Bahasa Bali Menuju Bahasa Cetak

Salah satu persoalan kebudayaan orang Bali adalah bahasa Bali. Sebagai sebuah persoalan kebudayaan, bahasa Bali,sejak kurang lebih tiga decade lalu (nasionalisme Indonesia dengan bahasa Indonesia cetaknya dan industry pariwisata dengan tawaran nilai-nilai barunya).dipahami dengan menggunakan persepektif yang berlumuran kekhawatiran, pesimisme, dan ujung dari semua itu hanyalah kepunahan bahasa Bali. Walaupun demikian, cara pancang tersebut tapaknya akan selamanya di kaitkan dengan fakta-fakta sosiolinguistik di lapangan (abrasi ranah pemakaian bahasa Bali menurunnya loyaritas pemakai basha Bali, kegagalan pengajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah, semakin tingginya jumlah penutur pasif bahasa Bali dan lain-lain).

            Dari sisi orang Bali pemakai bahasa Bali (dan apakah orang bali masih memiliki rasa memiliki bahasa balinya ) , kekhawatiran dan pesimisme terhadap masa depan bahasa bali adalah kondisi –kondisi alami. Kebijakan atau politik bahasa tidak menjadi tanggung jawab nya. Bagi orang bali , bahasa bali hanyalah alat dalam kebudayaan mereka dan apapun yang terjadi atas bahsa itu merupakan nihilitas-nihilitas individual. Dengan pemahaman tsb, kebijakan-kebijakan masa depan bahsa bali di tangani oleh pihak-pihak terbatas. Tetapi padanya di temukan legitiminasi. Penetapan-penetapan kebijakan masa depan bahsa bali (perencanaan bahasa) bukan lah pekerjaan yang rumit , bahkan terlampau mudah . yamg sulithanyalah publikassi dan aplikasinya yang melibatkan orang bali.

            Bagaimana pun juga , kebijakan bagi masa depan bahasa bali harus diambil. Hal ini memang akhirnya beragkat dari kenyataan kenyataan yang paling tajam dan setrategis tempat di temukan nya kekuatan-kekuatan yang memarginalkan bahasa bali. Persoalan utama dalam bahasa bali tampaknya tidak berbeda jauh dengan persoalan-persoalan yang telah dihadapi pleh orang bali. Persoalan ketika mereka merasakan ruang ekologi dan ruang kebudayaanya semakin sesak. Sebuah peminggiran terselubung , ketika kapitalis-kapitalis membeli tanah-tanah indah di bali. Dengan kesadaran itu orang bali lebih berhati-hati menjuaal tanahnya ke pada para investor. Jadi dengan itulah orang bali telah mualai mendirikan benteng-benteng. Benteng yang akan melindunginya daari usaha-usaha marginalisasi terselubung. Apakah kesadaran seperti itu telah di miliki orang bali , ketika bhasa balinya berhadpan dengan bahasa-bahasa asing dan juga bahasa nasional yang semuanya (akan) mendesaknya ?? keterdesakan bahsa bali tampaknya belum menjadi kesadaran kolektif di kalangan orang bali dan hal ini juga menjadi sebuah persoalan dalam perencanaan bahasa bali.

            Keterdesakan bahasa bali, terutama oleh bahasa Indonesia , mudah sekali di pahami dengan menggunakan konsep kapitalisme cetak dan bahsa cetak yang di kemukakan oleh ANDERSON (2001) dalam bukunya yang paling sering di kutip, komunitas-komunitas terbayang. Kapitalisme cetak adalah modal-modal besar yang di tanam pada sector penerbitan buku. Hal itu berkaitan erat dengan bahsa yang di gunakan dan dari konteks inilah Anderson merumuskan konsepnya tentang bahasa cetak (dan sama sekali bukan bahsa tulis yang dikhotomik terhadap bahasa lisan ). Internasionalisme bahasa inggris , misalnya di hubungkan dengan posisi bahasa itu sebagai bahasa cetak , bahasa yang ditemukan dalam berbagai jenis produk cetakan dan dengan itu mobilitasnya ke seluruh dunia menjadi sangat mudah.

            Pada konteks hubungan bahasa bali dengan bahasa Indonesia yang menempati posisi sebagai bahasa cetak adala bahasa Indonesia. Hal itu di mungkinkan dengan aksaran dan angka yang di pilih oleh bahasa Indonesia untuk menuliskan nya . sampai masuknya bahasa Indonesia sejak bahassa itu masih di kenal dengan nama bahasa melayu pada akhir decade 1920-an ke dalam wilayah pemakaian bahasa bali. Huruf, angka,dan system ejaan baku yang telah sejak lama di ciptakan untuk bahasa bali tampaknya belum memaidai. Sampai pada batas ini, bahasa bali belum mencapai posisi sebagai bahasa cetak. Bahasa bali, baru sampai kepada bahasa tulis (lontar misalnya ) dan hal itupun masih terbatas karena orality tetapi menjadi cirri pemakaian bahasa bali. Yang di maksud dengan bahasa cetak, menurut konsep bahasa cetak yang di kemukakan oleh Anderson , adalah bahasa yang di dukung oleh teknologi percetakan yang mensuplai produk-produk cetak bagi sebuah kebutuhan baca dalam kebudayaan tulis.

            Komprasasi bahasa bali dengan bahasa Indonesia akan memudahkan memahami posisi bahasa Indonesia selaku bahasa cetak dan hal tidak terlampau berlebihan jika juga di pahami sebagai konsekuensi logisnya yang mendesak bhsa bali. Bhasa Indonesia, dengan tnpa rasa bersalah, mengambil huruf latin dan angka arab untuk meniliskanya. Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak membutuhkan teknologia cetak lain. (meski cetak) yang telah ada di pasaran dapat di gunakan. Hal itu dapat di terima dengan dapat mudah di seluruh Indonesia dan sebuah keputusan yang sangat penting artinya bagi komunikasi cetak internasional.

            Komunikasi cetak nasional di mediai hanya oleh bahasa Indonesia dengan huruf latin dan angka arab nya .hal itu di temukan dlam berbagai konteks, pemerintahan , iklan, media masa cetak,buku-buku sekolah, dan lain-lain. Pamphlet-pamflet pembangunan , selebaran-selebaran , rambu-rambu jalan, pengumuman di tempat-tempat umum, dan lain-lain. Sesuatu yang tidak di temukan dalam bahasa bali sekali pun dalam konteks bali.

            Pertimbangan teknologi, terutama mengenai huruf-huruf yang di gunakan dalam mesin-mesin cetak yang di pasarkan di Indonesia , mengharumkan bahasa bali(demikian pula bahasa-bahasa etnik lain di nusantara). Juga ikut-ikutan memilih huruf latin dan angka arab bagi kebutuhan-kebutuhan cetaknya-walaupun hal itu sebenarnya terlampau minim. Hal itu tidak berkembang dan dikembangkan dalm bahsaha bali cetak. Komunikasi cetak orang bali di layani dalam bahasa non-bali, di samping sejumlah bahasa asing atau bahasa-bahsa pariwisata dan terutama adalah bahasa Indonesia. Usuha-usaha rintisan untuk mengembangkan bahasa bali bahasa etak di mulai dalam tradisi bali kesustraan di bali , yang kenal dengan kesustraan bali modern atau sastra Bali anyar. Semua itu sama sekaali bukan sebagai sebuah proyek pembangunan ekonomi produktif tetapi proyek-proyek idealis yang nekad kebudayaan