Untitled

Selain Barong atau Barong and Kris Dance, pertunjukan lain yang mengawali sebagai kemasan pertunjukan wisata adalah Kecak, yang di kalangan wisatawan mancanegara sering mereka sebut sebagai monkey dance.  Pertunjukan yang sangat menarik dan unik yang telah hadir sebagai sajian wisata sejak tahun 1930-an ini, sekarang telah menjadi pertunjukan terpopuler kedua setelah Barong di kalangan para wisatawan mancanegara. Nama Kecak sendiri ada bermacam-macam pendapat, yang dikemukakan oleh para pakar pertunjukan Bali. Ada yang mengatakan bahwa nama kecak mengambil suara koor pria yang mengiringi pertunjukan yang diwarnai oleh suara suku kata ‘cak, cak, cak’, yang diungkapkan oleh koor itu berulang-ulang sebagai iringan pertunjukan. Ada juga yang berpendapat, bahwa nama Kecak berasal dari nama seorang patih kerajaan Wirata dari wiracarita Mahabharata yang bernama Kicaka. Patih ini terkenal karena keberaniannya, hingga ketika pulang dari medan perang, ia disambut oleh rakyat Wirata yang mengelu-elukan dengan memanggil-manggil namanya ‘Kicaka, Kicaka, Kicaka’, dan seterusnya.

Selain itu, ada pula yang mengatakan, bahwa nama Kecak diilhami oleh suara cicak. Bahkan, ada sementara pakar yang mengatakan bahwa nama Kecak sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan nama pahlawan Kicaka atau bahkan suara cicak, tetapi lebih merupakan ungkapan suara yang sama sekali tidak ada artinya. Kecak lebih merupakan nama sebuah iringan musik yang disebut sebagai ‘Gamelan suara’, sebab berbagai aspek gamelan Bali ada didalamnya, Selain itu, menurut berbagai kalangan, nama Kecak adalah nama koor pria yang aslinya merupakan koor yang terdapat dalam pertunjukan ritual Sang Hyang Dedari. Kemungkinan besar pendapat yang terakhir inilah yang lebih memiliki alasan yang kuat.

Walter Spies pada tahun 1930-an menganjurkan kepada beberapa seniman dari Desa Bedulu untuk mengeluarkan Kecak dari konteks sakralnya dari pertunjukan Sang Hyang Dedari, agar para wisatawan mancanegara bisa menikmatinya. Saran ini berdasarkan atas pengamatan Spies yang mencermati, bahwa koor pria itu selain unik, benar-benar memiliki kesan sakral dan magis. Kecak yang merupakan koor pria itu kemudian digarap sebagi pengiring vokal drama tari Ramayana. Para pemain Kecak yang jumlahnya berpuluh-puluh itu, mengambil posisi duduk dengan desain lantai lingkaran bersaf, yang ditengah-tengahnya terdapat ruangan yang cukup lebar yang digunakan sebagai lantai pentas bagi drama tari yang ditampilkan. Yang lebih unik lagi, pertujunkan ini hanya diterangi oleh lampu minyak kelapa yang ditata ditengah-tengah lantai pentas. Busana para pemain Kecak sangat sederhana, yaitu hanya secarik kain yang dicawatkan serta bertelanjang dada. Pertunjukan perdana yang sangat memikat para wisatawan mancanegara itu dibintangi oleh penari tenar yang bernama I Wayan Limbak, yang sangat terkenal apabila ia memainkan tokoh Kumbakarna dalam lakon Karebut Kumbakarna atau ‘Gugurnya Kumbakarna’.

Kelompok kecak yang lain, yang juga sudah cukup tua usianya adalah yang berasal dari Desa Bona, Kabupaten Gianyar. Lakon yang ditampilkan oleh kelompok ini adalah Kapandung Sita atau ‘Penculikan Sita’. Kecak dari grup Desa Bona ini rupanya cukup terkenal hingga sampai pada tahun 1960-an, grup inilah yang merupakan satu dari berbagai grup Kecak yang menyajikan pertunjukan bagi wisatawan mancanegara. Ketika pada pertengahan tahun 1960-an penulis menyaksikan pertunjukan Kecak dari Desa Bona, semua pemain baik koor prianya maupun para penari yang memerankan tokoh-tokoh dari wiracarita Ramayana, masih mengenakan busana yang sangat sederhana, yaitu hanya selembar kain yang dicawatkan bagi semua pemain. Hanya penari wanita yang memerankan Dewi Sita dan Trijata saja yang mengenakan busana adat. Dalam perkembangan terakhir, para pemain yang membawakan drama tari atau Sendratari Ramayana telah mengenakan busana seperti busana yang dikenakan oleh para penari Sendratari Ramayana.

Oleh karena begitu larisnya, pertunjukaan kecak yang di kalangan para wisatawan mancanegara lebih dikenal sebagai Monkey Dance, banyak sekali grup-grup baru yang menceba meraih keuntungan dari kocek para wisatawan. Untuk menjaga mutu, dewasa ini Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) hanya memberikan sertifikat kepada 27 kelompok Kecak di Bali. Sebagian besar dari grup-grup itu tampil di panggung-panggung pertunjukan, yang khusus dibangun untuk pertunjukan Kecak yang tersebar di Kabupaten Gianyar, Badung serta Denpasar. Kecak selalu disajikan pada sore hari menjelang malam, dari pukul 18.30 sampai pukul 19.30.

I Wayan Dibia memberikan  daftar grup Kecak yang aktif sampai dewasa ini, antara lain sebagai berikut :

1. Kecak ‘Tresna Jenggala’ dari Desa Ubud, Kabupaten Gianyar

2. Kecak ‘Chandra Bhuwana’ dari Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar

3. Kecak ‘Catur Lila Asmara’ dari Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar

4. Kecak ‘Semara Madya’ dari Desa Peliatan, Kabupaten Gianyar

5. Kecak ‘Eka Naya Sandhi’ dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar

6. Kecak ‘Dharma Putra Laksana’ dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar

7. Kecak ‘Gunung Jati’ dari Desa Teges Kangin

8. Kecak ‘Guna Budaya’ dari Desa Mengwi, Kabupaten Badung

9. Kecak ‘Purana Cakti Jaya Laksana’ dari Banjar Angantaka, Desa Abiansemal, Kabupaten Badung

10. Kecak ‘Dharma Sandhi Budaya’ dari Desa Bualu, Kabupaten Badung

11. Kecak ‘Ganda Sari’ dari Desa Bona

12. Kecak ‘Pangembangan’ dari Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar

13. Kecak ‘Puspita Jaya’ dari Desa Blahkiuh, Kabupaten Badung

14. Kecak ‘Apuan Sari’ dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar

15. Kecak ‘Pameksan Sanding’ dari Desa Celuk, Kabupaten Gianyar

16. Kecak ‘Gita Kumara Jaya’ dari Desa Blahkiuh, Kabupaten Badung

17. Kecak ‘Banjar Batugaing’ dari Desa Tabanan

18. Kecak ‘Desa Adat’ dari Desa Ubud, Kabupaten Gianyar

19. Kecak ‘Gaing’ dari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar

20. Kecak ‘Sila Budaya’ dari Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar

Sebagai sajian wisata, beberapa grup yang menyelenggarakan pagelaran Kecak menambahnya pula dengan kemasan singkat dari partunjukan Sang Hyang Dedari atau Sang Hyang Jaran. Hanya saja, bagi para wisatawan mancanegara rupanya yang ingin ditonjolkan oleh para seniman Bali yang menggarap kemasan pertunjukan wisata itu adalah adegan ketika dua penari Sang Hyang Dedari menari dalam keadaan possessed atau kerawuhan, dan ketika penari Sang Hyang Jaran menginjak-injak api yang membara. Untuk memudahkan serta menarik perhatian para wisatawan mancanegara, pertunjukan Kecak juga disebut sebagai Monkey Dance. Apabila ditambah dengan pertunjukan Sang Hyang Jaran, judul pertunjukannya berubah menjadi Kecak and Fire Dance.

Sebelum krisis moneter, untuk menyaksikan pertunjukan Barong and Kris Dance yang selalu diselenggarakan pada pukul 9.30 sampai pukul 10.30, dan pertunjukan Kecak atau Kecak and Fire Dance yang selalu dipentaskan pada pukul 18.30 sampai pukul 19.30, seorang wisatawan hanya dikenakan karcis sebesar Rp.6000,- untuk masing-masing pertunjukan. Mereka tinggal memilih, mana yang mereka senangi. Apabila waktu yang mereka miliki sangat singkat, mereka bisa menyaksikan di hotel-hotel berbintang sambil makan malam.

Sumber : Prof. Dr. R. M. Soedarsono. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Gajah Mada University Press, 2002.