PENGENALAN PENINGGALAN SEJARAH KEBUDAYAAN SAKRAL: TARI BARIS PENDET DI DESA ADAT TANJUNG BUNGKAK DENPASAR BALI
Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Sakral:
Tari Baris Pendet sebagai Pelengkap Upacara Keagamaan
Di Desa Adat Tanjung Bungkak Kota Denpasar.
Oleh:
Ni Wayan Wajar Febriani
Jurusan Tari
I Kadek Bhaswara Dwitya
Jurusan Pedalangan
Komang Yuliarta
Jurusan Tari
ABSTRAC
Pengenalan peninggalan sejarah kebudayaan sakral melalui pertunjukan Tari Wali Baris Pendet, merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan pengetahuan tentang sejarah, fungsi, makna, dan pembentukan jiwa. Terutama mengenai faktor apa yang memotivasi atau mendorong pelestarian tarian ini, dan bagaimana caranya, serta mampukah mengapresiasikan nilai-nilai kesakralan itu kepada generasi penerus pada jaman era globalisasi ini ? Hal ini penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui jawaban atas pertanyaan itu diharapkan dapat pula diketahui sejauhmana minat dan kemampuan masyarakat kota mempertahankan, peranan, dan kontribusinya terhadap keberadaan tarian sakral sebagai pembentukan karakter bangsa.
Pelestariannya diawali dengan pengenalan bentuk Tari Baris Pendet melalui turun-temurun dari generasi ke generasi. Dibalik itu pelestarian itu terkandung nilai-nilai ritual, spiritual yang amat sarat dengan filosofi bagi masyarakat di dalam tujuannya berbhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konsep filsafat Hindu, hal yang paling mendasar dari tujuan memahami dharma adalah memahami tentang kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kesakralan Desa. Konteks inilah yang dikenalkan kepada generasi yang ada di lingkungan kota besar, sehingga tercipta generasi yang memiliki moral dan spiritual yang santun.
Pengenalan ini melalui metode konservasi atau pemeliharaan terhadap bentuk, sejarah, fungsi, makna, dan managemen. Melalui pengenalan dan pemahaman tentang Tari Baris Pendet diharapkan terciptanya suatu pelestarian tari sakral. Dikawatirkan dengan adanya pengaruh globalisasi, pendapat masyarakat modern, dan kreatif yang bablas, sehingga memberikan pengertian yang memudarkan identitas Desa.
Penari sakral yang hanyut dalam upacara ritual akan menimbulkan rasa keindahan dalam diri. Rasa keindahan ini akan memberikan kesadaran pribadi, kesadaran sosial dan kesadaran tanggung jawab yang menimbulkan rasa tenang, kebahagiaan, dan kepuasan dalam diri si penari. Jika penari sudah merasakan keindahan dalam menari, maka secara tidak langsung nilai spiritual tersambung secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Harapan agar spiritualisasi yang memiliki etika, logika, estetika yang baik terhadap generasi untuk menghadapi pengaruh globalisasi.
Key words: Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Sakral: Tari Baris Pendet.
The introduction of a sacred cultural heritage through dance performances Tari Wali Baris Pendet, is one attempt to gain knowledge about the history, function, meaning, and the formation of the soul. Especially about what factors motivate or encourage the preservation of this dance, and how, as well as to appreciate the values can the sanctity of it on to future generations in the era of era of globalization? It is important to note, because by knowing the answer to that question is expected to be well known how far the interest and ability to maintain urban society, the role and contribution to the existence of sacred dance as the formation of the nation’s character.
Preservation begins with the introduction of Baris Pendet Dance through hereditary from generation to generation. Behind it was the preservation of the values embodied ritual, so laden with spiritual philosophy for the people inside the goal dutiful presented to God Almighty. In the concept of Hindu philosophy, the most fundamental of understanding the purpose of dharma is understood about the obligation to preserve and defend the values of the sanctity of the Village. Context is introduced to the existing generation in the big city, so as to create a generation which has a moral and spiritual manners.
This introduction is through methods of conservation or maintenance of forms, history, function, significance, and management. Through the recognition and understanding of the Baris Pendet Dance expected creation of a sacred dance preservation. Worried by the influence of globalization, the opinion of modern society, and creative thus providing a sense of village identity tarnish.
Sacred dancer who lost in the ritual will cause a sense of beauty in themselves. This will give you a sense of the beauty of personal awareness, social consciousness and awareness of responsibility that lead to a sense of calm, happiness and satisfaction in the person of the dancer. If the dancer has to feel the beauty in dancing, then it implies that spiritual values are connected vertically to God Almighty. Hope so spiritualized that has ethics, logic, aesthetics are both of the generation to face the impact of globalization.
Key words: Introduction to Cultural Heritage Sacred: Baris Pendet Dance.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, semuanya itu adalah pengetahuan manusia guna memahami lingkungan serta pengalaman yang dijadikan pedoman tingkah lakunya yang bertujuan untuk kesejahtraan hidupnya. Kebudayaan berkembang sesuai dengan peradabannya, sehingga nampak perbedaan kebudayaan diantara bangsa-bangsa di Dunia ini. Kesenian dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian salah satu diantaranya adalah seni tari. Tari adalah sebuah cabang kesenian yang paling konservatif dalam perkembangannya. Menurut R.M Soedarsono seni tari merupakan ekspresi manusia yang diungkapkan melalui gerak anggota tubuh yang halus atau ritmis dan mengandung unsur seni.
Seni tari yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seni tari yang berkembang di Bali, mengingat daerah ini memiliki berbagai jenis kalsifikasi tari menurut fungsinya. Tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu tari Wali, Bebali, Balih-balihan. Tari Wali merupakan salah satu aspek terpenting dari kesenian Bali yang mempunyai fungsi amat penting terutama di dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali. Dimana seni tari memegang peranan yang sangat penting bahkan nilainya hampir sama dengan sesajen. Hampir semua upacara adat dan agama di Bali memerlukan tari sehingga sifat tari Bali hampir semuanya religius. Di antaranya yaitu tari Baris yang merupakan salah satu dari tari wali. Tari Baris adalah tari klasik atau tradisional Bali yang sudah tua umurnya yang hingga kini masih tetap mempunyai fungsi yang amat penting terutama dalam upacara keagamaan masyarakat Hindu-Bali.
Di Pura Dalem Tanjung Sari Desa Adat Tanjung Bungkak terdapat Tari Wali yang sakral yaitu Tari Baris Pendet yang telah ada sejak pura itu didirikan. Berdasarkan atas uraian di atas, penulis berkeinginan untuk mencoba meneliti fenomena budaya yang terjadi dalam masyarakat kota dengan judul Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Langka: Tari Baris Pendet sebagai pelengkap Upacara keagamaan di Desa Adat Tanjung Bungkak, Kota Denpasar.
RUMUSAN
Berdasarkan uraian diatas maka kami dapat rumuskan beberapa permasalahan seperti berikut:
Bagaimana sejarah munculnya serta caranya melestarikan Tari Baris Pendet, mengingat tarian ini berada dalam masyarakat Kota yang rentan dengan pengaruh budaya luar ?
Apa fungsi dan makna Tari Baris Pendet dalam menjaga keutuhan rangkaian upacara yang ada di Desa Adat Tanjung Bungkak?
TUJUAN
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, adapun tujuan yang hendak dicapai dari program ini, yaitu:
Untuk mendapat pengetahuan tentang sejarah dan cara melestarikan Tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak.
Untuk memahami fungsi dan makna Tari Baris Pendet dalam menjaga keutuhan rangkaian upacara yang ada di Desa Adat Tanjung Bungkak.
SUMBER LITERATUR
Dalam buku Landasan Kebudayaan Bali oleh. I.B Mantra diterbitkan oleh Yayasan Dharma Sastra Denpasar tahun 1996, buku ini mengupas tentang strategi dan relitas budaya yang ada di Bali. Bali yang telah terkenal dengan kebudayaannya oleh karena keunikannya, kekhasannya yang tumbuh dari jiwa agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya, dalam masyarakat yang berciri sosial religius.
Dalam Buku Tari Wali (Sanghyang, Rejang Baris) oleh I Wayan Dibia, diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali pada tahun 1997, buku ini mengupas tentang perkembangan tari wali dewasa ini yang tersebar di seluruh Bali tengah memudar. Secara kuantitas, jumlah tari-tarian Wali sudah banyak berkurang karena sejumlah tari Wali sudah semakin jarang dipentaskan. Ada juga yang masih bertahan karena keberadaannya masih terikat oleh upacara keagamaan. Secara kualitas, masih perlu ditingkatkan lagi. Semua itu disebabkan oleh kesulitan penari, sedikit minat para generasi muda untuk mempelajari tari-tarian upacara dan karena sudah tidak dianggap perlu oleh warga masyarakatnya.
Dalam buku Lintas Budaya oleh David Matsumoto yang diterbitkan atas kerjasama Pustaka Pelajar, mengupas tentang definisi tentang budaya yang “kabur”. Artinya, tidak ada aturan yang baku dan cepat untuk menentukan sebuah budaya atau siapa-siapa yang termasuk dalam budaya tersebut. Para peneliti seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, Geert Hofstede dan yang lainnya telah menawarkan definisi yang menarik tentang budaya definisi budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang harus dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lainnya.
METODE
Metode yang digunakan dalam Penelitian ini:
Metode Observasi
Dilakukan dengan cara mengamati langsung kegiatan latihan di banjar dan pentas di Pura Dalem Tanjung Sari Desa Adat Tanjung Bungkak
Metode Dokumentasi
Pengumpulan data dengan cara mengambil gambar dan merekamnya melalui kamera video
Metode kepustakaan
Cara pengmbulan data dengan cara mempelajari buku-buku yang ada kaitannya dengan topic pembahasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
SEJARAH TARI BARIS PENDET
Sejarah dari tari Baris masih “kabur”. Banyak literature yang mengungkapkan asal mula dari tari baris. Dalam buku Tari Wali (Sanghyang, Rejang, Baris) oleh I Wayan Dibia menyebutkan bahwa sejarah tari Baris, oleh para ahli, banyak dikaikan dengan Kidung Sunda, sebuah puisi seni sejarah yang dikarang pada tahun 1550, oleh Claire Holt disebutkan bahwa pada waktu upacara pemakaman raja terbesar Majapahit, yaitu Hayam Wuruk ada dipentaskan tujuh macam tari perang (bebarisan) yang salah satu diantaranya disebut tari baris “Limping”. Jika kita berpegangan pada waktu meninggalnya Hayam Wuruk, yakni pada tahun 1389, maka ini berarti bahwa di Jawa Timur telah ada bebarisan sejak abad XIV. Kemudian ketika jatuhnya Kerajaan Majapahit ke tangan Islam diamana banyak bangsawan “wwang” Majapahit yang lari ke Bali, maka tidak mustahil seni bebarisan inipun ikut terbawa.
Tari Baris sebagai salah satu kesenian yang bercorak Hindu sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan pasti kapan timbulnya, karena beberapa literatur yang ada tidak memberikan gambaran yang jelas. Namun demikian dari beberapa literatur dengan keterangan dari para ahli dan penglingsir, maka dapat ditarik suatu argumentasi mengenai asal mula Tari Wali Baris Pendet. Literatur tertua yang menyinggung tentang tari baris adalah lontar Usana Bali sebagai berikut: “Setelah mayadenawa dapat dikalahkan, Batara Indra dan para Dewata lainnya berkumpul di Manukraya dan kemudian didirikan empat buah khayangan yaitu Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Keduhuran. Setelah pertemuan itu diadakan keramaian selama tiga hari, Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris, dan para Gandara menjadi penabuh”. Jika dikaitkan dengan sejarah Mayadenawa adalah seorang raja Bali, anak dari Begawan kasiapa dengan istrinya Dewi Danu yang memerintah dikerajaan Balingkang pada tahun 850 Masehi. Dengan demikian kurang lebih pada abad IX (Sembilan) menurut lontar Usana Bali dinyatakan sudah ada Tari Baris, yang selanjutnya setiap upacara dibeberapa khayangan di Bali selalu di pertunjukkan Tari Baris dan Tari Rejang.
Tari Baris dan Tari Rejang sudah ada di Bali sejak dulu, begitu juga Tari Baris Pendet yang memang sudah ada sejak Pura Dalem Tanjung Sari ini didirikan. Pura Dalem Tajung Sari belum bisa dipastikan kapan pura itu didirikan. Mengingat di daerah Semerta Denpasar terdapat Pura Dalem yaitu Pura Dalem Sumerta Di wilayah Banjar Abiankapas Kaja Desa Pekraman Sumerta wilayah Utara dan Pura Dalem Tunjung Sari yang terletak di Desa Aadat Tanjung Bungkak wilayah Selatan. Keduanya memiliki kaitan yang erat dalam wilayahnya dan menguasai dua setra atau kuburan yang terbagi atas pengemponnya. Dengan keterangan Lontar Usana Bali, literatur tertua dari asal mula tari Baris ini, setidaknya masyarakat setempat mampu menjelaskan asal mula keberadaan tari sakral ini.
CARA MELESTARIKAN TARI BARIS PENDET
Pelestarian seni Tari Wali seperti Tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak menggunakan managemen tradisional yeng terorganisasi melalui struktur prajuru Desa Adat. Struktur yang diterapkan dengan cara seperti:
Tugas Prajuru Banjar
Penari dipilih oleh Klihan/prajuru banjar yang mendapat giliran ngayah sebanyak 8 (delapan) orang anak laki-laki yang berumur 10 (sepuluh) sampai dengan 13 (tiga belas) tahun.
Pelatihan
Latihan di lakukan di Banjar yang mendapat giliran ngayah yang dimulai dari 2 (dua) minggu sebelum odalan di Pura Dalem dengan upacara mepejati. Pelatihya dari anggota Banjar tersebut. Latihan dilengkapi dengan iringan/gamelan gong kebyar terdiri dari 2 (dua) gangsa, kajar, gong, kempur, dan 2 kendang lanang dan wadon.
Penglamur/upah
Pada hari pementasan, sebelumnya seluruh penari pendet diberikan penglamur/upah berupa 1 (satu) bayuh/tanding daging dan 1 (satu) tanding nasi. Semuanya itu disiapkan dan diberikan oleh prajuru Desa Adat.
Busana/Tata Rias
Perlengkapan busana dan property Tari Baris Pendet dipersiapkan oleh mangku Dalem.
PROPERTY
Property merupakan perlengkapan yang dibawa oleh penari Tari Baris Pendet yaitu:
Canang Oyod yang terdiri dari hiasan janur dengan bunga, rokok, dan dupa.
Arak Berem yang terdiri dari minuman arak yang ditempatkan dalam gelas dengan tutupnya.
Kepet/Kipas yang berwarna putih.
Canang Penamprat yang terdiri dari bokor, canang, dan sab/tutup canang.
TEMPAT PEMENTASAN
Tempat pementasan Tari Baris Pendet di Pura Dalem Tanjung Sari disebut kalangan (arena) dengan batas-batas pelinggih dan bangunan lainnya yang ada di jeroan pura. Lebih jelasnya, untuk itu dibuat denah kalangan/arena pertunjukan Tari Baris Pendet.
FUNGSI DAN MAKNA TARI BARIS PENDET
Tari Wali merupakan Tarian sakral yang berfungsi sebagai sarana upacara Dewa Yadnya. Cenderung tarian ini disakralkan karena fungsi dan maknanya dikeramatkan, terbukti dari penarinya yang berumur dibawah 15 tahun, waktu, tempat pementasan, dan jarang dipertunjukan untuk hal lain selain fungsi ritual pura. Fungsi dari Tari Baris Pendet adalah sebagai tari wali untuk mendak sesuhunan Ida Bhatara Dalem. Tarian ini mengungkapkan pengabdian yang tinggi nilainya, untuk menghormati dewa-dewi sebagai menifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Proses ritual dalam Agama Hindu, umat membuat pementasan tari, gamelan maupun pekerjaan lain yang bersangkutan dengan upacara itu. Pada tari Baris Pendet terdapat 3(tiga) stuktur pertunjukan yang masing-masing mempunyai makna tersendiri tetapi menjadi satu kesatuan yang bertujuan untuk nedunang Ida Bhatara Dalem yaitu:
Bagian Pertama Penglembar
Pada bagian awal tari Baris Pendet ini, penarinya berjumlah 4 (empat) orang laki-laki. Bagian ini property yang digunakan yaitu canang Oyodan. Selesainya bagian ini diakhiri dengan kembalinya penari dan tetap membawa Canang Oyodan. Bagian penglembar ini ditarikan sebanyak 2 (dua) kali oleh penari yang berbeda atau ditampilkan kembali 4 (empat) penari dengan sturktur pementasan yang sama. Bagian ini mempunyai makna bukti bakti kerama/masyarakat terhadap sesuwunan Bhatara Dalem. Bhakti itu dipertunjukan melalui bentuk tarian yang bersifat sakral dan hanya dipentaskan 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau 210 hari.
Bagian Kedua Pemendak
Pada bagian ini dibagi lagi menjadi 2 (dua) struktur yaitu bagian memendak dan bagian nedunan. Bagian inilah yang menjadi makna utama dari tarian Baris Pendet. Pada bagian memendak penari berjumlah 6 (enam) orang diantaranya membawa 2 (dua) canang mendak, 2 (dua) Arak dan 2 (dua) berem. Bagian mendak ini penari menghadap kearah timur pura atau menghadap pelinggih, yang melambangkan bahwa penari bermaksud untuk mendak Ida Bhatara untuk menyaksikan prosesi upacara piodalan berlangsung. Bagian mendak ini diakhiri dengan satu persatu penari ngayabin/menghaturkan sesajen di depan pelinggih Bhatara Dalem seperti: canang mandak, arak, dan berem yang dibawa oleh menari.
Setelah penari selesai menghaturkan sesajen, ke-6 (enam) penari tersebut menarikan tarian pengecet yang bermakna sebagai simbol Ida Bhatara Dalem tedun/turun menyaksikan piodalan. Bagian ini penari menghadap ke Barat yang artinya Ida Bhatara turun bercengkrama dilambangkan dengan tarian kupu-kupu yang menggunakan kipas sebagai propertynya dengan gerakannya mearas-arasan. Kupu-kupu melambangkan keindahan yang ada dialam khayangan. Saat tarian kupu-kupu dilangsungkan berarti Ida Bhatara sudah tedun dan menyaksikan upacara yang dilangsungkan oleh masyarakat Desa Adat. Bagian ini diakhiri dengan kembalinya penari ke Bale Pendet. Bale Pendet merupakan tempat dimana para penari Baris Pendet berias serta tempat untuk beristirahat dan menaruh properti yang akan digunakan oleh para penari.
Bagian Ketiga Penamprat
Pada bagian ini, Tari Baris Pendet ditarikan oleh 8 (delapan) penari dengan pembagian yaitu: 4 (empat) penari dengan membawa canang penamprat, dan 4 (empat) penari lainnya sebagai penamprat. Bagian penamprat ini adalah klimak dari koreografinya, yang disimbolkan dengan tarian perang diantara ke 8 (delapan) penari yaitu antara 4 (empat) penari membawa canang penamprat dengan penari penamprat. Simbolisasi pada bagian ini adalah mengungkapkan nilai-nilai rwa bineda (baik-buruk) yang bergejolak pada alam ini. Baik-buruk, hidup-mati, kaya-miskin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Rwa bineda ini agar dimaknai oleh kerama/masyarakat Desa Adat Tanjung Bungkak sebagai suatu yang pasti dialami oleh manusia.
PEMENTASAN TARI BARIS PENDET
Tari Baris Pendet dipentaskan di nataran jeroan atau halaman utama di ajeng gedong dan tajuk Pelinggih Ida Bhatara Dalem Tanjung Sari, Desa Adat Tanjung Bungkak. Pementasan dilaksanakan saat piodalan di Pura Dalem Tanjung Sari saja yaitu pada hari Anggara Kasih, Wuku Medangsia, yang jatuh setiap 6 (enam) bulan dalam perhitungan bulan Bali atau 210 hari sekali.
Pada saat hari piodalan itu, seluruh pratima, arca, barong, dan benda sakral lainnya yang ada di wilayah Desa Adat Tanjung Bungkak tangkil/datang ke Pura Dalem. Seluruh pratima, arca, barong, benda sakral dan masyarakat mengikuti pelaksanaan upacara lebar dateng atau ngider bhuwana yaitu suatu upacara selamat datang dengan berjalan mengelilingi sesajen secara bersama-sama sebanyak 3 (tiga) kali yang tepat dilaksanakan pada waktu sanikaon atau menjelang matahari terbenam + jam. 18.00 – 18.30 WITA disesuaikan dengan waktu. Ngider Bhuwana ini dilaksanakan kurang lebih selama 2 (dua) jam hingga seluruh rangkaian upacara tersebut tuntas selesai. Semua pratima, arca, barong, dan benda sakral tersebut di tempatkan disuatu pelinggih/tajuk sesuai dengan tempat yang telah ditentukan oleh mangku.
Setelah upacara ngider bhuwana selesai dan pratima melinggih/duduk di tajuk, dilanjutkan dengan upacara ngaturan piodalan kehadapan Ida Bhatara Dalem. Prosesi upacara odalan dimulai yang diawali dengan mempertunjukkan Tari Baris Pendet selama kurang lebih 1 ½ (satu setengah) jam hingga selesai. Kemudian baru dilanjutkan dengan ngaturan piodalan yang identik dengan kerawuhan (kesurupan) dan tarian-tarian ritual lainnya yang berkaitan dengan piodalan.
KESIMPULAN
Menyimak uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tari Baris pendet sudah ada abad ke IX menurut lontar Usana Bali dinyatakan sudah ada Tari Baris, yang selanjutnya setiap upacara dibeberapa khayangan di Bali selalu di pertunjukkan Tari Baris dan Tari Rejang. Tari Baris Pendet memang sudah ada sejak Pura Dalem Tasnjung Sari ini didirikan. Pura Dalem Tanjung Sari belum bisa di pastikan kapan pura itu didirikan. Pengenalan itu lebih cenderung melalui konservasi atau pemeliharaan secara berkesinambungan terhadap Tari Baris Pendet dapat dilakukan melalui:
Mememlihara atau melestariakan gerak tarinya agar tidak dipengaruhi oleh gerak-gerak tari kreasi yang berkembang pada saat ini. Telah diketahui bahwa gerak-gerak tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak sangat sederhana yang mengidentifikasi bahwa kesederhanaan gerak membuat ciri khas dan kewibawaan dari tari sakral.
Dari segi pemeliharaan kostum dan warnanya menambah kesan ritual dan makna dari warna tersebut.
Iringan tarinya agar dapat dilestarikan seperti semula dan tidak mengadopsi gending-gending lain ke dalam tari Baris Pendet.
Semangat tari Wali yang bersifat ritual terkandung didalannya spiritual pembentukan jiwa.
Fungsi dan maknanya memberikan motivasi/dorongan kepada generasi agar selalu mengingat dan mempertahan tari Baris Pendet sebagai wujud bukti bhakti kepada sesuwunan.
Managemen pelestariannya menggunakan struktur tradisional Desa Adat adalah suatu cara kekrabatan yang terimplisit di dalamnya pengetahuan, persaudaraan, belajar-mengajar demi pengenalan karakterisasi Desa.
Melalui pengenalan dan pemahaman tentang Tari Baris Pendet terciptanya suatu pelestarian tari sakral dan secara otomatis memperkenalkan bentuk kesenian sakral. Dikawatirkan dengan adanya pengaruh globalisasi, pendapat masyarakat modern, dan kreatif yang bablas, sehingga ada pendapat bahwa beberapa dekade terakhir ini dibeberapa tempat terdapat sejumlah tari wali sudah mengalami perubahan fungsi misalnya dari bentuk sajian upacara keagamaan ke sajian untuk turist.
Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan sakral sangat penting bagi generasi yang akan melanjutkan kebudayaan bangsa. Melalui Tari Baris Pendet sebagai pelengkap upacara keagamaan dapat mengenalkan bentuk kebudayaan sakral dan memberikan pemahaman dan makna dari suatu kesenian. Mengenal budaya bangsa sendiri berarti mengenal aspirasnya dalam aspek kehidupan. Pemahaman dan makna dari suatu kesenian sakral yang mengutamakan nilai spiritual bertujuan untuk pembentukan jiwa generasi penerus bangsa. Tarian yang bersifat ritual ini mengungkapkan pengabdian yang tinggi terhadap sesuhunan yang merupakan menifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penari sakral yang hanyut dalam upacara ritual akan menimbulkan rasa keindahan dalam diri. Rasa keindahan ini akan memberikan kesadaran pribadi, kesadaran sosial dan kesadaran tanggung jawab yang menimbulkan rasa tenang, kebahagiaan, dan kepuasan dalam diri si penari. Jika penari sudah merasakan keindahan dalam menari, maka secara tidak langsung nilai spiritual tersambung secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Dibia, I Wayan, 1979, Sinopsis Tari Bali, Denpasar, Sabggar Tai Bali Waturenggong.
_______, 1997, Tari Wali (Sangahyang, Rejang, Baris), Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Mantra, I.B, 1996, Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Yayasan Dharma Sastra Denpasar.
Matsumoto, David, 2004, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Suastika Neteg, I Putu, 2007, Pelaksanaan Acara Agama Hindu dilihat dari Tattwa dan Etika Ajaran Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Buleleng, Singaraja.
Soedarsono, 1972, Djawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan DramatariTrdisional di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Van Peursen, C.A, 1988, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.