Skip to content


Bali Sebelum Tahun 800

Tonggak awal rentangan masa Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka periode sebelum tahun 800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno. Gambaran umum periode tersebut diharapkan dapat menjadi landasan pemicaraan mengenai masa Bali Kuno, sehingga terwujud uraian lebih utuh. Gambaran periode sebelum tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Bali dan berita-berita asing tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina.
Babakan masa prasejarah Bali pada dasarnya sesuai dengan babakan masa prasejarah Indonesia secara keseluruhan. Babakan itu meliputi tingkat-tingkat kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan (baik yang tingkat sederhana maupun tingkat lanjut), masa bercocok tanam, dan masa perundagian atau kemahiran teknik.

Peninggalan-peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 34-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding, Gua Karang Boma I, Gua Karang Boma II yang terletak di perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung). Bukti-bukti itu antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, serta sisa-sisa makanan, yakni kulit-kulit kerang dan siput laut, serta gigi babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang serupa ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31).
Pada masa bercocok tanam, jumlah penduduk Bali telah bertambah dan persebarannya semakin meluas. Peninggalan benda-benda budaya mereka ditemukan di Palasari, Pulukan, Kediri, Kerambitan, Bantiran. Kesiman, Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung, Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Kabupaten Buleleng. Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan perkakas yang digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu persegi empat panjang. Artefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan lepas, dalam arti, bukan merupakan hasil ekskavasi yang sistematik (Sutaba, 1980 : 19 ; cf. Suastika, 1985 : 30-33).
Masa perundagian merupakan babakan terakhir dari masa prasejarah. Benda-benda temuan dari masa ini antara lain berupa nekara (di Pejeng, bebitra, dan Peguyangan), tajak, gelang kaki dan tangan, cincin, anting-anting, ikat pinggang, dan pelindung jari tangan (Sutaba, 1980 : 23-25). Peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari masa ini adalah cetakan nekara dari batu di desa Manuaba dan sejumlah sarkofagus yang ditemukan di desa Nongan, Bajing, Bedulu, Mas, Tegallalang, Plaga, Ambyarsari, Poh Asem, Tigawasa, dan Cacang (Sutaba, 1980 : 25-26).
Telah diketahui bahwa sarkofagus adalah salah satu sarana atau wadah penguburan. Wadah penguburan yang lain ada pula berupa tempayan. Tradisi penguburan dengan sarkofagus dan tempayan muncul bersamaan dengan tradisi megalitik di Indonesia, termasuk di Bali. Penguburan dengan tempayan adalah cara penguburan sekunder, yakni penguburan yang dilakukan setelah mayat lebih dahulu dikuburkan di tempat lain (penguburan primer). Dapat ditambahkan bahwa di situs prasejarah Gilimanuk ditemukan pula cara penguburan sekunder tanpa menggunakan wadah. Di situ, pada saat penguburan primer, mayat orang dewasa dan kanak-kanak dikubur dengan posisi membujur atau terlipat. Kemudian, tulang-tulangnya yang tertentu dikumpulkan untuk dikubur kembali di dalam tanah (penguburan sekunder) tanpa menggunakan wadah (Soejono, 1977 : 191-192, 223-227).  Sarkofagus dan peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari tradisi megalitik kian hari semakin banyak ditemukan. Peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa bangunan suci yang terdiri atas susunan batu, menhir, teras berundak (di Selulung, Batukaang, Tenganan Pegringsingan, Sembiran, dan Trunyan), tahta batu, arca menhir, lesung batu, palung batu, dan batu dakon (di Gelgel), serta arca-arca sederhana yang melambangkan nenek moyang ditemukan di Poh Asem, Depaa, dan Pura Besakih di dea Keramas (Covarrubias, 1972 : 26 ; 167-168 ; Sutaba, 1980b : 30 ; 1982 : 107-108 ; 1995 : 88-93 ; Mahaviranata, 1982 : 119-127 ; Oka, 1985 : 118-129).
Kemampuan menghasilkan benda-benda budaya yang telah disebutkan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan aspek-aspek sosial ekonomi, sosial budaya (termasuk religi), teknologi, dan sebagainya yang dicapai masyarakat prasejarah. Beberapa hal mengenai aspek-aspek itu dikemukakan berikut ini.

Para ahli tampaknya sepakat menyatakan bahwa kehidupan bercocok tanam merupakan “tonggak sejarah” kemajuan peradaban umat manusia yang sangat penting. Di antara mereka, bahkan ada yang menyatakan bahwa perubahan ke tahap kehidupan itu merupakan revolusi pertama dan sangat besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Menurut H.R. van Heekeren, nenek moyang pendukung kebudayaan ini di Indonesia, termasuk yang di Bali, sudah menyebar dari tanah daratan Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah kepulauan lebih kurang pada tahun 1500-1000 sebelum masehi, setelah menempuh perjalanan panjang melalui darat, sungai, dan laut (1955 : 40-42).

Kehidupan bercocok tanam mendorong mereka bertempat tinggal tetap dan membangun perkampungan dengan organisasi yang semakin teratur. Mereka telah mengenal perdagangan, paling tidak dengan sistem tukar barang-barang in natura. Kehidupan religi mereka semakin berkembang. Pelaksanaan upacara-upacara berlandaskan konsep magis (sympathic magic) menjelang kegiatan berburu (Kosasih, 1985 : 159), merupakan salah satu hal yang mengawali perkembangan kehidupan religi mereka. Mereka juga telah meyakini adanya “kehidupan” setelah kematian, dalam arti, mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang mempunyai kemampuan mengatur, melindungi, dan memberkahi orang-orang yang masih hidup, atau sebaliknya menghukum keturunannya jika ternyata berbuat salah. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan perlakuan masyarakat terhadap jasad orang yang meninggal atau upacara-upacara penguburan yang diselenggarakan.
Kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupan yang dicapai pada masa bercocok tanam berkembang semakin subur dan cepat pada masa perundagian, yakni yang merupakan tahap akhir masa prasejarah dan sekaligus merupakan saat-saat penjelang masa sejarah Bali. Dalam bidang teknologi, penduduk Bali pada waktu itu2 telah mampu melakukan peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam dalam rangka pembuatan suatu benda,3 serta menghiasi benda-benda ciptaannya dengan motif-motif tertentu. Kemampuan-kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai.4 Hal itu dikatakan demikian, karena semua pekerjaan tersebut memerlukan panas dengan temperatur yang sangat tinggi.

Jumlah penduduk yang semakin bertambah memungkinkan desa-desa tumbuh semakin banyak dan berkembang semakin pesat. Kehidupan bergotong royong kian diperlukan, diversifikasi dalam pelbagai aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan mata pencaharian hidup maupun tugas dan fungsi seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, kian berkembang pula. Kelompok-kelompok sosial dengan keterampilan tertentu, misalnya yang terampil dalam bidang arsitektur, seni pahat, seni tabuh, dan seni tari, semakin dibutuhkan oleh masyarakat dan serta merta mempercepat terwujudnya masyarakat yang heterogen. Lebih jauh, mudah dipahami bahwa dalam masyarakat heterogen yang telah digambarkan terdapat pelbagai kepentingan pihak-pihak tertentu yang perlu dikoordinasikan agar tercapai tujuan hidup bermasyarakat secara optimal. Keadaan ini menuntut kehadiran pemimpin atau pemimpin-pemimpin yang berwibawa. Dengan kata lain, tokoh pemimpin, yang mungkin pada mulanya sebagai primus inter pares, menjadi semakin penting. Hal itu sekaligus mencerminkan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mengenal stratifikasi sosial, walaupun dalam wujud yang masih bersifat embrio. Keberadaan hal itu, selain dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari adanya pemimpin tertinggi dan kepala masing-masing kelompok sosial, sistem penguburan juga memberikan petunjuk yang sangat berarti. Tampaknya, hanya orang-orang yang semasa hidupnya menempati kedudukan terhormat saja dikubur dalam sarkofagus atau tempayan. Sebaliknya, mayat orang kebanyakan dikubur secara biasa dalam tanah.

Hal lain yang perlu dikemukakan ialah masalah religi. Pelbagai peninggalan tradisi megalitik, misalnya tahta batu, dolmen, menhir, arca yang bercorak megalitik, dan hiasan kedok muka pada beberapa sarkofagus mencerminkan bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju. Pemujaan terhadap arwah leluhur yang bersemayam di puncak-puncak gunung atau tempat-tempat suci lain dan kekuatan-kekuatan alam tertentu yang diyakini dapat mempengaruhi kehidupan mereka berkembang semakin subur, Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari benda-benda peninggalan tradisi megalitik itu sampai dewasa ini masih disucikan dan digunakan sebagai media memohon kesejahteraan masyarakat (Sutaba, 1995 : 88).
Hal yang menarik perhatian pula ialah sejumlah tahta batu diberikan nama khas Bali, misalnya Pelinggih Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, Jero Nongan, Pesimpangan Batu Belig, dan Pesimpangan Tamba Waras (Kusumawati, 1989 : 107-222 ; Sutaba, 1995 : 101-102). Lebih jauh mengenai kekhasan Bali, R.P. Soejono menunjuk pola hias kedok muka pada beberapa sarkofagus serta sistem kubur sekunder dengan tata letak bagian-bagian rangka yang sangat teratur dan betul-betul tidak ada persamaannya di tempat lain. Dikatakannya bahwa hiasan kedok muka itu, selain berfungsi dekoratif, juga melambangkan kekuatan gaib yang berfungsi melindungi roh orang yang meninggal dari gangguan roh-roh jahat (1977 : 30-169 ; 246-270 ; 1993 : 7). Selain itu, beliau juga terkesan dengan pahatan yang menggambarkan alat vital wanita dan kerbau pada sarkofagus yang ditemukan di Ambiarsari dan Munduk Tumpeng. Dalam kaitan dengan pahatan-pahatan tersebut, khususnya yang terdapat pada sarkofagus di Munduk Tumpeng, beliau menyatakan bahwa hal itu memperkuat pemahaman mengenai fungsi sarkofagus tipe itu, yakni untuk menopang pencapaian tujuan hidup setelah seseorang lepas dari lingkaran kelahiran kembali (rebirth). Roh orang itu akan diangkut oleh kerbau yang berfungsi sebagai kendaraan bagi roh orang yang meninggal agar sampai di alam arwah dengan selamat dan cepat. Dengan kata lain, sarkofagus Munduk Tumpeng memiliki makna ganda, yakni kelahiran kembali dan kehadiran dengan selamat di alam para leluhur (19… : 183).

Mudah dipahampi bahwa sejalan dengan perkembangan atau kemajuan dalam bidang religi akan muncul pula tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan khusus dalam bidang spiritual, misalnya para pemimpin upacara-upacara magis-religius. Kedudukan mereka terhormat dan peranannya sangat besar. Kedudukan dan peranannya seperti itu menyebabkan mereka menjadi tokoh-tokoh yang amat disegani oleh masyarakat (cf. Bertling, 1974 : 11-15).
Gambaran di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali pada akhir masa perundagian, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, religi, teknologi, dan sebagainya yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah, mereka menyongsong kehadiran pengaruh budaya-budaya asing berikutnya, yang sebagaimana akan diketahui, dengan arus terkuat berasal dari daratan India.

Keterangan-keterangan tentang Bali yang terdapat dalam sumber-sumber Cina perlu dikemukakan pula di sini. Nama-nama dalam kitab Cina, yang oleh sementara orang pernah diidentifikasikan sebagai Bali, adalah P’o-li, Dva-pa-tan, dan Mali. Toponim P’o-li dikenal sejak pemerintahan dinasti Liang (502-556). P’o-li dikatakan terletak di sebuah pulau di sebelah tenggara Kanton Groeneveldt, 1960 : 80). Nama P’o-li juga terbaca dalam kitab sejarah dinasti Sui 9581-617). Di sana disebutkan bahwa jika seseorang berlayar dari Gau-chi (Annam Utara) ke arah selatan, maka akan sampai di Chih-tu, kemudian di Tan-tan, dan akhirnya di P’o-li (Groeneveldt, 1960 : 82), Keterangan seperti itu terbaca pula dalam kitab sejarah baru dinasti T’ang (618-908), dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P’o-li terletak Lu-cha dengan adat-istiadat sama dengan P’o-li (Groenveldt, 1960 : 83-84 ; Slametmulyana, 1981 : 126).

Informasi tentang P’o-li yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di atas terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang (618-908). Penulis kitab itu mencatat bahwa P’o-li merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling. Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling) dikatakan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di sebelah timur Ho-ling terletak P’o-li, di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan adalah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf. Sumadio, dkk., 1990 : 281).

Sesungguhnya, identifikasi P’o-li dengan Bali sangat diragukan, bahkan tidak disetujui oleh kebanyakan ahli. Identifikasi P’o-li dengan Bali pernah dikemukakan oleh P. Pelliot. Akan tetapi, ditambahkannya pula bahwa P’o-li mungkin identik dengan Kalimantan. Pendapat yang menyatakan bahwa P’o-li terletak di Kalimantan, atau sama dengan Kalimantan, dikemukakan juga oleh E. Bretschneider dan Dato Sir Roland Braddel (Sumadio, dkk., 1990 : 281).

Ahli-ahli sebagian besar mengemukakan bahwa P’o-li terletak di wilayah Sumatra. Menurut G. Schlegel, P’o-li identik dengan Asahan di pantai timur laut Sumatra Utara, dan menurut W.P. Groeneveldt, P’o-li berada di pantai utara Sumatra. Hsu Yu-ts’iao mengindentifikasi negeri P’o-li dengan Pantai di pantai timur laut Sumatra dan V. Obdeyn menyatakan P’o-li terletak di pulau Bangka. Menurut J.L. Moens, P’o-li pada aad VI sama dengan Palembang, Sedangkan P’o-li pada abad VII adalah untuk menyatakan sebuah kerajaan yang terletak di Jawa. Dapat ditambahkan bahwa menurut G.E. Gerini, P’o-li terletak di pantai barat Semenanjung Malaya (Sumadio, dkk., 1990 : 281).

Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang di dapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari perjalanan (Groeneveldt, 1960 : 82). Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.  Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling (Ka-ling). Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum (Groeneveldt, 1960 : 12-58). Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali (Sumadio, dkk., 1990 : 282).

sumber: jepun Bali

Posted in Literatur karawitan, Sejarah Karawitan.