NGUSABA BUKAKAK

Maret 22nd, 2018

“Ngusaba Bukakak”
Persembahan kepada Dewi Kesuburan
Upacara ngusaba bukakak sebagai bentuk budaya agraris untuk dewi kesuburan, sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat di Desa Sangsit Dangin Yeh, Buleleng.
Masyarakat di sana yang masih kuat nuansa agrarisnya memang masih setia melakoni aktivitas bernafaskan ritual yang berhubungan dengan bercocok tanam yang merupakan warisan dari leluhurnya. Seperti apa upacara yang sudah diselenggarakan di sana sejak zaman dulu tersebut?

DALAM teori tentang kebudayaan dikatakan bahwa manusia tidak akan bisa hidup tanpa manusia lain dan alam lingkungannya — termasuk di dalamnya binatang dan tumbuh-tumbuhan. Perkembangan budaya masing-masing masyarakat berbeda-beda sesuai dengan pola berpikir masyarakat pendukungnya. Van Peursen membagi budaya manusia menjadi tahap mistis, ontologis, dan fungsional.
Ketika manusia dalam tahap mistis, ditandai dengan sikap manusia yang merasa terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Manusia mencari perlindungan dalam menghadapi kedahsyatan alam dengan cara melakukan upacara serta mementaskan cerita mitologi.
Hubungan timbal balik antara manusia sebagai penghuni alam ini niscaya dibangun untuk menjaga keharmonisan kehidupan secara menyeluruh.
Dalam Hindu ada dijelaskan bahwa tumbuh-tumbuhan hanya memiliki bayu (kehidupan), binatang memiliki bayu dan sabda (suara), sedangkan manusia memiliki ketiganya — bayu, sabda, dan idep (pikiran)
. Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, manusia lalu berkewajiban memelihara alam dengan segala isinya untuk kesejahteraan hidupnya. Hal ini tampak pada bentuk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satunya adalah upacara ngusaba bukakak sebagai bentuk budaya agraris untuk dewi kesuburan yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat di Desa Sangsit Dangin Yeh, Buleleng. Upacara ngusaba bukakak tersebut sudah diselenggarakan sejak zaman dulu. “Entah kapan dimulai, namun saya mendapati sudah ada seperti yang sekarang,” jelas Kelian Desa setempat, Ketut Setiawan (54), yang pada masa mudanya pernah sebagai pengusung bukakak.

Di samping ngusaba bukakak, desa yang berjarak sekitar 8 km arah timur Kota Singaraja itu juga memiliki pura yang unik. Pura Beji misalnya, merupakan tempat persembahyangan umat Hindu setempat untuk memuja dewi kesuburan. Keunikan pura tersebut terletak pada ornamen dindingnya yang menampilkan tema-tema senggama yang ditatah agak realistis.

Upacara ngusaba bukakak merupakan bentuk ucapan terimakasih masyarakat setempat kepada Ida Betara atas segala anugerah kesuburan yang dilimpahkan pada mereka. Itulah sebabnya mengapa upacara yang sebenarnya diselenggarakan oleh subak ini dijadikan kegiatan desa. Penyelenggaraan upacara ini jatuh pada April atau pada bulan purnama sasih kedasa. Awalnya memang dilaksanakan setahun sekali, namun karena alasan biaya, belakangan upacara ini dilaksanakan sekali dalam dua tahun.
Masalah biaya memang menjadi alasan klasik pelaksanaan upacara ini. “Perayaan untuk tahun ini saja kami menghabiskan dana lebih dari 20 juta rupiah,” jelas Ketut Setiawan, Kelian Desa yang juga Pekaseh.

Matang Sebagian

Kata bukakak mengandung arti babi guling yang hanya matang sebagian pada bagian dadanya saja, sedangkan bagian punggung dibiarkan mentah. Babi yang digunakan adalah babi yang berbulu hitam legam. Pada bagian punggung yang memang sengaja dibiarkan mentah, separuhnya pada bagian punggung kiri dikerik bulu-bulunya sehingga kelihatan putih dan sebagian lagi dibiarkan bulunya yang berwarna hitam.
Karena itu, bukakak juga sering disebut babi panggang tiga warna — merah (bagian tubuh yang matang), putih (bagian yang masih mentah dan bulunya telah dikerik), dan hitam (bagian yang masih ada bulunya). Babi guling ini ditempatkan di atas banten sarad. Konstruksi wadah bukakak terdiri atas 16 batang bambu dihiasi ambu atau daun enau muda dan bunga pucuk bang.

Bukakak itu diusung oleh beberapa orang pilihan yang berasal dari anggota subak dari desa setempat. Namun sebelum itu ada sejumlah prosesi yang harus dilakukan selama enam hari. Prosesi pertama, melis atau membersihkan pratima dan perlengkapan upacara ke pantai. Hari kedua, melakukan ngusaba uma yakni upacara yang diselenggarakan di pelinggih empelan, Pura Gaduh atau Panti, dan Pura Bedugul. Pada hari ketiga, upacara ngembang atau senggang, pada hari itu masyarakat membuat tiga buah dangsil.
Dangsil terbuat dari pohon pinang sebagai intinya dan dilengkapi dengan rangkaian bambu yang dihiasi dengan ron atau daun enau yang tua. Dangsil dibuat segi empat yang masing-masing memiliki tujuh, sembilan, dan 11 tumpang.
Dangsil bertumpang itu melambangkan Tri Murti — Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Hari keempat, masyarakat desa setempat kemudian menyelenggarakan piodalan ngusaba segara dalem di Pura Dalem dan Pura Segara setempat. Sudah menjadi tradisi di sana, piodalan tersebut diselenggarakan sehari saja.
Pada hari kelima atau pada puncak acara yang dipusatkan di Pura Subak, dilakukan upacara gedenin. Puncak prosesinya adalah mengusung bukakak atau melayagin
.

Merah Putih
Pembuatan bukakak dilakukan di pura setempat. Penentuan ke mana bukakak itu untuk tahun ini akan diusung sudah diketahui tiga hari sebelumnya, setelah beberapa pemangku dan penglingsir desa mepinunasan di pura.
Saat hari H setelah bukakak selesai dikerjakan, para pengogong atau pemandu bukakak akan pergi mejaya-jaya ke Pura Pancoran Mas yang terletak di tepi pantai. Setelah upacara selesai — biasanya tengah hari — dan keadaan saat itu sangat panas, mereka tidak diizinkan pulang untuk sekadar cuci muka atau pun mandi. Mereka hanya boleh melakukan perbaikan pada kain yang dikenakan agar terlihat lebih rapi.

Selanjutnya dilakukan upacara mejaya-jaya di Pura Desa Gunung Sekar, Dangin Yeh, Sangsit. Di situ mereka akan melakukan upacara dengan mengenakan busana merah-putih untuk pengogong bukakak dan putih-kuning untuk pengogong sarad. Busana merah putih yang dimaksud adalah saput-nya berwarna merah, sedankan udeng, baju, serta kain kambennya berwarna putih. Para pengogong bukakak adalah mereka yang telah menikah atau sudah dewasa, sementara pengogong sarad alit adalah para remaja.

Ketika mejaya-jaya selesai, saat air suci mulai dipercikkan ke para pengogong, pada saat itulah sebenarnya upacara bukakak dimulai. Para pengogong bukakak tiba-tiba kerauhan — menggeram dan meronta-ronta — kemudian berhamburan ke luar pura menuju ke pura di desa tempat bukakak itu ditempatkan. Ketika itulah banyak yang jatuh bergulingan, terinjak, terantuk batu, namun mereka bangkit kembali dan terus berlari mengikuti rekannya yang lain. Sesampainya di tujuan, masih dalam keadaan kerauhan, mereka menyunggi bukakak itu dan membawanya ke pura Gunung Sekar.

Bukakak lalu diupacarai, selanjutnya para pengogong sarad alit keluar areal pura.
Setelah itu, para pengogong bukakak mulai mengangkat bukakak yang telah diupacarai dan mengusungnya beramai-ramai. Terlihat bukakak itu seperti ditindih dengan benda yang sangat berat. Di samping bambunya terlihat agak melengkung, dari bukakak itu juga terdengar suara-suara yang menandakan bahwa disana ada muatan yang cukup berat. Mereka meyakini itu sebagai Ida Betara sudah melinggih di sana dan siap melancaran.

Di bawah terik matahari Buleleng, iring-iringan sarad alit dan bukakak itu berjalan dengan kecepatan tinggi di atas jalanan beraspal yang panas. Mereka terus berjalan dengan tertib, mengikuti kemauan dari Ida Betara. “Mereka berjalan seperti robot, tidak mengenal panas, haus, atau pun lelah,” cerita Nyoman Laksmi, penduduk Desa Sangsit yang tiap tahun menyempatkan diri pulang kampung untuk menonton upacara tersebut.
Upacara baru dikatakan selesai setelah dilakukan upacara ngewaliang ke pura. Setelah acara ini selesai, dilanjutkan dengan acara pelaus, yaitu acara menari yang hanya dilakukan oleh warga subak saja — pria maupun wanita. Mereka membentuk kelompok kiri dan kanan. Kalau awalnya yang menari dari kelompok kanan, maka setelah selesai menari orang itu akan menjawat seseorang dari kelompok kiri untuk tampil menari. Mereka menari dengan gerakan sesuka hatinya dan dengan busana apa adanya, sehingga pada saat itu terjadilah kelucuan-kelucuan yang menimbulkan gelak tawa.

Comments are closed.