Skip to content


Seni Pertunjukan dalam Kesusastraan Bali

 Kesusastraan Bali adalah cerita tentang babad (sejarah generasi kasta tertentu), usadha (pengobatan), tatwa (tutur) dari Mahabharata dan Ramayana, Asta Kosala Kosali (pedoman pembangunan rumah) dan lainnya, yang ditulis diatas daun lontar dengan huruf Bali. Kesenian, biasanya terselip dalam Babad pada masa pemerintahan raja-raja. Amat disayangkan karena beberapa lontar yang mengungkap beberapa hal itu, anonim. Namun kini sudah banyak dijumpai kesusastraan ataupun kidung-kidung yang ditulis dalam buku dan memakai huruf Latin.

Adapun lontar-lontar itu antara lain:

Lontar Usana Bali 

Lontar ini memuat tentang tari Baris yang naskahnya berbunyi sebagai berikut:  Setelah Mayadanawa dapat dikalahkan, batara Indra dan dan dewata lainnya berkumpul di Manukraya dan kemudian mendirikan empat buah kahyangan yaitu di Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Keduhuran. Setelah pertemuan itu lalu diadakan keramaian selama riga hari; widyadari menari rejang, widyadara menari baris dan gandarwa menjadi penabuh.

Lontar Kidung Bagus Umbara

Kidung ini juga memuat tentang tari Baris yang bunyinya sebagai berikut: di desa pegunungan Bali Utara terdapat 20 macam Baris upacara. (Walter Spies, 1973: 56).

Lontar Babad Dalem

Lontar ini memuat tentang tari Gambuh, koleksi Ketut Rinda dari Blahbatuh, tercantum pada lembar 119.. Selain itu juga menyinggung tentang raja-raja yang memerintah Bali dari keturunan Sri Kresna Kepakisan.

Isinya antara lain:  Puput kedaton ring Samperangan kedatuanire Dalem Wawu Rawuh wangun Gambuh sawatekeng para aryeng Majapahit, isaka sunia butha segara bumi  (0531) atau 1428 M.

Lontar Kecacar :  Merupakan anugrah Betara Gunung Agung kepada Empu Kuturan yang memaparkan bahwa tarian Sanghyang dedari merupakan tarian penolak

bala kecacar dan penyakit sampar.

Lontar Tantu Pagelaran

Lontar ini juga menyebutkan tentang tari Sanghyang sebagai tarian untuk upacara menolak wabah penyakit. Mitologinya sebagai berikut: Pada musim gerubug (wabah) ketika bhutakala berkeliaran dimana-mana dipertunjukkan tarian Sanghyang dengan bantuan caru dan tunggul Gana Kumara. Konon, para bhutakala sangat tertarik mendengar dan melihat tarian Sanghyang sehingga datang beramai-ramai menonton dan lari tunggang langgang setelah melihat betara Gana Kumara ada disana.

Menurut mitos, Betara Gana Kumara adalah penghalau dan musuh dari segala bencana. Itulah sebabnya tari Sanghyang menjadi alat upacara untuk menolak bencana dan wabah penyakit. Disebutkan pula bahwa penari Sanghyang adalah anak-anak perempuan yang belum akil balig.

Lontar Paniti Thalaning Pagambuhan

      Lontar ini membahas mengenai macam-macam gerak tari Gambuh yang menyatakan sebagai berikut:

  Tandang agem Prabangsa wawu memargi agamparan, raris angrangrang

tur ngunda, amuta ngawasari tur majongkok kadian.

    Malih laras Demang Tumenggung tangan sunggar sunggir soringt silit luhurung paban. Malih solah condong gambuh ngangge kotes dayung, takep dada,kala matur ngangge kipekan magulu wangsul. Malih gulu wangsul putri ngaran sekar kapawanan, ngileg ping tiga, nyingsing oncer kiwa tengen.

  Laras kakan-kakan nyingsing oncer antuk tangan kiwa, tangan tengen ring belahan susu. Laras copet, anyingsing kampuh antuk tangan tengen, tangan kiwa matayungan angembat alon. Kadian-kadian muang arya nangkil ngangge jongkok kadian, tangan tengen nakep jerijin suku,tangan kiwa ngembat duhuring tur  (Rinda, 33).

Posted in Literatur karawitan.