• April 15, 2010 /  Lainnya

    Festival Gong kebyar

    Festival Gong Kebyar merupakan salah satu aktivitas dalam format lomba sebagai salah satu penggalian, pelestariaan serta pengembangan nilai-nilai budaya Bali khususnya dibidang seni karawitan melalui media Gong Kebyar. Festival ini diselenggarakan secara resmi oleh pemerintah secara rutin pada tiap-tiap tahun terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali(PKB).

    Kegiatan festival atau biasanya sering disebut mebarung adalah suatu bentuk kegiatan yang mempertemukan beberapa group atau sekaa gong untuk menunjukkan hasil kreatifitas dari para seniman serta kepiawaiannya dalam memainkan gambelan gong kebyar. Kegiatan ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama dan dilaksanakan sebagai salah satu ajang untuk menampilkan puncak-puncak karya seni para seniman karawitan dan tari. Even ini menjadi sangat prestesius karena terjadi suatu persaingan yang sangat ketat dari para peserta yang mengikuti.ketatnya persaingan yang terjadi dikalangan seniman yang terlibat sebagai kontestan tentunya akan berdampak positif bagi para seniman sehingga selalu dituntut untuk meningkatkan kwalitas dari kreativitas seninya.

    Dari tahun-ketahun garapan komposisi kreasi baru selalu menghiasi gambelan Gong kebyar baik dalam bentuk kekebyaran, pepanggulan maupun sebagai pengiring tari-tarian. Banyak eksplorasi dalam gambelan Gong Kebyar yang diangkat kepermukaan dan memberikan warna baru dalam penyajiaannya. Rutinitas yang terjadi dalam penyelenggaraan festival gong kebyar sangat memeras daya kreativitas para seniman.

    2.2 Permasalahan yang terjadi dalam festival gong kebyar PKB

    Lomba gong kebyar sepertinya tak pernah absen dalam Pesta Kesenian Bali(PKB). Yang menarik, ajang lomba ini mendapat sambutan yang luar biasa dari semua Kabupaten di Bali. Mereka tak segan-segan meneluarkan dana ratusan juta untuk membiayai sekaa yang mewakilinya. Tentunya dana ratusan juta ini membuat iri kesenian lainnya yang juga mendukung acara PKB. Sebab, dalam hal dana, jenis kesenian yang lainnya menjadi dianak tirikan. Mengenai besar dana hingga ratusan bahkan beberapa ratus juta rupiah itu, tak hanya dipakai untuk membiayai latihan, membeli kostum yang wah bagi setiap penabuh, mendatangkan pelatih dari luar kabupatennya yang diyakini memiliki kemampuan yang lebih dan popularitas, menyewa atau membuat kostum fragmentari dan lain sebagainya. Namun, bagaimana pertanggung-jawaban para juri atas lomba ini?

    Bukti yang paling nyata dari kekurang seriusan pelaksanaan lomba ini antara lain, usai lomba tak ada ulasan tertulis yang memadai dari juri pada media-media yang ada. Hal ini tentu memberikan rasa kecewa karena yang kalah maupun yang menang tak mendapatkan kepastian secara tertulis tentang kekurangan maupun kelebihannya. Maslahnya menjadi luas karena persoalan kalah menang sebuah sekaa tak lagi hanya menjadi urusan sekaa,tapi harus dipertanggungjawabkan pada publik dikabupaten yang diwakilinya. Karenanya perlu dipertanggungjawabkan terbuka sehingga publik dapat memahami kelemahan dan kekuatan jagoannya. Selama ini, jika sekaa ingin mengetahui duduk permasalahan mengapa sekaa-nya kalah, hanya melewati konfirmasi telepon atau perbincangan singkat yang tak memadai. Padahal, demi pembinaan dan pengembangan sekaa kedepan, mereka sanggat membutuhkan penjelasan yang rinci dari keseluruhan materi yang dilombakan pada bagaian manakah yang lemah ataupun lebih unggul dari Gong Kebyar kabupaten lainnya.

    Selain itu, pola penilaian lombanya juga cenderung merugikan sekaa yang ujungnya menjatuhkan nama kabupaten yang diwakilinya. Untuk itu perlu dipikirkan kembali pola penilaian yang selama ini diterapkan juri. Selama ini, penilaian menggunakan pola penggabungan dari unsur-unsur yang mendukung pertunjukan Gong Kebyar. Artinya, unsur-unsur yang mendukung pertunjukkan gong kebyar dinilai secara terpisah namun kemudian hasilnya digabungkan. Pola penilaian ini tentu mengaburkan keunggulan objektif sekaa. Sebab, hasil penilaian gabungan itu tak pernah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kwalitas sekaa di kabupaten. Yang sering jadi pertanyaan usai pengumuman lomba, ketika merenggut kekalahan, adalah apakah yang kalah itu gendingnya atau penyajiannya?

    Jika juri memberikan penilainnya lemah pada gendingnya, pasti belum tentu penyajiannya juga lemah. Karena penyajian menyangkut kepiawaian kelompok dalam memainkan tehnik menabuh, kekompakan, keutuhan, ekspresi dan kesempurnaan membawakan gendingan tersebut. Sedangkan gending menyangkut kemampuan individu. Masalahnya mungkin timbul jika penilaian pemisahan ini diterapkan, kalau semua kelompok tampil memukau dan sempurna, jika demikian tentu poin tertinggi diberikan pada sekaa yang paling rumit menampilkan sajian karena komposisi gendingnya yang menuntut pengeksplorasiaan teknik-teknik menabuh yang canggih.

    Pemisahan penilaian gong kebyar sebenarnya sangat penting diberikan. Alasannya, antara lain, akibat rasa minder yang dimiliki seniman atau birokrat seni dikabupaten, mereka jarang mempercayai seniman didaerahnya meskipun Sarjana Karawitan di kabupatennya berserakan. Lalu merekapun berlomba mencari pelatih atau penggarap dari luar kabupaten yang dianggap lebih tau trend gending Gong Kebyar terkini. Mereka akhirnya merebut mencari maestro-maestro untuk melatih didaerah mereka. Hal ini tak hanya dalam menggarap tabuh demi tabuh yang dilombakan, juga dalam hal menggarap Sandyagita maupun fragmentarinya.

    Tentunya tak banyak kabupaten yang beruntung, mungkin karena disebabkan faktor relasi atau ketakmampuan menjamu para maestro utama, sehingga mereka terpaksa puas mendapat maestro muda pada lapisan sisa. Tetapi, meski sudah bersusah-susah mencari pelatih dari luar kabupaten, belum tentu mereka mereka akan mendapat hasil yang diharapkan. Celakanya, kekalahannya itu tanpa pemberitahuan yang jelas, apakah yang kalah kreator gendingnya atau penyajiannya yang dalam hal ini murni dilakukan oleh sekaa yang dipercayakan mewakili kabupatennya. Untuk itu seandainya penilaian dipisahkan antara gending dengan penyajian, maka akan memberi hasil yang jelas pada sekaa yang mewakili kabupatennya.

    Aryasa, I W. M, Pengetahuan Gambelan Bali

    Departemaen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983

    Bandem, I Made, Prakempa : Sebuah Lontar Gambelan Bali

    ASTI Denpasar, 1986

  • April 15, 2010 /  Lainnya

    Legong saba telah berkembang sejak tahun 1900 dibawah pimpinan I Gst Bagus jelantik yang dikenal dengan sebagai cikal-bakal seni pelegongan di Saba. Beliau belajar langsung kepada Anak Agung Rai Perit,bersama dengan Ida Bagus Bode,Bambang Dwaja,I wayan Lotring dan Nyoman Blancing. Setelah mampu menguasai legong dengan baik, I Gst Bagus jelantik kemudian langsung mengembangkan legong di Puri Saba(purinya sendiri) dengan penarinya yang pertama adalah Ni Gst Nyoman Resik dan Ni Gst Nyoman Madri dan selanjutnya legong berkembang dengan menggunakan condong dengan penarinya bernama Jero Suraga(wawancara dengan I Gst Ngurah Seramasemadi).

    Penabuh Legong Saba pada waktu itu adalah seka gabungan antara penabuh dari Pinda dan penabuh dari Saba sendiri. Gabungan seka ini terjadi dikarenakan pada saat itu masyarakat di Pinda belum memiliki gambelan dan mereka kemudian beajar gambelan di Saba,oleh I Gst Bagus jelantik diterima dan digabung dengan penabuh dari Saba yang kemudian diberi nama Seka Legong Puri Saba, dibawah binaan I Gst Bagus Jelantik. Reportuar gending yang dikuasai adalah Legong Semaradahana,CandraKanta,Lasem,Sudarsana,Legodbawa,Bapang,Kuntul,Kuntir,Jobog,Kupu-kupu tarum,Dan lain-lain. Pada waktu itu gambelan yang dipergunakan adalah gambelan semarpagulingan.

    Pada tahun 1938 kepembinaan Legong Saba diteruskan oleh I Gst Raka Saba dimana pada saat itu Legong Saba sangat diminati oleh raja Gianyar sehingga sering kali Legong Saba di Puri Gianyar dengan mementaskan Legong Lasem sebagai materi andalan. Tidak hanya dipuri gianyar,sering kali Legong Saba dipentaskan di Puri Karangasem dan juga tidak lepas dari prosesi ngayah di Pura-pura.Pada tahun 1950 Legong Saba mendapat kesempatan untuk menyambut kunjungan presiden Soekarno ke Bali di Gedung Jaya Saba. Tahun 1915,I Gst Gede Raka diminta oleh pemerintah Bali untuk mengajarkan tari legong ke Istana Negara di Jakarta kurang lebih selama 9 bulan.

    Dari segi gending atau tabuh yang ada,dari dulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan hanya nafas lagunya saja,itupun disebabkan oleh kemampuan seka dari generasi ke generasi yang memiliki kemampuan yang berbeda.

    2.2 Legong Bedulu

    Sebelum munculnya tari legong, desa Bedulu telah banyak memiliki jenis – jenis kesenian baik yang bersifat frimitif maupun yang bersifat klasik, seperti yang diketahui melalui imformasi dan seorang tokoh dari desa Bedulu . menurut keteranganya desa Bedulu pada waktu itu memiliki bermacam-macam kesenian antara lain : Kesenian Sanghang, Tari Cak, Tari Barong dan Tari Sisian. Tari Sisian adalah sebab munculnya tari Legong Kraton Bedulu. Mulai dari menjadi tokoh penabuh pelegongan yang pertama di desa Bedulu adalah I Gst Nyoman Gede(almarhum) dan I Gst Putu Mandor. Karena pada waktu itu para penari dan penabuh belum merupakan bentuk organisasi(sekaa) maka munculah keinginan dari tokoh–tokoh tua untuk menghimpun mereka menjadi suatu organisasi(sekaa). Dalam meningkatkan mutu seninya maka dicarikanlah guru untuk mengajar menari dan menabuh. Sebagai guru yang pertama atau sesepuh tari dan tabuh dari sekaa tersebut adalah dari guru tari Ni Luh Rapig dari desa Pliatan dan dibidang tabuhnya guru dari Denpasar. Adapun sesepuh yang memperhalus (ngelesin) adalah Anak Agung Perit, sesudah para penabuh dan penari menguasai ajaran dari sesepuh mereka, namun ironisnya sekaa tersebut pada waktu itu belum memiliki instrument (gambelan) untuk mengiringi. Sebagai langkah awal maka dipinjamlah gambelan yang ada di Jero Bedulu,kemudian timbulah keinginan untuk memiliki gambelan sendiri dengan cara mengumpulkan dari urunan dan bekerja bersama-sama berburuh memotong padi.

    Dari pengalaman pentas, sekitar tahun 1955 pemerintah Cekoslawakia dalam rangka mempererat hubumganya dengan Indonesia meminta agar dikirimkan misi kesenian Bali oleh kedutaannya yang ada di Indonesia, maka ditunjuklah tari Legong Kraton Bedulu untuk mewakilinya. Selain ke negeri Cekoslawakia dikunjungi pula Negara besar lainya seperti; India, Switzerland, Belanda dan Nederland.

    Mengenai iringanya adalah pada waktu itu memakai gambelan semar pagulingan saih pitu. Gambelan tersebut disimpan di pura celangu di Br Pekandelan Desa Bedulu.(wawancara dengan Gst Ngurah Sudarta). Legong saba

  • April 15, 2010 /  Lainnya

    Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!