Arti penting seni bagi kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa khususnya di antaranya dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam “Semiloka Peningkatan Kualitas Pendidikan Seni di Indonesia” yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Surakarta. Dikemukakan pada kesempatan Semiloka tersebut bahwa tatanan sosialmasyarakat Indonesia pada saat ini yang sangat majemuk dan kompleks perlu menempatkan seni di tengah-tengah kehidupan. Masyarakat Indonesia yang ditengarai sedang mengalami krisis kebanggaan, martabat, serta jati diri bangsa yang kurang diakui secara Internasional, memerlukan seni sebagai media untuk meraih penghargaan yang diharapkan ini. Bermacam-macam jenis dan bentuk seni yang dicontohkan, termasuk seni pertunjukan di dalamnya. Seni pertunjukan yang banyak memuat dan menawarkan bermacam-macam fungsi bagi kehidupan masyarakat dipandang mampu memunculkan toleransi terhadap berbagai perbedaan. Sikap toleran sangat berguna untuk menipiskan dan menepis sekat-sekat pembeda yang seringkali muncul oleh berbagai penyebab. Sikap toleran sangat diperlukan bagi pembangunan moral bangsa. Perbedaan yang timbul selayaknya dapat dimengerti sebagai kemajemukan yang mengayakan wawasan. Majemuk dan plural yang menjadi ciri budaya Indonesia merupakan keunggulan yang patut dibanggakan, bukan untuk diseragamkan atau terus di pertentangkan. Pertentangan pandangan yang kadangkala berlanjut pada pertikaian fisik dan perusakan lingkungan. Ketidaksepahaman ini mudah menyulut konflik yang tidak berkesudahan, karena penghormatan terhadap keragaman dan kemajemukan budaya seringkali tidak diabaikan.
Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana ritual, hiburan pribadi, dan presentasi estetis seperti dikemukakan oleh Soedarsono mengajarkan bagaimana selayaknya manusia berperilaku sosial. Aspek-aspek pembentuk sosok seni pertunjukan mengetengahkan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat menjaga kesinambungan pembangunan moral bangsa. Kejernihan mencerna seni pertunjukan diharapkan mampu membangunkan kearifan yang banyak tertumpang oleh kepentingan individu atau kelompok. Penghormatan atau salam pun kurang mendapatkan tempat.
Salam yang bermakna untuk saling menghormati dapat dilakukan melalui musik dan gamelan beserta lirik-liriknya dan gerak-gerak tari, terutama tari-tari tradisi. Tubuh dan anggota tubuh yang digerakkan dan dalam sikap tertentu merupakan instrumen penghantar berkomunikasi. Anggota tubuh yang paling utama digunakan sebagai jembatan untuk berkomunikasi, dikemukakan oleh Desmond Morris, adalah tangan gesture atau gerak isyarat yang dilakukan dengan tangan merupakan bagian yang penting untuk penyampaian salam. Kedua belah tangan dengan jari jemari tegak vertikal yang ditangkupkan di atas dahi, di depan dahi, di depan wajah, atau di depan dada dapat dimengerti sebagai salam tanda penghormatan. Menggerak-gerakkan kedua belah tangan dengan sikap satu tangan menggenggam tangan lainnya juga dimaksudkan untuk memberi penghormatan. Bapak Pendidikan Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara (1889—1959) telah mengemukakan bahwa nilai-nilai moral dapat diajarkan melalui seni pertunjukan. Sandiwara atau yang kini dikenal dengan drama disebutkan sebagai salah satu di antaranya. Tokoh pendidikan ini menyebutkan bahwa sandiwara yang berasal dari kata “sandi” yang berarti tertutup atau rahasia dan “wara” yang berarti pelajaran memiliki peran penting dalam pendidikan yang berhubungan dengan moral. Seni pertunjukan juga berusaha mendekatkan kita pada alam yang arif. Betapa alam yang kaya –yang sering dijadikan tema garapan seni pertunjukan— menuntun kita pada kearifan. Salah satu contoh adalah “alam takambang jadi guru” yang menjadi pijakan atau filosofi seni pertunjukan di Sumatera Barat.
Alam di sekeliling manusia merupakan guru yang bijak bagi manusia, sehingga tidak seharusnya manusia menyia-nyiakannya. Apabila manusia tidak menggunduli hutan, maka banjir dan kepunahan satwa dapat dihindari. Namun demikian, kebijakan yang diajarkan oleh alam kerapkali tidak mampu menembus batas keserakahan manusia. Dengan cara yang lain lagi, seni pertunjukan mengingatkan nilai-nilai moral bagi masyarakat. Ke dalam tema yang membingkainya tidak sedikit disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, atau babad. Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang harus dihindari oleh masyarakat berulangkali ditampilkan melalui seni pertunjukan, terutama yang berpola dan berakar tradisi. Seni pertunjukan menjadi kepanjangan norma serta nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga kebersamaan dalam bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai savety valve atau katup pengaman ketegangan dan peredam dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam konflik. Contoh lain adalah bagian dari wiracarita Ramayana yang diungkapkan oleh dalang di dalam wayang kulit atau berupa lirik-lirik tembang. Filosofi Hastha Brata di dalam wiracarita Ramayana yang disampaikan oleh Rama kepada adik tirinya, yaitu Bharata sungguh merupakan ajaran yang mengungkapkan betapa ideal etika yang diharapkan muncul dari dalam diri seseorang yang ditempatkan sebagai pemimpin. Ia selayaknya berperilaku utama karena selalu dijadikan teladan.
1) Berwatak tanah atau bumi yang jujur, berbudi luhur, dan penuh belas kasih kepada sesama manusia. Tanah menyediakan kesejahteran kepada yang mengolahnya dengan sungguh-sungguh, tetapi menggenggam kegersangan bagi yang tidak menyentuhnya apalagi menyia-nyiakannya.
2) Berwatak air yang memberikan kesegaran, kejernihan dan ketenangan, rendah hati, serta berpandangan luas bagaikan sifat air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan meluas.
3) Berwatak angin yang bertiup menyentuh, menyelami, dan menyejukkan suasana.
4) Berwatak angkasa yang selalu siap memberikan pengayoman beberapa sumber lain menyebutkan bahwa pemimpin harus berwatak samudera yang bersedia menerima segala curahan harapan.
5) Berwatak rembulan yang memberikan terang di kala gelap.
6) Berwatak surya yang berwibawa, adil menyinari, memberi energi,dan mampu membangkitkan kekuatan.
7) Berwatak api yang memberikan semangat dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dengan tegas dan “teges”.
8)Berwatak bintang yang tidak tampak menonjolkan diri, tetapi tetap setia muncul dengan kerlipnya di kejauhan untuk menunjukkan arah. Delapan watak ideal yang diperlukan oleh seorang pemimpin ini memerlukan kepekaan dan kejernihan pikir dan rasa untuk mencerna. Pemimpin diperlukan dan ditempatkan sebagai pengayom atau pelindung dan panutan karena kultur paternalistik yang terus mengakar dan memanjang, khususnya di Indonesia. Uraian di atas hanya merupakan petikan beberapa contoh yang dapat dicermati sebagai bagian permenungan bagi bangsa yang sedang membangun berbagai sendi kehidupan. Perjalanan sejarah mencatat bahwa seni pertunjukan tidak diragukan memiliki arti penting.
Archives
- April 2019
- March 2018
- December 2014
- July 2014
- May 2014
- March 2014
- February 2014
- January 2014
- December 2013
- November 2013
- October 2013
- September 2013
- August 2013
- July 2013
- June 2013
- May 2013
- April 2013
- March 2013
- February 2013
- January 2013
- December 2012
- November 2012
- April 2012
- March 2012
- October 2011
- September 2011
- August 2011
- July 2011
- June 2011
- May 2011
- April 2011
- March 2011
- February 2011
- January 2011
- November 2010
- September 2010
- August 2010
- June 2010
- April 2010
- March 2010
- February 2010
- January 2010