Skip to content


Bali Tahun 955-1343 Bagian III

Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka, wakil-wakil desa Songan Tambahan menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi menyelenggarakan atau memelihara katyagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan. Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan prasasti yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supaya segala sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian kepada raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah memerintah, maka mereka memohon kepada Raja Marakata agar berkenaan menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pun memenuhi permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna sapurbwastitinya nguni) (Ginarsa, 1961 : 5).

Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya, yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan, agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak mengganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.

Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanpa angka tahun.15 Oleh karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang berarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka pembicaraan prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.

Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa tetapi ada unsur dharmawangsa yang mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Berdasarkan kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti Warmadewa? Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti Tengkulak A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka (yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa Marakata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti mengenai hal itu berbunyi :

“… mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan sapanambahan, an wka haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten molih tekang karaman maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i paduka haji, umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, … (Ib.5-IÏa.2)” (Ginarsa, 1961 : 4).

Artinya :

”… kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (Bali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka) maka mereka bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang mereka laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca : titah) raja yang telah almarhum,…”

Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan dari pihak ayah, Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat unsur dharmawangsa, yang sebagaimana telah dikatakan, mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Keadaan demikian dapat dipahami, jika diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni adalah putri Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor penunjang pendapat di atas.

Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa, lebih jauh dapat dikemukakan bahwa hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari dirinya termasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra Udayana, tentu baginda menyadari kedudukannya dalam dinasti itu. Penggunaan unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masalah pilihan belaka.

Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu. Secara harfiah anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan urutan kelahiran belaka. Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan Gunapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terbaca bagian yang berbunyi ”… ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka, …”(Stein Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”… paduka raja anak bungsu baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dicandikan di Banu Wka, …”

Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan yang menyatakan bahwa Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlangga dan Anak Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.

Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun. Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan.

Sumber Sejarah

Posted in Literatur karawitan, Sejarah Karawitan.

Tagged with .