Tari Sang Hyang sebagai Tari Pemujaan

TARI SANG HYANG

Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat percaya adanya roh halus dan jahat serta alam yang mengandung kekuatan magis. Untuk mengimbangi dan menetralisir keadaan tersebut masyarakat mengadakan upacara yang dilengkapi dengan tari-tarian yang bersifat religius. Salah satu dari sekian banyak tarian religius yang ada pada masyarakat Bali adalah Tari Sang Hyang. Tari Sang Hyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magi hitam (black magic). Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri. Tari sanghyang ini merupakan tarian komunikasi spritual dari warga masyarakat dengan alam gaib dengan menyanyikan tembang-temban pemujaan dengan iringan tetabuhan. Didalam tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu; api, gending sanghyang dan penari. Sanghyang sebagai tarian khas orang Bali, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan) sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai ketakwaan kepada Sang Penciptanya. Hal itu tercermin dari asal-usulnya yang bertujuan untuk mengusir wabah penyakit yang menurut kepercayaan mereka disebabkan oleh ganggungan roh jahat.
Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance (tidak sadarkan diri) atau dalam masyarakat bali sering disebut kerauhan pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.

Ada beberapa tahap dalam penyelenggaraan tari Sang Hyang, yaitu :
1. Nusdus
Upacara penyucian medium dengan asap/api
2. Masolah
Penari yang sudah kemasukan roh mulai menari
3. Ngalinggihang
Mengembalikan kesadaran medium dan melepaskan roh yang memasuki dirinya
untuk kembali ke asalnya

Dalam hal ini tari Sanghyang diirngi dengan nyanyian-nyanyian tentang tarian tersebut dan juga bisa diiringi dengan gamrelan.

Macam-macam Tari Sanghyang
Tarian sanghyang yang menjadi ciri khas orang Bali ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:

Sanghyang Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.

Sanghyang Deling, adalah tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.

Sanghyang Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha).

Sanghyang Cleng (babi hutan), adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.

Sanghyang Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).

Sanghyang Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan purnama.

Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik.

Sanghyang Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda.

Sanghyang Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.

Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu, sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa.

Perkembangan Kebudayaan Di Desa Ubud

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada awal tahun 1930an, banyak wisatawan asing yang datang ke Bali, terutama mengunjungi wilayah Ubud. Kenapa hanya di Ubud? Hal ini dikarenakan kemampuan dari Tjokorde Gede Agung Sukawati yang memerintah Ubud (saudara Raja Sukawati – Tjokorde Gede Raka Sukawati) dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Selain itu karena kemampuan dan pengetahuan raja Ubud akan bisnis, maka di bangunlah guest house untuk tempat wisatawan menginap di Ubud. Perkembangan pariwisata Ubud juga tidak lepas dari peran Raja Sukawati, kakak dari Raja Ubud yang mengundang seniman lukis Walter Spiers ke Ubud untuk tinggal dan melukis di Ubud.Tinggalnya Walter Spiers di Ubud menjadikan trend di kalangan seniman lukis asing untuk berkarya di Ubud. Melalui lukisan inilah, Ubud mulai terkenal ke mancanegara, karena lukisan dari pelukis asing, mengambarkan tentang kehidupan di Ubud, serta pelukis asing melakukan pameran lukisan di luar negeri.
Sebuah asosiasi seni lukis didirikan oleh Tjokorde Gede Agung (raja Ubud), Walter Spies dan Rudolf Bonnet, serta beberapa seniman lokal yang diberi nama Pita Maha. Tujuan dari asosiasi seni lukis ini adalah mengumpulkan para seniman Bali, untuk mengajarkan kesenian kepada para muda-mudi di daerah Ubud. Oleh sebab itu, sampai saat ini, objek wisata Ubud menjadi pusat museum di Bali. Museum yang ada di Ubud seperti Arma Museum Ubud dan Museum Puri Lukisan Ubud.

1.2 Rumusan Masalah

Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam tugas ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antaralain :
1. Apa pengertian kebudayaan
2. Apa fungsi dari mempelajari kebudayaan di daerah masing-masing
3. Bagaimana metode-metode yang dilakukan dalam mencari informasi kebudayaan

1.3 Tujuan Menganalisa
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penulisan tugas ini sebagai berikut.
– Untuk mengetahui apa itu kebudayaan
– Untuk menemukan dan mendapatan jawaban dan kebenaran dari suatu kebiasaan masyarakat yang ditelusuri.
– Mengetahui langkah-langkah sistematis dalam memecahkan suatu pertanyaan atau masalah terhadap suatu kebudayaan yang ada.

1.1 Manfaat Analisa
Agar kita dapat mengetahui dan mengenal suatukebudayaan di daerah kita masing-masing, dalam artian kita tidak hanya tahu bahwa di daerah kita memiliki kebiasaan kebiasaan unik atau membudaya, tetapi kita memahami budaya tersebut dari segala sisi. Yang nantinya bisa kitawarisi secara turun temurun dari generasi ke geneasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Seni Lukis di Ubud

Ubud disamping memiliki alam yang indah, daerah ini juga merupakan sebuah desa budaya yang kaya dengan warisan sejarah para seniman besar, terutama para pelukis terkenal, misalnya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Anak Agung Gde Sobrat (1919-1992), I Gusti Made Deblog (1910-1986), kemudian disusul oleh yang lain seperti, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made, Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Rai dan lain sebagainya. Ketenaran para pelukis tersebut di atas ikut memberikan inspirasi terhadap para pelukis barat untuk berdomisili di desa Ubud.

Sekitar tahun 1920-an, dua pelukis Eropa yaitu Rudolf Bonnet dari negeri Belanda, dan Walter Spies dari Jerman menggoreskan sejarah baru perkembangan seni lukis di daerah Ubud. Kedua pelukis Eropa tersebut memperkenalkan teknik estetika Eropa terutama di bidang pencahayaan, bayangan, perspektif dan anatomi. Para pelukis lokal menyerap tehnik-tehnik baru yang sesuai dengan nilai dasar dan pikiran lokal dengan tetap mengambil tema tradisional sehingga mampu memberi identitas tersendiri dengan nama gaya Ubud atau Style Ubud.
Desa Ubud menjadi semakin terkenal sebagai daerah kelahiran para seniman lukis berkat adanya kerjasama antara Tjokordo Gde Agung Sukawati dengan Rudolf Bonnet untuk membentuk sebuah perkumpulan seniman dengan nama Pita Maha, yang juga ikut membidani lahirnya Pita Maha adalah Tjokordo Gde Raka Sukawati, I Gisti Nyoman Lempad pada tahun 1936. Pita Maha merupakan sebuah perkumpulan dan wadah untuk mendiskusikan masalah dan perkembangan seni lukis, serta untuk saling bertukar pikiran dan memperkenalkan hasil seni yang mereka miliki.
Dalam perkembangannya kemudian, atas prakarsa Ida Tjokordo Gde Agung Sukawati yang didukung oleh Rudolf Bonnet, pelukis kelahiran Nederland dan juga para pelukis setempat merencanakan mendirikan sebuah musium Yayasan Ratna Wartha.

Ubud yang kini dikenal sebagai desa internasional tempat bertemunya bangsa dari berbagai negara di belahan dunia itu tahun 1920-an telah mengembangkan satu motif wayang baru, di mana pakem ikonografis wayang yang demikian ketat mengurai ke pakem personal. Tema tetap diangkat dari Kisah Ramayana, Mahabrata, namun dalam konsepsi seni ritual seperti rerajahan, tumbal tetap dipertahankan. Lukisan corak wayang baru itu dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir dari Puri Peliatan setelah belajar gambar di Banjarangkan (Klungkung) dan Ketewel (Gianyar). Teknik, warna alam, dan prinsip-prinsip seni lukis Wayang tetap dipegang teguh.Motif wayang yang dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir lebih realistis dengan garis arsiran rapi dan mantap, namun tetap memakai warna alam seperti gambar wayang menghias busana pura dan atribut ritual lainnya seperti parba, tedung, kober dan jempana.Tjokorda Gambir sempat bagi pengalaman dan pandangan dengan Walter Spies dan Bonnet bahkan sebelum lembaga Pita Maha (1936) dibentuk, sejumlah seniman setempat seperti Baret, Kobot, Turas, Ida Bagus Made dan Gerudug sempat saling belajar di Puri Peliatan.
Agung Rai yang museumnya memiliki koleksi 248 lukisan itu menjelaskan, tumbuh variasi corak personal pada generasi 1980-an di Ubud sangat dipengaruhi oleh kegeniusan I Gusti Made Lempad (alm) mengolah ilham seni pahat relief Yeh Pulu, yang mengalir lewat jari-jari ke kesan garis tinta Tiongkok yang kuat, sederhana terkesan kosong namun padat berenergi.Almarhum berhasil menggubah citra wayang menurut selera pribadi sehingga melahirkan style Lempad yang sangat personal, anggun, keramat dan berkarakter.Kepiawaian olah rasa hingga kini tak tertandingi termasuk oleh cucundanya Sudara. Dalam karya, kedua maestro ini sering membubuhkan nama dalam karya, tidak seperti wayang Kamasan yang komunal sifatnya.Mereka kemudian menjadi guru lokal di wilayahnya masing-masing sehingga lahir berbagai motif wayang Padang Tegal seperti stail Sobrat, Turas, Ketut Ding, Ketut Rungun, Moleh, Pengosekan seperti Wayang Kobot, Baret, Liyer, wayang stail Grudug, Taman dengan tokohnya pelukis Meja .

Agung Rai mengibaratkan, sosok Bonnet menjadi guru terbang bebas bea bagi pelukis Ubud, mengukuhkan kesenian sebagai “life style”, karena secara gigih membimbing pencapaian kualitas karya yang berkarakter dengan memberi panutan bagaimana seorang seniman profesional, terdidik mesti bersikap terhadap kekayaan lokal yang adiluhung.

Selain itu menumbuhkan rasa saling menghargai karya masing- masing. Bonnet dikenal sebagai sosok sensitif dan peduli akan realita seni sebagai seni, seni sebagai ritual, seni sebagai sumber penghidupan seperti seni wali, “wewalen” dan “balih-balihan”.Dengan demikian ada sekat konotasi fungsi berkesenian kapan ngayah (diamalkan) kapan bayah (dibayar). Rupanya sejak era pesatnya perkembangan pariwisata tahun 1970-an sampai saat ini realita terakhir semakin menyenangkan.Di antara langkah promosi kekayaan seni budaya Bali yang paling signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan seni lukis Bali adalah pameran di Paris, tahun 1931. Beberapa karya lukis Wayang Bali juga misi seni tari Bali (Peliatan Ubud) digelar dalam pameran internasional.
Dalam hal itu misi kesenian Bali mewakili kerajaan Belanda sebelum Indonesia meraih kemerdekan. Gaung kesuksesan pameran Bali membawa pengaruh besar terhadap meningkatkan motivasi Barat untuk mereguk kenikmatan di paradiso Bali.Bukan saja di kalangan seniman Peliatan Ubud, masyarakat secara keseluruhan merasa bangga atas penghargaan itu. Apalagi diizinkan mendirikan monumen di di halaman masing-masing saat perayaan jubileum (1933) ratu Belanda waktu itu, yang dipandang sebagai prestasi seni semata, tanpa tendensi politis atau lainnya.Tonggak perubahan sangat menentukan, bukan hanya mengobarkan semangat dalam perkembangan dan perluasan segala aktivitas berkesenian, melainkan sumbangan nyata terhadap kekayaan seni Bali yang dengan apik disajikan lembaran masa berikutnya.Sampai akhirnya Pariwisata Budaya membuka keran interaksi masyarakat Bali dan Barat, saling menguntungkan tidak terbatas pada wawasan seni Bali yang semakin marak tetapi segi ekonomi masyarakat yang semakin meningkat.

2.2 Bahasa Keseharian
Sebagai salahsatu hal terpenting dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari para pelaku kehidupan. Begitu juga dengan masyarakat di Bali. Masih menjunjung tinggi kebudayaan asli, masyarakat disana masih menggunakan bahasa Bali pada kesehariannya. Keberadaan bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas variasi temporal, regional, dan sosial. Dimensi temporal bahasa bali memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasanya meski dalam arti yang sangat terbatas. Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa bali Kuno yang sering disebut deengan bahasa Bali Mula atau Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau Kawi Bali, dan bahasa Bali Keparayang sering disebut Bali Baru atau bahasa Bali Modern.
Secara regional, bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga (dialek pegunungan) dan dialek Bali Dataran (dialek umum, lumrah) yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenai adanya sistem sor-singgih atau tingkat tutur bahasa Bali yang erat kaitannya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa (warna), yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatriya, Wesia) dan golongan Jaba atauSudra (orang kebanyakan). Berdasarkan strata sosial ini, bahasa Bali menyajikan sejarah tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam lapisan masyarakat tradisional di Bali. Di sisi lain, dalam perkembangan masyarakat bali pada zaman modern ini terbentuklah elite baru yang termasuk kelas kata yang tidak lagi terlalu memperhitungkan kasta. Elite baru (golongan pejabat, orang kaya) selalu disegani dan dihormati oleh golongan bawah dan ini tercermin pula dalam pemakaian bahasanya. Bahasa Bali juga digunakan selain di Bali, juga di Mataram bagian barat dan Jawa bagian Timur seperti Banyuwangi.

2.3 Sistem Religi

Masyarakat Pulau Bali sudah sejak dulu terkenal sebagai penganut agama Hindu. Konsep ini sudah ada sejak turun temurun nenek moyang masyarakat Bali. Pokok ajaran Hindu adalah ketercapaian keseimbangan dan kedamaian hidup secara lahir batin. Konsep Ketuhanan Hindu mempercayai Tuhan dalam 3 wujud atau TRIMURTI yakni Brahmana, Wisnu, Siwa. Selain itu Hindu menganggap hal penting yaitu Atman : roh yang abadi, Karmapala : buah dari setiap perbuatan, Purnabawa : kelahiran kembali jiwa. Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Masing masing pura memiliki sifat sendiri. Pura Besakih sifatnya umum untuk semua golonga, Pura Desa (kayangan tiga) khusus untuk kelompok sosial setempat, Sanggah khusus untuk leluhur. Tiap kawasan di Bali pasti memiliki Pura. Dan tentunya masing masing Pura memiliki makna filosofi sendiri.

2.4 Perkembangan Ekonomi
Pariwisasta mempunyai andil besar dalam pertumbuhan ekonomi di Desa Pakraman Ubud. Berkembanganya pariwisata di ubud menyebabkan bergesernta mata pencaharian masyarakat di ubud yang pada mulanya merupakan masyarakat agrarism dengan mata pencaharian pokok adalah petani. Mata pencaharian pokok masyarakat di ubud pada umunya telah berubah dari agraris ke industry pariwisata, hadirnya industry pariwisata di desa pakraman ubud membuat perkembangan atau kebudayaan baru. Peralihan pekerjaan ke sector pariwisata tidak bisa lepas dari karakteristik isndustri pariwisata, yakni bercorak “people to people business” yang artinya pariwisata sebagai suatu ndustry banyak menyerap tenaga kerja.
Masuknya indurstri pariwisata ked dalam desa pakraman ubud tidak saja terkait dengan mata pencaharian tetapi juga terkait dengan aspek-aspek kebudayaan. Ini sesuai dengan konsep perubahan kebudaya dari (soekamto 2012) yang mengatakan kecendrungan terjadinya perubahan budaya merupakan gejala yang wajar timbul dari pergaulan manusia di dalam masyarakat.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Ubud adalah sebuah tempat peristirahatan di daerah kabupaten Gianyar, pulau Bali, Indonesia. Ubud terutama terkenal di antara para wisatawan mancanegara karena lokasi ini terletak di antara sawah dan hutan yang terletak di antara jurang-jurang gunung yang membuat alam sangat indah. Selain itu Ubud dikenal karena seni dan budaya yang berkembang sangat pesat dan maju. Denyut nadi kehidupan masyarakat Ubud tidak bisa dilepaskan dari kesenian. Di sini banyak pula terdapat galeri-galeri seni, serta arena pertunjukan musik dan tari yang digelar setiap malam secara bergantian di segala penjuru desa.
Sudah sejak tahun 1930-an, Ubud terkenal di antara wisatawan barat. Kala itu pelukis Jerman; Walter Spies dan pelukis Belanda; Rudolf Bonnet menetap di sana. Mereka dibantu oleh Cokorda Gede Agung Sukawati, dari Puri Agung Ubud. Sekarang karya mereka bisa dilihat di Museum Puri Lukisan, Ubud.

Teks Deskriptif tentang “UBUD”

TEKS DESKRIPTIF
UBUD

Oleh
I KadekJanurangga
NIM : 201702048
MahasiswaKarawitan 1B
InstitutSeni Indonesia Denpasar

Ubud adalah sebuah desa kelurahan, membawahi 14 (empatbelas) banjar yaitu Br. Ubud Kelod, Br. Ubud Kaja, Br. Ubud Tengah, Br. Sambahan, Br. Bentuyung, Br. Junjungan, Br. Tegallantang, Br. Taman Kaja, Br. Taman kelod, Br. Padangtegal kaja, Br. Padangtegal Mekarsari, Br. Padangtegal Tengah, Br. Padangtegal Kelod, dan Br. Padang Kencana, yang terdiri dari 6 (enam) desa adat, termasuk kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dengan jarak 20 km dari kota Denpasar, Ubud dapat dicapai dalam 30 menit atau 15 menit dari kota Gianyar. Dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut, Ubud memiliki udara lebih sejuk dari daerah dataran Bali asli selatan. Kelurahan Ubud berpenduduk sekitar 9.800 jiwa. Dengan lingkungan yang masih alami, daerah ini merupakan daerah sumber inspirasi bagi para seniman, termasuk seniman luarnegeri, terutama seniman Eropa. Ubud disamping memiliki alam yang indah, daerah ini juga merupakan sebuah desa budaya yang kaya dengan warisan sejarah para seniman besar, terutama para pelukis terkenal, misalnya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Anak Agung Gde Sobrat (1919-1992), I Gusti Made Deblog (1910-1986), kemudian disusul oleh yang lain seperti, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made, Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Raidan lain sebagainya. Ketenaran para pelukis tersebut di atas ikut memberikan inspirasi terhadap para pelukis barat untuk berdomisili di desaUbud.

Sekitar tahun 1920-an, dua pelukis Eropa yaitu Rudolf Bonnet dari negeri Belanda, dan Walter Spies dari Jerman menggoreskan sejarah baru perkembangan seni lukis di daerah Ubud. Kedua pelukis Eropa tersebut memperkenalkan teknik estetika Eropa terutama di bidang pencahayaan, bayangan, perspektif dan anatomi. Para pelukis lokal menyerap tehnik-tehnik baru yang sesuai dengan nilai dasar dan pikiran local dengan tetap mengambil tema tradisional sehingga mampu member identitas tersendiri dengan nama gaya Ubud atau Style Ubud. Desa Ubud menjadi semakin terkenal sebagai daerah kelahiran para seniman lukis berkata dan bekerjasama antara Tjokorda Gde Agung Sukawati dengan Rudolf Bonnet untuk membentuk sebuah perkumpulan seniman dengan nama Pita Maha, yang jugaikutmembidanilahirnya Pita Maha adalah Tjokorda Gde Raka Sukawati, I Gisti Nyoman Lempad pada tahun 1936. Pita Maha merupakan sebuah perkumpulan dan wadah untuk mendiskusikan masalah dan perkembangan seni lukis, serta untuk saling bertukar pikiran dan memperkenalkan hasil seni yang mereka miliki.

Dalam perkembangannya kemudian, atas prakarsa Ida Tjokordo Gde Agung Sukawati yang didukung oleh Rudolf Bonnet, pelukis kelahiran Nederland dan juga para pelukis setempat merencanakan mendirikan sebuah musium. Yayasan Ratna Wartha yang dibentuk sebelumnya diberikan tugas untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan museum tersebut. Padatahun 1945 mulailah pembangunan museum itu yang mana peletakan batu pertama dilakukan oleh Perdana Menteri Ali Sustroamidjoyo. Dalam kurun waktu dua tahun, tepatnya pada tahun 1956 museum tersebut dibuka oleh Menteri Pendidikandan Kebudayaan Mr. Moh. Yamin
Sebagai daerah tujuan wisata, Ubud memiliki banyak objek yang menarik bagiwisatawan, baik nusantara maupun mancanegara. Beberapa diantara objek tersebut adalah Puri Saren, yang terletak di Puri Ubud, pasar seni tradisional, Monkey Forest (Wenara Wana), Musium Blanco, Musium Puri Lukisan, dan banyak makanan khas ubud seperti babi guling yang wajib dicoba bila berkunjung ke ubud.

Tabuh Palegongan

YouTube Preview ImagePENDAHULUAN

ABSTRAK

Gambelan pelegong yaitu salah barungan gamelan Bali yang biasanya dipakai untuk mengiringi tarian legong keraton. Gamelan ini memakai panca nada. Dan gamelan ini menyerupai Smarpagulingan dan Gambuh. Dan adapun gending-gending Lelegongan yang masih terpelihara, antaralain: Lasem, Pelayon, Candra Kanta, Kuntir, Kuntul, Jobog, Guak Macok, Legod Bawa, Tangis, Kupu-kupu Tarum, Brahmara, Semarandana, Gedung Melati, dan lagu-lagu lain seprti Gambangan. (Bandem I Made. 1986:15) Kesatuan barungan ini terdiri dari pada jumlah alat-alat yang mempnyai nama-nama tersendiri dan fungsi terhadap kesatuan barungannya. Jenis alat yang pernah dipakai atau samapai kini masih dipergunakan untuk menjadikan barungan gamelan pelegonan. Gamelan pelegongan itu kalau dilihat bangun instrumennya kemudian bentuk-bentuk lagunya yang menunjukan ciri-ciri keasliannya ,maka dapatlah diyakinkan bahwa gamelan pelegongan itu tidak termasuk pada kelompok gamelan-gamelan jaman kono (gamelan tua) di Bali. Gamelan pelegongan itu baru ada setelah adanya gamelan semar pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada.Dengan majunya perkembangan yang diiringi dengan gamelan gong kebyar menyebabkan gamelan pelegongan itu tedesak sehingga banyak yang dilebur dijadikan gamelan gong kebyar. Tari-tarian yang diiringi dengan lagu-lagu gong kebyar sebagian besar dasar-dasar tariannya diambil dari legong yang suah ada sebelumnya.

PEMBAHASAN

GAMELAN PALEGONGAN

Gambelan Palegongan menggunakan panca nada, yaitu lima bilah nada. Jika dilihat dari strukturnya, gambelan ini menyerupai gambelan Semar Pagulingan, hanya saja tidak menggunakan terompong. “Gending-gending Lalegongan yang masih terpelihara adalah Lasem, Pelayon, Candra Kanta, Kuntir, Kuntul, Jobog, Guak Macok, Legod Bawa, Tangis, Kupu-kupu Tarum, Brahmara, Semarandana, Gedung Melati, dan lagu-lagu lain seperti Gambangan,” ujar Ketua Majelis Pertimbangan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali, DR. I Komang Astita, MA kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Minggu (26/2).
Lebih lanjut dijelaskan Astita, gambelan ini menggunakan satu pasang gender rambat, satu pasang gender barang, empat buah pemade, empat buah kantil, dua gangsa jongkok, satu buah gong, satu kecek, satu gentorang, satu klenang, satu kajar atau trengteng, satu rebab, dan seperangkat suling. “Gambelan Palegongan diduga mulai ada sebelum gambelan Gong Kebyar populer di Bali Utara. Namun, perkembangannya dimulai dari wilayah Bali Selatan. Gambelan Palegongan yang terkenal hingga kini adalah yang berada di Desa Binoh,” jelasnya.
Dalam lontar Aji Gurnita, lanjutnya, gambelan Palegongan itu dikatakan sekeluarga atau sejenis dengan gambelan bebarongan, gambelan joged pingitan, dan gambelan semar pagulingan. Sedangkan Colin Mc Phee dalam bukunya ’ Musik In Bali’ menyebutkan bahwa sesuai dengan maksud dan keadaannya, gambelan jenis itu khusus dapat dipergunakan untuk jenis Legong, Barong dan Calonarang. Sesuai dengan bentuknya yang mengkhusus, masing-masing barungan gambelan di Bali, mempunyai pula susunan komposi sindiri- sindiri yang merupakan bentuk khas dari pada setiap jenis gambelan itu. Astita mencontohkan gambelan-gambelan yang termasuk jenis tua di Bali, di antaranya gambang,selonding, gongluang,gender wayang. ” Semua mempunyai bentuk lagu yang berdiri sendiri, termasuk pula teknik permainannya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, masing-masing mempunyai ciri-ciri keaslian,” urainya.
Demikian pula halnya lagu-lagu Palegongan mempunyai bentuk sendiri-sendiri dengan ciri-ciri keasliannya yang berbeda dengan lagu-lagu gamelan lainnya. Ciri khas dari lagu-lagu Palegongan itu yang pertama adalah penonjolan permainan melodi gender rambat, kemudian melodi kendang untuk bagian lagu pangawak dan susunan komposisi yang memberi peluang-peluang untuk tandak (seni suara vokal) yang baik sekali. Lagu-lagu Palegongan bilamana tidak disertai dengan tandak akan dirasakan kurang lengkap, atau kurang mantap.
“Oleh karena itu,tandak kita masukkan sebagai ciri keaslian lagu Palegongan, meskipun lagu gamelan lain misalnya lagu pegambuhan menganggap pula tandak itu sebagai ciri kelengkapannya,” katanya.
Adapun yang dimaksud lagu-lagu Palegongan ialah lagu-lagu iringan tari Legong Kraton. Lagu-lagu yang diciptakan sebagai lagu petegakan atau lagu tanpa tari tidak dipersoalkan di sini. Sebab, lagu-lagu petegakan yang terpakai pada gambelan Palegongan di antaranya lagu liar samas, solo, dan kesiar.

TABUH PALEGONGAN MADEDALI

Dalam karya Pelegongan Madedali ini mencertitakan tentang kisah arjuna ketika bersembunyi bersama kelima saudaranya Panca Pandawa di kerajaan Wirata, dan disana Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi bernama Wrihanala. Madedali itu sendiri merupakan bahasa jawa yang berarti menari. Dalam konteks lain madedali dapat dipenggal menjadi suku kata “dedali” atau dalam bahasa jawa kuno berarti burung elang. Dimana burung elang ini akan selalu terbang mengelilingi bumi, mencari, mempelajari dan mengumpulkan seluruh ilmu pengetahuan dan menyebarkan di bumi agar manusia berjalan ke jalan yang benar dan hidup lebih baik. Sama halnya seperti Partha dalam garapan ini, dia menyamar sebagai wandu yang mengajarkan dan menurunkan ilmu seninya kepada masyarakat yang kelak nanti akan turun temurun diwarisi. Karya palegongan ini adalah karya baru yang menggunakan gamelan semarandhana sebagai media ungkap yan dikomposeri oleh I Wayan Diana Putra sebagai iringan tari yang dimana pemainnya adalah anak-anak SMAN 1 Ubud. Karya ini baru rampung pada tanggal 29 November 2017 dan proses penuangan gending selama 6 hari. Di dalam pelegongan ini si pencipta ingin semua patet yang terdapat dalam gamelan semarandhana digunakan, dan terdapat pembaharuan dalam system kotekan, motif kekendangan dan ritme yang digunakan bersifat baru.
adapun isntrumen yang digunakan :
– 2 pasang kendang (lanang, wadon) – 2 tungguh calung
– 1 gecek – 2 tungguh jegogan
– 1 kajar krenteng – 1 tungguh kemong
– 1 tungguh terompong – 1 tungguh gong
– 4 tungguh pemade – 2 tungguh penyacah
– 4 tungguh kantilan

Ide Garapan

Ide garapan pelegongan ini beresensi dari struktur legong per palet atau bagaian. Pada pola melodi berkiblat jalan balungan di tari jawa khususnya tari Bedaya Ketawang. Di dalam penyalit, ngetog pelegongan digarap ulang durasi dan ritmenya. Pengawak berpijak pada siklus gongan yang panjang tetapi dengan mengolah ukuran palet pendek dengan mengkalikan ukuran dengan pola palet lain sehingga titik temu hasil kalinya merupakan jatuhnya gong selayaknya sisrem klotomik legong. Bagian Pengecet berkembang dari pola legod bawa degan memberikan tensi sub divisi tiga.
Di dalam bagian pengawak karya Pelegongan Madedali ini terdapat 85 peniti penyacah, 40 peniti calung, 5 peniti jegog, satu kali pukulan kemong dan satu kali pukulan gong
(^) 7 . 1 . 7 . 1 . 7 . 2 . 7 . 1 . 2 . 4 . 2 . 4 . 2 . 1 . 7 . 5 .
(^) 7 . 1 . 7 . 4 . 5 . 7 . 5 . 1 . 7 . 1 . 7 . 5 . 4 . 7 . 5 . 4 .
(T)^ 3 . 5 7 5 7 . 4 3 . 5 7 5 7 . 4 3 . 5 . 3 . 4 . 5 . 7 . 5 . 7 1
(^) 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 7 . 1 . 2 . 1 . 7 . 1. 2 . 1 . 7 . 4 .
(^) 5 . 7 . 5 . 4 . 3 . 4 . 5 . 7 . 5 . 7 . 5 . 4 . 3 . 4 . 5 . 3 . (4)

Dalam bagian pengawak composer mengunakan 2 patet yaitu patet selisir ( 3 4 5 – 7 1 – ) dan patet sunaren (-4 5 – 7 1 2 / – 7 1 – 3 4 5 )
Berikut merupakan melodi pengawak pada tabuh sisia (tabuh pisan) yang memiliki 1 pukulan kemong dalam satu gong, dan bisa disejajarkan dengan tabuh Palegongan Madedali.
Tabuh sisya
(^) 1 . 3 . 1 . 7 . 1 . 4 . 3 . 5 . 4 . 5 . 4 . 7 . 5 . 3 .4 . 1.
(^) 3 . 4 . 3 . 1 . 7 . 4 . 5 . 7 . 4 . 5 . 7 . 5 . 7 . 5 . 1 . 5 .
(T)^ 7 . 1 . 7 . 5 . 7 . 4 . 5 . 1 . 7 . 5 . 1 . 7 . 5 . 1 . 7 . 3 .
(^) 1 . 3 . 1 . 7 . 5 . 3 . 4 . 7 . 5 . 7 . 1 . 7 . 1 . 4 . 3 . 7 .
(^) 1 . 3 . 1 . 7 . 1 . 4 . 3 . 5 . 4 . 5 . 4 . 7 . 5 . 3 . 4 . 1 . (3)

 

TABUH LEGONG KUNTIR

Tabuh legong kuntir merupakan tabuh legong klasik yang berkembang pada abad ke-19 paruh kedua di keraton-keratin Bali. Sampai saat ini pencipta tari legong kuntir masih belum diketahui (anoname). Dalam Palegongan Kuntir ini mencertiakan tentang pengejaran Sugriwa dan Subali dalam mengalahkan Mahesa Sora demi mendapatkan Dewi Tara seagai istri.
Dalam perkembangannya pencipta mereka-reka bentuk garapan legong ini supaya tidak jauh lepas dari pakem yang sudah ada seperti struktur gending terdapat pengawit/pepeson, pengawak, pengecet, dan pekaad yang umum terdapat dalam tari legong setelah mendapatkan bentuk garapan, composer lalu merangkai melodi-melodi setiap bagian agae bisa menyatu dengan tariannya. Setelah mendapatkan melodi yang cocok dengan tariannya dsn bentuk garapan. Pencipta lalu menyusun pola-pola kekendangan yang idenya banyak didapat dari tabuh pegambuhan.

Instrumen :
– 1 pasang gender rambat – 1 pangkon gecek
– 1 pasang gender barungan (14 bilah) – 1 buah kajar
– 2 tungguh jegogan – 1 buah kleneng
– 2 tungguh calung – 1 buah kemong
– 2 tungguh penyacah – 1 pasang kendang krumpungan
– 4 tungguh pemade – 1 buah rebab
– 4 tungguh kantilan – 1-3 buah suling
– 4 tungguh gangsa jongkok kantilan (5 bilah)

Pengawak Legong Kuntir
4 . . . 4 . 3 . 4 . . . 3 . 1 3 4 . . . 7 . 1 7 5 . 7 . 1 . 3 1
7 . . . 1 . 3 1 7 . . . 1 . 3 1 7 . . . 4 . 3 . 4 . . . 5 . 7 5
(T)
4 . . . 4 . 3 . 4 . . . 3 . 1 3 4 . . . 7 . 1 7 5 . 7 . 1 . 3 1
7 . . . 5 . 7 . 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 4 . 3 4 5 . . . 7 . 1 7
5 . . . 7 . . . 5 . . . 7 . 1 7 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 4 . 5 4 Pengawak
3 . . . 4 . . . 3 . . . 7 . 1 7 5 . . . 7 . 5 7 1 . . . 7 . 1 7
(T)
5 . . . 7 . . . 5 . . . 7 . 1 7 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 4 . 5 4
3 . . . 4 . . . 3 . . . 7 . 1 7 5 . . . 7 . 5 7 1 . . . 7 . 1 7
5 . . . 7 . 1 7 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 5 . 7 5 4 . . . 5 . 7 5
4 . . . 5 . 7 5 4 . . . 5 . 7 5 4 . . . 7 . 1 7 5 . 7 . 1 . 3 1
(T)
7 . . . 1 . 3 1 7 . 5 . 4 . 3 4 5 . . . 7 . 5 . 4 . . . 5 7 4 5
7 . . . 1 . . . 7 . . . 1 . 3 1 7 . . . 4 . 3 . 4 . . . 5 . 7 5 Penyalit
4 . . . 5 . 7 5 4 . 1 . 4 . 3 . 1 . . . 1 . 3 1 3 . 4 3 1 . 3 4
5 . . . 4 . 5 . 7 . . . 1 . 3 1 7 . 5 . 4 . 3 . 1 . 4 . 3 . 5 . (4)

Terdapatb 5 pola melodi dan 4 pola kekendangan dalam bagian pengawak yang diolah dengan sedemikian rupa dengan struktur penempatan unsur klotomik kemong yang terdapat 3 pukulan kemong didalam 1 kali putaran gending ( satu kali gong ).
Rumus :
A : 4 . . . 4 . 3 . 4 . . . 3 . 1 3 4 . . . 7 . 1 7 5 . 7 . 1 . 3 1
B : 7 . . . 1 . 3 1 7 . . . 1 . 3 1 7 . . . 4 . 3 . 4 . . . 5 . 7 5

C : 7 . . . 5 . 7 . 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 4 . 3 4 5 . . . 7 . 1 7

D : 5 . . . 7 . . . 5 . . . 7 . 1 7 5 . . . 4 . 5 4 3 . . . 4 . 5 4

E : 3 . . . 4 . . . 3 . . . 7 . 1 7 5 . . . 7 . 5 7 1 . . . 7 . 1 7

Susunan Pengawak
A-B-A-C-D-E-D-E- penyalit

Pola Kendang :

P1 – P2 – P3 – P4 – P1 – P2 – P3 – P4

P4 – P2 – P3 – P4 – P5 – P6

PENUTUP

KESIMPULAN

Didalam pelegongan, Tabuh Pisan, Tabuh 2, dan Tabuh 3 adalah sebuah testimoni untuk memperjelas posisi klotomik gong dan kemong. Tabuh 2 dan Tabuh 3 dalam pelegongan mengambil analogi dari struktur klotomik tabuh lelambatan artinya didalam satu gong atau satu kali putaran gending dihitung jumlah kemong. Jika terdapat satu kemong dalam satu gong disejajarkan dengan tabuh pisan, contohnya tabuh sisia penyalonarangan. Jika terdapat 2 kemong dalam satu gong disejajarkan dengan tabuh 2, contohnya tabuh telek. Dan jika terdapat 3 kemong dalam satu gong maka disejajarkan dengan tabuh telu contohnya tabuh legong lasem, legong kuntul, dan legong kuntir. Jadi penamaan tabuh pisan, tabuh 2,dan tabuh 3 hanya untuk konteks dalam pembelajaran saja. Pelegongan hanya sebagai konsep dasar untuk mengiringi tari legong sehingga mendapatkan imbuhan pe- dan –an dalam indikator kata legong sebgai penegas bahwa Pelegongan merupakan gending atau tabuh yang dipergunakan untuk mengiringi tari Legong.

DAFTAR PUSTAKA
Bandem. Dr. I Made. 1986. “Prakempa : Sebuah Lontar Gamelan Bali”. Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.

Djelantik. A.A Made. 2004. “Estetika Sebuah Pengantar. Badung : Masyarakat Seni Pertunjuakn Indonsesia”

Dibia, SST. I Wayan. 1978. “Pengantar Karawitan Bali. Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar.

Kali Yuga – Ogoh-ogoh St. Taruna Suka Duka Padangtegal Kaja

YouTube Preview Image

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Penjelasan Tentang Nyepi

          Pengertian Nyepi berasal dari kata sepi, simpeng atau hening. Sedangkan hari raya Nyepi adalah hari raya suci Agama Hindu yang berdasarkan sasih atau bulan dan tahun masehi yang dirayakan dengan penuh keheningan dengan menghentikan segala aktifitas yang bersifat duniawimaupun dalam bentuk keinginan dan hawa nafsu. Berusaha mengendalikan diri agar dapat tenang dan damai lahir batin dengan menjalankan catur brata penyepian. Hal ini dapat diatur sesuai dengan keperluan. Dasar pemikiran adalah bahwa hari raya Nyepi dikenal dengan sebagai Tahun Baru Saka. Kenapa disebut tahun baru saka. Untuk dapat kita simak dalam sejarah lahirnya tahun saka. Tahun saka juga disebut saka warsa. Arsa artinya tahun sedangkan saka adalah nama keluarga raja yang terkenal di India yang menciptakan kedamaian rakyat.

Rangkaian Pelaksanaan Nyepi

Perayaan Nyepi terdiri dari beberapa rangkaian upacara yaitu, Melasti
berasal dari kata Mala = kotoran atau leteh, dan Asti = membuang atau memusnakan. Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (Buana Alit), dan amertha bagi kesejahtraan manusia. Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca, pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon pembersihan dan tirta amertha atau air suci kehidupan. Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II, “Apam napatam paritastur apah”, yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan”. Selesai melasti Pretima, Arca, dan Sesuhunan Barong biasanya dilinggihkan di Bale Agung atau Pura Desa untuk memberkati umat dan pelaksanaan Tawur Kesanga.

1.2 Pengerupukan Dalam Adat Agama Hindu

Hari sebelum hari raya Nyepi sebagai peringatan Tahun Baru Saka oleh umat Hindu, di Bali diadakan ucapara Tawur Kesanga. Prosesi upacara terdiri dari rangkaian pecaruan di masing-masing pewidangan (Banjar/Desa Pekraman). Yang waktunya dapat dilaksanakan pada siang hari sampai sandyakala yaitu saat perpaduan antara hari sore dengan hari malam. Pecaruan/Tawur Kesanga bertujuan untuk melakukan penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci). Pada sandyakala atau sering disebut sandikala sebagai batas akhir pelaksanaan pecaruan, yang dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan Meabu-abu yatiu kegiatan yang diyakini sebagai puncak keberhasilan dalam prosesi penyomiyan. Karenanya pada saat itu dilaksanakan upakara ngaturang blabaran atau segehan pada sanggah cucuk di masing-masing pelebuhan. Puncak dari prosesi ngaturang blabaran ini adalah dengan membunyikan berbagai suara yang menimbulkan suara kegaduhan (dengan memukul kentongan, kaleng, ember, dll), disertai api obor dengan berkeliling pekarangan rumah atau desa. Tujuannya adalah agar para bhuta tidak lagi kembali ke lingkungan pedesaan.Seluruh rangkaian kegiatan keramaian sebagai bagian upakara telah menggelitik inspirasi beberapa kreator di Bali, yaitu untuk menjadikannya ranah penuangan berbagai kreasi yang mempertajam pemaknaan dari berbagai kegiatan dan keramain yang di lakukan oleh masyarakat.

Maka lahirlah kemudian kemeriahan thematis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreatfitas seperti bebarongan, rangkaian pelaksanaan panca yadnya, pewayangan, dan lain-lain.Kemeriahan kreasi tahunan inilah kemudian oleh para tokoh masyarakat dan seniman dijadikan momentum berkreasi. Yaitu bagaimana meramu berbagai unsur kegiatan ini agar tidak menjadi liar atau tanpa arah. Munculah kemudian berbagai kreasi berupa karya seni tiga dimensi, dengan berbagai bentuk patung, binatang, bebuthan, tokoh pewayangan, dan lain-lain. Kreasi ini selanjutnya dikenal dengan sebutan ogoh-ogoh.

BAB II
DESKRIPSI OGOH-OGOH RAKTA PRALAYA

2.1 Kali Yuga Sebagai Tema Pengerupukan

Nyepi Tahun Caka 1940 kali ini, Desa Pekraman Padangtegal mengusung tema “Catur Yuga” atau 4 zaman dalam kehidupan Agama Hindu. Yang meliputi Krta Yuga atau masa yang penuh dengan kedamaian dimana pada masa tersebut semua manusia berada dalam jalan kebenaran dan tidak ada manusia yang berbuat adharma atau keburukan walaupun hanya dalam pikiran. Trta Yuga merupakan masa dimana pikiran manusia sudah dikotori oleh suatu kejahatan untuk menghancurkan manusia lainnya. Dwapara Yuga, pada masa ini manusia sudah mulai berwatak ganda yakni sebagaian dirinya merupakan kebaikan dan sebagiannya lagi merupakan kejahatan. Kali Yuga, merupakan zaman terakhir pada catur yuga, dimana kali yuga merupakan kebalikan dari zaman krta yuga dimana pada jaman kaliyuga lebih mementingkan kepuasan hati. Pada zaman ini jika manusia sudah dapat memenuhi kepuasan duniawi seperti harta atupun tahta maka puaslah manusia tersebut.

Dipilihnya 4 zaman ini sebagai tema pada Pengrupukan Tahun Caka 1940 sesuai dengan keberadaan 4 Sekaa Truna yang terdapan Di Desa Pekraman Padangtegal. Kali ini ST. Taruna Suka Duka Padngtegal Kaja mendapatkan tema Kali Yuga sebagai bahan berkreatifitas pembuatan Ogoh-ogoh. Kali Yuga adalah zaman terakhir pada catur yuga, dimana kali yuga merupakan kebalikan dari zaman krta yuga dimana pada jaman kaliyuga lebih mementingkan kepuasan hati. Pada zaman ini jika manusia sudah dapat memenuhi kepuasan duniawi seperti harta atupun tahta maka puaslah manusia tersebut.

2.2 Deskripsi Ogoh-Ogoh Rakta Pralaya

Seorang raksasa bernama Rakta Bija mendapat berkah kekuatan dari Brahma untuk menguasai alam semesta, berkah ini dapat membuat di angkuh sehingga ia ingin menundukkan semua dewa di Surga. Dia memerangi semua Dewa, sehingga para Dewa kewalahan mengalahkannya. Para Dewa tidak bisa menandinginya, kemudian Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa menggabungkan kekuatannya untuk mencipyakan seorang Dewi yang bernama Dewi Durga. Dewi Durga lalu diaugerahi senjata oleh para Dewa dan seekor singa sebagai tunggangannya. Maka bertempurlah Dewi Durga dengan Rakta Bija, mereka saling beradu kesaktian yang sangat dahsyat. Karena tidak bisa terus menerus mengimbangi Dewi Durga, Rakta Bija lalu mengubah dirinya menjadi seekor Kerbau Besar yang bernama Mahesasura. Sang Dewi menduduki Mahesasura dan menjerat lehernya dan selanjutnya kepala Mahesasura dipenggal menggunakan sebilah pedang dan matilah Mahesasura. Sejak saat itu Dewi Durga disebut sebagai Durga Mahesasura Mardini.

Dalam kaitannya dengan certa tersebut kami membuat 3 macam ogoh-ogoh yaitu ogoh-ogoh Anjing yang disi menceritakan suatu masa yang penuh dengan kebengisan atau sifat-sifat yang penuh kekejaman, mementingkan diri sendiri dan kejahatan. Ogoh-ogoh Babi disini menceritakan masa kali yuga yang dipenuhi dengan sifat nafsu,mau menang sendiri, dan haus akan kekuasaan. Kedua sifat anjing dan babi ini dimiliki oleh mahesasura yang digambarkan sebagai ogoh-ogoh kerbau yang memiliki sifat keangkuhan, merasa dirinya paling kuat, penuh hawa nafsu, ingin berkuasa dan sangat mementingkan diri sendiri.

2.3 Gamelan Bala Kajar

Bala Kajar merupakan sebuah instrument gamelan yang bisa dibilang non baleganjur. Karena penggarap merasa tertantang dengan tema yang didapat dan ingin mencoba nuansa baru serta bereksplorasi terhadap bunyi yang dihasilkann oleh barungan gamelan bala kajar dalam mengiringi ogoh-ogoh, dimana biasanya diiringi oleh gamelan balaganjur pada umumnya, sehingga terciptalah gamelan Bala Kajar ini. Kata Bala Kajar sendiri berarti Pasukan Kajar (instrument pencon/bermoncon) yang dimana pada barungan gamelan ini didominasi oleh instrument kajar. Penamaan bala kajar itu sendiri terinspirasi dari banyaknya instrument kajar yang digunakan. Dalam barungan gamelan ini, saya mencoba untuk menggabungkan instrument-instrumen tambahan seperti jimbe, kendang angklung dank ajar krenteng, dengan instrument lainnya seperti reong semarandhana, kajar, kempli, tawa-tawa, gong dan kempur. Penggunaan alat-alat yang ringan ini bukan hanya untuk menghasilkan kualitas suara yang berbeda, dan mempunyai keunikan dalam suara yang dihasilkan dari kajar, jimbe dan kendang angklung, tetapi mempunyai maksud lain agar anak-anak dapat memainkannya tanpa mereka merasa berat membawa alat yang mereka mainkan.
Bala kajar dimainkan oleh Sekaa Gong Anak-anak Khanti Kumara Banjae Padangtegal Kaja yang terdiri 4 orang pemain reong, 6 orang memain jimbe, 2 orang pemain kajar, 2 orang pemain kempli, 4 orang pemain kajar krenteng, 6 orang pemain kendang angklung, 3 orang pemain tawa-tawa, 1 orang pemain kempur dan 1 orang pemain gong. Terkait dengan instrumentasi tersebut terciptanya gending-gending lewat barungan gamelan bala kajar tentunya harus melalui eksperimen bunyi, dimana terdapat suara khas disetiap instrumennya, dan susah untuk menggabungkan antara satu instrument dengan isntrumen lain agar terciptanya suatu bunyi yang aneh, jarang didengar namun enak untuk didengar. Dalam teknik bermnain instrument bala kajar saya memasukan teknik-teknik permainan music seperti pola-pola permainan ritmik yang lebih menekankan pada system rithem pada setiap instrumennya, ada pola-pola rampak dan lebih banyak menggunkan system hitungan setengah dan ¾ untuk menciptakan sauna yang asyik dan seru sebagaimana tergambar dalamn keceriaan saat mengarak ogoh-ogoh. Terkait juga dengan tema yang didapat yaitu zaman kehancuran, saya mencoba untuk merealisasikan kedalam sebuah gending yang memiliki 4 nuansa yang berbeda-beda seprti kebengisan, hawa nafsu, kemurkaan dan hening pada bagian akhir/kehancuran.

2.4 Peran Dan Keterlibatan Dalam Kegiatan Pengerupukan

Keterlibatan saya dalam kegiatan ogoh-ogoh tahun caka 1940 adalah sebagai composer sekaligus pencipta barungan gamelan Bala Kajar. Bersama anak-anak Khanti Kumara Banjar Padangtegal Kaja,saya mencoba berproses dan menciptakan suatu inovasi atau hal baru dalam dunia gamelan. Dalam proses pembuatan gending ogoh-ogohb ini saya mencoba untuk memaksimalkan potensi atau kemampuan anak-anak dalam memainkan maupun dalam mencerna gendingan yang saya tuangkan. Anak-anak usia sekarang memang tidak diragukan lagi keahliannya dalam mencerna dan mengingat apa yang mereka tangkap, dalam proses ini saya merasa lebih cepat dan lebih gampang dalam menuangkan ide-ide yang saya berikan. Sebagai penggarap, saya harus bersikap tegas dalam menyampaikan ide-ide yang saya punya dan menjaga mood atau kualitas bermain gamelan anak-anak dalam memainkan gamelan agar mereka tidak merasa bosan dan jenuh saat berproses. Tentu saja dalam setiap proses penggarapan pasti ada hambatan atau kendala yang terjadi selama proses latihan. Seperti intesitas latihan yang terlalu lama bisa membuat mereka merasa bosan, gending yang susah untuk diterima oleh mereka dan banyak hal yang masih perlu mereka pelajari tentang music baru.

2.5 Proses Kegiatan

Pada tahap awal pembuatan ogoh-ogoh, kita harus menentukan bahan-bahan yang akan kita gunakan seperti kayu, rotan, bambu, dan sepaku sebagai bahan dasar utama pembuatan kerangka ogoh-ogoh, serta bahan tambahan lainnya seperti kertas atau koran, cat, dan hiasan-hiasan lainnya yang menunjang penampilan ogoh-ogoh. Tidak lupa juga kita harus menyiapkan bambu-bambu panjang yang nantinya akan digunakan sebagai sanan atau media untuk mengarak ogoh-ogoh. Setelah mendapatkan semua bahan-bahan. Tahap awal pengerjaan ogoh-ogoh dilakukan dengan membuat tatakan atau tempat ogoh-ogoh nantinya berpijak yang berbentuk persegi. Setelah pengerjaan tatakan, tahap selanjutnya adalah pemasangan kerangka utama atau pancer yang berupa bambu dan kayu sebagai penopang badan ogoh-ogoh yang biasanya ada pada bagian kaki. Dilanjutkan dengan pemasangan kerangka bagian badan dan tangan. Setelah tahap pemasangan kerangka dasar, tahap berikutnya yaitu tahap pembentukan badan atu pembuatan anatomi tubuh ogoh-ogoh dengan media rotan yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah ogoh-ogoh mulai terbentuk dan sesuai dengan wujudnya, tahap berikutnya yang dilakukan yaitu tahap pengulatan. Tahap pengulatan ini dilakukan dengan bambu yang sudah disayat atau ditipiskan. Tahap pengulatan ini cukup memakan waktu yang lama. Setelah tahap pengulatan selesai, selanjutnya akan dilakukan tahap-tahap penghalusan bentuk ogoh-ogoh. Ada tiga tahap dalam proses penghalusan badan ogoh-ogoh. Tahap pertama adalah tahap penempelan kertas dengan lem fox ataui lem putih yang berfungsi untuk menyatukan bagian kerangka dengan tahap kedua dari penghalusan. Tahap kedua dilakukan penempelan tisu kering dengan lem kanji. Penempelan tisu ini berfungsi untuk memperhalus badan ogoh-ogoh. Tahap terakhir yaitu tahap pemberian plamir. Plamir ini berfungsi untuk memperjelas anatomi tubuh dan memperhalus badan ogoh-ogoh.
Tetapi pada ogoh-ogoh St. Taruna Suka Duka Padangtegal Kaja, setelah proses penempelan kertas, kaerang taruna berkreasi menambahkan serbuk kayusebagai bahan pengganti plamir. Tujuannya untuk membuat tekstur ogoh-ogoh menjadi lebih kasar dan membuat tiruan kulit sapi yang berwarna cokelat. Setelah tahap penghalusan, selanjutnya dilakukan tahap pengecatan dasar sesuai dengan warna yang diinginkan, dan dilanjutkan dengan tahap pengaburan yaitu tahap memperindah warna ogoh-ogoh dan juga memperjelas bentuk anatomi ogoh-ogoh. Tahap-tahap berikutnya yang dilakukan adalah memasang hiasan-hiasan yang sudah dibuat seperti ukiran yang terbuat dari kertas, dan kemben ogoh-ogoh yang nantinya akan dipadang pada ogoh-ogoh. Terlepas dari pembuatan kerangka dasar ogoh-ogoh. Pada tahap pembuatan kepala ogoh-ogoh juga sama tahapan-tahapannya dengan membuat kerangka badan ogoh-ogoh. Seperti pembuatan kerangka dasar dengan rotan, pembentukkan anatomi wajah dengan kertas dan tisu, lalu dihaluskan dengan menggunakan plamir dan tahap terakhir yaitu pemberian cat pada kepala ogoh-ogoh.

Setelah ogoh-ogoh selsai dikerjakan. Tahap selanjutnya yang dilakukan yaitu pembuatan sananogoh-ogoh. Biasanya pembuatan sana dilakukan satu hari sebelum hari Pengerupukan. Tahap awal pembuatan sanan ogoh-ogoh yaitu membersihkan bambu terlebih dahulu agar terhindar dari duri-duri kecil yang ada pada bambu. Setelah itu bambu disusun hingga membentuk jalinan persegi yang banyak yang nantinya akan ditempatkan oleh orang-orang yang akan mengarak ogoh-ogoh tersebut. Setelah semua dilakukan, tahap berikutnya yaitu mengikat bambu dengan kain yang berfungsi agar bambu tidak bergeser. Setelah tahap pengikatan, dilakukan tahap pemasangan patok pada setiap sambungan bamboo atau dalam bahasa bali disebut lait yang dibuat dengan mabu yang menerupai sepaku tetapib berukuran besar seukuran jempol yang fungsinya untuk memperkuat bamboo pada saat diarak nanti agar tidak lepas antara satu bambu dengan bambu lainnya.
Setelah tahap pembuatan sanan, barulah ogoh-ogoh dipindahkan ke sanan yang nantinya akan dikunakan sebagai pengarak ogoh-ogoh tersebut. Pada tahap ini hanya dilakukan pemasangan ogoh-ogoh pada sanan dan diikat dengan kain. Setelah semuanya sudah siap. Selanjutnya ogoh-ogoh akan diarak ke balai desa untuk diupacarai. Pada tahapan ini semua banjar harus membawa ogoh-ogoh mereka untuk diupacarai bersama di balai desa agar terhindar dari roh-roh jahat yang ada di ogoh-ogoh. Setelah semua ogoh-ogoh sudah berkumpul dan diupacarai, semua muda-mudi kembali kerumahnya masing-masing untuk melakukan Upacar Caru Pengerupukan bersama keluarga dan dilanjutkan pada malam harinya dengan pengarakan ogoh-ogoh keliling desa.

 

BAB III

3.1 Kesimpulan

          Ogoh-ogoh merupakan salah satu ciri khas dari rangkaian pelaksanaan perayaan Tahun Baru Caka yang kita kenal dengan Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh umunya dibuat dengan muka seram, mata besar melotot sebagai lambang/simbolis buta kala.

Ogoh-ogoh akan diarak keliling desa pada malam pengerupukan, dimana tepat pada tengah hari sebelumnya sudah dilaksanakan upacara pecaruan yang disebut tawur agung/tawur kesanga yang bertujuan untuk membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (buta somya). Setelah diupacari dengan upacara buta yadnya pecaruan tersebut, buta kala yang disimbolkan dengan Ogoh-ogoh ini kemudian diarak keliling desa disertai dengan berbagai bunyi-bunyian seperti kentongan, bom khas bali yang disebut plug-plugan, mercon, kembang api dan lainnya yang selanjutnya berakhir pada kuburan setempat untuk dibakar yang secara secara simbolis buta kala ini agar kembali ke alamnya masing masing dan tidak mengganggu manusia sehingga kehidupan harmonis antara manusia dengan alam dan ciptaannya terwujud.
Ogoh-ogoh pada umumnya dibuat untuk simbolis buta kala, seperti raksasa, leak, celuluk dengan tampangnya yang seram, mata melotot besar, dengan taring yang panjang. Tetapi kreativitas orang bali membuat tampang ogoh-ogoh dari tahun ke tahun semakin beragam dan makin bagus tentunya.

3.2 Saran

Belakangan ini mulai terlihat berbagai tema ogoh-ogoh yang mulai berubah akibat perkembangan zaman. Dulu ogoh-ogoh dibuat seram dan bernuansa mistik dengan bhuta kala sebagai symbol unsur kejahatan dan keburukan. Namun beberapa tahun belakangan ini bentuk ogoh-ogoh dibuat sebagai bahan hiburan semata tanpa unsur filosofi. Diharapkan kesadaran masyarakat khususnya para generasi muda untuk mengetahui makna ogoh-ogoh dan posisinya dalam agama Hindu serta dapat mempertahankan budaya Bali. Jangan sampai ogoh-ogoh yang merupakan salah satu budaya Bali tergilas kebudayaan dunia barat.

DAFTAR PUSTAKA

Sejarah dan Perayaan Ogoh – Ogoh di Bali
http://mangogix.blogspot.com/2012/02/parade-ogoh-ogohpangerupukan-nyepi-caka.html
http://ladang-hijau.blogspot.com/2011/02/ogoh-ogoh-parade-para-raksasa.html
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=26&id=63535
http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/3/18/kel3.html

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : I Wayan Diana Putra
Umur : 28 Tahun
Alamat : Banjar Padangtegal Kaja
Pekerjaan : PNS

2. Nama : I Kadek Dwi Heryana
Umur : 23 tahun
Alamat : Banjar Padangtegal kaja
Pekerjaan : Mahasiswa
Jabatan : Ketua Karang Taruna