Renungan pengetahuan filsafat lainnya yang dibahas adalah filsafat tindakan yang tertuang dalam Wiracarita Mahabharata yang dikaitkan dengan pengetahuan Jnana Buda Siwa. Dalam kisah perang Bharata Yuda, Sri Krishna menjadi kusir Kereta Arjuna dalam perang. Bagaimana kaitannya dengan pengetahuan Jnana Buda Siwa dalam implementasi kehidupan yang sekarang. Guru menjawab bahwa; Maha Gurulah yang menjadi kusir kita sekarang ini, yang dikendalikan dengan ajaran-Nya untuk mencapai tujuan hidup yang sejati.

Pengetahuan lain yang dialami para bhakta berkaitan dengan pelaksanaan sadana rutin sehari-hari yang mengalir dalam wujud sikap kebenaran, kesadaran, etika sopan santun, kejujuran yang berpengetahuan, kesucian dan lain-lainnya menjadi pembahasan yang sungguh-sungguh setelah dialami dalam berbagai ruang dan interaksi social, ekonomi, politik, pekerjaan, sumber daya manusia, perubahan lingkungan alam dan lain sebagainya. Pengetahuan-pengetahuan ini direnungi dan dimaknai secara lebih dalam agar mampu membebaskan diri dari dogma atau kabut misteri yang ada dalam situasi masa kini. Pengetahuan tradisi yang menjadi warisan juga dibahas dengan tujuan mengupas secara apik, agar menemukan kesesuaian fungsi dan maknanya untuk masa kini, karena kita bukan kembali ke masa lalu. Semua perenungan ini dilaksanakan, agar mampu menyiapkan diri menerima turunnya pengetahuan suci pada hari Saraswati melalui Maha Guru Sri Jaya Nara di Ashram Lembah Bhayam.

 

Pemujaan Saraswati Sabtu Tanggal 10 Agustus 2013 di Ashram Lembah Bhayam.

Pemujaan diawali dengan menyambut kehadiran Mahaguru beserta Mahaibu Ashram disertai diiringi dengan music dan lagu-lagu menyambut kehadirannya, kemudian dilanjutkan dengan dharma wacana yang dimohonkan oleh seorang wakil bhakta, yang pada intinya memohon tentang peranan penting makna etika dalam mencapai kesuksesan dan pembebasan melalui pengetahuan Jnana Buda Siwa. Wejangan suci Mahaguru yang dapat diserap secara garis besar tentang, betapa pentingnya etika dan tata susila, yang telah banyak ditinggalkan oleh umat manusia sekarang ini,  oleh karena bagi para bhakta yang telah terdidik patut memegang teguh dan melaksanakan dalam rumah tangga, masyarakat, linggkungan alam.

Dalam kontek itu etika memang sejak awal pengetahuan ditirunkan diawali dengan tatakrama yang sangat tertib dan penuh desplin. Desiplin fisik sangat diperlukan untuk menertibkan pikiran perasaan dan pada akhirnya sampai pada ketertiban jiwa, dengan cara seperti itulah pendidikan bisa dijalankan. Ketika proses itu telah berjalan dengan baik barulah guru memberikan pelajaran yang secara berangsur-angsur  mengalirkan pengetahuan yang menggangkat derajat manusia dari kebodohan, kegelapan dan lain sebagainya sehingga manusia menjadi  semakin terbuka menemukan jalan terang. Terbukanya jalan terang salah satunya adalah tumbuh dan berkembangnya etika,  maka yang dikenal oleh manusia pertama kali adalah ibunya, dia memberi susu, makan, berbicara, menuntun berjalan, pengetahuan yang baik dan yang tidak baik yang bisa dilakukan untuk keselamatan dan seterusnya. Melalui peran Ibu yang sangat besar itu, mengakibatkan doa-doanya untuk kesuksesan dan keselamatan, anak-anaknya selalu direstui oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini mengisyaratkan bahwa doa-doa yang menyelamatkan adalah doa-doa perlindungan yang diserahkan kepada Sang Maha Pelindung sendiri, itulah wujud kebesarannya. Oleh karena itu Mahaguru menegaskan kepada para bhaktan-Nya, sayangilah Ibumu, karena dengan menyayangi ibumu berarti menyayangi KasihKu yang terpancar dalam dirinya, dan barang siapa yang tidak menyayangi Ibu dan wanita kehidupannya akan kacau balau.

Demikian pula memuliakan Dewi Saraswati yang mengalirkan pengetahuan patut selalu dimuliakan. Menghormati guru merupakan kewajiban bagi murid, karena tanpa guru sangat sulit untuk mendapatkan pengetahuan untuk hidup, mengerti tentang kebebasan dan selanjutnya untuk mencapai kebebasan itu. Menghormati para leluhur sangat penting karena telah membangun, menata, dan mengajarkan etika dengan nilai-nilai yang sangat tinggi sampai sekarang masih tertenam dan masih banyak yang dipelihara dengan baik. Melalu etika pendidikan dan proses itu berjalan secara perlahan mendewasakan umat manusia baik secara fisik maupun mentalnya, sehingga banyak menghasilkan kebudayaan yang adiluhung. Dengan demikian penghormatan sangat penting dilakukan, itulah wujud etika yang mengalir dalam diri. Cerminan makna itulah yang dapat diserap dalam Dharma Wacana pada malam itu.

Setelah dharma wacana dilanjutkan dengan prosesi sembahyang yang diawali dengan mohon air suci penglukatan, menyanyikan dan menarikan tari Vinayaka diiring alunan music yang halus dan dinamis. Melaksanakan pemujaan diawali dengan Puja Gaya Tri Mantram, sembahyang, meditasi dan seterusnya sampai mohon air suci serta diakhiri dengan pramasanthi. Besok paginya akan dilaksanakan upacara Banyupinaruh, namun para bhakta diberikan kebebasan untuk mengikuti, namun banyak bhakta yang mekemit untuk menyiapkan diri untuk hari esoknya. Bagi bhakta Ashram Vrata Wijaya melaksanakan di Ashram Vrata Wijaya melalui air suci yang telah diberkati oleh Mahaguru dan dilaksanakan pada hari minggu pagi jam 06.30 samapai jam 09.30 wita.

Prosesi  Upacara Banyupinaruh di Ashram Vrata Wijaya.

Prosesi diawali lagu puja-puji Shiwa dan puja-puji Guru, kemudian pemujaan dilakukan sesuai dengan ketentuan garis-garis Gurupadeca, setelah selesai penglukatan dilakukan di Beji diawali dengan permohonan air suci dan restu pelaksanaannya. Kemudian penglukatan dilaksanakan dengan penuh hidmat dan sungguh-sungguh diiringi music dan lagu-lagu Shiwa Gangge, Shiwa Bharuna, Dewi Parwati & Saraswati dilantunkan oleh seluruh bhakta dengan penuh semangat, sehingga melahirkan energy suci yang luar biasa. Dalam suasana doa suci seperti itu masing-masing bhakta menyirami dirinya melalui air pancoran dan Tirta Suci yang telah diberkati dan dilakukan secara bergilir. Dan terakhir guru melakukan penyucian diri dan diikuti oleh para bhakta secara bersama-sama, dalam kondisi religious seperti, Nampak darsan-darsan para leluhur suci yang telah dipanggil oleh Mahaguru. Ternyata Ide yang disampaikan Mahaguru untuk melaksanakan penghormatan untuk para Leluhur Bangsa, dan leluhur Pahlawan yang telah mengorbankan dirinya untuk bangsa ini, ternyata bukan hanya sekedar ide seperti manusia, tetapi telah didengar oleh para leluhur itu sendiri dan siap secara bersama-sama membangun negeri ini melalui kewajibannya masing-masing. Menyaksikan semua kejadian itu para bhakti menangis haru, akibat terjadi sentuhan yang mempertemukan anatara yang tidak nyata dengan yang nyata tercipta dalam suasana pemujaan. Para bhakti mengakhiri pemujaan dengan penuh kebahagiaan, selanjutnya akan melaksanakan satu rangkaian tugas pengabdian, mohon penyucian alam yang akan dilaksanakan di tepi pantai Goa Lawah dan pantai Merta Sari, pada hari senin (some ribek), tanggal 11 Agustus 2013, berangkat dari Ashram jam 17-00 wita. Semoga terberkati…………..

Acara Permohonan Penyucian Alam diawali dengan memohon tuntunan dan restu dari Sat Guru, di Ashram Vrata Wijaya, kemudian perjalanan menuju pantai Goa Lawah. Sesampainya di pantai Air Suci diiring para bhakta mencari tempat yang cocok untuk pelaksanaan pemujaan, setelah ditemukan para bhakta  sarana upakara digelar, sambil memuliakan Sat Guru, untuk memohon berkat dan tuntunannya, Shiwa dalam manifestasinya sebagai Dewi Gangga, Shiwa Bharuna, Dewi Gangga, Ibu Pertiwi (Pertiwi Jagadhitam dinyanyikan). Mengawali pelaksanaan pemujaan para bhakta membuat gunung pasir, sebagai Linggam Suci untuk memuliakan Shiwa agar berkenan menyinari dan memberkati rangkaian sadana. Selanjutnya gunung pasir dimohonkan penyucian bersama diiring dengan doa-doa suci kepada Shiwa, melalui Shiwa Bharuna Penguasa Laut, lalu memohon disertai mengambil air laut dan dimohonkan penyucia.  Proses penyucian dilakukan dengan menuangkan air suci ke puncak Gunung Pasir (Linggam), tabur bunga, serbuk cendana disertai lantunan doa-doa diiringi tarian suci, lagu dan musik puja-puji Shiwa yang diikuti oleh seluruh bhakta. Saat proses penyuciaan dilakukan, para bhakta merasakan getaran suci, sehingga melahirkan ekspresi gerakan tarian, ucapan-ucapan bahasa kosmik yang beragam, bahkan ada yang langsung berteriak menuju laut dan menyeburkan diri untuk penyucian diri, selanjutnya secara berangsur-angsur suasana hening menyelimuti suasana ritual. Selanjutnya pemujaan dilaksanakan diawali dengan memuliakan Ibu Pertiwi melalui lagu suci Pertiwi Jagadhitam, lagu-lagu memuliakan Guru (Bersama Guru), sembahyang, kemudian tibalah saatnya mempersembahkan air suci dan dialirkan ke laut sebagai lambang ibu dan pada Gunung pasir Linggam Suci  sebagai lambang Bapak. Dalam proses penyiraman air suci di laut dan Lingga terjadi getaran suci yang tiada tara, yang dapat dirasakan sebagai pengalaman spiritual yang sangat membahagiakan. Setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju pantai Merta Sari Sanur, dan sesampainya di tepi pantai prosesi pemujaan dan persembahan dan mengalirkan air suci di lut dilaksanakan, untuk mohon berkat kedamaian bagi jagat Bali yang sedang konplik menghadapi rencana reklamasi. Setelah usai para bhakta membuka prasadham bersama dipinggir laut disertai diskusi saling menuturkan pengalamannya, sendagurau riang gembira sambil menikmati nasi kuning tumpeng guru, ketipat kacang saur, saling cokot makanan, jajan, sadar sodor bakul yang berisi jajan, pisang, kripik, rempeyek ha..ha…ha…duuuh nikmatnya, akibatnya sing nggeh bangkyange ngedanang……..ya besok puasa lagi ah….

Semogalah kita semua bertanya ke dalam diri sejati, untuk menemukan jawaban yang paling murni dan bijaksana, tentang apa yang kita anggap benar.

Semogalah…….              

 

 

Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana. Alamat Jalan Siulan Gang Nusa Indah IV/4 Denpasar Timur

Dalam kegalauan berbagai situasi yang menerpa kehidupan manusia tentang jati dirinya, dalam wujud kemerosotan moral yang sangat tajam dewasa ini. Akibatnya tiada lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma dan tata susila. Sebagian besar umat manusia telah menyadari kondisi yang dihadapi, tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya untuk menemukan kedamaian. Kegalauan ini dirasakan benar adanya dan setiap saat menjadi perdebatan-perdebatan sebagai respon terhadapnya. Disisi lain ketika orang-orang telah mulai mempertanyakan, berupaya mengenal jati diri, melakukan kewajiban melayani diri sendiri, orang lain untuk menemukan kemuliaan dan mencoba keluar dari kegalauan situasi, malah dituding macam-macam, tetapi tidak apa-apa itulah karakter perjuangan pada jaman Kaliyoga. Bagaikan biji kacang yang mau tumbuh, walaupun bijinya kecil berjuang membongkar tanah, agar menemukan permukaan, karena disitulah matahari setiap hari  menerangi kehidupannya. Itulah hukum perjuangan agar mampu hidup pada jalan terang, menuju kebesaran Sang Maha Pencipta. Sesungguhnya orang-orang seperti itulah yang patut dikasihani, karena membiarkan dirinya terlena dan menjadi penghambat lajunya pertumbuhan kedamaian yang juga dibutuhkan oleh dirinya, sehingga ia menjadi sasaran bidik dari pengetahuan suci veda.

Situasi ini mengingatkan kita kembali pada situasi masa lalu pada jaman Sri Rama. Para brahmana pertapa setiap hari memohon keselamatan dunia, malah diobrak abrik oleh para raksasa, tetapi brahmana pertapa yakin akan perlindungan-Nya. Akhirnya Rama kecil diminta untuk datang  ke hutan untuk menyelamatkan para pertapa, walaupun dengan berat hati Prabu Drestarata mengijinkan permintaan Maha Rsi Wiswamitra untuk memerangi keangkuhan para raksasa. Dengan demikian sudah semestinya pemerintah dengan semua jajarannya melindungi kegiatan-kegiatan spiritual yang memuliakan kebesaran-Nya, karena memang itulah kewajiban pemerintah dari jaman ke jaman.

Menoleh masa lalu adalah membangun kecerdasan spiritual, ketika manusia melupakan kecerdasan itu, maka ia akan membiarkan dirinya dan dengan senang bekerjasama dengan para raksasa, meniru sifat-sifatnya dan membenarkan sifat-sifatnya sebagai teladan hidup. Ketika itulah keangkuhan menundukkan “rasa malu” yang selalu berupaya membentengi jati diri akan sirna, yang ada hanyalah nafsu dan egois yang menciptakan prilaku aneh-aneh, mengacaukan tatanan dan sangat menakutkan. Karena ketakutan banyak orang menempatkan diri sebagai pengikut-pengikutnya, semakin hari semakin banyak, bahkan tampil  unjuk gigi. Keberanian itu  diperkuat oleh kepentingan politik, maka ia muncul menjadi “model”salah satu wujud hak asasi manusia. Apakah hal ini sebagai suatu reaksi terhadap kenyataan, atau panutan dari raksasa-raksasa pemimpin dunia yang terjadi dewasa ini. Kenyataan menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin besar tidak tahu malu menghabiskan uang negara untuk kesenangan pribadi dan hal itu berkembang terus dan terusan begitu. Tetapi syukur mereka masih memiliki kemaluan, yang terus dilayani tanpa rasa malu, akibatnya membuat dirinya lebih malu lagi. Apabila melihat kondisi itu haruskan kita menjadi pengikutnya, alangkah mulianya bila mulai memperbaiki rem-rem pengendali nafsu yang blong itu, agar raga dan jiwa ini selamat sampai di tujuan hidup yang sesungguhnya. Pejuang-pejuang kemanusiaan seperti inilah yang diidam-idamkan umat manusia dewasa ini. Barang siapa yang menyadari kondisi ini dan ikut mengabdikan dirinya dalam perjuangan ini ia akan mengenal dan bersama Sri Hanoman.

Dengan hilangnya rasa malu berarti manusia telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya, tiada lain adalah hilangnya “taksu” atau wibawa yang semestinya mengangkat derajat manusia lebih tinggi lagi. Akibat rem kendali prilaku nafsunya blong,   karena tidak pernah diperbaiki oleh pemiliknya, akibatnya bila berjalan menabrak semua yang ada di depannya. Ketika itu terjadi tentu sangat menghawatirkan semua pihak.

Mengantisipasi hal itu orang-orang arif bijaksana selalu memikirkan solusi dan jalan keluar untuk mengatasi kemerosotan moral itu sendiri. Salah satunya “taksu” dijadikan tema Pesta Kesenian Bali yang ke 35, yaitu: Taksu, Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri, merupakan suatu wacana penyadaran yang patut direnungi dan dilaksanakan kembali dalam setiap prilaku kehidupan. Apabila tidak dimaknai dan diekspresikan dalam setiap langkah kehidupan, itu artinya orang Bali tidak hirau lagi dengan “sanggah taksunya”, kalau sudah tidak harau lagi apa artinya  jadi orang Bali. Agar berarti menjadi orang Bali, maka telusuri arti dan makna sedalam-dalamnya untuk menemukan inti kekuatan, kemudian diekspresikan melalui proses kreatif dalam setiap langkah perjuangan hidup agar mencapai “yoga”, itulah jati diri manusia.

Bagi orang Bali kata “taksu”, sudah tidak asing lagi didengar, dimaknai oleh setiap orang dan dipuja melalui tempat suci pemujaan yang diwujudkan dalam satu “Pelinggih Taksu” dimasing-masing “Sanggah” sebagai rangkaian struktur melengkapi “Sanggah Kemulan”. Sanggah Kemulan tempat memulikan Tuhan melalui Nama Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Melalui nama dalam kuasa-Nya yang tidak terjangkau oleh umat manusia, maka disebutlah Bhatara Guru, agar lebih dekat untuk mengalirkan pengetahuan suci, dapat dimaknai dan digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-harinya. “Sanggah Taksu” dalam kontek ini dapat dilihat sebagai upaya pemujaan salah satu aspek Kemaha Kuasaan Tuhan yang melingkupi semua pekerjaan dan kewajiban umat manusia yang saling melengkapi. Bagi orang-orang tua mengartikan “kemulan” sebagai modal atau kekuatan dasar, yang memiliki “taksu” gaya tarik atau wibawa yang mampu menyentuh panca indra, rasa indah, menggetarkan dan menyentuh jiwa terdalam bagi setiap orang. Dengan energy sentuhan itu, orang lain akan dapat merasakan nilai-nilai dan makna dari suatu pekerjaan atau perbuatan yang dibutuhkan oleh jasmani maupun jiwa atau rohani.

Pekerjaan dalam pengertian ini lebih menitik beratkan pada pencapaian nilai-nilai indrawi yang menyentuh selera yang membangkitkan gaerah-gaerah jasmani. Ketika gaerah-gaerah ini diantarkan oleh perbuatan yang merujuk pada kebutuhan rohani yang suci, maka sentuhan nilai-nilai indrawi akan disempurnakan oleh perbuatan atau prilaku kesucian. Dengan demikian taksu memiliki demensi menyenangkan, memuaskan dan membahagiakan. Lapisan demensi yang menyenangkan, memuaskan dan membahagiakan bagi setiap orang sangat ditentukan oleh kualitas tarap hidup jasmani dan rohaninya. Kesenangan memiliki sifat khas yang diberi kuasa oleh Sang Waktu, dengan kekuatan kuasanya amat singkat namun mampu tampil dalam wujud yang berubah-ubah. Oleh karena itu kesenangan memiliki kuasa menarik dan menguasai material dengan gaya tarik yang luar biasa. Daya tarik itulah wujud “taksu” yang tiada henti memasuki wilayah kreativitas manusia. Dengan demikian “taksu” itu adalah kekuatan yang tercipta, melalui kesungguhan berproses, keyakinan terhadap kebenarannya yang mampu memberikan “sesuatu” kepada manusia bila manusia berupaya terus menerus untuk menggalinya. “Sesuatu” itu adalah energy atau sinar X yang perlu digali, diberdayakan melalui proses kreatif, sesuai ruang dan waktu, mengikuti serta mengantarkan kebutuhan manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam kontek ini wiweka berperan melihat dan memberi jawaban yang mendalam terhadap ruang gerak kebutuhan manusia itu sendiri.

Proses penggalian amat ditentukan oleh proses kreatif yang nantinya dapat menentukan ruang gerak dan kepribadian. Keunggulan dalam perbedaan akan tercipta melalui proses kreatif, yang mesti tercipta dalam suasana kompetitif. Berkenaan dengan itu “taksu” adalah kekuatan yang tidak tampak, dan akan benar-benar nampak bila digali dengan keyakinan mental dan kerja fisik yang kuat dan terarah.

Taksu Menempati Demensi Wujud yang Menyenangkan dan Membahagiakan

  1. Demensi wujud yang Menyenangkan. Taksu hadir menyertai perbuatan yang melahirkan kesenangan dan memuaskan, itulah kekuatan kuasa “taksu”, dengan demikian “taksu” yang mengalir memasuki wilayah pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan dasar manusia yang lebih menitik beratkan pada selera yang diantarkan oleh kekuatan panca indra. Taksu  yang mengalir lewat pekerjaan-pekerjaan ini disebut “taksu geginaan”; misalnya dagang, tukang, pande, pregina, sangging, undagi, pelukis, dalang, dukun atau balian dan lain sebagainya. Orang-orang yang memilih salah satu “geginaan” (profesi dalam istilah modern) ini, mesti dimulai dari suatu proses untuk mencapai pematangan. Proses itu bentuknya berbeda-beda sesuai kadar kualitas yang mesti melekat dari geginan itu sendiri. Seorang dagang “Be Guling” (babi guling) tentu kadar prosesnya sangat berbeda dengang kualitas proses seorang pematung. Sementara “Be Guling” yang dianggap berkualitas enak adalah bagaimana seorang tukang guling mampu menghasilkan pemanggangan dengan tingkat kualitas kehalalannya, agar mencapai “kerenyahan” (kegurihan)  yang baik. Untuk mencapai kerenyahan itu, para tukang guling memiliki cara yang beraneka ragam, mulai dari bumbu penyedap, tingkat kepanasan bara api yang digunakan untuk membakar, jarak antara antara babi guling dengan bara api, kecepatan putaran dan lain-lain, agar mampu menghasilkan “Be Guling” yang matang dengan warna rata secara keseluruhan

 

Ciri-ciri yang biasa dipakai pedoman bahwa “Be Guling” itu sudah matang adalah matanya meleleh keluar disertai cairan putih, dengan demikian pemanggangan segera dihentikan.  Kegurihan sebagai salah satu kualitas yang mampu dihinggapi “taksu”, dan bila ditunjang oleh aroma dan rasa bumbu yang enak, tatanan yang sedap dipandang mata misalnya sajian Be Guling dengan warna merah, coklat kekuningan mendungkuk di atas meja dilandasi dengan “upih” (serobong daun pinang yang telah dikupas dan telah dikeringkan), sekarang dipakai alas plastik, tempat dan pelayanan yang ramah sesuai karakter pembelinya dan sekarang Be Guling bukan hanya disenangi orang Bali saja tetapi telah dinikmati orang-orang di seluruh dunia. Oleh karena rasa enak yang dinikmati, itu akan menyentuh dan memuaskan aneka selera serta mampu menyentuh rasa kenyamanan bagi setiap orang.

 

Ketika itulah “taksu” hinggap dengan kekuatan yang besar, bervibrasi menyentuh aneka  selera menjadi simpati bagi para penggemarnya. Dengan demikian “taksu” itu dapat dibentuk oleh berbagai kekuatan yang melekat terhadap profesi itu sendiri. Oleh karena itu profesi apapun dikerjakan mesti dikaji, dikembangkan dan diekspresikan dalam berbagai aktivitas yang menyentuh kebutuhan manusia itu sendiri. Dengan cara demikian “taksu” itupun akan mengalir menjadi kekuatan untuk mewujudkan “sesuatu”. Akibat dari pekerjaan semua itu menjadi ladang yang mampu mengalirkan materi. Berkenaan dengan itu dapat diartikan bahwa ketajaman selera, apabila dikenali sifat dan karakternya serta diekspresikan wujudnya secara kreatif, maka akan menghasilkan kesenangan yang mampu menundukkan atau menarik kekuatan materi. Bersambung………………………

 

Taksu Mengaliri Semua Wujud.

 

Semua wujud dengan variasinya yang beraneka ragam adalah repleksi daya cipta, setelah memperoleh kekuatan besar yang datang dari dalam diri maupun dari luar diri, sebagai anugrah dari hakekat Sang Pencipta. Melalui hakekat itulah sifat-sifat penciptaan mengalir kedalam diri manusia, melalui kemampuan yang terlatih secara terus menerus berdasarkan ruang dan waktu kebutuhan manusia. Kemampuan itu adalah wujud penyatuan antara gagasan dan ketrampilan fisik yang diberi kekuatan oleh pikiran dan arah oleh intuisi , sehingga melahirkan wujud yang mampu memenuhi kebutuhan umat manusia. Intuisi bisa dan sering hadir dalam wujud mimpi-mimpi yang pada saatnya setelah menjadi kenyataan, barulah manusia menyadari kebenarannya. Wujud mimpi-mimpi itu bisa memiliki jangkauan atau spectrum yang luas ke depan atau juga bisa juga dalam jangka pendek dan terbatas. Kedua jangkauan itu tercipta sebagai wujud yang berdemensi berdasarkan ruang dan waktu memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu intuisi yang berwujud mimpi-mimpi jangan diabaikan, tetapi wujudkanlah menjadi realitas melalui kerja, doa dan keyakinan yang sungguh-sunguh terhadap kasih-Nya.  Dari manapun proses pendakian untuk mewujud profesi, adalah “karma” sebagai kewajiban yang melekat pada setiap kehidupan. Kesadaran ber”karma” adalah wujud keyakinan yang mesti tumbuh dan berkembang dalam diri manusia.  Maka dari itu untuk mengenal sifat-sifat hakiki dari suatu wujud mesti dilalui oleh ketrampilan teknis yang memadai. Hal ini tidak dapat dihindari agar tercipta  suatu karakteristik original yang selalu menjadi harapan oleh masyarakat. Originalitas dari suatu penciptaan apapun wujudnya dewasa ini semakin tinggi tuntutannya bahkan telah diundangkan agar tidak terjadi saling klaim.  Dengan demikian originalitas patut,  selalu diupayakan. Ketrampilan teknis beraneka ragam yang diperoleh melalui sarana tertentu, agar mengenal dan menguasai sifat material agar dapat digunakan, misalnya material kayu, sangat berbeda dengan logam, besi, tanah, beton, dedaunan, getah karet, minyak dan manusia yang diperankan sebagai tokoh tertentu dalam adegan seni drama, film, komedi dan lain sebagainya. Dalam kontek penciptaan ini sifat material harus dikuasai sepenuhnya oleh pencipta, untuk menentukan teknik dan metoda pengolahan yang sesuai. Kesalahan teknik dan metoda itu akan berakibat gagalnya pencapaian suatu wujud ciptaan.

 

Keterbatasan manusia menyebabkan dia hanya mampu menguasai sebagian kecil saja dari sifat-sifat alami yang tercipta, oleh karena itu penguasaan satu bidang yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh manusia saat ini. Oleh karena itu manusia wajib menempatkan pilihannya pada satu pengolahan material yang akan menjadi keunggulannya dalam bahasa Bali disebut “nasak dipunya” (buah yang matang dipohon) itulah wujud “taksu” yang sesungguhnya.  Ketika buah itu sudah matang, auranya akan tercium, atau seluruh panca indra akan terbius olehnya dengan sendirinya perhatian kita akan tergugah untuk memetik dan menikmatinya. Suatu ketika penulis menanam teratai dalam sebuah pot bunga, disiram, dipupuk, diawasi agar tidak dimakan lalat dan akhirnya berbunga, tidak terbayangkan samasekali dari mana kumbang itu datang dan mengisap sari bunga tertai itu sendiri dengan nikmatnya. Barangkali keharuman bungan itu telah menusuk indra penciuman kumbang itu, yang mengakibatkannya tergerak menelusuri sumber bau harum bunga teratai itu, dan akhirnya si kumbang menikmatinya. Setelah direnungi kembali itu adalah wujud  Kuasa Hukum Penciptaan-Nya. Sang Pencipta dalam kontek itu hadir sebagai Bapak dan sebagai Ibu. Dalam realitas wujud ciptaan-Nya hadir sebagai “Wujud” dan “Penikmat” yang keduanya saling memerlukan, inilah wujud kehidupan. Menyadari akan realitas kebenaran hukum penciptaan itu “pasti” adanya, maka tidak perlu ragu menjalani setiap profesi yang menjadi pilihan. Dalam upaya membesarkan tumbuh kembangnya propesi itulah orang sering kelelahan dan ragu akan kebenarannya, yang membuat orang tidak berhasil mencapai tujuannya. Suasana alam pikir orang-orang seperti ini sangat memerlukan guru penuntun yang mampu membangun keyakinan dan keberanian yang kuat, bahwa setiap karma apapun wujudnya akan berpahala sesuai dengan waktu kematangannya. Kesabaran dalam menunggu pahala adalah bagian dari karma yang berbentuk pengendalian diri. Jadi hasil atau pahala adalah kompleksitas penyempurnaan diri yang sesungguhnya. Dengan cara itu pilihan profesi bukan hanya kebutuhan material, tetapi juga spiritual. Ketika pilihan profesi dilatari kedua aspek itu maka keyakinan terhadap kualitas hidup akan terepleksi dalam kewajiban memelihara, memupuk, mengembangkan agar mampu memunuhi kualitas yang diharapkan oleh masyarakat penikmat, bahkan daya saing kualitasnya. Ketika itulah tuntutan untuk menghadirkan, serta mengalirka “taksu” menjadi kebutuhan inheren dalam setiap penciptaan.

 

Dalam kontek menghadirkan “taksu” inilah orang sering tidak sabar mengikuti proses kerja “Sang Waktu”, yang menentukan kematangan dan kepatutan sebuah wujud profesi untuk sang penikmat yaitu masyarakat sendiri, maka lahirlah budaya pemerkosaan terhadap kerja “Sang Waktu” dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya mempercepat pertumbuhan tanaman, penggemukan peternakan, permentasi, pengawetan dan lain sebagainya. Namun “Sang Waktu” amatlah pemurah, pemerkosaan dan pemaksaan tetap dibiarkan, namun waktunya sebentar saja dan dijaga dengan Kuasa Hukum-Nya yang membuat manusia tidak berdaya untuk mengatasi, misalnya penyakit yang ditimbulkan zat kimia yang disuntikkan kedalam makanan yang membunuh manusia secara pelan-pelan dan dibiarkan juga oleh penguasa. Ketika garis batas toleransi yang telah digariskan Sang Waktu telah tiba, semua hasil  kerjanya akan dikembalikan lagi ke alamnya sendiri, manusia hanya merasakan penderitaan dalam sakit berkepanjangan, kebingunan, keresahan, kekacauan dan lain sebagainya. Dalam kontek itu “taksu” tidak mengalir dan membahagian, tetapi hadir sebagai saksi dan menentukan hukum-Nya sendiri, sebagai wujud kasih-Nya. Ketika itulah manusia akan menyadari hakekat hukum dan Kemaha Kuasaan-Nya, tetapi kesadaran itu telah terlambat karena hukum telah berjalan, tinggalah waktu bertobat dan mohon ampunan-Nya. Oleh karena itu lakukanlah kerja atas kewajiban yang tertuntun oleh Kuasa-Nya, maka “taksu”pun akan mengalir sebagai wujud kasih-Nya.

 

Salah satu profesi dalam dunia seni dewasa ini, akibat tuntutan apresiasi masyarakat yang demikian cepat, maka para seniman tertantang untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berkualitas. Sesuatu yang baru adalah realitas yang belum tercipta sebelumnya, bukan hanya baru dalam kemasan tetapi mampu menyuguhkan totalitas antara aspek wujud dan presentasi nilai yang mampu membangun kesadaran nilai yang menghapus keterbatasan dan kegelapan. Dalam kontek itu “taksu” berarti kekuatan yang hadir dalam wujud  yang mampu menggugah kesadaran baru bagi umat manusia. Kesadaran baru memiliki ruang dan waktu, dia selalu berkembang dan berwujud menjadi realitas, disitulah peran seorang pencipta apakah dia adalah seniman, arsitek, ilmuwan, teknolog, sastrawan, para suci bagaikan “membawa obor”  yang mampu menerangi dan menembus kegelapan, dan orang lain mampu ikut bersamanya dan menyaksikan bahwa “di situ ada sesuatu”. Apabila orang lain mengikuti bahwa di situ ada sesuatu yang memberikan nilai kebenaran pada hidupnya, maka penghormatan, dan pemuliaan akan diberikan kepada “Sang Pembawa Obor”. Wujud karya-karyanya akan dihormati, digunakan, dikenang sebagai sumber belajar dan seterusnya. Dalam kontek itu wujud karya menembus sifat keabadiannya, karena proses penciptaan telah terjadi, walapun suatu saat bentuknya larut dimakan usia, namun wujudnya pernah hadir memenuhi kebutuhan manusia pada jamannya. Dalam kontek itu “taksu” mengalir dan hadir dalam wujud “kebenaran” yang membebaskan keterbatasan dan kegelapan jiwa manusia. Ketika manusia berjuang agar mampu membawa obor penerang itu, maka itulah wujud pengabdian tertinggi. Disitulah “taksu” akan hadir sebagai “Maha Taksu”, itu artinya kekuatan suci yang amat besar yang mampu membangkitkan kesadaran dan gaya tarik setiap orang untuk hidup ke jalan damai

Ketika hakekat setiap penciptaan itu selalu disadari oleh manusia untuk mencapai “Maha Taksu”, maka ketertiban dalam setiap penciptaan wujud akan selalu mengarah pada pengabdian kepada kebesaran-Nya. Oleh karana itu setiap penciptaan yang dilakukan manusia tanpa dilatari sumber ciptaan-Nya yang tertera di sekitarnya mustahil juga akan menemukan wujud yang digemari oleh penikmatnya. Bersambung………….

 

 

 

 

Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana

Ashram Vrata Wijaya, Jalan Siulan G. Nusa Indah IV/4 Denpasar Timur

Ketika kita mulai bertanya dan ingin mengetahui apa yang tidak atau belum kita ketahui tentang kehidupan ini dan apa yang patut dilakukan, untuk menemukan jawabannya adalah jalan menuju kewajiban. Untuk menemukan jawaban itu kita harus berusaha melakukan perjalanan ke dalam diri inilah yang disebut sadana (Ranvir Singh, 2005: 106). Sadana dalam hal ini dapat diartikan “prilaku” yang melibatkan segenap unsur; pikiran, panca indra, jiwa, perasaan, imajinasi, tenaga, badan, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal itu bisa berjalan bila disinari oleh cahaya Illahi yang  menyebabkan prilaku bisa bergerak menelusuri ruang yang tanpa batas (viratvidya).  Memperoleh cahaya Illahi adalah suatu kemujuran, karena bisa diperoleh bila “diberkati” akibat sadana suci yang telah dilakukan dengan penuh tulus ikhlas atau juga terjadi dengan sendirinya. Bila itu terjadi dengan sendirinya, itulah kebesaran-Nya yang barangkali diakibatkan karma baik masa lalu yang berbuah dalam kehidupan ini. Banyak orang mengalami kehadiran sinar itu, namun tidak disadari oleh alam pikirnya yang mengakibatkan keragu-raguan dan selalu bertanya-tanya tengtang “apa itu” dan kenapa itu terjadi dalam dirinya. Pertanyaan-pertanyaan ini mengakibatkan terjadi getar rasa dan gerak hati, jiwa dan pikiran mendorong langkah kaki untuk menelusuri kebenaran “apa itu”.

Menelusuri kebenaran “apa itu” adalah jalan yang membuka pintu kesadaran sebagai awal melakukan kewajiban dalam bentuk sadana yang paling bermakna dalam kehidupan. Agar mencapai sadana yang bermakna patut dilatih secara terus menerus  agar segenap unsur jiwa bersatu padu dengan pelaksanaan yang tulus ikhlas. Latihan ketulusan merupakan pergulatan antara segenap unsur jiwa, prilaku, ruang dan suasana yang sering mengungkung manusia, disertai perputaran Sang Waktu yang mengakibatkan berbagai situasi dan demensi, yang terkadang amat jelas, samar-samar bahkan kabur sama sekali. Setiap orang sadar atau tidak sadar pasti mengalami kondisi seperti itu, namun wujudnya berbeda-beda bagi setiap orang tergantung kualitas karma yang melatarinya. Ketika orang ingin melewati kondisi seperti itu tiada lain jawabannya adalah tindakan yang penuh keberanian atas dasar kewajiban (Satyam).

Rasa takut yang mengekang pikiran patut ditemukan cara untuk menembusnya, disitulah pertarungan antara “rasa takut” dengan “keyakinan” bergulat-gulat dalam diri. Dalam kondisi seperti itu pengetahuan teori lenyap tanpa wujud, yang ada hanyalah gejolak dan upaya untuk memenangkan kebenaran dan keyakinan terhadap kebesaran-Nya. Kebenaran yang dilatari atas keyakinan atas kebesaran dan kemahakuasaan-Nya adalah jawaban kunci yang melindungi, menuntun agar kita bisa melihat arah dan wujud sadana yang patut dilakukan. Ketika kita mampu menundukkan rasa takut atas kebenaran dan keyakinan kepada kebesaran-Nya, maka akan tumbuh keberanian yang disebut “keberanian yang berpengetahuan”. Kebenaran yang berpengetahuan inilah yang mampu mengantarkan dan menyelamatkan manusia untuk mencapai sesuatu yang lebih berakna dan bermartabat. Dengan demikian bila orang telah mencapai kondisi jiwa seperti itu berarti orang itu telah mampu melewati “lapisan maya” yang mesti dilewati oleh perjalanan kewajiban itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila kondisi itu belum terlewati, orang harus berjuang lebih giat, dengan keyakinan yang lebih tinggi atas tuntunan-Nya. Realitas yang terjadi pada gelombang ini wujudnya pada setiap orang adalah  perjalanan hidupnya tertimpa masalah yang datang bertubi-tubi, yang tidak mampu dikenali ujung dan pangkalnya serta cara untuk menyelesaikan, sehingga sering berujung pada kebingungan dan kegelisahan. Realitas ini menandakan bahwa jiwa dan pikiran belum mampu meraih sinar cemerlang dari Yang Maha Kuasa, untuk itu lakukanlah kewajiban, agar bebas dari semua itu.

Dengan demikian mengenal dan melaksanakan kewajiban adalah upaya mewujudkan sifat tulus ikhlas yang berlapis-lapis untuk mencapai kemurnian diri yang sejati. Ketika itu sebesar apapun masalah yang ada “pasti disinari oleh kecemerlangannya, dan selalu diberikan jawaban untuk menyelesaikan”. Masalah yang sering dianggap besar oleh manusia sesunguhnya itu adalah keterbatasan pikiran dan tenaga yang sering menjadi dan memberi pertimbangan dengan hitungan logika. Namun dibalik itu semua tidak disadari ada kekuatan dahsyat yang sering diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada manusia dalam “wujud Kasih-Nya”, lewat imajinasi, intuisi, inspirasi yang membuatnya “sering tersentak”, akibatnya muncul ucapan sontak pula, wah..wah…wah… kok bisa yaa dan seterusnya. Ketika itu terjadi pada setiap orang yang mengerjakan pekerjaan besar untuk kesejahtraan umat manusia, itulah wujud kehadiran-Nya.

Sebaliknya ketika pekerjaan besar yang dianggarkan oleh negara dengan dalih mensejahtrakan masyarakat, tetapi sesungguhnya hanyalah untuk kenikmatan partai, pekerjaan ini luput dari  anugrah-Nya yang berakibat gagalnya pekerjaan itu dan pemimpin proyeknya terjebak masuk penjara. Wujud Kebesaran-Nya disitu hadir dalam wujud Maha Kala yang amat menakutkan, yang memberi jawaban terhadap semua perbuatan buruk manusia. Dengan demikian sekecil apapun pekerjaan yang kita kerjakan, sepatutnya mohon tuntunan kepada Sang Maha Karya agar pekerjaan itu berhasil dan memberikan kenikmatan bagi semua orang, itulah jiwa dari pekerjaan itu sendiri yang disebut “Taksu” dalam bahasa Bali. Dibalik itu semua banyak orang sering menyepelekan pekerjaan kecil dengan kesombongan pengetahuannya, akibatnya pekerjaan itu tidak pernah selesai, oleh karena itu janganlah mengabaikan kuasa besar Sang Maha Karya dan berlidunglah di kaki-Nya untuk mehon berkat-Nya.

Mencapai kewajiban dan berkat lidungan Sang Maha Karya bukanlah persoalan mudah, karena wajib melalui proses pendidikan dan pelatihan yang benar, teratur,dan  tertuntun melalui garis-garis gurupadeca atau garis-garis ajaran-Nya. Pendidikan dan pelatihan dapat bermakna bila dilakukan atas dasar pengetahuan kebenaran, pengetahuan kebijaksanaan, pengetahuan suci yang dituntun oleh seorang guru suci yang telah diberkati “wawenang” untuk mengajarkannya. Melalui garis-garis gurupadesa para guru spiritual mendidik para bhaktanya dengan penuh desiplin, agar terwujud orang-orang yang bermental spiritual yang kuat dan suci. Ketika orang-orang telah terdidik dan bermental spiritual seperti itu, masyarakat dan dunia ini akan menemukan kesejahtraan dan kedamaian. Oleh karena itu pendidikan bukan semata diarahkan mengejar pengatahuan yang bersifat material dan terukur saja, namun yang lebih penting adalah pengetahuan spiritual yang mampu membangun karakter manusia seutuhnya. Ketika karekter spiritual dan suci ini terabaikan, maka manusia akan kehilangan rasa malu dan rasa takut, tinggalah jiwa-jiwa beringas yang setiap hari hanya protes, ngamuk, bertengkar, mabuk, judi, menipu, manupulasi dan seterusnya seperti sebagian besar watak manusia seperti sekarang ini.

Kenyataan ini merupakan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan yang berakibat terhadap merosotnya peradaban umat manusia. Oleh karena itu perlu dibangun bersama-sama melalui kesadaran spiritual yang kuat dan suci. Tanpa keyakinan dan perjuangan yang tangguh dan tertuntun, sulit juga untuk menemukan arah yang jelas dan suci. Sifa-sifat kesucian itu amat halus dalam diri setiap orang, ia berwujud kasih sayang, kebersamaan, keyakinan diri yang kuat, rasa toleransi, bijaksana, peduli social, peduli lingkungan alam, dan lain-lainnya.  Sifat-sifat suci ini wajib dikumandangkan agar lebih dikenal manfaat dan maknanya serta memiliki kesadaran untuk memelihara dan mengembangkan bagi setiap orang. Langkah-langkah dan cara-cara pengendalian diri dengan desiplin brata yang tertuntun wajib dilaksanakan, agar sifat suci itu  tumbuh dan berkembang subur menjadi sifat-sifat yang mendamaikan dan membahagiakan.

Ketika umat manusia penyangga bumi ini sadar dan ingin mencapai kedamaian dan kebahagiaan sudah saatnya pendidikan formal diberikan muatan kurikulum yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara seimbang.  Bukan sengaja dan tercencana secara politis berupaya  menghilangkan pilar-pilar pembentuk karakter yang lahir dari budaya ibunya sendiri. Ketika penjajahan ideologi itu dibiarkan berarti pengingkaran terhadap prinsi-prisip kebhinekaan yang berakibat amburadulnya sistem ideologi kenegaraan kita. Pendidikan formal sekarang sudah selayaknya kembali menegakkan prinsip-prinsip kebhinekaan, agar kepercayaan diri masing-masing suku mampu memperkokoh jati diri bangsa. Ketika kurikulum yang ada lebih menitik beratkan kurikulum pendidikan yang berbasis budaya Barat, tentu sangat dibutuhkan menyerapan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya Indonesia yang multikultur ini. Realitas yang terjadi belum sepenuhnya menyiapkan korikulum yang mendorong ke arah itu, sehingga hasil-hasil pembangunan yang sudah demikian majunya tidak bisa dinikmati bahkan dihancurkan oleh kebringasan watak manusia sebagian besar penduduk bumi ini.

Ketika watak bringas seperti ini dibiarkan menguasai diri, masyarakat dan negara akan berakibat buruk pula terhadap alam lingkungan yang semestinya dipelihara bersama-sama. Orang-orang seperti itu patut dikasihi, karena ia tidak menganal hakekat dirinya yang sejati, demikian pula apa yang menjadi kewajibannya, itulah “penderitaan yang sesungguhnya”. Penderitaan itu diakibatkan oleh kemiskinan nilai-nilai spiritual, yang sengaja membiarkan dirinya atau memang tidak pernah mau mengenal nilai-nilai atau belum menemukan jalan untuk menemukan. Orang yang belum menemukan itu memiliki harapan untuk mencapai, namun orang yang sengaja membiarkan atau tidak mau tahu adalah orang-orang yang ditakuti oleh “pengetahuan suci”, oleh karena itu hidupnya penuh kegelapan. Ciri-ciri  hidupnya tidak tentu arah, ugal-ugalan, mabuk-mabukan, nafsu dan kesenangan material sebagai pujaannya, kata-katanya sering menghina bahkan amat menghina orang-orang yang sedang memuja Tuhan, pendapatnya mau menang sendiri, ramah-ramah ketika memerlukan bantuan orang lain dan lupa setelah berhasil, dan sejenisnya betapa mengerikan gaya hidup seperti itu. Orang-orang seperti inilah orang yang “paling bermasalah” dalam rumah tangga, lingkungan masyarakat yang sering merepotkan pimpinan, dan juga anggota masyarakat sekitarnya.

Kondisi permasalahan ini tidak mungkin dihindari dan pasti terjadi dimana-mana, karena kondisi itu adalah hakekat ciptaan-Nya yang seimbang. Namun untuk mencapai keseimbangan yang harmonis perlu upaya bijak para pemimpin dan bekerjasama dengan para suci melakukan pembinaan rutin dengan penuh kasih sayang, agar persoalannya dapat dikendalikan dan diarahkan menjadi hal-hal yang bermanfaat bagi hidup dan keluarganya. Oleh karena itu jauhkanlah sifat-sifat seperti itu agar tidak ditakuti pengetahuan suci dan guru suci penuntunnya, maka kenalilah diri yang sejati.

Mengenal diri yang sejati dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran terhadap kebesaran Sang Pencipta dengan segala ciptaan-Nya, Alam semesta yang memberi kehidupan, hubungan antara manusia dengan manusia beserta semua ciptaan-Nya yang menumbuhkan kesadaran perbedaan dalam kebersamaan, toleransi, peduli, dan tangguh. Kesadaran seperti ini adalah wujud tumbuhnya kewajiban yang mesti diperjuangkan oleh setiap insan penghuni bumi ini. Ketika itu terjadi dan patut dijadikan serta patut menjadi komitmen kuat, maka orang sudah mengenal kewajiban hidupnya. Dasar-dasar kewajiban ini patut selalu dibangun dan dibiasakan pelaksanaanya, maka ia akan menjadi semakin berkembang di dalam diri. Ketika itu enerji suci dan pengetahuan suci telah hidup bersama, membentuk kesucian diri.

Agar kesucian jiwa itu dapat tumbuh dan selalu berkembang di dalam diri, sudah merupakan kewajiban untuk memelihara dengan brata dan sadana yang penuh desiplin dan tertuntun. Tuntunan proses membentuk jiwa-jiwa yang widya stana, artinya mengenal tuntunan yang datang dari dalam diri (kesadaran atman). Tuntunan yang datang dari dalam diri adalah perwujudan guru sejati yang membebaskan kegelapan, yang mengakibatkan jiwa terang benerang. Hadirnya jiwa yang terang benerang seperti itu, menggerakkan seluruh panca indra, pikiran dan seluruh tenaga untuk melaksanakan kewajiban secara tulus ikhlas sesuai dengan kompetensinya. Kompetensi merupakan batasan kemampuan dan keunggulan yang dianugrahi oleh Yang Maha Kuasa, oleh karena itu kesadaran untuk memahami hal ini patut diupayakan sebaik-baiknya agar manusia tidak tolah toleh yang berakibat membingungkan dirinya. Tolah-toleh diartikan agar supaya tidak ikut-ikutan terhadap kesuksesan orang lain, misalnya ketika orang lain sukses jadi pengusaha dan kita mengikuti belum tentu sukses seperti dia. Oleh karena itu kesuksesan bisa diperoleh dalam upaya memantap potensi diri, yang selalu berbeda dengan orang lain, termasuk rejeki yang mengalirinya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang telah mengenal dharmanya, dan selalu mengabdi demi kesejahtraan umat manusia. Orang-orang seperti inilah yang selalu didambakan umat manusia yang berada dalam kuasa jaman Kali Yoga ini. Barang siapa yang telah menempatkan dirinya sebagai pengabdi kesejahtraan dan kedamaian umat manusia sekecil apapun wujudnya, dia akan mengenal kehadiran-Nya, semogalah semakin banyak orang-orang yang belajar mengenal kewajibannya.

Oleh karena itu; “wahai umat manusia di seluruh dunia, mari bersama-sama menghapuskan kebencian yang menghasilkan malapetaka, bangun rasa toleransi karena kita berasal dari sumber yang sama, menghirup udara yang sama, makan dari sumber yang sama, dan bentuk tubuh yang sama. Perbedaan warna kulit, rambut, mata, hidung adalah keindahan yang mengagumkan, menyejukkan jiwa yang membangun rasa kasih. Rasa kasih adalah senyuman keindahan hati nurani yang damai, bahagia dan suci, merupakan martabat manusia yang tertinggi”. Semogalah tercapai…………………..

Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana (Sri Hasta Dhala)

Om swastyastu, Om Sri Tat Ram

Telah lama alam Bali dan orang-orangnya telah mengalami sakit keras, namun sebagaian besar tidak peduli dan membiarkan sakitnya berkembang semakin parah, “yang penting duit”. Ibu Pertiwi bersama petani, anak kesayangan-Nya setiap hari sibuk mengurusi sawah-sawahnya yang selalu dialiri sampah plastic, limbah kimia, minyak dan lain sebagainya. Adakah orang-orang yang menempati pulau ini merasa berdosa terhadap Ibu Pertiwi yang telah memberi segalanya dalam hidup ini. Pernahkan ada orang-orang yang merasakan jeritan para petani atas limbah-limbah yang telah dibiarkan begitu saja dibuang di got, selokan atau sungai. Udara yang  dikotori asap kenalpot; mobil, sepeda motor, pabrik, mendung yang sejuk disemprot sinar  lazer yang mengubah kesejukan menjadi panas membara, air hujan yang dibutuhkan para petani kabur entah kemana dan suara-suara music menggelegar yang memekakan telinga di malam hari.  Tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanan telah diperkosa untuk mempercepat proses prodiksinya. Beras, umbi-umbian, buah-buahan, ikan, daging, bakso, tempe, tahu, pisang goreng, makanan siap saji lainnya telah dikemas dengan zat pengawet, penyedap yang dapat menyebaknan manusia terbunuh secara perlahan.

Wahai umat manusia sadarkah kita tentang perbuatan dosa yang mematikan itu ?. Lingkaran dosa-dosa inilah yang telah berkembang dan terus dilakukan tanpa kendali. Walaupun ada ijin dari pihak yang berwajib, namun persoalannya masyarakat tetap menderita akibat kecurangan-kecurangan itu. Oh para pemimpin besar dunia dan juga pemimpin daerah, Engkaulah yang bertugas untuk menertibkan itu, karena Engkau mau dan berani mengambil tugas itu. Dengan tampangmu yang gagah perkasa, berani mengeluarkan banyak uang untuk kampanye, mengatasi berbagai persaingan untuk menempati kursi itu. Bukan merupakan perjuangan yang mudah untuk duduk di kursi itu, oh….Raja janganlah dijual….kursi itu, karena itu symbol Negara.  Oh Raja   kewajiban semua rakyat adalah mendukung-Mu untuk memperbaiki nasibnya. Bila rakyat sejahtra, damailah negara ini. Apabila kewajiban rakyat itu terabaikan maka rakyat sudah pasti akan menuntut pertanggung jawabanmu raja, dan juga bertanggung jawab kepada Ibu Pertiwi. Bukankah nasehat seperti ini juga disampaikan oleh Bhagawan Byasa kepada Raja Drestarata, agar bertindak adil terhadap rakyat Astina Pura. Oleh karena ketamakan Raja, maka semua nasehat suci tidak diindahkan akhirnya Astina Pura hancur akibat perang.

Dewasa ini Ibu Pertiwi telah berkali-kali telah mencibir kita semakin keras atas lingkaran  dosa-dosa yang telah kita lakukan, namun  tidak pernah takut dan peduli terhadap cibiran itu, maka semakin jauhlah manusia dari Kasih Sayang-Nya dan getaran sucinya semakin menghilang dari dalam dirinya, yang tinggal hanyalah kegelapan yang mengakibatkan “rakus kesenangan”. Betapan melimpahnya materi dan kesenangan yang telah diberkati bukan membuat dirinya bahagia, namun semakin berambisi untuk menguasai. Dampak dari semua itu sekarang “kekuatan dari; kuasa politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan uang sekarang bersatu padu membentuk kekuatan besar, serta  memisahkan diri dari kebenaran, kebijaksanaan, kesucian dan keindahan”.  Arus pertama ini memiki kekuatan material yang sangat dahsyat sehingga ia bukan hanya ingin menguasai isi alam tetapi juga menguasai alam dan merubahnya sesuai “keinginan”. Kekuatan inilah yang menguasai dunia termasuk apa yang telah terjadi dan dilakukan di Bali sekarang yaitu reklamasi pantai secara terus menerus, setelah berhasil membuat jembatan menghubungkan Desa Suwung dengan Desa Serangan, reklamasi pantai Merta Sari, Bandara Ngurah Rai dan lain sebagainya. Apakah reklamasi yang akan dilakukan sekarang ini akan memperoleh berkat lagi dari Ibu Pertiwi, tentu  Beliau adalah Maha Kuasa, dan semesta inilah wujud-Nya. Dalam kondisi seperti inilah umat manusia diuji bhaktinya pada Ibu Pertiwi, apakah umat manusia berupaya menjaga dan mempertahankan, karena telah diberkati kesejahtraan, atau membiarkan Ibu Pertiwi dirusak dan dikuasai oleh pihak tertentu saja. Oleh karena itu wahai……… umat manusia di seluruh dunia, marilah kembali mendengarkan dan melaksakan ajaran dan tatacara hidup di bumi ini seperti sabda suci yang diberkati oleh Ibu Pertiwi; “wahai anak-anak-Ku, peraslah susu-Ku sebanyak-banyaknya dan jangan rusak tubuh-Ku”. Melaui sabda ini marilah kita merenung sedalam-dalamnya, agar dijernihkan oleh kebenaran, kebijaksanaan, dan kesucian yang memiliki pengikut terbatas pada jaman ini, karena memang itulah putaran jaman. Namun yakinlah bahwa siapaun yang menempatkan kewajiban dan pengabdiannya melalui sifat-sifat itu, Tuhan akan selalu melindungi.

Melalui renungan itu tentu timbul pertanyaan niat dan pikiran apa yang ada dalam jiwa pemimpin Bali untuk mereklamasi pantai. Apakah pertanggung jawabannya terhadap resiko niskala sudah diketahui dan dipikirkan secara baik. Pertanyaan inilah yang wajib dipertanggung jawabkan kepada Ibu Pertiwi dan para suci yang telah banyak menancapkan panji-panji kesucian di pulau Bali ini, yang telah terbukti mampu menciptakan kedamaian untuk umat manusia di dunia. Setiap pertemuan besar yang membahas masalah-masalah dunia berhasil dengan baik di Bali, berarti di Bali ada sesuatu yang tidak bisa ditangkap dengan kasat mata. resiko sekala sudah dipertimbangkan secara bijaksana. Apakah “reklamasi ini adalah panji-panji kesucian yang menteladani Para Suci jaman dulu” patutlah dijawab dengan perbuatan dan hati bersih dan suci bila tidak ingin disalahkan-Nya.

Reklamasi secara nyata sudah pasti akan merubah bentuk pulau Bali dan merusak habitat makhluk ciptaan-Nya yang biasanya hidup damai di tempat itu. Tidakkah merasakan jeritan makhluk-makhluk kecil yang menambah indahnya lautan pulau Bali. Aduuuuh……., aduuuuh……. betapa tulinya orang-orang berkuping lebar, pintar dan  berduit itu, tidak seperti aku yang tidak punya kuping….dimanakah aku hidup, teman-temanku, anak-anakku, dan telor-telorku yang akan menetas. Apabila reklamasi itu akan tetap Tuan lakukan, aku sudah pasti mati memasrahkan diri, seandainya Tuan mengalami nasib seperti itu apa yang dapat Tuan lakukan, tolonglah dengarkan jeritanku dari ikan-ikan kecil yang tak berdaya ini……..Oh Ibu Pertiwi lindungilah kami…….…….

Tuan-tuan…. akbatnya apabila itu terjadi peta duniapun juga akan merubah. Karakter orang Bali yang ramah tamah, akan terdesak jauh dan diganti penduduk baru yang berkulit macam-macam. Wewidangan subak tidak ada lagi, yang ada hanya Pura Dugul terjepit gedung-gedung bertingkat, kafe-kafe menawan dan pemukiman kumuh. Alunan suara Gemelan yang mengalun riang merdu diganti dengan musik-musik disco yang memekakkan telinga, tarian Bali yang ritmis indah menjadi tarian telanjang menggaerahkan nafsu sexual. Apakah Bali akan disodorkan terus dijual bagaikan jual pisang goring, dampak itulah semua Bali mengalami sakit kronis.

Ketika diperparah lagi dengan rencana reklamasi pantai, ini niatnya memeras susu atau merusak keindahan pulau Bali, yang berakibat rusak keindahan bagian tubuh Ibu Pertiwi yang disebut Bali yang mengumkan dunia. Ketika hal ini dibiarkan semakin parah apa artinya lagi Bali bagi orang Bali, dan Bali yang mensejahtrakan dunia, karena telah rusak dan tidak menarik lagi, tinggalah Bali yang reot, tuan renta menunggu ajal tiba.

Wahai pemimpin Bali dan seluruh masyarakat, marilah merenung dan cari jawaban yang paling bijak dalam diri kita masing-masing, agar bisa memeras susu, menjaga serta memelihara kesehatan tubuh-Nya Bali. Menjaga dan memelihara-Nya adalah bhakti Pertiwi, dari situlah kasih-Nya megalir mensejahtrakan dan mendamaikan jiwa-jiwa kita semua. Ketika itu berlaku sebaliknya, Ibu Pertiwi akan membiarkan kita hidup sengsara, dengan hukum-Nya sendiri.

Om Ibu Pertiwi ampunilah dosa-dosa yang tidak mampu menjaga tubuh-Mu, yang Indah, Kuat dan Suci yang telah memberi segalanya. Om Ibu Kabulkanlah permohonan kami, agar para pemimpin kami mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan suci, untuk kedamaian seluruh ciptaan-Mu.

Om Pertiwi Jagadhitam Sarwam Namah, Om Pertiwi Jagadhitam Sarwam Namah, Om Petiwi Jagadhitam Sarwam Namah, Om Nama Shiwa Ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalih-dalih pengentasan kemiskinan dari sekelompok raksasa bertopeng Yudistira semakin banyak berkeliaran di Bali. Mereka bekerja sama sangat harmonis dengan para pemimpinnya, termasuk juga tokoh-tokoh masyarakat, yang sangat longgar terhadap kehadiran penduduk pendatang, karena  suaranya sangat dibutuhkan. Ketika sudah demikian, apa lagi yang bisa diharapkan dari para penentu keputusan daerah ini, wakil rakyat hanya sibuk berkoar-koar pada saat kompanye dan selanjutnya lupa akan kewajibannya.  Jeritan-jeritan masyarakat yang tidak berdaya di berbagai pelosok daerah Bali seperti ini, bukanlah persoalan baru lagi. Bahkan ketika mendengarkan keluhan masyarakat seperti itu justru merupakan lahan empuk untuk menabur janji, namun apa yang terjadi sebagian masyarakat keluar dari mulut macan masuk ke mulut singa.  Ketika kondisi yang sudah sangat parah ini tidak segera di stop sampai di sini Bali akan segera hancur. Ketika Bali hancur kemana orang Bali bersama pemimpinnya akan pindah, investor bisa saja pergi kemana saja dia mau, karena memang punya duit, bagaimana lantas dengan orang-orang Bali yang sebagian besar belum biasa merantau karena memang dimanjakan oleh Ibu Pertiwi Bali.    

Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana

  1. A.     Latar Belakang

Pengembangan Ekonomi Kreatif  Indonesia 2025, diharapkan menjadi wujud optimisme  baru dalam menyongsong masa depan negeri ini dan dapat meningkatkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Sebagai gelombang yang telah mengalami pergeseran dari Era Pertanian, Era Industrialisasi, Era informasi yang ditandai dengan penemuan baru di bidang teknologi infokom, serta globalisasi ekonomi yang telah menggiring  peradaban manusia ke dalam suatu arena interaksi social baru yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.

Industri kreatif adalah bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif. Bangsa Indonesia menyadari bahwa ekonomi kreatif, yang berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual. Adalah harapan bagi ekonomi Indonesia Untuk bangkit, bersaing meraih keunggulan dalam ekonomi global.

  1. B.      Seni Budaya Indonesia Sebagai Sumber Pengembangan Industri Kreatif

Indonesia memiliki kekayaan seni budaya yang tersebar ke seluruh pelosok tanah air, dengan keunikan masing-masing. Kehidupannya terpelihara oleh semangat religius dan magis, adat istiadat dapat dijadikan sumber acuan proses kreatif dalam membangun identitas yang kompetitif. Kekayaan seni budaya Indonesia bukan sekedar estetika namun mengandung nilai-nilai dan gagasan vital bagi masyarakat pendukungnya.

  1. C.      Sekilas Karakter Manusia Timur

Dalam kajian geologi Budaya Indonesia sering dikatagorikan sebagai Negara Timur, bersama wilayah lainnya di Asia. Kebudayaan Timur sering dianalogikan sebagai “suasana hati”, Negara padat penduduk, serba miskin dan terbelakang, dan amat tradisional. Kebudayaan Barat selalu dihubungkan dengan kapitalisme, teknologi, dan imperialisme.

Terlepas dari adanya konplik pandangan tersebut, para pemikir talah melakukan kajian-kajian terhadap estetika Timur yang membetuk proses kreatif masyarakat dan para senimannya. Terdapat kecendrungan bahwa manusia Timur lebih menekankan aspek intuisi daripada akal. Pusat kepribadian seseorang bukanlah pada daya intelektualnya, melainkan ada dalam hati, yang mempersatukan akal dan budi, intuisi, kecerdasan, dan perasaan. Masyarakat Timur menghayati hidup dalam apa adanya, bukan semata akali. “Hati” atau “rasa” dinilai sebagai pengganti logika kaku yang serba terbatas menghadapi kebenaran hidup. Manusia Timur memiliki suatu bentuk pemikiran berdasarkan intuisi, yang akrab, hangat, personal, dan biasanya memiliki kedekatan dengan realitas yang hakiki.

 

  1. D.     Ciri-ciri Ekspresi seni budayanya.
    1. 1.      Abstraksi dan sibolik sebagai realitas. Dalam masyarakat Timur, sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap sebagai realitas, misalnya cerita Maya Denawa di Bali, Cerita Nyi Roro Kidul di Jawa dianggap sebagai sesuatu yang nyata. Ekspresi keseniannya bersifat transisi antara dunai atas dan dunia bawah, wujud estetikanya adalah stilirisasi dari realitas kasat mata menjadi realitas imaji.
    2. 2.      Ilmu dan Kebijaksanaan, Tujua hidup orang timur adalah menjadi bijaksana, pengetahuan intelektual saja tidak cukup untuk membuat seseorang majnadi baik.
    3. 3.      Kesatuan dengan Alam. Karya seni diciptakan berasal dari alam dan dipersembahkan kembali, dalam wujud pemujaan
    4. 4.      Harmoni. Karya seni tercipta merupakan implementasi keharmonisan, antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Bentuk-bentuk alam diwujudkan dalam karya seni dimaknai sebagai simbol mendidik kehalusan budi.

Sekilas dapat digaris bawahi bahwa estetika timur bukan sekedar menyenang atau memberi rasa indah, tetapi mengantar nilai-nilai kebijaksanaan yang menjadi harapannya.

  1. E.      Pengenbangan Ekonomi Kreatif

Pengembangan ekonomi kreatif 2025 menekankan pengembangan 14 kelompok industry kreatif Nasional ( Periklanan,Arsitektur, Pasar barang seni, Kerajinan, Desain, Fesyen, Vedeo, film dan fotografi, Permainan interaktif, Musik, Seni Pertujukan, Penerbitan dan percetakan, Layanan computer dan piranti lunak, Televisi dan radio, Riset dan pengembangan) dan juga berbagai faktor yang signifikan perannya yaitu: sumber daya insani, bahan baku berbasis sumber daya alam, teknologi, tatanan institusi dan lembaga yang menjadi komponen dalam model pengembangan.

Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yaitu: “Bangsa Indonesia yang berkualitas hidup dan bercitra kreatif di mata dunia”

Untuk menjawab visi  tersebut diyakini bahwa, Kolaborasi antara berbagai factor yang berperan dalam industri kreatif yaitu: Cendikiawan (intellectuals), Bisnis (business) dan Pemerintah (Government). Ketiga aktor memiliki peran yang sangat significant  namun juga memerlukan kontribusi dari aktor lainnya.

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sebagai institusi pendidikan, berperan membentuk sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif serta mampu berperan dalam pengembangan ilmu, seni dan desain.

Melalui Visi ISI Denpasar adalah menjadi pusat penciptaan, pengkajian, penyaji dan Pembina seni yang unggul berwawasan kebangsaan demi memperkaya nilai-nilai kemanusiaan sesuai perkemangan jaman.

Melalui visi tersebut ISI Denpasar bertekad memainkan peran melalui kekuatan, penciptaan dan pengkajian yang berbasis kreatif dan intelektual dalam upaya melahirkan masyarakat berbasis pengetahuan seni (Knowledge society on art) dalam demensi ruang, dan perubahannya.

Dalam upaya menanggapi tingkat keragaman budaya bangsa, sebagai kekeuatan penciptaan dan pengkajian, ISI Denpasar menempatkan kewajibannya memperluas akses melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu mandiri dalam persaingan masyarakat dunia.

Merujuk pada persolanan tersebut telah disusun kurikulum baebasis kompetensi dengan menempatkan keunggulan lokal sebagai sumber pembelajaran, dan dikembangkan dengan konsep-konsep kekinian, dengan semboyan “bertidak lokal berpikir global”. Rincian mata kuliah praktek dengan teori berkisar antara 60 % dan 40% bagi minat penciptaan dan sebaliknya yaitu: 60 % dan teori dan 40 % praktek bagi minat pengkajian.

Melalui gagasan dan peran tersebut insan akademi ISI Denpasar telah menghasilkan karya-karya unggulan yang telah diapresiasi oleh masyarakat dalam arti luas baik bidang seni pertunjukan maupun seni rupa dan desain. Dengan demikian ISI Denpasar memiliki peran strategis dan aktif dalam ikut mewujudkan Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Untuk itu diperlukan kerja sama instansi terkait dalam upaya merumuskan paradigm dalam mengatasi persaingan dunia.

I KETUT MURDANA