KEARIFAN LOKAL WARGA MASYARAKAT RENON

ADAT – ISTIADAT DESA PAKRAMAN RENON

Adat–istiadat merupakan suatu kebiasaan yang telah diatur pada suatu aturan atau hukum tertulis pada suatu masyarakat tertentu. Pada Desa Pakraman Renon memiliki adat-istiadat yang hampir sama dengan adat-istiadat di daerah Bali pada umumnya seperti adat-istiadat Ngaben yaitu adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melalukan prosesi pebakaran jenazah. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, namun atma-nya tidak. Sehingga ngaben ini sebagai proses penyucian atma (roh) saat meniggalkan badan kasar.

Adat dalam pernikahan pada umumnya juga sama dengan adat-istiadat pernikan lain di daerah Bali yaitu terdapat rangkaian upacara seperti upacara Ngekeb, Mungkah Lawang (buka pintu), upacara Mesegehagung, Madengen-dengen, Mewhidi Widana, Mejauman Ngabe Tipat Bantal. Adat-istiadat potong gigi, Mepandes, Mesangih atau Metatah adalah upacara keagamaan Hindu Bali yang termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara Manusa Yadnya. Ritual yang dilakukan pada saat potong gigi adalah mengikis enam gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengurangi sifat buruk (sad ripu) pada yang bersangkutan yaitu hawa nafsu, rakus/tamak/keserakahan, angakara murka/kemarahan, mabuk, perasaan bingung, dan iri hati/dengki.

 

BUDAYA DAN TRADISI MASYARAKAT RENON

Budaya merupakan sebuah hasil cipta karsa beruoa ide atau gagasan maupun karya yang memiliki bentuk wujud dari sebuah peradaban manusia. Sedangkan tradisi merupakan suatu kebiasaan yang turun-temurun yang dilakukan suatu masyarakat dari masa nenek monyang mereka.

Di Desa Pakraman Renon memiliki suatu budaya-tradisi pantangan pembuatan dan perngarakan ogoh-ogoh di Hari Raya Pengerupukan. Umumnya semua desa di Bali memiliki tradisi tersebut, lain halnya dengan di Desa Renon. Desa Renon tidak diperbolehkan adanya pengarakan ogoh-ogoh. Pantangan membuat ogoh-ogoh ini sendiri tidak tercantum dalam awig-awig tertulis Desa Pakraman Renon. Pantangan ini hanya berupa aturan tidak tertulis yang sudah dipahami dan dimaklumi warganya. Alasan mengapa adanya pantangan membuat ogoh-ogoh di Desa Pakraman Renon ini karena setiap kali membuat ogoh-ogoh, selalu saja ogoh-ogoh yang dibuat menjadi hidup. Karenanya, warga renon menganggap membuat ataupun mengarak ogoh-ogoh sebagai suatu hal yang bisa menimbulkan bencana bagi daerahnya.

Saat pertama kali ogoh-ogoh diperkenalkan di Bali sebagai pelengkap malam pengerupukan menjelang Nyepi, warga Renon juga ikut membuat ogoh-ogoh. Saat itu di Banjar Tengah membuat ogoh-ogoh berwujud babi. Namun, beberapa jam sebelum pengarakan ogoh-ogoh dimulai yakni saat Ida Bhatara mesineb di Pura Bale Agung setelah nyejer selama tiga hari sejak pelaksanaan prosesi Melasti. Tiba-tiba saja Pemangku Ida Ratu Tuan Baris Cina saat itu tedun atau kerauhan. Pada saat bersamaan muncul kegaduhan di banjar-banjar yang membuat ogoh-ogoh. Banyak warga melihat wujud ogoh-ogoh itu hidup. Seperti wujud babi hidup menjadi babi dan wujud ular hidup menjadi ular sehingga membuat para pengaraknya takut. Saat itu lah ada pawisik/pamuwus dari Ida Bhatara Ratu Tuan bahwa di Desa Renon tidak boleh membuat ogoh-ogoh. Ida Bhatara tidak berkenan di wilayah Desa Renon melihat boneka raksasa itu. Meski begitu, beberapa tahun yang lalu ada sekelompok warga yang mencoba-coba membuat ogoh-ogoh. Pembuatan ogoh-ogoh ini dilakukan secara berkelompok di luar organisasi Banjar atau Sekaa Teruna Teruni (STT). Namun, ogoh-ogoh itu juga hidup. Karenanya, ogoh-ogoh itu tidak jadi diarak keliling desa tetapi langsung dibakar. Merka takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika ogoh-ogoh itu diarak.

Kejadian terakhir itu makin menguatkan keyakinan warga unutk tidak lagi mencoba-coba membuat ogoh-ogoh, meskipun di desa-desa lain warganya menikmati kemeriahan dalam perayaan Hari Pengerupukan dengan mengarak ogoh-ogoh berkeliling Desa. Bila pun warga Renon punya keiinginan unutk menyaksikan ogoh-ogoh, dapat menyaksikan di Desa lain.

PERBEDAAN GAMELAN GONG KEBYAR BALI UTARA DAN BALI SELATAN

GAMELAN GONG KEBYAR BALI UTARA

Saya kutip dari buku “GAMELAN BALI DI ATAS PANGGUNG SEJARAH” karya I Made Bandem tahun 2013. Disana saya banyak mendapatkan informasi tentang perkembangan gamelan golongan baru khususnya Gong Kebyar. Adanya hubungan yang erat antara Bali dengan dunia Barat pada Masa Penjajahan Belanda (1846-1945) pada tahun 1914 di Bali Utara lahir sebuah gamelan gaya baru yang disebut Gong Kebyar. Ansambel itu menggunakan Gong Kuna sebagai instrumentasinya dan lagu-lagu klasik diganti dengan lagu-lagu ciptaan baru sebagai ekspresi eksplosif pada saat itu. Pada tahun itu muncul generasi baru Gong Gede dan Gong Kuna yang disebut gamelan Gong Kebyar.

Instrumentasi dari sebuah barungan gamelan Gong Kebyar di Bali Utara yaitu terdapat 2 buah gong lanang dan wadon, sebuah kempul, dua buah jegog, dua buah calung/jublag, dua buah ugal pacek, empat buah gangsa pacek, dua buah kantilan pacek, reong berpencon sebanyak 12 buah, sepasang kendang lanang dan wadon, sebuah kajar, dan sebuah ceng-ceng/kecek. Disini yang menjadi pertanyaan bagi saya yaitu dua buah instrumen yang sama menyerupai terompong. Yang satunya berukuran besar sedangkan yang satunya lagi berukuran lebih kecil, namun jumlah penconnya sama yaitu 10 buah. Gong Kebyar di Bali Utara masih mengambil protipe dari Gong Gede yaitu menggunakan gangsa pacek. Gangsa pacek merupakan sebuah tungguh instrumen berbilah yang bilahnya menempel pada plawahnya yang tanpa di gantung seperti gamelan Gong Kebyar di Bali Selatan. Sama halnya dengan wujud gangsa jongkok pada barungan gamelan Gong Gede. Selain terompong dan gangsa pacek lainnya sama dengan keberadaan Gong Kebyar  yang saya ketahui berkembang sampai saat ini di Bali Selatan.

Dipandang dari karakteristik lagu, awalnya banyak lagu-lagu dikembangkan dari lagu-lagu Legong Keraton. Lagu-lagu ostinato pendek seperti bapang,.pengecet, gegaboran, pengipuk, dan batel, di balut dengan teknik baru kekebyaran termasuk pukulan bersama ‘kebyang’ atau ‘kebyar’ yang keras dan datangnya secara tiba-tiba. Polanya disertai dengan pukulan norot, oncang-oncangan dan ubit-ubitan yang rumit. Bali Utara memiliki style gegebug yang sangat mepet pada pola kekebyaran. Namun sedikit yang tidak bias di tangkap dari kekebrayan itu ‘reng’ karena memakai gangsa pacek. Nada yang dihasilkan menjadi sangat pendek, akibatnya pola kekebyaran di Bali Utara sangat mepet dan rumit.

 

GAMELAN GONG KEBYAR BALI SELATAN

Keberadaan Gong Kebyar di Bali Selatan mulai muncul pada tahun 1960 ketika berdirinya Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) Bali yang memberi pendidikan kepada siswa pria dan wanita di Bali Selatan. Menurut buku yang saya baca telah dipentaskan Gong Kebyar campuran pria dan wanita pada tanggal 29 September 1961 di Aula Fakultas Udayana, serta pada tanggal 30 September 1961 di Aula Dwijendra Denpasar. Disini saya kurang tahu kapan waktu yang pasti ketika mulai masuknya Gong Kebyar ke ranah Bali Selatan.

Perkembangan Gong Kebyar di Bali Selatan banyak mendapat perubahan terumata dari segi instrumen. Perubahan yang sangat signifikan terletak pada struktur tungguh gangsa yang tidak lagi memakai teknik pacek, melainkan memaikai tektik gantung, seperti halnya jegog dan jublag. Intrumentasi dari barungan Gong Kebyar yang berkembang di Bali Selatan yaitu : sebuah terompong, sepasang kendang lanang dan wadon, sebuah ceng-ceng kopyak/kecek, sebuah kajar, dua buah tungguh ugal, empat buah tungguh kantilan, empat buah tungguh gangsa gantung, dua buah tungguh p

enyacah, dua buah tungguh jublag, dua buah tungguh jegog, sepasang gong lanang dan wadon, sebuah kempul, sebuah bebende, sebuah kemong, dan sebuah kempli, serta 12 pencon reong. Yang membedakan gamelan Gong Kebyar  versi Bali Utara dengan Bali Selatan yaitu ditambah sepasang tungguh penyacah, serta hanya memakai sebuah tungguh terompong dengan 10 buah pencon. Perbedaan stuktur tungguh gangsa disini membuat gamelan Gong Kebyar yang berkembang di Bali Selatan lebih jelas terdengar ‘reng’ dari bilah gangsanya karena memakai tektik gantung.

Perubahan struktur tehnik gangsa yang dipakai di Bali selatan menjadikan pola gending-gending di Bali Selatan agak sedikit renggang. Dikarenakan teknik permainan kebyar di Bali Selatan masih di patok dengan ‘nafas gending’. Seperti contoh gending yang sama yaitu tabuh iringan tari Truna Jaya. Jika di Bali Utara teknik kekebyarannya lebih rapat tetapi di Bali selatan pola kekebyarannya di batasi dengan mempertimbangkan ‘reng’ dari bilah nada yang dipukul.

PERKEMBANGAN TABUH KREASI KEKEBYARAN

Secara umum tabuh kreasi kekebyaran bisa didefinisikan sebagai tabuh garapan baru yang menggunakan media ungkap gamelan Gong Kebyar. Yang merupakan salah satu barungan gamelan Bali yang dewasa ini paling popular. Gong Kebyar tidak hanya teramati dari banyaknya barungan gamelan ini di Bali, tetapi juga dengan munculnya lagu-lagu atau komposisi-komposisi baru serta banyak mengadopsi nuansa-nuansa music lain yang kemudian diolah untuk disesuaikan dengan nafas kebyar.

Berdasarkan beberapa hal yang telah digambarkan di atas, penulis ingin mencoba mengulas jauh fenomena tabuh kreasi kekebyaran dewasa ini. Ulasan ini sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pengalaman pribadi penulis buku ini sebagai seorang composer, dan hasil pengamatan penulis terhadap karya-karya tabuh kreasi kekebyaran sejak beberapa tahun terakhir ini.

 

  1. Pengembangan Ide

Kalau diamati, pemunculan tabuh-tabuh kreasi kekebyaran, sejauh ini masih sangat bergantung kepada kegiatan Festival Gong Kebyar (FGK) yang merupakan bagian peristiwa tahunan PKB. FKG yang merupakan bagian dari acara lomba PKB biasanya diikat oleh suatu tema tertentu dan juga oleh kreteria khusus yang harus diikuti oleh setiap peserta festival. Tabuh kreasi baru yang merupakan salah satu materi pokok festival harus mengacu kepada kreteria yang ada disamping harus menyentuh tema sentral PKB yang berubah-ubah setiap tahunnya.

Sesuai tema sentral yang diusung PKB, ide setiap garapan yang ditampilkan di forum ini diharapkan  bias mendukung tema yang ada. Patut disadari bahwa di satu sisi hal ini bisa mempersempit ruang komposer walaupun disatu sisi hal ini justru dapat di anggap sebagai suatu tantangan yang harus mampu dijawab oleh setiap komposer. Menurut pengalaman penulis buku ini, seorang komposer hendaknya jangan terburu-buru menyerah terhadap pembatasan kreteria yang diberikan panitia karena pembatasan tersebut belum tentu berarti mempersempit ruang gerak melainkan justru memberikan arah yang jelas untuk menuju suatu tujuan.

Sebagai contoh adalah ketika penulis buku ini menciptakan tabuh kreasi berjudul Lekesan pada tahun 2001, sebuah tabuh yang bertemakan persatuan yang ditampilkan oleh Sekaa Gong Sida Nada Mredangga, Desa Sidakarya, Denpasar Selatan, sebagai Duta Kota Denpasar. Karya ini kebetulan mendapat kategori terbaik dalam FKG se Bali pada tahun itu, dan ketika ditampilkan kembali pada tahun 2004. Ide garapan ini tetap sebuah kreasi tabuh yang menggunakan gamelan Gong Kebyar sebagai ansembel utama, sebagaimana yang disyaratkan, namun di sana sini penulis tambahkan beberapa instrumen perkusi lainnya seperti 4 buah rebana, 2 buah tamburin, 4 buah kendang angklung, yang dimainkan oleh semua pemain gangsa, dan juga 10 buah suling. Diangkatnya alat rebana yang bernuansa budaya muslim pada tabuh kreasi ini tidak lepas dari sebuah upaya untuk mengusung tema “persatuan” yang mana daerah Desa Sidakarya bersempadanan dengan kawasan Suwung Batan Kendal sebagai wilayah etnik muslim dengan kesenian rodatnya yang khas yang masih ada kaitan budayanya dengan Puri Pemecutan Denpasar.

 

  1. Pengembangan Tehnik dan Penambahan Instrumen

Kita semua mengetahui tehnik permainan dan jenis-jenis instrumen yang terdapat dalam barungan gong kebyar. Untuk mendapatkan nuansa baru, seorang komposer sering melakukan pengembangan tehnik pukulan dan tutupan. Tehnik meniup suling Bali yang lazim adalah “ngunjar angkihan” (circular breathing). Akhir-akhir ini suling juga dimainkan dengan tehnik seperti meniup terompet. Halini dilakukan untuk memperoleh suasana baru untuk mendukung ide atau tema dari garapan tersebut.

 

  1. Pengembangan Penampilan dan Setting Instrumen

Dewasa ini penampilan penabuh gong kebyar, khusunya dalam kkonteks FKG sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Mode penampilan penabuh dari juara FKG tahun sebelumnya biasanya dijadikan acuan oleh penabuh yang tampil dalam FKG di tahun berikutnya. Bahkan selain itu, gaya yang ditampilkan penabuh FKG di tahun sebelumnya juga termasuk ke dalamnya. Untuk lebih mendukungnya lagi, kini penempatan gamelan juga sudah semakin ditata. Sejak tahun belakangan ini sudah mulai digunakan trap atau level yang berundag-undag. Mode penampilan seperti itu juga mempengaruhi tata busana dan rias para penabuh. Akibatnya FKG sudah mulai menggunakan make up dan tata busana yang mewah sehingga menimbulkan kesan glamor.

 

 

  1. Pengembangan Unsur-Unsur Musikal

Di dalam menggarap sebuah tabuh kreasi baru gong kebyar, para komposer benar-benar diberikan kebebasan berkreativitas berdasarkan selera dan rasa indahnya masing-masing. Sesuai dengan tuntutan sebuah karya kreasi baru, yakni suatu proses kreatif yang menuntut pembaharuan, para komposer berusaha menyiasati karya meraka melalui pengembangan-pengembangan idiom-idiom musik dari kelompok budaya lain yang kemudian dikemas dalam nuansa kebyar seperti memasukkan motif-motif permainan musik Barat counterpoint (independent melodies) yaitu melodi bebas. Seperti contoh sebuah karya tabuh kreasi baru yakni “Gelar Sanga”, selain itu ada juga dalam tabuh kreasi kekebyaran “Caru Wara” karya Dewa Alit.

Melodi sebagai salah satu kekuatan (power) karawitan Bali talah mengalami perkembangan. Dimana sebelumnya hanya ada hitungan genap, namun dewasa ini sudah mulai berkembang permainan melodi berhitungan ganjil. Bagitu pula unsur-unsur yang lain seperti tempo dan dinamika diberi nafas lain, dibarengi dengan gaya dan penampilan yang serasi sehingga sajian karya tersebut betul-betul menjadi lebih berjiwa. Ada pula pola pengalihan atau transisi yang mungkin dianggap kurang penting, nyatanya sengat memberi kejutan dengan cara melakukan transisi sepi (silent) untuk memunculkan sesuatu yang mudah diduga dan ditebak. Menurut hemat sang penulis, hal ini merupakan suatu cara yang jitu untuk memberikan warna khusus terhadap sebuah karya komposisi karawitan.