Semar
pagulingan adalah sebuah gambelan yang dekat hubungannya dengan gambelan
gambuh, di mana ia juga merupakan perpaduan antara gambelan gambuh dan legong.
Semar Pagulingan merupakan gambelan rekreasi untuk istana raja-raja zaman
dahulu. Biasanya dimainkan pada waktu raja-raja akan ke praduan ( tidur ).
Gambelan ini juga dipergunakan untuk mengiringi tari leko dan gandrung yang
semula dilakukan oleh abdi raja di keraton.
Semar
Pagulingan memakai laras pelog tujuh nada, terdiri dari lima nada pokok dan dua
nada pembero. Reportoar dari gambelan ini hampir keseluruhannya diambil dari
Pegambuhan (kecuali gending leko) dan sema melodi-melodi yang mempergunakan
tujuh nada dapat segera di transfer kedalam gambelan Semar pegulingan.
Bentuk
dari gambelan Semar Pagulingan mencerminkan juga gambelan gong tetapi
lebihkecil dan lebih manis, disebabkan karena hilangnya reyong maupun
gangsa-gangsa yang besar. Demikian berjenis-jenis pasang ceng-ceng tidak
dipergunakan di dalam Semar Pagulingan. Instrument yang memegang peranan
penting dalam Semar Pagulingan ialah Trompong. Trompong lebih menitik beratkan
penggantian melodi suling dalam gambuh yang dituangkan ke dalam nada yang lebih
fix. Gending-gending yang dimainkan dengan memakai trompong, biasanya tidak
dipergunakan untuk mengiringi tari. Disamping trompong ada juga empat buah
gender yang kadang-kadang menggantikan trompong, khususnya untuk
gending-gending tari.
Terompong
pada barungan Semar Pagulingan memiliki beberapa jenis pukulan yaitu :
Ngeluluk
( dalam pengrangrang ).
Neliti
artinya
memukul pokok gendingnya saja.
Nyele
artinya pukulan yang menjelaskan lagu yang dimainkan.
Ngembat
atau Ngangkep
yaitu memukul dua buah nada besar dan kecil bersamaan.
Ngempyung
atau Ngero
adalah memukul dua buah nada bersamaan yaitu nada ndang dan ndeng dan
kedengannya adalah nada ndang.
Nyintud
artinya memukul dua buah nada bersamaan, yaitu nadan nding kecil dan ndung
kecil, yaitu nantinya terdengar nada nding.
Nyilihasih
artinya pukulan berganti-ganti antara tangan kanan dan tangan kiri.
Nyekati
yang artinya pukulan yang banyak melepas dari pukulan pokoknya dan bertemu pada
bagian akhir satu “pada”. Sama dengan memukul dan ditutup dengan panggul yang
biasa terdapat pada pengrangrang.
Ngumad
artinya
memukul dengan membelakangi pukulan pokok gending.
Nguluin
artinya
memukul dengan mendahului pukulan pokok gending.
Nerumpuk
artinya
memukul satu nada secara beruntun.
Ngoret
yang
berarti memukul tiga buah nada yang ditarik dari besar kekecil.
Ninggar
Pada / Asana yaitu sikap duduk penabuh.
Amanggang
Jatah yaitu sikap memegang panggul para penabuh.
Di video kali ini saya memperlihat teknik pukulan ngoret, neliti, nyele, ngembat, dan nyilihasih didalam gending sinom ladrang.
Karya Panca Wali Krama di Pura Kehen
Bangli, bertujuan untuk mendoakan alam beserta isinya agar diberikan
keselamatan serta dijauhkan dari segala bentuk bencana. Dikatakannya bahwa
karya Panca Wali Krama dan Pangusabaan Ida Betara turun Kabeh yang baru pertama kali
dilaksanakan di Pura Kehen, dengan mengambil tingkatan utamaning utama.
Rangkaian upacara Panca Wali Krama
yang dilaksanakan kemarin diawali dengan Ida Sulinggih mapuja, dilanjutkan
dengan ngadegang Sanggar Tawang, mecaru, dan persembahyangan bersama. Saat prosesi
berlangsung, juga dipentaskan tarian sakral seperti baris gede, rejang dewa,
tari topeng, pendet, dan rejang renteng.
Sebagaimana yang diketahui,
rangkaian Karya Panca Wali Krama lan Pangusabaan Ida Betara Turun Kabeh di Pura
Kehen diawali dengan prosesi melasti di segara watu klotok pada sukra pahing
shinta, dan mepepada Agung dan mendak dangsil pada redite wage landep.
Dangsil merupakan bebanten yang dirangkai sedemikian rupa dilengkapi dengan dedaunan, berbagai jenis jajanan tradisional Bali serta beberapa sesajen yang dibuat bertingkat seperti meru (gunung).
Melancaran adalah sebuah aktifitas
umat Hindu di Bali yaitu umatnya mengiringi sungsungannya yang biasanya berupa
Barong dan Rangda. Melancaran dilakukan mulai dari penghujung desa dan melewati
semua jalan yang ada di desa tersebut, dan masyarakat mengahturkan banten di
masing-masing pamesu atau didepan rumahnya, melancaran juga disebut Ngelanglangin
Panjak yang berarti beliau memberikan kesejahteraan didesa agar seluruh
masyarakat didesa menjadi tentram dan damai.
Tradisi Melancaran ini dapat digunakan sebagai sarana yang diperuntukkan bagi umat Hindu di era globalisasi sekarang ini. Disamping itu, mengandung nilai spiritual-religius untuk mensejahterakan umat manusia dari gangguang Butha Kala.
Ngiring atau melancaran biasanya
dilakukan pada hari-hari suci umat Hindu baik Piodalan maupun hari besar agama
Hindu lainnya. Di video ini, saya mengambil video Sesuhunan dari Pura Hyang
Tegal Dalem Lagaan, di Br. Tegal, Bangli. Disini tradisi Melancaran dilakukan
disaat hari raya Kuningan, pada sore hari setelah melakukan persembahyangan
bersama di Pura. Terlihat di video ada umat atau masyarakat yang menghaturkan
banten yang di haturkan langsung oleh pemangku Pura Dalem.
Setelah selesai mengelilingi seluruh
desa, Ida Sesuhunan Katuran Bakti di Pura Desa, dan setelah selesai masyarakat
semua ngaturang sembah atau pamuspaan dan Ida Sesuhunan mewali atau kembali ke
Pura Dalem dan di Linggihkan kembali. Tradisi ini sudah berjalan sejak dahulu
dan rutin dilaksanakan setiap 6 bulan sekali yaitu pada saat hari raya
Kuningan.
Bali
terkenal sebagai pulau surga karena begitu banyak bangunan suci dan juga
tradisi-tradisi yang ada di Bali. Banyaknya tradisi-tradisi yang terdapat di
Bali menjadikan Bali terkenal di Indonesia dan juga sampai keluar Negeri.
Melasti adalah salah satu tradisi yang terdapat di Bali yang berfungsi untuk penyucian
diri untuk menyambut hari raya Nyepi oleh seluruh umat Hindu di Bali, upacara
melasti digelar untuk menghanyutkan kotoran alam menggunakan air kehidupan
dengan nunas atau mengambil tirtha dari laut.
Tetapi
kali ini saya memperlihatkan video pada saat Masegeh Agung yaitu ritual yang
dilaksanakan setelah selesai melaksanakan prosesi melasti yang ada di daerah
Bangli. Di daerah Bangli Melasti dilaksanakan pada saat ada Pujawali atau
Odalan di Pura-pura maupun di Merajan Ageng/Gede. Prosesi ini dilaksanakan
biasanya sehari sebelum Pujawali Tersebut dilaksanakan. Seluruh Upakara Pura
seperti Lelontek, Canang Sari dan berbagai sarana upacara di tedunkan atau di
arak ke tempat pemelastian, serta juga Menedunkan seluruh Pratima, arca-arca
dan Juga Pelawatan sungsungan yang ada di Pura tersebut. Dan tempat pemelastian
disebut Beji yaitu sumber mata air atau di Bali disebut Kebutan. Air yang
keluar dari dalam bumi yang disucikan oleh masyarakat, juga bisanya digunakan
untuk tempat melukat, hanya saja tempatnya berbeda.
Setelah sampai ditempat pemelastian pemimpin agama atau disebut pemangku akan melaksanakan puja mantra guna memohon air yang akan digunakan untuk membersihkan pratima, arca, dan sebagainya. Lalu pemangku membersihkan dengan air suci yang didapat dari sumber mata air tersebut. Pemuspaan yg dilaksanakan oleh seluruh masyarakat yang ikut menjadi akhir dari ritual Pemelastian, dan seluruh upakara di arak kembali menuju Pura.
Masegeh
Agung, dilaksanakan di Jaba Pura yaitu berfungsi untuk membersihkan segala
kotoran alam agar seluruh sungsungan dan juga masyarakat menjadi bersih dan
juga mengahrmoniskan isi alam dan dunia ini. Di dalam video ini yaitu bertempat
di Pura Hyang Tegal Dalem Lagaan, Bangli. Terlihat sesorang yang mendapat wahyu
yang dalam keadaan trance menyolahkan sesuhunan atau menarikan pelawatan
Barong. Akhir dari ritual segeh agung yaitu nyembleh ayam hitam. Setelah itu
seluruh arca pralingga Ida Sesuhunan di Linggihkan Atau di letakkan di tempat
yang sudah tersedia di areal Utama Mandala.