Janger

April 28th, 2014

Janger

janger

Suatu pemandangan yang tidak dapat dihindarkan bagi wisatawan yang baru tiba setiap Sabtu pagi adalah Janger. Dibawah akar-akar yang tergantung dari sebatang pohon beringin raksasa dilapangan pusat dari desa duduk selusin bocah laki-laki dan selusin bocah perempuan didalam kelompok-kelompok yang terdiri atas enam orang, membentuk segi empat, para gadis berhadapan dengan para gadis dan bocah lelaki saling berhadapan, seorang ahli tari, yakni daag, duduk ditengah-tengah. Bocah-bocah lelaki mengenakan ikat pinggang kain berwarna biru dengan kembang sepatu berwarna merah diselipkan didaun telinga mereka; dan para gadis mengenanakan hiasan kepala yang besar berbentuk kipas dari bebungaan, dan tubuhnya terbungkus kain mengkilap dari ketiak sampai kaki. Bocah-bocah lelaki berteriak dan menggelengkan kepala dan para gadis bernyanyi dengan suara bayi, menggerakkan tangan dan mengejap-ngejapkan mata mereka. Setelah beberapa saat kemudian seorang gadis yang muncul dalam busana seorang pangeran, bernyanyi dan bergaya, bertengkar dengan seekor burung yang tampak liar, yakni seorang aktor yang mengenakan topeng yang mengerikan, sayap dan ekor yang berwarna menyala. Pertunjukan berakhir dengan kematian burung, yang ditembak dengan panah sang pangeran. Setengah wisatawwan menonton terus dan setengah lagi mengambil foto dengan bersemangat. Pertunjukan tersebut megah dan sesuai dengan harga karcisnya, tetapi tidak terdengar benar. Walaupun kenyataannya bahwa pertunjukan yang rumit diselenggarakan di jalan terbuka, pertunjukan tersebut menarik sedikit anak-anak dan para penarinya tampaknya bosan dan acuh tak acuh.

Pada malam pertama di Bali, saat berjalan-jalan dipinggir kota Denpasar, kami mendengar lagi pukulan patah-patah yang sama secara terus menerus dari gendang dan gong seperti yang telah kami dengar pada pagi harinya. Dengan mengikuti suara tersebut, kami sampai pada sekerumunan besar orang-orang menonton pertunjukan, dan setelah mendorong-dorong kami berhasi masuk kederetan depan. Disana para penari tadi pagi, tetapi ini adalah janger untuk orang Bali. Bukannya para toris yang duduk nyaman pada kursi lipat, torso besar telanjang dari segerombolan orang itu menekan kami dari segala arah sampai kami tidak bisa menggerakkan tangan dan nyaris mati lemas oleh hembusan yang terus menerus dari nafas manusia, digagahi oleh panas dan parfum berat yang berasal dari kerumunan oranng itu. Anak-anak memanjat tembok dan pohon atau merangkak dikaki kami berusaha dengan sia-sia melihat sesuatu. Bukannya kostum trasional yang dikenakan pada pertunjukan bagi wisatawan, para gadis mengenakan blus ketat dari sutera tipis, mahkota bebungaan menyalakan wajah mereka yang berbedak tebal. Anak-anak lelaki mengenakan kameja Eropa, dasi, celana pendek, kaus kaki, dan sepatu sepak bola. Di atas bahu, mereka mengenakan semacam baju tanpa lengan dari beludru hitam dengan hiasan-hiasan kelabag emas, kerlip-kerlip, dan tanpa perangkat di pundak dengan pinggiran emas. Mereka mengenakan bunga-bunga berwarna merah diatas kepalanya yang telanjang dan kumis palsu yang tidak pantas atas wajah mereka yang dilumuri kapur. Hanya penari yang pertama yang mengenakan kostum teater yang bisa dibuat dari kain brokak tetapi dengan tambahan kemeja dan dasi kupu-kupu, seperti yang lain-lain dia mengenakan kumis besar.

Kami tidak pernah menemukan tujuan di balik kostum yang tak masuk akal ini, mungkin sekedar untuk kesenangan, mungkin sebuah karikatur orang Eropa. Namun, kesintingan kostum diatasoleh pementasan: untuk melodi yang menyerupai ular/berlekuk- lekuk dari seruling bambu dan pukulan patah-patah dari gendang dan gong, para gadis menyanyikan lag yang tidak bermakna mengenai bunga, kue besar, dan sebagainya, dan banyak kata-kata tanpa makna, sekedar menciptakan irama: “jange-jange-jangeer…” sementara tangan mereka diulurkan keatas, bunga diatas kepala bergetar, dan mata mereka berkejap bersama-sama dengan leher mereka. Bocah lelaki, kecak, terayun dan bergetar serta meneriakkan “kecakkeakkecak-cak! Cipo-oh! Ha ha ha !” lebih banyak di dalam cara teriakan mahasiswa, tetapi makin cepat dan makin cepat, menggarisbawahi tempo dari gong dan gendang. Penari utama melemparkan pandangan liar ke segala arah dengan gerakan marah dan keheranan, bergerak bagaikan sebuah otomatisasi yang gila-gilaan. Semuanya bergerak dengan irama sebuah lokomotif dalam kecepatan penuh-jazz bali yang meracuni baik pemain maupun penonton di dalam pesona gerakan singkat-singkat.

Pada saat-saat yang lebih tenang dua orang gadis melangkah ke luar dari deretan  dan menari mengelilingi penari utama, yang menjadi heran sebab gadis-gadis tersebut bercinta dengannya. Kemudian yang tak masuk akal dan tak layak terjadi: bagaikan kilat, kecak melompat berdiri diatas kaki mereka di dalam pose akrobatik, piramida atletis, seorang anak lelaki menekuk punggungnya dan yang lain berdiri diatas dadanya. Mereka saling memanjat bahu mereka, bergetar dan berteriak. Tiba-tiba penari utama berputar-putar pada tempat duduknya seolah dia tak mampu berdiri lagi, dan meneriakkan: “Daaag!” seluruh pertunjukan berhenti. Selelah istirahat sandiwara mulai lagi, sebuah cerita arja dengan pangeran-pangeran seperti biasa, menteri dan pelawak. Belakangan aku menemukan bahwa janger merupakan perkembangan baru. Janger telah mulai dengan tiba-tiba, ketika pada tahun 1925, kumpulan pertama dari opera Melayu (stambul) mengunjungi pulau ini. Orang Bali segera menciptakan versi mereka sendiri dari pantonim, dan janger tersebar bagaikan sebuah epidemi, dimana-mana kelompok janger dibentuk dan segera setiap banjar dapaat membanggakan kelompok jangernya. Untuk pertama kali anak-anak lelaki dan perempuan bergabung untuk menari demi kesenangan tampil bersama. Di Buleleng ada kelompok di mana para gadis mengenakan celana pendek, menunjukkan kaki mereka, sebuah pameran yang agak mengejutkan bagi orang Bali, yang menyebutkan sebagi janger melalong, “janger telanjang” tetapi ini populer diantara orang-orang Cina di Buleleng. Janger saat itu merupakan hiburan paling populer. Tak seorang pun peduli menonton yang lain dan setiap gadis di Bali berharap menjadi janger dan menggunakan lagunya sepanjang hari. Kami takut kalau janger  akan membunuh bentuk-bentuk lain dari tarian Bali, tetapi ketika kami balik lagi ke  Bali dua tahun kemudian, kami terkejut sebab tidak ada lagi janger, semua kelompok yang ternama telah bubar. Beberapa gadinya sudah menikah, dan lantaran tak ada lagi permintaan, kelompok-kelompok tersebut tidak diatur kembali. Pertunjukkan yang paling  menyegarkan di Bali sekarang mati dan dilupakan. Hanya kelompok yang mengantuk tetap tinggal: janger untuk wisatawan sampai dengan kerangjingan memotret apa yang mereka sebut sebagai “penari pura”.

Dengan hilangnya janger, bentuk-bentuk teater klasik mendapatkan kembali popularitasnya dan selama kunjungan kami yang kedua arja-lah yang disukai. Gaya janger merupakan keberangkatan yang membingungkan dari perbaikan teater Bali. Nyanyiannya jelas berasal dari lagu-lagu magis sanghyang, kostum dan sosok akrobatis mungkin ditiru dari pertunjukkan Melayu dan dibaratkan, tetapi perasaan umumnya dan susunan tempat duduknya dan gerakan-gerakannya mungkin dapat dijelaskan sebagai semangat yang memiliki ciri-ciri Polinesia. Kasus janger merupakan contoh yang menarik dari sikap orang Bali terhadap seni mereka: kesenangan mereka akan hal-hal yang baru dan mudah mengikuti gagasan-gagasan baru yang segera diasimilasikan ke dalam bentuk tradisional mereka. Hal ini membuat penduduk pulau menciptakan gaya baru secara tetap, untuk menyuntikkan kehidupan baru ke dalam budaya mereka, yang pada waktu yang sama tidak pernah kehilangan ciri-ciri Balinya.

Sumber : Buku Pulau Bali

Comments are closed.