Kulkul Sebagai Simbol Budaya Masyarakat Bali

Oleh: I Gde Made Indra Sadguna

Pendahuluan

Kulkul atau kentongan (Jawa) merupakan instrumen musik yang bisa dibuat dari kayu ataupun bambu. Secara spesifik, kayu yang dapat dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah: kayu ketewel (nangka), kayu teges (jati), kayu camplung, dan kayu intaran gading (batang pohon pandan yang sudah tua). Untuk mendapatkan kulkul yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula, karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula. Kayu terbaik untuk dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah kayu nangka (artocarpus heterophyllus). Hal ini disebabkan karena serat kayu nangka lebih padat dibandingkan dengan kayu yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan suara yang lebih padat dan bagus.

Kulkul berbentuk bulat memanjang, di mana pada bagian tengah tubuhnya terdapat rongga suara yang berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dikelompokkan ke dalam golongan idiophone sebab sumber suaranya berasal dari getaran tubuhnya sendiri. Ukuranya bervariatif, ada yang panjangnya hanya ½ meter dengan lebar lingkaran 10 cm, tapi ada juga yang lebih dari 1 meter dengan lebar lingkaran 100 cm. Biasanya kulkul yang berukuran besar ditempatkan (digantung) di pos-pos siskamling, banjar-banjar atau pura-pura.

Sesungguhnya budaya kentongan terdapat di seluruh daerah  di Nusantara sebagai sarana komunikasi. Sebut saja di Pulau Jawa misalnya, instrumen kentongan biasa difungsikan untuk sarana siskamling atau dijadikan sarana membangunkan orang puasa ketika bulan Ramadhan. Namun hal ini kiranya tidak terjadi di Bali. Keberadaan kulkul di Pulau Dewata secara umum diposisikan sesuai kegunaannya di dalam kehidupan masyarakat.

Lalu pertanyaannya, berapakah jenis kulkul yang terdapat di Bali? Mengapa keberadaan instrumen kulkul begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali ? Apakah karena faktor sejarah, politik, sosial, agama atau faktor lain, sehingga kalau di daerah lain kulkul dipandang sebagai alat musik biasa, tapi di Bali kulkul sangat bermakna? Penjelasan mengenai permasalahan tersebut akan dibahas penulis sebagai berikut.

Kulkul Sakral

Di Bali terdapat tiga jenis kulkul. Pertama, ada kulkul sakral yang keberadaannya selalu ditempatkan di pura-pura dan disakralkan oleh masyarakat. Sebagai instrumen perkusi, keberadaan kulkul sakral tersebut tidak bisa dilepaskan dari odalan, karena selalu difungsikan sebagai sarana upacara. Dalam tata upacara di Bali disebutkan bahwa yang harus ada dalam suatu odalan adalah Panca Gita. Panca berarti lima sedangkan gita berarti suara atau nyanyian. Pembagian Panca Gita tersebut adalah suara kulkul, suara genta dari orang suci atau pendeta, suara kidung atau nyanyian berisi pujian kepada Tuhan, suara sunari[1] dan suara gamelan. Jadi berdasarkan uraian tersebut, kehadiran kulkul sifatnya wajib dan harus ada pada saat upacara berlangsung.

Dalam suatu pura yang sifatnya milik masyarakat umum bukan individual, kulkul akan ditempatkan pada suatu bangunan tertentu yang dinamakan bale kulkul. Bangunan ini biasanya akan berdiri pada salah satu sudut dari pura tersebut. Bale ini akan dibuat dengan tinggi sekitar 5 meter di mana kulkul akan digantung pada tempat yang paling atas. Fungsinya ditempatkan di atas adalah jika pada suatu odalan[3] berlangsung, seluruh warga masyarakat baik yang dekat maupun jauh bisa mengetahui bahwa upacara sedang berlangsung. Pada bale kulkul di pura, biasanya akan digantungkan dua atau beberapa buah kulkul yang berukuran besar. Ketika upacara berlangsung, kulkul tersebut akan ditabuh secara bergiliran dengan tempo yang pelan. Suara kulkul yang pelan itu juga membangkitkan suasana yang lebih sakral dan khusyuk dalam melaksanakan persembahyangan.

Kulkul Kubu

Selain kulkul sakral, di Bali juga dikenal instrumen musik yang disebut dengan kulkul kubu. Yaitu, alat musik perkusi yang biasa dibunyikan di area persawahan untuk mengusir hama atau burung-burung yang acap kali menggangu para petani. Biasanya terbuat dari bambu dan berbentuk kecil agar bisa dengan mudah dibawa oleh petani ke mana-mana.

Kulkul kubu ini juga memiliki makna simbolik karena sering diidentikkan dengan orang yang banyak omong tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa. Di Bali ada sebuah analogi yang kira-kira berbunyi sebagai berikut “yen memunyi de ngawag-ngawag, pang sing cara munyin kulkul kubu”. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, berarti: “berhati-hatilah kalau berbicara, jangan sembarangan biar tidak seperti kulkul kubu”. Jadi, persis seperti kulkul kubu yang dipasang di area persawahan, bunyinya sangat banyak dan ribut akan tetapi tidak akan pernah dimaknai atau dipedulikan oleh orang lain. Inilah makna dan fungsi kulkul kubu bagi masyarakat Bali.

Kulkul Banjar

Namun demikian, selain kulkul sakral dan kulkul kubu tersebut, yang menarik dicermati adalah fenomena kulkul banjar[4]. Kulkul jenis ini biasanya dipasang (digantung) di bale banjar[5] untuk dijadikan sarana mengumpulkan massa. Kulkul banjar, menurut asumsi penulis adalah kulkul yang memiliki peran dan fungsi signifikan karena secara umum oleh masyarakat Bali dijadikan sarana pemersatu kehidupan. Berkat peran kulkul banjar inilah, masyarakat Bali memiliki spirit kebersamaan yang tinggi, karena setiap mendengar bunyi kulkul ditabuh, warga akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melakukan aktivitas gotong-royong. Dengan kekuatan bunyinya inilah, kulkul banjar mampu menciptakan aturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Tak terkecuali masyarakat yang memiliki kasta tinggi, seperti Brahmana atau Kesatria. Semuanya dipastikan akan patuh setiap kali mendengar kulkul banjar ditabuh, karena bunyi yang terdapat pada alat musik tersebut adalah mengandung makna “perintah”.

Kenyataan ini tentunya tidak lepas dari suara kulkul banjar yang bunyinya sangat spesifik dengan tabuhan yang khas pula. Misalnya, pola suara untuk menandakan adanya warga yang punya hajat adalah disimbolkan dengan pola pukulan dari yang dimulai dengan tempo lambat dan kemudian secara perlahan dipercepat tapi hanya pada tempo medium, tidak sampai tempo kencang. Ketika mendengar tabuhan kulkul seperti ini maka setiap masyarakat pasti segera bergegas kumpul di banjar untuk kemudian melakukan gotong-royong di rumah warga yang punya hajatan. Biasanya warga -laki-laki khususnya- akan membawa sebuah pisau agak besar yang dinamakan blakas untuk proses ngelawar[6].

Pola suara untuk menandakan adanya warga yang meninggal dunia (kematian) adalah disimbolkan dengan pola pukulan yang pelan dan biasanya mempunyai hitungan tertentu, misal dipukul sebanyak sembilan atau tujuh kali secara berulang. Demikian juga ketika masyarakat mendengar tabuhan ini, maka warga akan berduyun-duyun datang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Warga akan membantu untuk membuat sesajen upakara dan bade atau wadah untuk orang yang meninggal.

Kemudian yang tidak kalah menarik, adalah bunyi kulkul yang bermakna bulus atau menandakan adanya marabahaya, misalnya: banjir, kebakaran, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Bunyi kulkul bulus yang disimbolkan dengan pola tabuhan cepat dan kencang ini, selain mencitrakan daya gotong royong masyarakat Bali secara umum, ternyata juga menggambarkan spirit primordialisme[7] lokal, yang lebih membela kepentingan kelompok atau golongan. Adapun fenomena yang terjadi di Bali bahwa keberadaan kulkul bulus selain untuk menandai adanya marabahaya: banjir, kebakaran, perampokan, pembunuhan dan lain-lain demi kepentingan orang banyak, pada sisi lain juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan masyarakat banjar guna melakukan keributan masal dengan masyarakat banjar yang lain.

Hal tersebut kerap terjadi, di mana antara satu banjar dengan banjar lain terlibat perkelahian masif, lantaran rasa solidaritas kolektif masyarakat Bali yang tinggi. Oleh karena itu, ketika kulkul bulus dibunyikan, maka segera masyarakat akan berkumpul dengan membawa senjata seperti pedang, keris, maupun pisau. Tetapi tidak untuk bergotong royong, melainkan untuk berperang dengan banjar yang lain. Di Bali situasi yang demikian kerap terjadi, karena setiap masyarakat yang hidup dalam satu banjar selalu tergerak ikut membela kepentingan banjarnya akibat bunyi kulkul bulus. Bahwa oleh sebagian masyarakat tidak sekedar dimaknai sebagai “perintah” bergotong royong, tetapi juga “perintah” untuk berperang melawan banjar yang lain. Sekalipun hal ini banyak yang menyayangkan, namun pada kenyataannya inilah fenomena instrumen kulkul di Bali yang memiliki banyak fungsi.

Penutup

Seluruh fenomena sosial budaya di atas tersebut sesungguhnya tidak lepas dari karakter masyarakat Bali yang memang dikenal patuh terhadap aturan tradisinya. Sehingga, selain memiliki kekayaan seni budaya yang eksotik, original, Bali secara umum memiliki tradisi sosial yang sangat kuat yakni budaya gotong royong.

Budaya gotong-royong bagi masyarakat Bali, tidak hanya dimaknai sekedar kegiatan saling bantu-membantu antar-sesama, lebih dari itu juga dimaknai sebagai kegiatan yang sangat sakral. Karena keberadaan gotong-royong bagi masyarakat Bali adalah terkait dengan ajaran keyakinan (agama) Hindu. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam membangun hubungan sosial, masyarakat Bali selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Barangkali, hal inilah yang melatarbelakangi mengapa masyarakat Bali selalu patuh terhadap simbol-simbol budayanya – seperti halnya instrumen musik kulkul – karena semua adalah bagian dari ajaran Tri Hita Karana. Yaitu, suatu ajaran yang mengharuskan setiap masyarakat Bali selalu menghargai dan menghormati alam, sesama manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan kulkul di Bali telah menjadikannya sebuah budaya dengan makna simbolik tersendiri jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Meskipun setiap daerah memiliki budaya kulkul atau kentongan dengan fungsi sebagai sarana komunikasi, akan tetapi konteks sosial yang ada pada masyarakat Bali yang membedakannya dengan daerah lain. Walau zaman telah mengalami perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, dan layanan pesan singkat, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis dana tidak akan pernah bisa tergantikan. Hal tersebut bisa dilihat di setiap wilayah banjar yang masih memiliki kulkul sebagai sarana upacara dan komunikasi. Fenomena seperti ini terjadi karena masyarakat Bali menganggap bahwa kulkul memiliki makna simbolik tersendiri dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan.

Menurut ST. Sunardi, Direktur Pascasarjana Universitas Sanata Darma ini – sebagaimana dipaparkan dalam buku Semiotika Negativa – bahwa segala sesuatu yang mengandung simbol selalu menuntun pada hubungan paradigmatik yang memicu kesadaran orang terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, kemudian dihubungkan dengan tanda-tanda yang tidak kelihatan.[8] Artinya, ketika masyarakat mendengar bunyi kulkul maka dalam imajinasinya akan dihadapkan pada suatu sistem nilai, yakni spirit kebersamaan, persatuan, etnisitas, lokalitas, identitas dan lain-lain.

Apa yang disampaikan ST Sunardi ini pada dasarnya bersesuaian dengan simbol kulkul bagi masyarakat Bali. Kulkul yang sebenarnya hanyalah alat musik, tapi pada satu sisi dipandang sebagai instrumen yang sangat sakral karena keberadaannya ditempatkan sebagai bagian pelengkap sarana upacara. Oleh karena itu, sesuai fungsinya, maka yang bisa membunyikan kulkul sakral di pura-pura hanyalah pendeta atau orang yang diberi kewenangan oleh adat.

Demikian juga dengan kulkul kubu yang diibaratkan orang yang kerjanya hanya berbicara, tetapi tidak ada yang mempedulikan. Adalah suatu representasi dari wujud kulkul kubu yang biasanya berjumlah banyak dan hanya berbunyi kalau ia dipukul (dibunyikan) untuk mengusir burung-burung dan tidak bersifat sakral. Tempatnya pun hanya dipersawahan, notabene merupakan ruang yang mencitrakan tingkat sosial paling bawah. Bila dibandingkan dengan pura dan banjar, sawah secara image adalah mencitrakan tempat yang kotor, becek, lahan para petani mendulang rejeki. Barangkali inilah jawaban mengapa kulkul kubu diidentikan sebagai orang yang banyak omong. Bisa jadi dilandasi bentuk tidak sebagus dan sebesar kulkul yang biasa ditempatkan di pura atau di banjarbanjar.

Hal yang cukup menarik dari aspek semiotika adalah keberadaan kulkul banjar. Bisa jadi keberadaannya yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, maka kulkul ini memiliki peran cukup signifikan. Secara fungsional kulkul banjar disimbolkan sebagai sarana menciptakan kebersamaan dan persatuan, karena setiap masyarakat akan selalu mematuhi simbol-simbol bunyi yang disuarakan dari kulkul tersebut. Bisa jadi kenyataan ini tidak lepas dari makna bunyi yang terkandung dalam kulkul, secara tidak langsung merupakan perjanjian tidak tertulis antara kulkul dengan masyarakat. Sehingga setiap mendengar suara kulkul banjar ditabuh, maka tanpa dikomando masyarakat sudah mengetahui apa makna bunyi tersebut. Apakah ajakan untuk bergotong royong membantu tetangga yang punya hajat, ataukah ajakan untuk menghadiri upacara kematian maupun ajakan untuk bersama-sama mempertahankan keberadaan banjar dari ancaman musuh, semuanya tidak lepas dari fungsi kulkul yang tidak sekedar alat musik perkusi, melainkan suatu simbol budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada dasarnya memiliki kepatuhan, serta taat pada aturan tradisinya. Inilah inti dari simbol budaya kulkul di Bali, yang hingga kini masih dipatuhi sebagai sarana simbolik dalam mengatur harmoni kehidupan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. Dinamika Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra, 1996.

Bing, Agus. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. 20 Juni 2010.

Cobley, Paul, dan Litza Jansz. Mengenal Semiotika For Beginners. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

Zoest, Aart van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 2003.

————————–, dan Panuti Sudjiman. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Sumber Internet

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1609&Itemid=29

http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/kulkul01.jpg

http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul%20bali&imgurl=http://www.balifotografer.com


[1] Sunari merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari batang bambu yang panjang, di mana pada bagian atas akan diberikan sebuah lubang sebagai tempat keluar masuknya angin yang nantinya akan menghasilkan suara yang khas.

[2] Diunduh dari http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul

[3] Odalan adalah suatu istilah dalam masyarakat Bali untuk menyebutkan suatu upacara perayaan di tempat suci. Biasanya pelaksanaan odalan bisa didasarkan atas dua hal, yaitu berdasarkan sistem kalender pawukon yang jatuhnya tiap 210 hari sekali, atau berdasarkan sistem sasih atau bulan yang jatuhnya tiap setahun sekali.

[4] Banjar merupakan perkumpulan warga dalam suatu wilayah tertentu

[5] Bale banjar merupakan sebuah balai yang dipergunakan sebagai berkumpulnya dan melaksanakan kegiatan bermasyarakat

[6]Ngelawar adalah suatu proses membuat sebuah makanan tradisional Bali yakni Lawar. Makanan ini terbuat dari potongan sayur seperti kacang panjang, daun ketela, sayur nangka yang dicampur dengan potongan daging babi, ayam, bebek, atau yang lainnya. Biasanya masyarakat Bali akan membuat lawar sebagai sebuah hidangan yang disuguhkan pada hajatan-hajatan adat.

[7] Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

[8] Dalam Agus Bing. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. Tanggal 20 Juni 2010.

Penasbihan Topeng Cirebon

Oleh: I Gde Made Indra Sadguna

Pendahuluan

Cirebon merupakan salah satu kota yang terletak di provinsi Jawa Barat. Daerah ini mempunyai jenis kesenian yang unik serta memiliki nilai filsafat yang tinggi. Jenis kesenian yang dimaksud adalah Tari Topeng Cirebon. Kemunculan tarian ini tidak dapat dipastikan secara pasti karena belum ditemukannya bukti-bukti tertulis mengenai lahirnya Topeng Cirebon. Namun berdasarkan Kitab Negarakertagama dan Pararaton, tarian ini telah ada pada zaman Majapahit. Konon dikisahkan bahwa Raja Hayam Wuruk menarikan topeng yang terbuat dari emas di hadapan kaum wanita saja. Melihat fakta tersebut, diperkirakan tarian ini telah ada pada zaman Majapahit sekitar tahun 1300 sampai 1400 masehi.[1]

Setelah runtuhnya Majapahit (1525), tarian ini dihidupkan lagi oleh Sultan Demak. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Dengan demikian Raden Patah adalah raja yang berkuasa atas tanah Jawa sedangkan raja Majapahit hanya sebagai penonton.[2] Kerajaan Demak kemudian memperluas teritorinya hingga ke wilayah Jawa Barat sampai Keraton Cirebon. Salah satu tradisi dalam tari Topeng Cirebon adalah masih dipergunakannya tembang Jawa, walaupun tidak sesuai dengan lagu macapat akan tetapi bahasa yang dipergunakan masih mempertahankan Bahasa Jawa. Ini membuktikan bahwa pengaruh Majapahit masih dipertahankan dalam Topeng Cirebon.

Topeng Cirebon dipentaskan ke dalam lima tahapan atau tarian. Yang pertama atau inti dari pertunjukan tersebut disebut Tari Panji. Tarian ini melambangkan sumber kekuatan utama atau yang dikenal dengan Sang Hyang Tunggal. Konsep pada tarian ini adalah bahwa segala sesuatu selalu mengandung dua kekuatan yang berlawanan akan tetapi saling melengkapi untuk menciptakan kesimbangan. Tarian-tarian berikutnya secara berurut yaitu, Tari Pamindo atau Samba, Tari Rumiang, Tari Tumenggung, dan Tari Klana. Tarian tersebut menggambarkan sifat-sifat yang selain berlainan seperti baik-buruk, laki-laki dan perempuan. Selain dalam pementasannya mempergunakan topeng yang di canggem[3], keunikan lainnya adalah bahwa pertunjukan ini hanya dipentaskan oleh satu orang saja. Terlebih lagi bahwa dalam satu desa hanya ada satu penari topeng. Jika sang penari merasa bahwa umur dan pengabdiannya telah cukup pada kesenian ini, maka mandat akan diteruskan biasanya kepada anaknya. Proses penasbihan atau penerusan mandat akan melalui dua prosesi yakni proses Bebarangan dan Buka Panggung.

Proses Bebarangan

Sebelum proses penasbihan dilaksanakan, maka terlebih dahulu ahli waris diwajibkan melakukan proses bebarangan. Pada proses ini, penari akan melakukan pertunjukan dari satu tempat ke tempat yang lain (ngamen). Penari akan diikuti oleh sejumlah penabuh sebagai pengiring musiknya. Penari akan berhenti jika ada seseorang yang nanggap. Biasanya jika ada orang yang nanggap akan ada kompensasi berupa sejumlah uang. Menariknya, pada waktu pementasan akan ada beberapa orang yang melemparkan uang ke dalam area pementasan dan akan diambil oleh salah seorang anggota grup topeng tersebut. Uang tersebut kemudian akan dikumpulkan dan akan diserahkan lagi kepada orangtuanya. Bagi sebagain warga, proses ini bisa dipercaya sebagai sebuah proses ruwatan yang bertujuan untuk menyucikan orang, rumah, desa, maupun lingkungan.[4] Hal tersebut juga dapat dilihat dari sesajen yang dipergunakan masih mempertahankan adat dan budaya kejawen.

Tarian ini diiringi oleh seperangkat alat musik yang terdiri dari gendang, saron, kecrek, gong, kempul, dan kenong. Saron akan menyajikan melodi dari gending tersebut, sedangkan instrumen seperti kecrek, gong, kempul dan kenong merupakan instrumen kolotomik. Gendang memiliki peranan untuk mengatur dinamika dan tempo serta memberikan aksen-aksen berdasarkan gerak tari. Tiap jenis tarian memiliki struktur koreografi yang berbeda dengan tempo yang berbeda pula. Tempo gending yang dipergunakan antara lain tempo lambat (dodoan), sedang (unggah tengah), cepat (deder).[5]

Proses Buka Panggung

Proses ini merupakan inti dari upacara penyerahan mandat dari orangtua kepada anaknya. Buka panggung bukanlah suatu proses pemakzulan, melainkan kesadaran secara mendalam dari orangtua (pewaris) untuk mewariskan Topeng Cirebon agar dilanjutkan oleh anaknya. Buka panggung akan diawali dengan proses pembacaan doa dan menyanyikan tembang walaupun tidak sesuai dengan tata-aturan tembang Jawa, akan tetapi bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Jawa. Setelah itu, orangtua akan menyerahkan mandatnya kepada anaknya yang disimbolkan dengan penyerahan hiasan kepala.

Selanjutnya kedua orang tersebut (orangtua dan anak), akan mulai menari. Terjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dan sangat jarang terjadi. Panggung seakan-akan dibelah menjadi dua. Pada satu sisi adalah sang orangtua dengan pengiring musiknya sendiri, dan pada sisi yang lain adalah sang anak yang juga membawa pengiringnya sendiri. Kedua penari akan bergerak mengikuti alunan musik, meskipun memainkan gending yang sama akan tetapi antara grup musik yang satu dengan yang lainnya akan memainkan gending dengan tempo dan permulaan gending yang berbeda. Pada suatu ketika, kedua penari akan bertukar tempat dan mereka akan mengikuti alunan dari musik terdekatnya. Adegan berikutnya adalah kupu tarung, dikisahkan pada bagian ini kedua penari akan saling berperang namun tetap dengan menampilkan tarian secara estetis. Bagian terakhir dari proses ini biasanya akan terjadi proses kesurupan dari penari. Secara tidak langsung penonton bisa menilai kemampuan dari kedua penari tersebut dan menilai apakah sang anak sudah mampu untuk mewarisi talenta orangtuanya.

Jika disimak secara musikal, pada bagian Buka panggung sama sekali tidak terdengar adanya suatu harmonisasi. Kesulitan dalam menemukan keindahan musikal lebih banyak disebabkan karena kedua kelompok memainkan musik yang bersamaan akan tetapi dengan melodi dan tempo yang berbeda sehingga roso dari gending tersebut tidak akan bisa dirasakan dengan baik. Selain itu, musik memiliki peranan dalam proses membuat sesorang kerasukan. Seperti yang dapat dijumpai pada beberapa seni pertunjukan khususnya di Jawa dan Bali, umumnya musik-musik yang membuat orang kesurupan mempunyai beberapa faktor kemiripan. Di antaranya adalah memiliki tempo yang relatif cepat, bersifat ajeg, dan diulang secara terus menerus. Jadi pada proses Buka panggung tersebut unsur musikal sesungguhnya tidak dijadikan perhatian utama melainkan lebih menonjolkan konteks dari upacara itu sendiri.


[1] Di unduh dari http://cerbonan.wordpress.com/2007/07/27/filosofi-topeng-cirebon/

[2] Ibid.

[3] Canggem : mengigit bagian kulit atau kayu yang menempel pada bagian belakang mulut topeng.

[4] Di unduh dari Blog Caruban Nagari: Topeng Cirebon dan Kraton Cirebon

[5] Juju Masunah. Sawitri: Seniman Topeng Cirebon di Tengah Perubahan Sosial Budaya. Tesis. Yogyakarta: UGM. 1997, p.32.

Tari Pakarena

Pendahuluan

Keberadaan suatu jenis kesenian di Indonesia nampaknya tidak bisa dijauhkan dari cerita-cerita mitologi. Hal tersebut juga dapat dilihat pada sebuah kesenian dari daerah Sulawesi Selatan yakni tari Pakarena. Awal kemunculannya tidak dapat diperkirakan dengan pasti sebab hanya merupakan cerita lisan secara turun-temurun. Konon diceritakan bahwa tari Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.[1] Cerita lain menyebutkan bahwa tari Pakarena dihubungkan dengan legenda Tumanurung ri Tamalate sebagai Somba (raja) pertama kerajaan Gowa. Dikisahkan bahwa Pakarena pertama kali muncul bersamaan dengan Putri Tumanurung ri Tamalate. Menurut kisah, Pakarena merupakan pengiring dan pelengkap kebesaran Tumanurung ri Tamalate.[2]

Sebelum menjadi bentuk tari Pakarena yang sekarang, dahulu disebut dengan nama sere jaga yang berfungsi sebagai bagian upacara ritual sebelum menanam padi dan usai menanam padi. Para penari memegang seikat padi pilihan (padi bibit yang telah dipilih melalui upacara) yang dianggap dewi padi.[3] Kemudian tari sere jaga berkembang menjadi bagian upacara ritual yang dilakukan semalam suntuk. Upacara tersebut antara lain: ammata-mata jene, ammata-mata benteng, dan lain-lain. Taripun mengalami perkembangan dalam bentuk penyajian dan piranti. Padi yang dipegang sekarang diganti dengan kipas.[4]

Pertunjukan Tari Pakarena

Secara garis besar pelaku pertunjukan tari Pakarena dapat dibagi menjadi dua yakni penari dengan pemusik. Penari memperagakan gerakan yang sangat lembut dan halus yang dianggap sebagai cerminan wanita Sulawesi Selatan. Tarian ini dibagi ke dalam 12 babak, akan tetapi sangat sulit untuk mengidentifikasi pembabakan tersebut karena gerakannya tetap lembut dan monoton. Adapun beberapa gerakan yang menjadi penanda dalam tarian tersebut seperti gerakan pada posisi duduk adalah sebagai pertanda awal dan akhir dari tarian tersebut, dan ada gerakan berputar mengikuti arah jarum jam yang diibaratkan seperti siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi.[5]

Tiap jenis tari Pakarena mempunyai pola iringan yang harus diketahui oleh penari dan pemusik. Penyusunan iringan ditentukan secara kreatif oleh seorang sutradara yang disebut Anrong Guru. Dalam hal gerak, penari berpatokan pada penari terdepan sebelah kanan Anrong Guru yang disebut Pauluang. Selain itu, judul dan jenis tari Pakarena sangat ditentukan oleh nyanyian dalam tari tersebut. Nyanyian tersebut disebut Lelle dan Dondo. Misalnya Lelle dan Dondo Samboritta hanya akan dibawakan pada tari Pakarena Samboritta. Selain itu ada juga Kelong atau nyanyian yang disajikan berdasarkan pilihan anrong guru.[6]

Jika melihat aksi dari pemusik tari Pakarena maka akan terlihat suatu sajian yang sangat kontradiktif dengan tari. Para pemusik akan bermain dengan sangat kencang dan keras. Hal tersebut sangat nampak pada pemain gendang yang menghentakkan alat musik membranophone dengan sangat energik dan bersemangat secara sepintas terlihat tidak ada kaitannya dengan tarian. Ini merupakan cerminan dari kaum pria masyarakat Sulawesi Selatan yang keras dan tegas. Pemain gendang adalah pemimpin dari kelompok musik ini karena ia yang menetukan irama dan tempo dari jalannya suatu lagu. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam tabuhan Gendang. Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gendang dengan menggunakan stik atau bambu yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan. Selain instrumen gendang, adapun beberapa instrumen lainnya pada kelompok musik ini adalah gong, katto-katto, dan puik-puik. Khusus untuk pemain puik-puik (sejenis alat musik tiup menyerupai preret), harus memiliki keahlian meniup secara terus menerus (circular breathing) atau disebut juga dengan a’mai lalang.[7]


[1] Diunduh dari http://southcelebes.wordpress.com/2008/08/11/profil-tari-pakarena-makassar/#comment-368

[2] Halilintar Lathief. “Pakarena : Sebuah Bentuk Tari Tradisional Makassar”. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. 1996, p. 71

[3] Loc. Cit. p. 154

[4] Loc. Cit. p. 155.

[5] Diunduh dari http://southcelebes.wordpress.com/2008/08/11/profil-tari-pakarena-makassar/#comment-368

[6] Halilintar Lathief. Op.Cit. p.328

[7] Loc.Cit. p. 331

Hello world!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!

Review Artikel “Kesenian Angguk dari Desa Garongan”

Review Artikel

Judul Artikel : “Kesenian Angguk dari Desa Garongan”, dalam buku Ketika Orang Jawa Nyeni

Penulis               : Soetaryo

Kesenian Angguk merupakan salah satu jenis kesenian dari pantai selatan Yogyakarta khususnya di Desa Garongan. Jenis kesenian ini memiliki suatu kekhasan yang jarang dimiliki oleh kesenian lainnya yaitu pada klimaksnya terjadi ndadi (trance). Menurut masyarakat setempat, terjadinya ndadi disebabkan oleh adanya kekuatan sakti (magis) dari jimat yang diperoleh dari seorang juru kunci pasarean (kompleks pemakaman) dan juga dari roh-roh yang diperbantukan untuk membuat pemain Angguk trance.  Secara umum, jenis kesenian ini berfungsi sebagai hiburan warga, akan tetapi di dalamnya juga sarat akan nilai-nilai moral dan pendidikan. Hal tersebut bisa terlihat dari pantun yang dibawakan pada saat pementasan. Pada jenis kesenian Angguk ini, terlihat adanya akulturasi dari budaya Hindhu dengan Islam. Budaya Hindhu tercermin dari upacara dengan mempergunakan sesaji dengan mempergunakan bunga dan membakar kemenyan untuk peristiwa manitis. Sedangkan budaya Islam terlihat dari kitab yang dipergunakan yaitu kitab Tlodo yang bertuliskan Arab yang memuat kaidah-kaidah barzanji. Akulturasi budaya seperti ini merupakan sesuatau yang lazim yang terjadi dalam masyarakat. Koentjaraningrat juga menyetujui hal tersebut dan mengatakan bahwa tak pernah ada suatu masyarakat yang semua penduduknya menganut hanya satu macam bentuk religi saja. Pementasan Angguk biasanya dilakukan pada malam hari di arena pendopo sebuah rumah dan bersifat terbuka untuk umum.

Jenis kesenian ini dimainkan oleh 24 orang dimana semuanya adalah pria. Setengah dari kelompok tersebut adalah penari yang tidak saja menari dan berjoget, akan tetapi juga nembang. Sedangkan sisanya adalah penabuh yang juga bertugas mbawani (melagukan bowo yang diambil dari kitab Tlodo). Para pemain nembang dengan mempergunakan cengkok Jawa yang diambil dari kitab Tlodo bertuliskan Arab, sehingga dikenal juga dengan nama Arab-pegon. Salah seorang pemain secara khusus bertugas sebagai dalang atau Ro’is yang mengatur jalannya pertunjukan. Dalang juga yang mengawali pertunjukan dalam membawakan bowo.

Ada empat macam alat musik yang dipergunakan, yaitu jedor (bedug kecil), genjreng (sejenis trebang), kendang dan kecer. Di sini juga terlihat adanya akulturasi budaya, dimana budaya Hindhu diwakili oleh kendang dan kecer, sedangkan budaya Islam diwakili oleh jedor dan genjreng. Diantara keempat jenis instrumen tersebut, kendang dan jedor dianggap paling keramat karena dianggap sebagai rumah bagi roh-roh yang dimiliki oleh para pemain Angguk. Selain itu, kendang dan jedor juga berfungsi untuk mengembalikan kesadaran orang yang mengalami trance dengan cara menggiring orang yang mengalami trance hingga dia bersujud di hadapan kendang dan jedor sampai bisa sadar kembali.

Kostum yang dipergunakan oleh pemain Angguk memiliki perbedaan antara penabuh dengan penari. Jika penabuh mempergunakan pakaian layaknya santri dengan menggunakan baju lengan panjang, sarung, jas bukak, dan kopiah, maka untuk pakaian penari mempergunakan pakaian menyerupai prajurit kerajaan yang telah ditata secara estetis. Para penari memakai topi-pet dengan jambul pada bagian depan, kacamata hitam, kostum lengan panjang warna hitam, rompi (gombyok), celana hitam, dan selendang.

Pertunjukan Angguk memiliki 11 macam tarian yang dibagi ke dalam dua kategori yaitu Tari Ambyakan dan Tari Pasangan. Kategori Tari Ambyakan terdiri dari Tari Bakti, Tari Srokal, dan Tari Tari Penutup, dimana ciri khususnya adalah seluruh penari berjoget bersama dalam peran yang sama pula. Jenis tarian yang termasuk dalam kategori Tari Pasangan adalah Tari Mandaroka, Tari Kamudaan, Tari Cikalo-ado, Tari Layung-dilayung, Tari Intik-intik, Tari Saya-cari, Tari Jaln-jalan dan Tari Robisari. Ciri dari tarian pada kategori ini adalah adanya sepasang penari sebagai pemeran utamanya. Jika pada awalnya seluruh penari ikut berjoget, akan tetapi nantinya tinggal sepasang penari yang menari sesuai dengan peranannya. Yang mengawali pertunjukan Angguk adalah Tari Bakti. Tari ini adalah tarian pembuka yang berfungsi untuk memberikan hormat kepada penonton dengan cara hormat menyerupai hormat cara militer yaitu, mengangkat tangannya sejajar dengan kepala.

Pada jenis kesenian ini, tidak ada lakon atau cerita yang dipergunakan akan tetapi mempergunakan pantun yang di dalamnya juga melukiskan kehidupan manusia. Pantun tersebut berisikan pesan moral, pergaulan sosial, dan budi pekerti. Tujuannya adalah untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan. Selain pantun moral, juga berisikan pantun-pantun mengenai kisah-kisah percintaan. Adapun beberapa jenis pantun yang dipergunakan adalah pantun nasehat, pantun muda-mudi, dan juga pantun sakral.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, puncak atau klimaks dari kesenian Angguk adalah adanya ndadi (trance). Ndadi adalah istilah untuk menggambarkan seseorang yang telah kehilangan kesadaran dirinya dan dikuasai oleh alam kesadaran lain (yang dikenal dengan istilah rokh-suci). Jika orang tersebut mengalami ndadi, maka ia akan berubah berbeda sama sekali dengan perilaku pada saat normal. Ia akan mengikuti perilaku rokh-suci yang telah mengambil kesadarannya. Bagi anggota kesenian Angguk dari Garongan, tidak semua pemain bisa mengalami trance. Menurut mereka, kemampuan untuk ndadi tersebut didapatkan dari leluhur yang dimakamkan di daerah Bagelen, yaitu seorang ratu yang dikenal dengan nama Nyai Bagelen, yang mana ceritanya terdapat pada Serat Cemporet atau Kalasurya. Agar seorang pemain dikuasai oleh rokh-suci ada tiga tahap yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu tahap menyiapkan diri, tahap menerima rokh-suci, dan tahap memelihara hubungan dengan rokh-suci.

Pada tahap menyiapkan diri, pemain harus melakukan puasa untuk menyucikan dirinya dan juga mempersiapkan dirinya menjadi wadah rokh-suci. Adapun dua jenis puasa yang dilakukan adalah puasa mutih di hari kelahiran dan puasa pada hari-hari yang memiliki perhitungan hari dan pasaran 40. Semua ini berdasarkan wejangan-wejangan yang bersumber dari Nyai Bagelen. Seusai melakukan puasa maka akan dilanjutkan kepada ritual berikutnya yaitu mandi kembang. Jenis kembang yang dipergunakan adalah kembang yang diberi doa oleh juru kunci makam Bagelen. Selain itu, pemain tersebut juga diberikan sebuah benda oleh juru kunci yang dianggap sesuai dengan orang tersebut. Tiap orang akan mendapatkan benda yang berbeda-beda. Benda tersebut berfungsi sebagai cekalen, piyandel, atau pegangan dalam rangka melakukan trance. Tahap kedua adalah menerima rokh-suci, yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menyumber pada juru kunci makam Bagelen dan dengan mewarisi roh suci yang dimiliki seseorang. Terdapat persamaan dan perbedaan pada kedua cara tersebut. Persamaannya adalah yang bersangkutan telah melakukan puasa serta memlihara hubungan dengan rokh-suci dan menjauhi pantangan yang telah ditentukan. Sedangkan perbedaannya adalah untuk cara pertama sumbernya langsung dari juru kunci makam Bagelen, sedangkan cara kedua roh suci diperoleh dari orang yang telah bisa melakukan ndadi. Untuk pewarisan roh suci, terkadang bisa berhasil terkadang juga tidak. Hal tersebut semua ditentukan oleh roh sucinya apakah berkenan untuk memasuki wadah yang baru atau tidak. Terdapat dua macam roh suci yaitu laki-laki dan perempuan. Yang termasuk laki-laki adalah Umarmaya, Burung Wanoro, Raden Satrio sedangkan untuk perempuannya adalah Sekar Mawar dan Kuning-kuning. Tahapan terakhir merupakan cara untuk memelihara hubungan dengan roh suci. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu orang yang bersangkutan harus menjalankan kewajiban-kewajiban tertentu dan sanggup menjauhi pantangan yang telah ditentukan. Kewajiban tersebut berupa menjalankan puasa pada hari pulung (hari di mana yang bersangkutan menerima benda piyandel dari juru kunci) serta memberi suguhan kepada benda piyandel (dengan cara membakar kemenyan serta menyajikan bunga kantil, kenanga dan mawar). Menjauhi pantangan yang dimaksud adalah tidak boleh bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya. Jika hal tersebut dilanggar, maka ada kepercayaan orang tersebut akan mendapatkan bencana (kuwalat).

Orang yang akan mengalami ndadi pada awalnya akan merasa kesemutan di kaki hingga naik sampai ke puncak kepala. Jika sudah mencapai puncaknya, maka orang tersebut akan mulai kehilangan kesadaran dirinya dan tidak akan mampu mengontrol segala tingkah lakunya. Ia akan menari bebas, meloncat, memukul benda keras, memakan hal-hal yang aneh seperti pecahan kaca, jarum, lawe, telur yang masih utuh dan banyak hal lainnya. Ia juga akan mengikuti perilaku seperti roh suci yang telah merasukinya. Untuk menyadarkan orang trance hanya bisa dilakukan oleh seorang pawang roh suci yang biasanya dipegang oleh ketua rombongan Angguk. Untuk menyadarkan, seorang pawang harus mengetahui kegemaran setiap roh suci. Jika roh suci telah menyantap makanan kegemarannya, maka ia akan segera berlutut di hadapan instrumen jedor atau kendang. Pada saat berlutut, pawang akan memegang tengkuk orang yang mengalami trance hingga sadar kembali. Biasanya yang baru sadar dari trance akan lemas dan letih.

Keberadaan Gamelan Banjar di Kalimantan Selatan

Keberadaan Gamelan Banjar

di Kalimantan Selatan

Oleh: I Gde Made Indra Sadguna

Pendahuluan

Kekhasan jenis kesenian di nusantara tidak saja terletak di Pulau Jawa dan Bali, akan tetapi di luar kedua pulau tersebut juga tersimpan keunikan kesenian khususnya seni musik yang patut diperhatikan. Salah satunya adalah Gamelan Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan. Menurut Hastanto, gamelan ini digolongkan ke dalam klasifikasi perangkat gamelan instrumentalia. Jenis perangkat musik ini digolongkan dalam perangkat gamelan sebab didominasi oleh instrumen pukul yang sumber bunyinya terbuat dari logam dengan bentuk bilah maupun gong berpencon. Pada gamelan ini, lebih mementingkan sajian instrumentalia. Bila di dalam sajiannya terdapat unsur vokal, maka vokal itu diperlakukan seperti instrumen musik lainnya. [1]

Gamelan Banjar merupakan perangkat gamelan yang berkembang di kalangan Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Perangkat gamelan ini mempunyai suara yang khas, tidak menyerupai gamelan Jawa, Sunda, maupun Bali. Yang paling mendekati adalah Angklung Caruk Banyuwangi. Hastanto mengatakan bahwa sistem pelarasan nadanya adalah pentatonis yang mendekati slendro Bali (salonding)[2]. Akan tetapi dalam karawitan Bali, perangkat gamelan Salonding dikenal sebagai suatu perangkat gamelan yang memiliki pelarasan pelog tujuh nada dengan mempergunakan sistem saih (mempunyai kemiripan dengan sistem pathet). Dengan menyimak contoh lagu pada CD Musik Tradisi Nusantara Volume 2 no. 21, mungkin akan lebih tepat jika Gamelan Banjar dikatakan mempunyai kemiripan mood atau suasana dengan gamelan Salonding.

Perangkat Gamelan Banjar

Dalam perkembangannya, terdapat dua versi Gamelan Banjar yaitu, versi keraton dan versi rakyatan.[3] Gamelan Banjar versi keraton, perangkat instrumennya :

  1. babun
  2. gendang dua
  3. rebab
  4. gambang
  5. selentem
  6. ketuk
  7. dawu
  8. sarun 1
  9. sarun 2
  10. sarun 3
  11. seruling
  12. kanung
  13. kangsi
  14. gong besar
  15. gong kecil

Sedangkan Gamelan Banjar versi rakyatan, perangkat instrumennya :

  1. babun
  2. dawu
  3. sarun
  4. sarantam
  5. kanung
  6. kangsi
  7. gong besar
  8. gong kecil

Gamelan Banjar versi Rakyatan koleksi Museum Lambung Mangkurat

Berdasarkan pemaparan instrumen pada kedua versi Gamelan Banjar tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Gamelan Banjar versi keraton memiliki instrumen yang lebih banyak daripada Gamelan Banjar versi rakyatan. Ada delapan instrumen yang sama, dan pada versi keraton memiliki lima instrumen yang tidak dimiliki versi rakyatan yaitu pada instrumen gendang dua, rebab, gambang, ketuk, dan seruling.

Sejarah Gamelan Banjar

Gamelan Banjar keberadaannya sudah ada sejak zaman Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-14 yang dibawa oleh Pangeran Suryanta ke Kalimantan Selatan bersamaan dengan kesenian Wayang Kulit Banjar dan senjata keris sebagai hadiah Kerajaan Majapahit. Pada masa itu masyarakat Kalimantan Selatan dianjurkan untuk meniru budaya Jawa. Pasca runtuhnya Kerajaan Negara Daha (1526), ada beberapa pemuka adat yang mengajarkan seni gamelan dan seni lainnya kepada masyarakat yaitu :

  1. Datu Taruna sebagai penabuh gamelan
  2. Datu Taya sebagai dalang wayang kulit
  3. Datu Putih sebagai penari topeng

Masa Pangeran Hidayatulla, penabuh-penabuh gamelan disuruh belajar menabuh gamelan di keraton Solo. Hal tersebut yang menyebabkan adanya persamaan pada Gamelan Banjar dengan Gamelan Jawa baik dari segi instrumen maupun teknik permainannya.[4]

Fungsi Gamelan Banjar

Dalam perkembangannya, Gamelan Banjar dapat berfungsi sebagai sebuah perangkat gamelan yang berdiri sendiri (instrumentalia seperti yang dikatakan Hastanto) dan dapat juga berfungsi sebagai perangkat gamelan untuk mengiringi jenis kesenian pertunjukan lainnya. Jenis kesenian yang diiringi dengan Gamelan Banjar diantaranya adalah seni tari, kuda gipang, topeng Banjar, dan wayang Banjar baik itu wayang kulit maupun wayang gung (wayang orang).[5]

Pementasan seni pertunjukan yang diiringi oleh Gamelan Banjar kerap dipergunakan pada acara-acara seremonial dan sakral. Hal tersebut biasanya dapat dilihat pada jenis sesajen yang dipergunakan. Selain itu, dapat juga bersifat profan yang dipertunjukan untuk hajatan pada perkawinan maupun sebagai sebuah tontonan hiburan.


[1] Periksa Sri Hastanto, Musik Tradisi Nusantara: Musik-Musik yang Belum Banyak Dikenal. Deputi Bidang Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.

[2] Ibid.

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Gamelan_Banjar Kategori: Musik di Indonesia

[4] Ibid.

[5] http://wapedia.mobi/id/Budaya_Banjar

Sekilas Tentang Gambang Kromong

Sekilas Tentang Gambang Kromong

Oleh : I Gde Made Indra Sadguna

Pengantar

Gambang Kromong merupakan salah satu jenis perangkat musik yang berasal dari DKI Jakarta. Perangkat musik ini dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan.[1] Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon).[2] Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong.

Secara umum, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat, perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tempat peribadatan Cina). Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong.[3] Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoir lagunya. Hingga sekarang terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yakni lagu Pobin, lagu Dalem, dan lagu sayur.[4]

Lagu-lagu yang dibawakan oleh Gambang Kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu Pobin. Lagu-lagu Pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina Selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu Pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah Pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa Pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

Setelah lagu-lagu Pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu Dalem. Lagu-lagu Dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu Dalem yang ada, tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, dan Tanjung Burung. Setelah generasi lagu Dalem yang kini telah menjadi lagu klasik Gambang Kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu Dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing (menari). Beberapa contoh lagu sayur di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.

Laras Gambang Kromong

Sistem laras dari Gambang Kromong akan dianalisis dengan mempergunakan contoh repertoir lagu yang terdapat pada Volume 1 no. 3 pada buku Musik Tradisi Nusantara: Musik-Musik yang Belum Banyak Dikenal. Perangkat Gambang Kromong ini dimainkan oleh grup Gambang Kromong Harapan Jaya, dari Cibubur Jakarta di bawah pimpinan Mamit Repertoar.

Mendengarkan rekaman tersebut dapat didengarkan secara jelas bahwa Gambang Kromong mempergunakan lima nada (pentatonis) dan bukan tujuh nada (diatonis). Dalam permainannya juga terdengar adanya dua gembyangan. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan jumlah pencon pada instrumen Kromong yang berjumlah 10 buah. Jika dalam satu gembyangan terdapat lima nada, maka secara jelas instrumen Kromong memiliki dua gembyangan.

Lima nada pada Gambang Kromong semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa yaitu: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis. Sedangkan larasnya adalah slèndro yang khas Tionghoa yang disebut Slèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Slèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Slèndro Cina tadi.[5]


[1] Lihat Sri Hastanto, Musik Tradisi Nusantara: Musik-Musik yang Belum Banyak Dikenal. Deputi Bidang Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.

[2] http://www.wikipedia.com, di unduh pada hari Senin, 26 Oktober 2009 pukul 14.30

[3] Sri Hastanto, op.cit, p.46

[4] http://www.kampungbetawi.com/gerobog/sisikmelik/sisikmelik1.php, di unduh pada hari Senin, 26 Oktober 2009 pukul 14.30

[5] http://www.kampungbetawi.com/gerobog/sisikmelik/sisikmelik1.php, di unduh pada hari Senin, 26 Oktober 2009 pukul 14.30