Skip to content


Dilema Pariwisata Bali dan Seni Pertunjukan III

HanomanPerubahan seni pertunjukan dari sistem arena kedalam sistem panggung maupun televisi telah membawa dampak yang luas dalam kehidupan seni pertunjukan Bali. kemasan-kemasan seni pertunjukan dengan sistem panggung banyak bermunculan. Hal inipun berdampak pada dinamika penonton. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak.

Peneliti berpendapat bahwa seni pertunjukan tradisional Bali mengalami penurunan dari segi kualitas karena berkurangnya intensitas pelatihan, perenungan dan pendalaman. Taksu atau daya pikat yang terpancar dari para penari generasi sekarang tidak sekuat para penari generasi tua. Hal ini sedikit banyak disebabkan faktor-faktor yang serba instan, dan siap saji. Perlu kiranya di buatkan sebuah standar jelas tentang berbagai seni tradisional untuk sajian pariwisata yang berkualitas. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keajegan Bali itu sendiri.

Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) di Bali Sejalan dengan berkembangnya wacana Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) maka berkembang pula wacana pariwisata berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk memenuhi kebutuhan mereka (lihat WCED, Our Common Future 1987) mengandung tiga prinsip yaitu keberlajutan secara ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi (Pitana., 53-54). Pariwisata yang diyakini dapat mengakomodasi konsep-konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau bersinonim dengan Ekowisata; bukan pariwisata massal seperti sekarang ini. Konsepsi dasar dari PBM adalah pariwisata yang menitikberatkan pada pemeliharaan mutu dan kelanjutan sumberdaya alam dan budaya; pariwisata yang mengemban misi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan tetap menjaga keseimbangan antara sumber daya alam dan budaya dengan kepuasan wisatawan. Pariwisata di Bali seharusnya dicapai dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai dari perencanaan, pembangunan, pelaksanaan, pemeliharaan, keberlanjutan, penjaminan kualitas/mutu pariwisata, dan yang paling penting adalah mengevaluasi pariwisata itu sendiri.

Pariwisata yang berkembang selama ini di Bali memang kurang sekali melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Usaha-usaha yang mengarah pada pariwisata berbasis masyarakat masih minim. Sepengetahuan penulis hanya Yayasan Wisnu dengan program Jaringan Ekowisata Desa-nya bekerjasama dengan empat desa yaitu Tenganan, Nusa Ceningan, Pelaga dan Sibetan yang secara serius menggarap PBM. Walau usaha yang dirintis lima tahun belakangan diakui oleh Yayasan Wisnu belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang berarti karena para pelaku masih gamang akan tugas dan peran masing-masing; salah menafsirkan keinginan turis; alasan klise permasalahan SDM; dan kurang totalnya para pelaku didalam melaksanakan program. Kurang keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat sendiri terhadap ekowisata atau PBM, karena rumit, memerlukan proses panjang sehingga dianggap tidak menguntungkan dalam jangka pendek. Namun Yayasan Wisnu tetap bertekad untuk melanjutkan proses yang sudah dijalani (Ardika. p. 22).

Terkait dengan konsep PBM maka pemberdayaan seni pertunjukan atau budaya secara umum perlu dilakukan. Perlu ada kajian-kajian tentang sejauh dampak pariwisata terhadap seni pertunjukan. Perlu adanya dialog antara pemerintah melalui instansi terkait seperti dinas kebudayaan, LISTIBIYA, dinas pariwisata dengan para pelaku kesenian, para penyedia pertunjukan pariwisata, serta institusi atau insan-insan yang peduli terhadap kualitas seni pertunjukan termasuk kesejahteraan para senimannya.

Kajian-kajian tentang kepariwisataan Bali yang sudah berjalan hampir satu abad pada umumnya masih tergolong terbatas tidak sebanding dengan keberadaan pariwisata yang sudah begitu dominan di Bali. Hal yang sama terjadi pada seni pertunjukan tradisional dalam hubungannya dengan pariwisata. Pariwisata yang berkonsekwensi sangat besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bali perlu mendapat kajian-kajian yang serius terutama dampak-dampak jangka pendek dan panjangnya terhadap kesinambungan alam dan kebudyaan Bali.

Globalisasi seni pertunjukan terutama di bidang musik haruslah kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk menegakan kesinambungan kesenian Bali. Alit Bona dengan beragaio garapannya telah membuat sebuh nuansa baru dalam seni Pertunjukan Bali. dengan sentuhan-sentuhan Bali yang kuat dalam ciptaannya. Nuansa World music sangat kental. Musik merupakan sebuah media penyampaian atas keinginannya tentang Bali. Pendapatnya tentang sesuatu yang telah ada dan berkembang di lingkungan masyarakat Bali biarlah demikian adanya. Tetapi dia ingin sesuatu yang baru dibuat dan disesuaikan dengan latar belakang budaya Balinya. Kembali ke Bagian I

Posted in Lainnya, Literatur karawitan, Pengetahuan Karawitan.

Tagged with .