Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking … subhiksa nikang rat rinaksanira). Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302). Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat perhatian yang wajar.
Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut.
1. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti). Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17
2. Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima). Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18
3. Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu. 19
4. Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26
5. Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti. Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27
6. Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.22
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasasti Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis (nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a : 26 ; 1965 : 33). Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan di depan.
Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring praja), dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali (pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah Sri Walaprabhu, yang naik takhta kerajaan Bali adalah Paduka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam prasasti-prasasti : Pengotan B I (1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). 23
Goris, dalam membahas gelar yang cukup panjang itu, mengemukakan hal-hal berikut.
1. Indukirana = cahaya bulan purnama
2. Guna-dharmma = turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
3. Hendak mengaku Wijaya = turunan raja Palembang (Sri Wijaya), dan
4. Hendak mengaku Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 : 10).
Tampaknya, Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur gelar itu secara implisit mengandung muatan politis, khususnya yang dikemukakan dalam tiga butir terakhir. Konsep dasar jalan pikiran Goris kiranya dapat diterima, tetapi secara operasional menghubungkan unsur wijaya dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam butir ketiga, sepantasnya mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua hal akan diajukan sebagai bahan pertimbangan, yang serta merta menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama, sampai kini belum terdapat bukti jelas mengenai hubungan politik kerajaan Bali Kuno dengan Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti telah diketahui, unsur Sriwijaya digunakan pula dalam gelar Ratu Sri Wijaya Mahadewi. Stein Callenfels, yang menghubungkan ratu ini dengan kerajaan Sriwijaya, telah dibantah oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais mengidentifikasikan bahwa ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 : 85-86). Sejalan dengan pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan pendapatnya yang menjurus kepada penyamaan dengan putri Sindok serta ditunjang isi butir kedua dan keempat kutipan di depan, maka Sakalendukirana pun tidak perlu dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya tetapi dengan keluarga besar dinasti Isana di Jawa Timur.
Sumber sejarah