Ironi Ujian Nasional
Berita terhangat di sekitar saya minggu ini adalah antusiasme para sepupu yang berhasil lulus ujian nasional di tingkat SD dan SMP. Perbincangan berlanjut mengenai nilai ujian akhir nasional yang paling kecil yang mereka dapatkan pada mata ujian Bahasa Indonesia. Fenomena ini mengingatkan saya pada nilai ujian semasa mengenyam pendidikan dasar dan menengah dulu. Nilai yang saya raih tidak begitu bagus, tetapi cukup memuaskan (cukup untuk sekedar lulus). Saat SD nilai ujian nasional saya hanya enam koma, lalu naik menjadi tujuh koma saat SLTP dan untungnya di bangku SMA naik lagi menjadi delapan koma berkat mengikuti ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja.
Fenomena lain yang banyak dibahas media cetak, elektronik dan media daring adalah angka ketidaklulusan siswa banyak disumbangkan oleh mata ujian yang sama, Bahasa Indonesia. Kalau melirik fenomena lain di kalangan siswa sekarang, yaitu merebaknya penyakit penggunaan bahasa alay, saya pribadi menilai ini fenomena yang wajar, bahkan sangat menggembirakan. Mengapa? Setidaknya, para remaja alay tersebut mungkin bisa mempertimbangkan untuk belajar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk membantu diri mereka sendiri menghadapi ujian Bahasa Indonesia. Lalu, ada selentingan dari sepupu saya,
“Walaupun alay, ada kok yang tetap lulus UN Bahasa Indonesia”
Wah, kalau itu sih, sudah rahasia umum. Tidak perlu saya jelaskan :p
Kesimpulan saya kali ini, bertobatlah wahai kalian remaja alay, kembalilah ke jalan yang benar (EYD), semoga kalian diberikan bekal yang cukup untuk menempuh UN tahun depan. Bagi yang masih bersikeras alay, bersiaplah mulai dari sekarang.