SENDRATARI RAMAYANA
Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki ribuan bahkan jutaan macam keindahan, baik dari segi tempat, budaya, kekayaan alam, dan yang paling terpenting adalah keseniannya yang membuat Pulau Bali terkenal bukan hanya di lingkup Nasional tetapi sampai ke mancanegara. Hal ini yang menyebabkan Pulau Bali selalu menjadi tujuan pariwisata yang paling banyak digemari oleh para wisatawan. Definisi dari wisatawan adalah seseorang yang melakukan perjalanan untuk bisnis atau kesenangan sepanjang orang tersebut tidak menerima uang dari Negara yang ia kunjungi, hingga ada sebuah pemeo yang berbunyi : “Jangan mati sebelum melihat Bali”. Tidak jarang para wisatawan merasa nyaman berwisata di Bali hingga melewatkan waktu yang cukup lama karena para wisatawan terbuai dan dimanjakan oleh berbagai macam keindahan alam dan utamanya kesenian dan budaya Bali yang adi luhung.
Menurut buku “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi” karya R.M. Soedarsono, salah satu bentuk kesenian yang ditujukan untuk kebutuhan pariwisata adalah sebuah pertunjukan sendratari Ramayana. Di Indonesia terdapat beberapa versi wiracarita Ramayana. Walaupun jelas bahwa wiracarita ini berasal dari India, namun sampai sekarang masih belum begitu jelas versi india yang mana yang menjadi dasar dari Ramayana di Indonesia. Versi tertua yang dilestarikan di Bali adalah versi dalam bahasa Jawa Kuna yaitu Kakawin Ramayana yang diperkirakan merupakan karya pujangga Yogiswara.
Menurut buku “Selayang Pandang, Seni Pertunjukan Bali” karya I Wayan Dibia, Sendratari Ramayana ini adalah karya dari I Wayan Beratha yang diciptakan tahun 1965. Dan di Bali sudah pernah dipentaskan selama tahun-tahun awal Pesta Kesenian Bali antara tahun 1979 hingga sekarang. Sedangkan pada buku ”Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi” karya R.M. Soedarsono, menjelaskan bahwa Sendratari Ramayana pertama kali dipentaskan di Jawa pada tanggal 26 Juli 1961, pertunjukan wisata yang dipentaskan secara kolosal melibatkan sekitar 865 penari dan pemain gamelan.
Pementasan sendratari Ramayana yang memiliki 7 kanda diantaranya : Bala Kanda, Ayodya Kanda, Arania Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Uttara Kanda, ini adalah pertunjukan Sendratari Ramayana yang disajikan secara lengkap. Adapun isi dari cerita dalam sendratari Ramayana adalah :
Di Kerajaan Mantili, Prabu Janaka mempunyai seorang putri yang cantik dan sudah menginjak dewasa bernama Dewi Sita. Oleh karena itu Prabu Janaka mencarikan jodoh untuk putrinya dengan mengadakan sayembara, barangsiapa yang mampu merentangkan busur panah pusaka kerajaan, dialah yang dapat mempersunting Dewi Sita, namun tidak seorang ksatriapun yang mampu, hingga akhirnya Rama datang dan dengan mudahnya busur panah tersebut dipatahkan. Sita akhirnya diboyong ke kerajaan Ayodya oleh Rama. Namun atas penuntutan janji Dewi Kekayi (ibu tiri Rama) kepada Prabu Dasaratha menyebabkan Rama diikuti oleh istri dan adiknya harus menjalani pengasingan selama 14 tahun di dalam hutan dan Bharata (adik tiri) Rama menjadi Raja di kerajaan Ayodya.
Rama, Sita dan Laksmana menjalani pengasingan di hutan Dandaka. Dalam perjalanan tersebut, mereka bertemu dengan kemenakan Rahwana yang bernama Surpanaka, dia menyamar menjadi seorang wanita cantik dan merayu Rama serta Laksmana. Laksmana yang merasa didesak akhirnya marah dan memotong hidung Surpanaka. Surpanaka melaporkan hal tersebut kepada Rahwana. Mendengar pernyataan Surpanaka, Rahwana menjadi sangat marah akan tetapi mendengar bahwa istri Rama sangat cantik, ia akan berusaha merebut Dewi Sita dari Rama. Untuk itu, Rahwana mengutus seorang prajurit kepercayaannya bernama Marica untuk menyamar menjadi seekor Kijang Emas dan menarik perhatian Sita. Sita memohon kepada suaminya untuk mencarikan Kijang Emas tersebut, Sang Rama pun memenuhi permintaan Sita dan memerintahkan Laksmana untuk menjaga Dewi Sita. Terdengarlah suara mengaduh dari kejauhan yang sebenarnya adalah suara dari Marica yang tewas oleh busur panah Rama. Mendengar suara tersebut Sita mejadi khawatir dan memerintahkan Laksmana untuk menyusul kakaknya. Semula Laksmana menolak karena teringat akan perintah kakaknya, tetapi karena didakwa dan didesak oleh Dewi Sita, akhirnya Laksmana pergi dan melindungi Dewi Sita dengan lingkaran sakti dan berpesan agar tidak meninggalkan lingkaran sakti tersebut.
Sepeninggal Laksmana, Rahwana yang jahat mendekati Sita tetapi tidak bisa melewati lingkaran tersebut, ia mencari akal dengan menyamar menjadi pendeta tua yang kehausan, Sita merasa iba dan memutuskan untuk mengambilkan air untuk pendeta tua itu, hingga ia keluar dari lingkaran sakti, saat itulah Rahwana berhasil menculik Sita dan menerbangkan Dewi Sita ke kerajaannya, Alengka.
Pada perjalanan menuju Alengka, Rahwana yang menculik Sita dihadang oleh seekor burung garuda bernama Jatayu yang ingin menolong Sita, Rahwana sangat marah hingga terjadi perang tanding, Jatayu kemudian menggelepar di tanah karena kedua sayapnya ditebas oleh pedang Rahwana. Rama dan Laksmana mendapati Jatayu yang sedang sekarat di tanah, ia memberitahukan bahwa Rahwana yang menculik Sita.
Tak lama kemudian datanglah seorang ksatria kera putih bernama Hanoman menghadap Rama, ia adalah kemenakan dari raja kera Sugriwa. Hanoman memohon bantuan kepada Rama untuk membinasakan Subali karena telah merebut istri adiknya, Sugriwa. Berkat busur panah Rama, Subalipun tewas. Sugriwa dan pasukan kera lainnya bersedia menjadi bala tentara Rama untuk menyerang Alengka.
Di Taman Angsoka di kerajaan Alengka, Sita sedang bersedih dan dihibur oleh Trijata serta para dayang, Rahwana mencoba merayu Sita, namun Sita selalu menolak hingga Rahwana hamper membunuh Sita, berkat bantuan Trijata, Rahwana akhirnya pergi.
Hanoman menjadi utusan Sang Rama untuk menemui Sita dan memberikan cincinnya, sebaliknya Sita memberikan tusuk kondenya. Hanoman merusak taman Angsoka tersebut. Rahwana dan pasukan raksasanya sangat marah, akhirnya terjadi perang sengit antara pasukan kera di pihak Rama dan pasukan raksasa di pihak Rahwana. Pertempuran akhirnya dimenangkan oleh Rama, Sitapun kembali ke pelukan Rama hinga akhirnya Rama diangkat menjadi Raja di Kerajaan Ayodya.
Dalam perkembangannya saat ini untuk kebutuhan pariwisata, pementasan Sendratari Ramayana dibentuk ke dalam sebuah bentuk yang kecil atau biasa disebut dengan Ramayana Ballet dimana cerita yang diambil biasanya bermula dari pengembaraan Rama, Sita dan Laksmana di tengah hutan Dandaka, munculnya Kijang Emas, dilarikannya Sita oleh Rahwana, Perang Rahwana dengan Jatayu, Hanoman menghadap Rama, Hanoman diutus ke Alengka, perang Rama dan Rahwana, dan berakhir dengan kembalinya Dewi Sita kepada Rama.
Kini pementasan Ramayana Ballet ini sering dipadukan dengan tari Kecak yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang. Pertunjukan ini sengaja ditujukan kepada para wisatawan dan sangat menarik perhatian wisatawan domestic maupun mancanegara. Selain untuk usaha melestarikan kesenian dan budaya Bali, pertunjukan untuk pariwisata juga kini dianggap penting agar nama Bali semakin harum hingga ke kancah internasional.
PERANG TIPAT – BANTAL DI DESA KAPAL
Desa Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa Kapal termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali ini memiliki berbagai tradisi unik dan menarik yang masih berlangsung sampai sekarang. Salah satunya adalah pelaksanaan tradisi Aci Rah Penganggon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Perang Tipat – Bantal. Tradisi Perang Tipat – Bantal ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakat di desa Kapal, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan – Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa Kapal ini. Tradisi Aci Rah Penganggon atau Perang Tipat Bantal ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali ( Sasih Kapat ) sekitar bulan September – bulan Oktober. Pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat – Bantal. Tipat atau ketupat adalah olahan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan anyaman janur atau daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat, sedangkan Bantal adalah olahan makanan yang terbuat dari olahan beras ketan yang juga dibungkus dengan anyaman janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah suatu simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminism yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha – Predana. Pertemuan Purusha dan Predana ini dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah ( tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini. Ritual yang berlangsung di Pura Desa Kapal ini diawali dengan upacara persembahyangan bersama oleh seluruh Desa Kapal. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Tipat – Bantal ini. Tidak lama kemudian beberapa pria melepas baju dan bertelanjang dada. Mereka terbagi menjadi dua kelompok dan berdiri saling berhadapan. Setelah aba – aba dimulai, para pria yang bertelanjang dada itu mulai melemparkan tipat dan bantal itu ke kelompok yang ada di depan mereka. Suasana pun gempar ketika tipat dan bantal mulai berterbangan di udara. Lalu aksi lempar ketupat dan bantal ini dihentikan sementara. Warga mulai beranjak keluar Pura dan kini mereka bersiap di jalan raya yang berada di depan pura Desa Kapal lalu berdiri berkelompok, dan saling berhadapan sekitar 15 meter. Suasana kembali riuh ketika ritual itu dimulai lagi. Warga melempar tipat dan bantal itu membabi buta sambil berteriak dan tertawa. Perang Tipat – Bantal ini menjadi lebih seru ketika para penonton yang berdiri di trotoar ikut mengambil dan melempar tipat itu. Tak jarang ada ketupat nyasar ke arah penonton atau fotografer yang tengah mengabadikan momen tersebut. Beberapa dari warga yang menonton berteriak dan berlindung. Maklum, jika terkena lemparan tipat dan bantal ini, badan terasa sakit seperti terkena benda keras. Walau begitu, tidak ada seorang pun yang marah dan ketika perang berakhir, semua orang berjabat tangan dengan penuh suka cita. Tradisi Perang Tipat – Bantal ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dari hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi – tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang Tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut kepercayaan masyarakat Desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yaitu yang mana dieakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi / Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan dirawat dan dihormati. Inilah kearifan – kearifan lokal yang masih di pegang teguh oleh masyarakat Desa Kapal ini. Keberadaan tradisi Perang Tipat – Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan – catatan sejarah kuno berupa lontar – lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi Perang Tipat – Bantal ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Penganggon milik salah seorang warga Desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam Lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut : Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di pulau Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangakat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau yang lebih dikenal Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Kahyangan Purusada yang ada di Desa Kapal. Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gegel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Kahyangan Purusadha di desa Kapal denganterlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi Purusadha tersebut. Pada suatu saat ketika itu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan cara melakukan yoga semadhi di Kahyangan Bhatara Purusadha. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Penganggon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusa dan Predana ( sumber kehidupan ) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut ( Purusa dan Predana ). Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat desa Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana / energi feminisme / Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Penganggon di desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju Purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 aatau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat – Bantal ini di Desa Kapal ( + 666 tahun ), salah satu dari sekian banyak kearifan – kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan. Ini adalah salah satu tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu – satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga Ibu Pertiwi atau tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah krisis globalnyang terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai belahan bumi, tradisi – tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta.
GAMELAN ANGKLUNG
Gamelan angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrument berbilah dan pencon dari krawang. Dibentuk oleh alat – alat gamelan yang relative kecil dan ringan. Secara umum, tungguhan gamelan Angklung pada waktu lampau masih berbentuk lelengisan dan hanya dipernis, tetapi saat ini kita lihat sudah diprada sebagaimana Gong kebyar. Di Bali selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali utara mempergunakan 5 nada. Berdasarkan konteks penggunaan gamelan ini, serta materi yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi : Angklung klasik / tradisional ( dimainkan untuk mengiringi upacara tanpa mengiringi tari – tarian ), Angklung kebyar ( dimainkan untuk mengiringi pergelaran tari atau drama. Satu barungan Angklung bias berperan keduanya, karena seringkali mempergunakan alat – alat gamelan dan penabuh yang sama. Komposisi yang paling tua tidak menggunakan keahlian yang lebih mewah dari Gong kebyar dan kecakapan memainkan sebuah pertunjukan. Baru – baru ini banyak composer Bali telah membuat karya – karya kebyar untuk gamelan Angklung atau telah menyusun melodi kebyar untuk menyesuaikan lebih terbatas empat nada Angklung tersebut. Motif – motif baru sering digunakan untuk mengiringi tarian. Selain itu, beberapa composer modern telah menciptakan potongan instrument eksperimental untuk gamelan Angklung. Sikap memainkan gamelan Bali dinamakan Tetegak. Sikap tersebut memiliki makna yang sangat penting. Tidak hanya menyangkut kajian estetik keindahan, akan tetapi bagaimana energi disalurkan ketika memainkan gamelan. Posisi duduk seseorang pemain gamelan ideal yaitu mengambil posisi Silasana yaitu posisi duduk dimana kaki dilipat tertumpuk ( kanan dan kiri ) sedangkan posisi badan tegak, dan pandangan kedepan. Dengan posisi yang benar dapat mendukung penampilan dan secara estetik tertata adanya aspek penampilan menjadi sangat besar pengaruhnya terhadap sebuah pementasan karena tanpa didukung oleh penampilan yang baik dan apik serta mempertimbangkan aspek keindahan akan tidak tercapai kaidah pertunjukan yang ada seperti kekompakan, keharmonisan, keselarasan dan seimbang. Sisi lain dari posisi duduk yang benar dapat memberikan energi yang penuh atau total, sebab secara penyaluran energi yang seimbang keseluruh tubuh dapat menyebabkan kualitas pukulan terjaga intensitasnya. Posisi tangan : untuk dapat memainkan gamelan secara baik dan benar tentunya memegang panggul harus diperhatikan. Posisi tangan yang benar untuk memainkan instrument berbilah adalah tangkai panggul dipegang oleh tangan kanan dengan ibu jari berada sejajar dengan tangkai panggul bagian lebarnya, sedangkan keempat jari lainnya terlipat. Sedangkan untuk memainkan instrument berpencon posisi tangan mengikuti arah panggul. Sedangkan telunjuk tidak dilipat. Begitu juga pada instrument lainnya. Instrument – instrument Angklung kebyar yang dimainkan secara dipukul baik memakai tangan maupun alat pemukul / panggul dalam gamelan Bali lazim disebut Gagebug. Sedangkan instrument tidak dimainkan secara dipukul diantaranya : instrument suling ( ditiup ) dan instrument rebab ( digesek ). Setiap instrument memiliki jenis – jenis pukulan yang berbeda satu sama lainnya. Gamelan Angklung sebagai perangkat/barungan yang berlaras slendro empat nada, secara fisik dapat dibedakan menjadi dua model. Pertama, bentuk fisik daun gamelan yang berbentuk bilah dan berbentuk pencon terbuat dari kerrawang. Kerawang adalah campuran antara timah murni dengan tembaga ( Rembang, 1984/1985 : 8 ). Sedangkan kedua adalah tempat dari bilah dan pencon digantung/ditempatkan disebut pelawah. Khususnya untuk instrument bilah, pada pelawah ditempatkan resonator yang terbuat dari bambu ataupun paralon. Sedangkan pelawah untuk instrument reyong bentuknya memanjang dan di atasnya ditempatkan instrument bermoncol/pencon yang dicincang dengan tali pada lubang gegoroknya. Penempatan nada – nada kedua instrument ini berjejer dari nada rendah ke nada tinggi ( dari kiri ke kanan ). Sesuai dengan ukuran besar ke kecil ( nirus ). Sedangkan untuk instrument yang lainnya seperti instrument gong, kempur dan klentong hanya digantung pada trampa yang disebut dengan sangsangan. Selain itu juga instrument kajar hanya ditempatkan pada atas trampa tanpa resonator, sedangkan untuk instrument cengceng ricik / kecek cakepnya diikat pada atas pelawah yang berbentuk kura – kura / empas, angsa ataupun bentuk lainnya. Kualitas bunyi sangat tergantung pada resonator yang dipergunakan. Bahan baku bambu dipilih secara selektif untuk dapat menghasilkan suara gamelan yang bagus. Secara fisik ukuran bilah dan pencon dalam gamelan Angklung disesuaikan dengan fungsi masing – masing instrument dalam barungannya. Sehingga bagaimanapun bentuk fisiknya jelas telah mempertimbangkan aspek – aspek secara total dalam rancangan keberadaan gamelan Angklung saat ini. Dikalangan masyarakat luas gamelan ini dikenal sebagai pengiring upacara – upacara Pitra Yadnya ( Ngaben ). Instrument gamelan Angklung terdiri dari : 2 buah jegogan, 4 buah pemade, 4 buah kantilan, 2 atau 4 tungguh reyong ( untuk Angklung kebyar menggunakan 12 pencon, 1 buah tawa – tawa, 1 buah kempur ( kecuali Angklung kebyar menggunakan gong ), 1 buah ceng – ceng ricik, 1 pasang kendang lanang wadon kecil untuk Angklung klasik / keklentangan dan 1 pasang kendang lanang wadon besar untuk Angklung kebyar. Tabuh – tabuh Angklung kebyar sama dengan yang dipakai dalam barungan gamelan Gong Kebyar. Sementara instrumentasi gamelan Angklung mirip dengan gamelan Gong Kebyar, gamelan Angklung memiliki perbedaan penting. Pertama, instrument yang disetel ke – 5 nada slendro, meskipun sebenarnya sebagian ansambel menggunakan modus empat nada, skala lima nada dimainkan pada instrument dengan empat tombol. Pengecualian untuk Angklung lima nada dari Bali utara. Tetapi bahkan dalam kelompok Angklung empat nada, pemain seruling / suling sesekali akan menyentuh nada tersirat kelima. Kedua, sedangkan banyak instrument dalam Gong kebyar rentang beberapa oktaf skala pentatoniknya, mosts gamelan angklung hanya mengandung satu oktaf dan setengah. Instrument yang jauh lebih kecil daripada Gong kebyar. Secara fisik pada awalnya gamelan Angklung menggunakan empat bilah nada, kemudian para seniman pada perkembangannya menambah lagi beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu. Dalam beberapa dekade terakhir, gamelan Angklung kadang – kadang digunakan untuk bermain tari lepas, yang berdiri bebas. Komposisi tari biasanya dimainkan pada gamelan Gong kebyar. Kepindahan ini dilakukan dengan menata ulang melodi kebyar agar sesuaidalam terbatas ambitus empat nada Angklung, dan membuat beberapa penyesuaian kecil dalam instrumentasi.Perubahan atas bertambahnya bilah nada dalam gamelan Angklung adalah tidak terlepas dari factor terkena imbas dari pengaruh Gender Wayang. Angklung klasik dengan karakter yang sendu, dalam penyajiannya sebaiknya jangan memberikan kesan ( suasana ) gembisa. Gamelan Angklung berhubungan dengan kematian, dan karena itu terhubung dalam budaya Bali dengan dunia spiritual tak terlihat dan transisi dari hidup sampai mati dan seterusnya. Karena portabilitas, gamelan Angklung dapat dibawa dalam prosesi pemakaman menuju tempat kremasi atau tempat pembakaran mayat. Para musisi juga sering bermain music untuk mengiringi upacara kremasi. Jadi banyak pendengar Bali mengasosiasikan music Angklung dengan emosi yang kuat membangkitkan kombinasi manis sakral dan kesedihan.
GAMELAN GONG KEBYAR DI BANJAR PEMEBETAN DESA KAPAL
Sudah amat jelas tidak banyak yang tahu tentang keberadaan Gambelan Gong Kebyar di Banjar Pemebetan Kapal. Menurut cerita Kelian sekaa Gong dan penglingsir lainnya, Gamelan ini dulunya berada di Pura Puru Sadha Kapal. Di Pura Puru Sadha dulunya ada petapakan barong, tetapi barong tersebut terbakar dan tidak ada yang mengetahui penyebab terbakarnya barong tersebut. Dari saat tersebut tidak ada yang mengurus atau merawat gamelan ini. Oleh karena itu gamelan tersebut di pindahkan ke Banjar Pemebetan.
Awalnya instrumen Gamelan tersebut tidak lengkap dan pelawahnya pun sudah rusak karena sudah sangat tua. Penglingsir Banjar Pemebetan berusaha memperbaiki gamelan tersebut dan membentuk sebuah sekaa gong yang bernama “ PUSPA WERDI”. Menurut kelihan sekaa, sampai saat ini ada 4 generasi atau periode sekaa :
Generasi pertama saat dipindahkannya gamelan dari Pura Puru Sadha ke Banjar yang tidak diketahui tahunnya.
Generasi kedua pada tahun 1981 dan dipilihnya I Wayan Mandia sebagai kelihan sekaa. Saat itu pula ditetapkan peresmian sekaa gong Puspa werdi pada Purnama Kedasa. Setelah itu sekaa melaksanakan penggalian dana untuk perbaikan dan penambahan instrument. Generasi ini berlangsung hingga tahun 1992. Generasi ketiga digantikannya I Wayan Mandia sebagai kelihan oleh I Nyoman Cakra. Generasi ini hanya berlangsung selama 2 tahun dari tahun 1992 sampai tahun 1994. Generasi keempat dipilihnya I Ketut Budiasa sebagai kelihan sekaa. Generasi ini masih berlangsung hingga sekarang.
Prestasi Yang Pernah Diraih adalah : Parade Gong Kebyar PKB tahun 1989, Penghargaan Kerti Budaya tahun 1990, Juara 1 Lomba Gong Kebyar Wanita di kabupaten Badung tahun 1990 dan mewakili Kabupaten Badung Ke PKB, Juara Harapan 2 Lomba baleganjur di sembung tahun 1991, Juara Harapan 3 Lomba Baleganjur di Puputan Badung tahun 1992, Juara Harapan 2 Lomba Baleganjur di puputan badung tahun 1993, Juara 3 Lomba Baleganjur di puputan Badung tahun 1994, Juara Harapan 2 Lomba Baleganjur di Puputan Badung tahun 1995.
Nama-nama Gending Lelambatan Yang Diketahui, Tabuh Pisan Bangun anyar, Tabuh Telu Buaya Mangap, Tabuh Telu Crucuk Punyah, Tabuh Telu Sekar gadung, Tabuh Telu Gajah Nongklang, Tabuh Pat Semarandana, Tabuh Pat Gari, Tabuh Pat Mina Ing Segara, Tabuh Pat Eman-eman, Tabuh Pat Caramanis, Tabuh Nem Galang Kangin, Tabuh Nem Lasem.
Nama-nama Gending Iringan Tari Yang Diketahui, Iringan Tari Panyembrahma, Iringan Tari Gabor, Iringan Tari Puspa Wresti, Iringan Tari Puspanjali, Iringan Tari Wirayuda, Iringan Tari Baris, Iringan Tari Cendrawasih, Iringan Tari Margapati, Iringan Tari Panji Semirang, Iringan Tari Wiranata, Iringan Tari Oleg Tamulilingan, Iringan Tari Legong Keraton, Iringan Tari Jauk Manis/Keras, Iringan Tari Satya Brasta, Iringan Tari Tedung Sari, Iringan Tari Belibis, Iringan Tari Tenun, Iringan Tari Truna Jaya, Iringan Tari Sekar Jepun, Iringan Tari Garuda Wisnu, dll
Jumlah instrument dalam barungan gong kebyar di banjar Pemebetan kapal adalah satu tungguh terompong, dua tungguh giying/pengugal, empat buah pemade/gangsa, empat tungguh barangan/kantilan, dua tungguh penyacah, dua tungguh jublag, dua tungguh jegog, satu tungguh reong/riyong, satu pasang gong lanang wadon, satu buah kempur, satu buah kajar/kempluk, satu buah kempli, satu buah ceng – ceng ricik, satu buah bebende, Satu buah klentong. Tempat dari bilah dan pencon digantung/ditempatkan disebut pelawah. Khususnya untuk instrument bilah, pada gamelan Gong kebyar di banjar Pemebetan pelawah ditempatkan resonator yang terbuat dari paralon. Sedangkan pelawah untuk instrument reyong bentuknya memanjang dan di atasnya ditempatkan instrument bermoncol/pencon yang dicincang dengan tali pada lubang gegoroknya. Penempatan nada – nada kedua instrument ini berjejer dari nada rendah ke nada tinggi ( dari kiri ke kanan ).
Sesuai dengan ukuran besar ke kecil ( nirus ). Sedangkan untuk instrument yang lainnya seperti instrument gong, kempur dan klentong hanya digantung pada trampa yang disebut dengan sangsangan. Selain itu juga instrument kajar hanya ditempatkan pada atas trampa tanpa resonator, sedangkan untuk instrument cengceng ricik / kecek cakepnya diikat pada atas pelawah yang berbentuk kura – kura / empas. Kualitas bunyi sangat tergantung pada resonator yang dipergunakan. Bahan baku dipilih secara selektif untuk dapat menghasilkan suara gamelan yang bagus. Secara fisik ukuran bilah dan pencon dalam gamelan Gong kebyar disesuaikan dengan fungsi masing – masing instrument dalam barungannya.
BANJAR PEMEBETAN
Banjar Pemebetan adalah balai Banjar yang terletak di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Banjar ini memiliki struktur bangunan yang strategis, mempunyai tanah yang cukup luas. Banjar ini di renofasi dan di bangun pada tahun 1994. Banjar Pemebetan memiliki satu barungan gamelan Gong Kebyar dan satu barungan gamelan Baleganjur. Di Banjar Pemebetan ada beberapa sekha, yaitu diantarinya : Sekha Kidung, Sekha Gong, dan Sekha Baleganjur. Masing – masing sekha tersebut memiliki nama sekha dan seorang kelihan atau ketua. Sekha gong dan sekha Baleganjur banjar Pemebetan bernama PUSPA WERDHI. Sekha gong ini di kelihani atau diketuai oleh bapak I Ketut Budiasa. Sedangkan sekha Kidung banjar Pemebetan bernama SITANSU. Sekha Kidung ini dikelihani atau diketuai oleh bapak I Nyoman Murdana. Diantara sekha-sekha yang tercantum di atas, sekha yang paling menonjol saat ini adalah sekha Gong dan sekha Kidung.
Kenapa saya katakan demikian, karena kedua sekha ini aktif di masyarkat, dimana sekha ini salalu menyempatkan diri untuk ngayah di Pura-Pura yang ada di seputaran Desa Kapal, dan wajib ngayah di Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem). Sekha Baleganjur juga tidak kalah populer di masyarakat, karena dahulu sering mendapatkan juara dalam ajang lomba Baleganjur se-Kabupaten Badung dan se – Bali. Namun pada saat ini sekha Baleganjur perlu di bentuk kembali, karena sekha yang dahulu sudah lanjut usia. Disebuah Banjar, ada yang dinamakan Banjar Adat dan Banjar Dinas.
Di Banjar Adat ada seorang ketua atau Kelian Adat dan di Banjar Dinas juga ada seorang ketua atau Kelihan Dinas. Banjar Adat adalah Banjar yang mengatur tentang upacara adat, dimana adat terbut harus di patuhi, seperti upacara Pengabenan, Pernikahan, Ngayah di Pura Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem). Sedangkan Banjar Dinas adalah Banjar yang mengatur tentang Kependudukan, seperti jumlah penduduk pendatang yang tinggal di seputaran Banjar Pemebetan, mengurus KTP, dan mengurus tentang jumlah kelahiran yang ada di Banjar Pemebetan.
Jumlah kepala keluarga di Banjar Pemebetan adalah 152 kepala keluarga. Di Banjar Pemebetan juga ada yang dinamakan Sekretariat PKK, dimana anggota tersebut seluruhnya wanita. Jumlah PKK di Balai Banjar Pemebetan yaitu 152 orang. Di sebuah banjar ada juga perkumpulan pemuda dan pemudi yang sering dinamakan Sekretariat STT (Sekha Truna Truni) dimana anggotanya berjumlah 110 orang, Pemudanya berjumlah 64 orang dan Pemudinya berjumlah 46 orang. Nama Sekretariat STT (Sekha Truna Truni) di Banjar Pemebetan yaitu Taruna Karya, yang berarti kepemudaan yang selalu berkarya dan membuat inovasi – inovasi atau kreasi baru didalam masyarakat.
STT Taruna Karya juga memiliki ketua atau kelihan. Nama kelihan STT yang masih menjabat saat ini adalah I Gede Agus Adinatha Aryandana. Sekretariat STT ini juga miliki kegiatan rutin setiap bulan yaitu rapat arkhir bulan, dimana rapat tersebut membahas tentang kegiatan setiap bulannya dan bagaimana caranya untuk di bulan yang akan datang supaya lebih baik dari bulan sebelumnya. Di Banjar Pemebetan ini juga terdapat sebuah koperasi yang bernama koperasi Pemebetan.
Adanya Banjar Pemebetan di tengah-tengah masyarakat turut menyertai rasa suka cita anak yang seiring bertambahnya usia mereka, akan ikut meningkatkan kesadaran akan pentingnya Banjar sebagai ruang diamana terdapat beragam aktivitas yang dipenuhi macam-macam kreasi. Dari sisi lain, tergambar bahwa anak dapat secara langsung mempraktikan kegiatan budaya seperti menari, memainkan alat musik, memainkan permainan tradisional, serta dapat pula mengetahui kegiatan-kegiatan keagamaan, dan tata cara pelaksanaannya di pura-pura sekitaran Banjar. Bahkan tidak jarang Banjar digunakan sebagai tempat berlangsungnya ajang kompetisi berbasis budaya lokal, misalkan kompetisi tari, tabuh, macepat, dan yang lainnya dimana keseluruhan pesertanya merupakan anak-anak yang telah dilatih di Balai Banjar itu sendiri, yang diselenggarakan oleh pemuka-pemuka adat, dan bekerja sama dengan masyarakat. Namun pada dasarnya, ajang tersebut hanya digunakan sebagai penanaman konsep budaya pada anak, selain untuk memicu semangat kompetitif. Itu karena, dengan diadakannya ajang tersebut, maka anak secara langsung dianggap mampu menguasai masing-masing aspek sesuai jenis kompetisi yang mereka ikuti.
Sedangkan di luar kompetisi, anak biasanya memainkan beberapa permainan tradisional yang sudah dikenal secara turun temurun. Berbeda dengan permainan-permainan gaya karnaval, permainan tradisional lebih mengandalkan pikiran disamping kesenangan. Terkadang terdapat unsur olahraga dalam permainan, tapi secara keseluruhan tidak murni olahraga. Terdapat pula tembang-tembang pengiring anak bermain yang merupakan lagu khas daerah. Biasanya anak memainkan permainan seperti meong-meongan, concok, degdeg, jejangeran, dan masih banyak yang lainnya. Dengan demikian, selain mendapat kesenangan, anak dapat memupuk tali persaudaraan antarsesama, juga mempertahankan permainan tradisional yang merupakan bagian dari budaya lokal. Dengan disadari bahwa Banjar sangat berperan sebagai ruang pengenalan budaya kepada anak, juga berarti bahwa Banjar dapat dijadikan sebagai tempat bersosialisasi anak dalam menyikapi masuknya budaya-budaya asing yang dapat menggoyahkan budaya lokal.