Skip to content


Mengenal Metode Sejarah

Sejarah seha­rusnya ditulis oleh orang yang mempunyai kompetensi di bi­dang kesejarahan (baca : sejara­wan) yang diharapkan mampu meneliti dan menulis dengan se­mangat kritis yang tinggi, dalam arti sejak pengumpulan data atau sumber sejarah (yang biasa disebut heuristik) sampai kepada tahap penulisannya (historio­grafi), harus dilakukan serang­kaian kritik sehingga dapat diha­silkan suatu tulisan sejarah yang didasarkan atas fakta-fakta yang benar-benar teruji dan da­pat diandalkan. Untuk menca­painya sejarah harus ditulis melalui prosedur yang disebut Me­tode Sejarah. Metode ini mempunyai empat tahapan yang integral, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.

Tulisan ini tidaklah dimak­sudkan untuk membahas empat tahapan tersebut secara menyeluruh dan mendalam dan tidak pula dimaksudkan untuk mem­berikan suatu jaminan bahwa suatu peristiwa sejarah dapat di­tuangkan ke dalam suatu tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang penting di sini adalah memberikan peng­ertian tentang dasar-dasar me­tode tersebut yang mungkin ber­manfaat terutama bagi kandidat ahli ilmu sejarah atau peminat sejarah. Dan, penggunaan me­tode sejarah itu sendiri sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri ber­langsung.

Heuristik

Heuristik adalah kegiatan ber­upa penghimpunan jejak-jejak masa lampau, yakni peninggalan sejarah atau sumber apa saja yang dapat dijadikan informasi dalam pengeritian studi sejarah.

Louis Gottchalk (1975) telah memilah heuristik, sebagai berikut, pertama: memilih memilih subjekDalam memilih subjek, heuristik harus merujuk kepada empat pertanyaan pokok, yakni : dimana, siapa, bilamana, dan apa. Pertanyaan tersebut berke­naan dengan aspek geografis, biografis, kronologis, fungsio­nal atau okupasional. Dari pertanyaan pokok itulah ber­bagai keharusan konseptual dilakukan dan berbagai pro­ses pengerjaan penelitian dan penulisan dijalani. Perta­nyaan tersebut berfungsi un­tuk menentukan penting atau tidaknya suatu peristiwa dite­liti. Juga sebagai alat untuk menentukan hal-hal mana yang bisa dijadikan “fakta se­jarah”. Pendek kata fokus yang bersitat interogatif terse­but akan menuntun sejara­wan kepada subjek, sehingga terhindar dari fokus yang yang ngawur atau tidak perlu.

Kedua, informasi tentang subjek, yang dapat dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, yakni: (1) Rekaman sezaman yang ter­diri dari instruksi atau perintah, rekaman stenografis dan fonografis, surat niaga dan hukum, serta buku catatan pribadi dan memorandum prive; (2) Laporan konfiden­sial yang terdiri berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku harian, dan surat-surat pribadi; (3) Laporan-la­poran umum yang terdiri dari laporan dan berita surat ka­bar, memoar dan otobiografi, sejarah “resmi” suatu in­stansi, perusahaan dan seje­nisnya. (4) Quesionaris tertu­lis; (5) Dokumen pemerintah dan kompilasi, terdiri dari ri­salah instansi pemerintah, undang-undang dan per­aturan; (6) Pernyataan opini, terdiri tajuk rencana, esei, pi­dato, brosur, surat kepada re­daksi, dan sejenisnya; (7) Fiksi, nyanyian, dan puisi; (8) Folklore, nama tempat, dan pepatah.

Delapan sumber informasi ter­sebut bukanlah sumber sejarah dalam arti sebenarnya. Artinya ia hanya sebagai sarana untuk mencari keterangan tentang sub­jek. Sedangkan sumber sejarah itu sendiri adalah hasil yang di­peroleh dari pencarian informasi tersebut yang nantinya diguna­kan dalam penulisan sejarah se­telah melalui tahapan pengujian.

Tentang sumber sejarah, Nu­groho Notosusanto (1978:36) telah mengklasifikasikannya ke dalam tiga bentuk yang seder­hana yakni: (1) Sumber benda; menyangkut benda-benda arkeologis, efigrafi, numistik, dan benda sejenis lainnya; (2) Sum­ber tertulis, terdiri dari buku-buku dan dokumen; (3) Sumber lisan, terdiri dari hasil wawan­cara dan tradisi lisan (oral tradi­tion).

Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang seobjektif mung­kin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik intern), dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung

Ada beberapa teknik pengum­pulan data yang dapat dipergunakan dalam metode se­jarah, seperti: studi kepusta­kaan, pengamatan lapangan, wa­wancara (interview). Dapat pula digunakan teknik lain seperti questionnaires, pendekatan te­matis (topical approach) beserta berbagai perangkat ilmu bantu lainnya, terutama digunakan ter­hadap topik yang mengarah ke­pada studi kasus (case study).

Kritik

Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis me­merlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang sob­jektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitas­nya (kritik ekstern) maupun kre­dibilitas isinya (kritik intern), di­lakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung.

Kritik ekstern terhadap sum­ber lisan kalau memang meng­gunakan teknik wawancara dilakukan terhadap para informan yang akan diwawancarai. In­forman harus memiliki kemampuan untuk memberikan kete­rangan yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan­nya atas suatu peristiwa, serta tingkat keintelektualannya. Ca­ranya antara lain dengan jalan meminta keterangan kepada para informan tentang keterli­batan informan lainnya atas peristiwa tersebut.

Faktor usia juga menentukan dan sedapat mung­kin diperlukan informan yang se­zaman dan pernah berkiprah pada peristiwa yang diteliti. Se­dangkan kritik intern terhadap sumber lisan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan beberapa hasil wawancara an­tara informan yang satu dengan yang lainnya, yang juga diban­dingkan dengan sumber sejarah lainnya. Perbandingan itu perlu dilakukan terutama terhadap versi cerita yang berbeda-beda tentang sesuatu peristiwa. Sema­kin banyak versi cerita semakin mudah untuk memperoleh fakta yang sebenarnya. Tentang hal ini ada baiknya dibaca pengalaman Anton Lucas dalam Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson, editor (1982) yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh para kandidat ahli atau peminat sejarah.

Kritik ekstern terhadap sum­ber tertulis perlu dilakukan agar tidak terperangkap kepada doku­men palsu. Oleh karena itu perlu dipertanyakan tentang otentik atau tidak sejatinya suatu sumber. Juga perlu diketahui ten­tang asli dan utuhnya sumber-sumber. Kalau sebuah dokumen tidak lagi utuh atau cacat, seo­rang sejarawan harus mengada­kan restorasi teks agar doku­men tersebut kembali utuh da­lam arti isi yang terkandung dapat diterima secara ilmiah. Untuk itu diperlukan berbagai ilmu bantu sejarah yang dapat memberikan penjelasan yang lo­gis atas dokumen tersebut, se­perti arkeologi, filologi, dan se­bagainya.

Masalah anakronistis suatu sumber perlu juga diketa­hui. Masalah ini berkenaan de­ngan apakah materi sumber; tu­lisan, tanda tangan, materai, cap atau stempel, serta langgam dan peristiwa yang terekam di dalam dokumen tersebut cocok dengan zamannya. Kalau tidak cocok, berarti dokumen tersebut anakronistis dan tidak bisa diguna­kan sebagai fakta sejarah.

Kritik intern terhadap sumber tertulis terutama dilakukan de­ngan jalan melihat kompetensi, atau kehadiran pengarang terha­dap waktu atau peristiwa. Ke­pentingan pengarang, sikap berat sebelah serta motif peng­arang, juga sangat perlu untuk diketahui guna menentukan kre­dibilitas isi tulisan. Sedangkan terhadap sumber tertulis berupa dokumen, dilakukan dengan me­lihat segi semantik, hermeneu­tik, dan pemahaman terhadap historical mindedness.

Masa­lah semantik (arti kata) berke­naan dengan kemampuan me­mahami secara tepat tentang arti sebuah kata, istilah, maupun konsep yang ada dalam sebuah dokumen. Dan, masalah herme­neutik berkenaan dengan peng­halusan suatu kata atau istilah sehingga mengaburkan arti yang sebenarnya. Sedangkan masalah historical mindedness berkenaan dengan kemampuan memahami hal-hal kesejarahan dengan jalan “meluluhkan” jiwa dan pi­kiran sesuai dengan kondisi ke­sejarahan, dan tidak mengguna­kan ukuran sekarang untuk “mengukur” masa lampau terse­but. Oleh karena itu, kadangkala diperlukan pengetahuan dan penghayatan kultural tentang si­tuasi dan kondisi dimana dokumen tersebut dibuat.

Interpretasi

Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu sendiri bu­kanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apa­bila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna.

Fakta-fakta sejarah ha­rus diinterpretasikan atau ditaf­sirkan agar sesuatu peristiwa da­pat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menye­leksi, menyusun, mengurangi te­kanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya perta­nyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, te­tapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.

Dalam interpretasi, seorang se­jarawan tidak perlu terkungkung oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi se­gala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mema­hami kompleksitas sesuatu per­istiwa, maka mau tidak mau se­jarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan demikian, berbagai ilmu bantu perlu diper­gunakan dengan tujuan mem­pertajam “pisau analisis” se­hingga diharapkan dapat dipero­leh generalisasi ke tingkat yang lebih sempuma.

Perlu pula dikemukakan di­ sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas seja­rawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan ha­rus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.

Historiografi

Historiografi adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejara­wan, dan dari tahapan inilah da­pat diketahui “baik buruknya” hasil kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyu­sun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan ko­munikatif.

Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi terpaku ke­pada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi de­ngan multidimensionalnya le­bih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan lebih scientific dan mempunyai kemampuan memberi kete­rangan yang lebih unggul diban­dingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan konvensio­nal dengan sejarah naratifnya.

Sumber: bubuhanbanjar.wordpress.com

Posted in Sejarah Karawitan.